*

*

Ads

Senin, 09 April 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 013

Anehnya, ia malah jatuh cinta kepada jai-hoa-cat yang selain tampan dan lihai, juga pandai merayu itu sehingga ia merahasiakan peristiwa itu dari orang tuanya. Ia malah kemudian menjadi pacar Sang Penjahat, berkali-kali mengadakan pertemuan dan setiap kali jai-hoa-cat itu lewat di dusun itu, tentu mereka mengadakan pertemuan secara sembunyi-sembunyi untuk memadu cinta. Dan Sang Jai-hoa-cat juga membebaskan dusun itu dari gangguannya setelah Coa Si menjadi kekasihnya.

Akan tetapi, ketika Coa Si mengandung, jai-hoa-cat itu pun tak pernah mau singgah lagi ke dusun itu! Orang tua Coa Si marah bukan main melihat keadaan puteri mereka yang mengandung dan kemarahan itu semakin memuncak ketika Coa-kauwsu mendengar pengakuan puteri mereka bahwa ayah dari anak yang di kandungnya adalah Sang Jai-hoa-cat!

Hampir saja Coa-kauwsu membunuh puterinya. Akan tetapi isterinya, yang amat menyayang anak tunggal itu, berhasil meredakan kemarahannya sehingga Coa Si tidak dibunuh melainkan diusir dari rumah keluarga Coa!

Mulailah Coa Si hidup terlunta-lunta, hidup terasing di tepi laut. Akan tetapi, ia masih terus mengharapkan kedatangan kekasihnya. Ia tidak dapat mencari kekasihnya itu karena memang tidak tahu dimana tempat tinggal jai-hoa-cat yang merupakan seorang petualang dan perantau itu. Dan akhirnya, ia pun melahirkan seorang anak laki-laki, hanya dibantu oleh seorang bidan yang dikirim oleh ibunya yang diam-diam masih suka membantu anaknya.

Kakek Pek Khun mendengarkan cerita itu dengan sabar, cerita yang di tuturkan dengan suara lirih dan tersendat-sendat.

"... begitulah... ketika anakku terlahir…..Ayahnya datang... tapi melihat aku melahirkan anak... dia malah marah-marah dan pergi lagi. Aku... putus asa... lebih baik anakku kubawa mati... ohhh….." Wanita itu terkulai.

Kakek Pek Khun cepat menekan pundak wanita muda itu.
"Katakan siapa ayah anak ini, dan siapa pula nama anak ini….”

Wanita muda itu membuka mata, kini mulutnya membentuk senyum lemah.
"Aku... titip anakku... belum kuberi nama ...ayahnya... ayahnya... Tang... Tang "

Wanita itu meraba kebalik bajunya dan mencabut sebuah benda yang tadinya menempel di bajunya dengan bantuan peniti, menyerahkan benda itu kepada kakek Pek Khun, sambil berbisik.

"...ini... ini dari Ayahnya "

Dan ia pun terkulai dan napasnya terhenti. Kakek Pek Khun berusaha untuk menahan kematiannya, namun tidak berhasil.

Pada saat itu, terdengar suara anak kecil itu menangis, seolah-olah dia merasa bahwa saat itu ibu kandungnya telah meninggalkannya untuk selamanya. Kakek Pek Khun menarik napas panjang, merebahkan tubuh wanita yang tadi diangkat kepalanya dan dia pun segera memondong anak bayi itu dan diayun-ayunnya sampai anak itu terdiam kembali.

lalu kakek Pek Khun cepat membuat lubang yang cukup dalam dan menguburkan jenazah ibu muda yang malang itu. Niatnya untuk memberitahukan kepada keluarga wanita itu ke dusun diurungkannya. Malah dia tergesa-gesa mengubur jenazah itu, kemudian membawa pergi bayi laki-laki itu dengan cepat, pulang ke kuil dimana Pek Kong dan isterinya menanti dengan hati penuh ketegangan.

Demikianlah, anak kandung Coa Si itu lalu diserahkan kepada Pek Kong dan isterinya sebagai pengganti anak kandung mereka yang akan dibawa pergi oleh kakek Pek Khun. Semua ini terjadi tanpa ada yang mengetahui kecuali mereka bertiga.

"Ibu anak ini sudah meninggal dunia, namanya Coa Si, dan ayahnya She Tang. Ibunya hanya menyerahkan benda ini kepadaku. Nah, simpanlah benda ini dan rawat anak ini baik-baik."

Pek Kong dan isterinya menerima anak laki-laki yang sehat itu bersama sebuah benda yang ternyata merupakan sebuah perhiasan terbuat dari logam dan batu permata berwarna merah berbentuk seekor tawon. Seekor tawon merah!

"Kong-kong, kemanakah Kong-kong hendak membawa anakku….?"

Isteri Pek Kong bertanya sambil mencucurkan air mata, memandang kepada anak kandungnya yang kini sudah dipondong oleh kakek suaminya.






"Aku akan membawanya bersembunyi di Pegunungan Kun-lun dimana aku bertapa. Jangan khawatir, kelak kalau sudah tidak ada bahaya atau ancaman dari para pendeta Lama, tentu akan kukembalikan anak kalian kepada kalian. Aku akan menjaganya baik-baik dan akan mendidiknya."

Kakek Pek Khun lalu pergi pada malam hari itu juga, membawa cucu buyutnya yang dipondongnya dan dibawanya berlari cepat. Sementara itu, Pek Kong sibuk merangkul dan menghibur isterinya yang menangis dengan sedih. Biarpun ia tahu bahwa anaknya berada di tangan yang akan melindunginya, dan biarpun ia sudah memperoleh penggantinya, seorang anak laki-laki yang bertubuh sehat dan montok, akan tetapi hati ibu muda ini tetap saja berduka karena harus berpisah dari anak kandungnya yang baru berusia dua bulan itu.

Hanya dengan setengah hati ia suka menyusui anak yang dibawa oleh kakek Pek Khun, Melihat keadaan isterinya itu, Pek Kong lalu minta bantuan seorang wanita pengasuh dan seorang nikouw untuk menjaga anaknya, setiap isterinya rewel dan minta diajak berlayar untuk menghibur hatinya.

Mereka sering naik perahu layar dan mencari ikan, suatu kesibukan yang kadang-kadang bisa mendatangkan kegembiraan di hati isteri Pek Kong dan membuat ia melupakan kedukaannya.

Ketika Lam-hai Siang-mo, yaitu Siangkoan Leng dan isterinya, Ma Kim Li, datang ke kuil itu dan menculik anak mereka, membunuh pengasuh dan nikouw, dan meninggalkan mayat anak yang rusak mukanya, Pek Kong dan isterinya juga sedang mencari ikan di tengah lautan, gembira karena pada waktu itu musim udang sehingga jala mereka menghasilkan banyak udang besar.

Tentu saja mereka terkejut bukan main ketika kembali ke kuil dan melihat betapa dua orang pengasuh anak itu telah tewas dan anak mereka telah ditukar dengan seorang anak sebaya yang sudah tewas pula dengan muka rusak!

Hal ini sungguh mengejutkan hati mereka dan baru mereka yakin benar bahwa memang anak mereka itu selalu diincar orang. Untuk memperkuat peristiwa itu, demi keselamatan anak mereka, suami isteri ini lalu menyebar-luaskan berita tentang pembunuhan anak mereka!

Dan benar saja. Begitu terdengar berita bahwa anak mereka yang diluaran terkenal sebagai Sin-tong itu terbunuh, banyak orang aneh bermunculan dengan alasan melayat, akan tetapi yang sesungguhnya ingin membuktikan dan menyelidiki. Bahkan tiga orang pendeta Lama dari Tibet tiba-tiba muncul di ambang pintu dan mereka ini sengaja datang untuk memeriksa dan membuktikan sendiri mayat anak kecil itu!

Selain tiga orang pendeta Lama, diantara para tamu yang datang melayat, terdapat pula suami isteri penghuni Guha Iblis Pantai Selatan. Sepasang iblis ini datang terlambat dan jenazah pengasuh nikouw dan anak kecil itu sudah dikubur. Akan tetapi, pada malam harinya, mereka membongkar tiga kuburan itu dan memeriksa keadaan mayat yang sudah hampir membusuk itu!

Dari pemeriksaan inilah mereka menemukan jarum-jarum yang dipergunakan oleh Ma Kim Li untuk membunuh nikouw dan pengasuh dan merekapun dapat menduga siapa yang telah melakukan pembunuhan itu. Mereka adalah orang-orang cerdik dan mereka tidak percaya bahwa anak kecil yang tubuhnya berpenyakitan dan mukanya rusak itulah yang dikabarkan sebagai Sin-tong, anak kandung suami isteri pendekar Pek!

Suami isteri yang bertubuh sehat dan hidup bersih itu tidak mungkin mempunyai anak berpenyakitan seperti itu. Tentu Lam-hai Siang-mo mencuri anak ajaib itu dan menukarnya dengan anak kecil yang mereka bunuh pula. Dan memang sudah lama suami isteri penghuni Guha Iblis Pantai Selatan bermusuhan dengan Lam-hai Siang-mo, juga mereka ingin sekali menemukan Sin-tong untuk dibawa kembali ke Tibet dan diserahkan kepada para pendeta Lama agar mereka memperoleh hadiah benda-benda mujijat.

Karena itu, mereka lalu mulai melakukan pencarian sambil memperdalam ilmu silat mereka karena mereka maklum bahwa musuh besar mereka itu, Lam-hai Siang-mo, merupakan lawan yang tangguh.

Ketika itu Pek Kong dan isterinya merasa bahwa anak kandung mereka sudah aman dan mereka boleh kembali lagi ke Nam-co. Bukankah setelah kini tersiar berita bahwa anak kandung mereka yang disebut Sin-tong dan diinginkan oleh para pendeta Lama itu tewas, mereka tidak akan mengalami gangguan lagi? Maka, merekapun lalu melakukan perjalanan kembali ke barat, menuju ke Nam-co.

Akan tetapi, di tengah perjalanan mereka bertemu dengan orang tua mereka dan para anggauta Pek-sim-pang yang berbondong-bondong menuju ke timur meninggalkan Nam-co! Tentu saja pertemuan itu amat mengejutkan dan apakah yang telah terjadi di Nam-co? Kiranya urusan Sin-tong menimbulkan banyak peristiwa yang menyedihkan.

Ketika mendengar bahwa Pek Kong dan isterinya melarikan diri dari Nam-co, para pendeta Lama menjadi marah sekali. Mereka lalu pergi mengunjungi perkumpulan Pek-sim-pang di Nam-co. Yang datang adalah lima orang pendeta Lama yang menjadi utusan para pimpinan Dalai Lama di Lha-sa.

Pek Ki Bu sudah menduga bahwa para pendeta Lama tentu tidak akan tinggal diam saja, maka dia pun sudah siap dan menyambut kedatangan lima orang pendeta Lama itu dengan sikap ramah dan hormat.

Para pendeta itu dipersilakan duduk, akan tetapi mereka tidak mau duduk dan sambil berdiri dengan sikap kaku mereka memandang Pek Ki Bu dengan alis berkerut. Seorang diantara mereka yang menjadi pimpinan lalu bertanya dengan suara lantang.

"Pek-pangcu, kami datang diutus oleh para pimpinan kami untuk menanyakan kesehatan putera pangcu dan terutama keadaan kandungan anak mantu pangcu."

Pek Ki Bu dapat menduga bahwa tentu para pendeta itu sudah mendengar bahwa anaknya bersama mantunya telah melarikan diri. Hal itu telah lewat lima hari, maka dia merasa aman dan dengan sikap ramah dia menjawab.

"Terima kasih banyak atas perhatian para suhu di Lha-sa. Keadaan mereka baik-baik saja berkat doa restu para suhu yang mulia."

"Siancai... kalau begitu bagus sekali! Harap Pangcu suka mempersilakan mantu Pangcu untuk keluar karena kami ingin menyaksikan sendiri keadaan kandungannya."

Pek Ki Bu tidak bermain sandiwara lagi.
"Harap Ngo-wi Suhu ketahui bahwa Pek Kong dan isterinya tidak berada di rumah. Mereka sedang melakukan perlawatan ke timur untuk pulang ke kampung halaman karena mantu saya ingin melahirkan disana, dekat dengan keluarga orang tuanya."

"Omitohud……!" Pendeta Lama itu membelalakkan mata, hal yang dibuat-buat karena sesungguhnya dia pun sudah mendengar akan kepergian mereka itu. "Bagaimana Pangcu memperbolehkan mereka pergi tanpa Setahu dan seijin pimpinan kami?"

Inilah pertanyaan yang ditunggu-tunggu oleh ketua Pek-sim-pang. Dia mengerutkan alisnya. Memang harus diakuinya bahwa sejak dahulu, sejak ayahnya mendirikan Pek-sim-pang, keluarga Pek menjadi sahabat-sahabat baik dari para pimpinan pendeta Lama di Lha-sa. Akan tetapi sekali ini, dia menganggap bahwa pihak pendeta Lama terlalu mencampuri urusan dalam keluarganya.

"Ngo-wi Suhu harap suka mengingat bahwa Pek Kong adalah anakku dan isterinya adalah mantu kami. Kalau mereka pergi mengunjungi keluarga di kampung halaman, jauh di timur, mereka cukup memperoleh ijin dari kami sebagai orang tuanya. Kenapa harus setahu dan seijin pimpinan para suhu di Lha-sa?"

"Omitohud...! Apakah Pangcu tidak tahu apakah pura-pura tidak tahu? Mantumu adalah wanita yang dipilih oleh Sang Buddha untuk melahirkan calon Guru Suci, calon Dalai Lama! Tentu saja selama mengandung, ia harus berada di bawah pengawasan kami dan ia tidak boleh pergi begitu saja tanpa ijin kami. Bagaimana kalau sampai terjadi apa-apa dengan Sin-tong?”

Hati Pek Ki Bu merasa mendongkol sekali, akan tetapi dia menahannya karena dia pun tidak ingin bermusuhan dengan para pendeta Lama.

"Harap Ngowi jangan khawatir, mereka akan selamat. Dan pula, belum tentu mantuku akan melahirkan Anak Ajaib yang kelak akan menjadi Dalai Lama."

"Sudah pasti! Ramalan kami tidak akan meleset. Yang dikandungnya adalah Sin-tong yang kelak akan menjadi pimpinan kami!"

"Ngo-wi harap jangan lupa bahwa bagaimanapun juga, yang dikandung itu adalah anak dari Pek Kong dan calon cucuku!" kata Pek Ki Bu dengan suara agak keras karena dia mulai marah.

"Omitohud, sungguh dangkal pertimbangan akal Pangcu. Keluarga Pek dalam hal ini hanyalah dipinjam saja! Anak yang akan terlahir itu adalah untuk kami, untuk dunia, bukan untuk keluarga Pangcu pribadi. Sudahlah, harap Pangcu beri tahu kemana mereka pergi, agar kami dapat cepat menyusul dan mengajak mereka kembali kesini atau langsung saja ke Lha-sa karena kandungannya sudah tua dan ia harus memperoleh perawatan dan pengamatan langsung dari kami."

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar