*

*

Ads

Minggu, 08 April 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 010

"Ha-ha-ha, anak baik, ketahuilah bahwa diantara Delapan Dewa tidak ada yang saling bertanding. Aku suka mengalah kepada See-thian Lama dan dia pun suka mengalah kepadaku. Akan tetapi entah dengan dua orang dari Empat Setan ini. Bagaimana Pak-kwi-ong? Engkau hanya tertawa saja. Apakah engkau ingin memasuki.…. ha-ha, sayembara ini?" Kata Ciu-sian Sin-kai sambil tertawa geli.

"Heh-heh, aku sungguh tidak tahu diri kalau berani menandingi Pat Sian! Akan tetapi, kini muncul kesempatan bagiku untuk menguji satu jurus pukulanku yang paling akhir. Begini saja, Ciu-sian Sin-kai, karena diantara Pat Sian hanya engkau yang paling cocok dengan aku, kita sama-sama suka bergembira, bagaimana kalau engkau membantu aku dan menguji jurusku itu? Satu jurus saja dan aku akan mengerti sudah apakah aku harus melangkah terus ataukah mundur.”

Ciu-sian Sin-kai mengangguk-angguk dan tersenyum. Dia menyukai ketegasan sikap seorang diantara Empat Setan yang memang paling suka berkelakar ini walaupun hatinya amat kejam.

"Boleh, boleh, hanya aku khawatir tulang-tulangku yang sudah tua ini akan menjadi remuk nanti dan berarti dalam usia setua ini engkau akan menjadi pembunuh lagi. Ha-ha-ha, itu namanya menambah dosa saja!"

"Heh-heh, usia kita sebaya, Sin-kai, kalau sampai engkau mati berarti aku tidak keterlaluan dan tidak menjadi buah tertawaan orang sedunia. Nah, mari kita bersiap."

"Anak baik, kau minggir dulu."

Kata Sin-kai sambil mendorong pundak Hay Hay dengan lembut sehingga anak ini melangkah minggir untuk memberi tempat kepada dua orang kakek yang hendak mengadu ilmu. Diam-diam anak ini merasa gembira bukan main. Kalau dia berhasil menjadi murid orang terpandai diantara mereka ini, sungguh hal itu amat menyenangkan. "

“Pak-kwi-ong, aku telah siap." kata Ciu-sian Sin-kai.

Kakek ini sama sekali tidak berani memandang rendah kepada lawannya. Dia tahu siapa adanya Empat Setan yang sudah amat terkenal di dunia persilatan kalangan atas, beberapa puluh tahun yang lalu. Orang seperti Empat Setan, apalagi yang sikapnya gembira seperti Pak-kwi-ong, harus dihadapi dengan penuh kewaspadaan.

Oleh karena itu, biarpun nampaknya dia berdiri santai saja, namun tubuh tua itu berada dalam keadaan siap siaga, seluruh tubuhnya dialiri hawa sinkang yang sukar dapat diukur kekuatannya. Bahkan tangan kanannya sudah memegang senjata yang juga menjadi alat musiknya, yaitu suling yang terbuat dari kayu berwarna hitam.

Pak-kwi-ong juga tidak mau membuang waktu lagi. Dia bersikap cerdik ketika minta diuji sejurus ilmunya oleh Ciu-sian Sin-kai. Kalau dia menantang berkelahi, dia meragukan apakah dia akan mampu keluar dengan nyawa masih menempel di tubuhnya. Ujian hanya satu jurus ini, andaikata dia gagal dan kalah sekalipun, dia akan dapat keluar dengan selamat dan satu jurus saja sudah cukup baginya untuk menguji. Jurus yang akan dikeluarkan adalah jurus terampuh dan kalau jurus ini tidak mampu mengalahkan Sin-kai, maka jurus-jurus lainnya tidak akan ada artinya lagi.

Dengan kedua kakinya yang nampak pendek karena bulat dia melangkah maju sambil menggosok-gosok kedua telapak tangannya. Tak lama kemudian, tampak uap tebal mengepul dari telapak tangannya. Dapat dibayangkan kehebatan tenaga sinkang kakek ini.

Ketika muncul disitu, tenaga saktinya telah datang menerpa seperti badai yang membuat daun-daun kering beterbangan dan kini dia mengumpulkan seluruh kekuatannya pada kedua telapak tangannya, maka dapat dibayangkan betapa berbahaya kedua telapak tangan yang telah diisi tenaga sakti itu.

"Sin-kai, terimalah seranganku ini!"

Kakek gendut botak itu berseru dengan suara nyaring seperti bentakan. Kakek ini adalah seorang datuk sesat yang kejam, akan tetapi juga cerdik sekali. Selain mengerahkan seluruh kekuatan dan menggunakan jurus terampuh dalam serangan yang hanya satu kali ini, juga dia memakai sopan-santun memberi peringatan terlebih dulu.

Hal ini dilakukan karena dia belum yakin benar akan dapat mengalahkan lawan ini dalam satu serangan itu. Andaikata yang diserangnya itu orang yang dianggap tingkatnya lebih rendah dan dia yakin akan mampu merobohkannya, tentu dia akan turun tangan tanpa banyak aturan lagi.

“Wuuuuttt...!"






Angin dari hawa pukulan itu menyambar dahsyat ketika Pak-kwi-ong menerjang ke arah Ciu-sian Sin-kai. Ternyata jurus pukulannya itu hanya sederhana saja, tangan kiri menampar dari atas ke arah kepala sedangkan tangan kanan menghantam lurus dari depan ke arah dada.

Biarpun sederhana, jangan harap pukulan ini akan dapat dihindarkan oleh ahli-ahli silat kebanyakan saja karena di kedua lengan itu terkandung kekuatan yang amat dahsyat. Dan hebatnya, biarpun nampaknya tidak begitu cepat, namun Ciu-sian Sin-kai, seorang diantara Delapan Dewa, melihat bahwa pukulan Si Gendut itu tak mungkin dapat dielakkan karena hawa pukulan itu telah membuat semua jalan keluar tertutup.

Kalau orang memaksa diri mengelak, tentu akan terkena pukulan, betapa cepatnya dia mengelak. Satu-satunya jalan untuk menghadapi pukulan kedua tangan itu hanyalah menyambutnya dengan tangkisan. Dan inilah yang dikehendaki oleh Pak-kwi-ong. Dia hendak memaksa lawan menggunakan tenaga menyambutnya untuk mengadu tenaga! Dan karena ini pula maka dia mengerahkan seluruh tenaganya pada kedua tangan.

Akan tetapi, Ciu-sian Sin-kai tidak merasa gentar, juga sebagai seorang datuk persilatan yang sudah memiliki tingkat tinggi sekali, dia tidak kekurangan akal. Dengan tenang saja dia lalu menyalurkan tenaga sinkang dari pusarnya ke arah kedua tangan, lebih banyak ke tangan kiri daripada tangan kanan. Tangan kanan yang memegang suling hitam itu lalu bergerak, menggunakan sulingnya untuk menyambut dan menotok ke arah telapak tangan kiri Pak-kwi-ong yang menampar dari atas ke arah kepalanya.

Karena dia menyambut tamparan itu dengan totokan, bukan tangkisan, maka dia tidak perlu mengerahkan terlalu banyak tenaga. Ujung tongkatnya menyambar ke arah jalan darah yang menjadi pusat, yaitu diantara pangkal telunjuk dan ibu jari. Adapun tangan kirinya, dengan jari-jari terbuka, menyambut hantaman lawan dari depan. Dia menerima tantangan adu tenaga itu.

Melihat sambaran ujung suling, Pak-kwi-ong maklum bahwa besar kemungkinan tangan kirinya akan tertotok dan hal itu dapat mengakibatkan kelumpuhan. Oleh karena itu, terpaksa dia miringkan sedikit tangan kirinya yang menampar agar ujung suling itu mengenai bagian lain dari telapak tangannya, dan dengan nekat dia pun mengadu tenaga dengan tangan kanannya yang terbuka, menghantam ke arah telapak tangan kiri lawan yang berani menyambutnya.

"Pak…!Dessss…..!!”

Hebat bukan main pertemuan tenaga dua kali itu, terutama yang terakhir ketika tangan kanan Pak-kwi-ong bertemu dengan tangan kiri Ciu-sian Sin-kai. Hay Hay sampai terpelanting dan para tokoh lain dapat merasakan getaran yang hebat ketika dua tenaga dahsyat itu bertemu.

Tubuh Ciu-sian Sin-kai yang kurus itu masih berdiri tegak dengan mulutnya tetap tersenyum, akan tetapi tubuh Pak-kwi-ong yang gendut itu terdorong mundur sampai lima langkah! Jelaslah bahwa Pak-kwi-ong kalah dalam adu tenaga itu dan dia pun terkejut bukan main, merasa untung bahwa dia tadi hanya menantang untuk satu kali atau satu jurus serangan saja.

Jurus itu pun tidak dilanjutkan karena lengkapnya masih ada susulan tendangan. Dari pertemuan tenaga tadi saja dia maklum betapa hebatnya tokoh dari Delapan Dewa ini. Bukan nama kosong belaka. Isi dadanya sampai terguncang dan dia pun cepat menahan napas untuk menghimpun hawa murni. Kemudian, sambil tersenyum menyeringai dia pun mengangkat kedua tangan di depan dada

“Hebat memang kepandaian Ciu-sian Sin-kai. Aku tidak merasa malu untuk mengakui kekalahanku."

Berbeda dengan dua orang kakek dari Empat Setan itu, para tokoh Delapan Dewa adalah datuk-datuk persilatan yang berwatak gagah perkasa. Biarpun mereka juga tidak pernah mengaku sebagai golongan putih atau golongan pendekar, dan tidak langsung memusuhi golongan hitam seperti kaum pendekar, namun mereka itu tidak pernah melakukan perbuatan jahat dan terkenal sebagai tokoh-tokoh aneh yang selalu bersikap adil dan gagah perkasa.

Melihat betapa Pak-kwi-ong, seorang tokoh besar yang tingkatnya sudah tinggi sekali, kini mau mengakui kekalahannya begitu saja, Ciu-sian Sin-kai merasa kasihan. Suling hitamnya yang terbuat dari kayu cendana itu tadi ketika bertemu dengan telapak tangan kiri Pak-kwi-ong, mengalami keretakan. Hal ini dia tahu dan rasakan benar. Suling itu sudah rusak dan tidak ada gunanya dipakai lagi, maka kini melihat lawannya mengaku kalah, dia pun tertawa.

"Heh-heh-heh, Pak-kwi-ong, kau ini merendahkan diri ataukah mengejek orang? Lihat, dalam adu tenaga tadi engkau telah merusak sulingku."

Dia melemparkan suling itu ke atas tanah dan ternyata benda itu telah patah menjadi dua potong. Tadinya memang retak akan tetapi dengan bantuan tenaga sin-kang Ciu-sian Sin-kai, kini suling itu patah menjadi dua tanpa ada yang melihatnya.

Pak-kwi-ong bukan orang bodoh. Biarpun, andaikata benar, dia berhasil merusak suling lawan, namun bagaimanapun juga kalau perkelahian dilanjutkan, dia akan kalah. Maka dia pun tertawa,

"Sudahlah, aku memang kalah. Mudah-mudahan lain kali aku akan dapat membalas kekalahanku. Selamat tinggal!"

Berkata demikian, kakek gendut itu lalu melompat dan tubuhnya seperti menggelundung saja dari puncak bukit itu, dan sebentar saja dia sudah menghilang.

"Omitohud... Pak-kwi-ong sungguh tahu diri, semoga dia memperoleh kebahagiaan dan kedamaian hidup " kata Seng-thian Lama, merasa lega bahwa seorang di antara Empat Setan itu tidak membuat onar selanjutnya dan mau mengalah. "Dan bagaimana dengan engkau, Tung-hek-kwi?"

Sejak tadi Tung-hek-kwi sudah memutar otak. Dia seorang yang pendiam, akan tetapi juga cerdik. Melihat betapa Pak-kwi-ong tidak mampu mengalahkan Ciu-sian Sin-kai, dia mengerti bahwa dia pun tidak akan menang menghadapi dua orang dari Delapan Dewa itu. Hatinya merasa mengkal sekali. Dia pun tidak terlalu ingin mengambil anak itu sebagai muridnya, akan tetapi melihat ada orang datang dan mengambil alih begitu saja anak yang tadinya berada dalam lindungannya, dia merasa dipandang rendah sekali.

Apalagi anak itu telah mengadakan semacam sayembara, yang berarti mengadu domba dan kalau dituruti berarti dia akan membuktikan kekurangan dan kekalahannya terhadap dua orang kakek Delapan Dewa itu. Maka timbullah kemarahan dan kemendongkolan hatinya terhadap Hay Hay.

"Daripada diperebutkan, biarlah tak seorang diantara kita memperolehnya!" bentaknya.

"Omitohud...!"

See-thian Lama berseru dan tiba-tiba saja tubuhnya lenyap. Ternyata tubuh yang tinggi besar itu telah melayang ke atas seperti seekor burung garuda terbang saja dan demikian cepat gerakan pendeta Lama ini sehingga dia mampu menghadang di depan Hay Hay ketika Tung-hek-kwi datang menghantam anak itu. See-thian Lama menyambut pukulan itu dengan tangkisan tangannya selagi tubuhnya masih menyambar turun.

"Dessss…..!!"

Demikian hebatnya tangkisan itu dan tidak terduga-duga oleh Tung-hek-kwi sehingga tubuh kakek hitam yang tinggi besar itu pun terjengkang dan bergulingan di atas tanah! Melihat betapa kakek hitam itu nyaris membunuh anak kecil itu, kakek pendeta ini sudah mengerahkan seluruh tenaganya dan mana mungkin Tung-hek-kwi mampu menahannya? Tubuhnya yang terjengkang dan bergulingan itu membuktikan betapa dahsyatnya tenaga tangkisan See-thian Lama!

Tung-hek-kwi meloncat bangun dan mukanya berubah pucat, matanya mengeluarkan sinar berapi. Akan tetapi kini Ciu-sian Sin-kai juga sudah berdiri menghadang di depan anak itu.

"Ha-ha-ha, Tung-hek-kwi, kalau engkau mau bermain curang dan hendak mengganggu anak ini, terpaksa aku akan menghajarmu!"

Tung-hek-kwi adalah seorang yang berwatak keras. Akan tetapi dia pun bukan orang bodoh dan dia maklum bahwa menghadapi dua orang kakek itu sama sekali dia tidak akan dapat menandinginya. Baru melawan seorang diantara mereka saja dia akan sukar menang, apalagi mereka berdua kini melindungi anak itu.

"Huh!" dengusnya. "Tidak sekarang, kelak dia akan mampus di tanganku!"

Setelah berkata demikian, dia pun membalikkan tubuhnya dan sekali meloncat, dia pun lenyap dari situ.

Ciu-sian Sin-kai hanya tertawa dan See-thian Lama berkata,
"Omitohud...mereka berdua itu kelak akan menjadi ancaman bagi anak ini."

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar