*

*

Ads

Selasa, 10 April 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 016

"Han Siong, engkau harus ingat bahwa engkau keturunan keluarga Pek yang turun-temurun menjadi pimpinan dari perkumpulan Pek-sim-pang. Nama perkumpulan ini berarti Hati Putih dan hati putih adalah hati yang bersih, tidak ternoda oleh perbuatan-perbuatan yang sesat dan jahat. Karena itu, aku hanya mengharapkan agar kelak engkau akan dapat melanjutkan pimpinan Pek-sim-pang dengan baik, dan untuk itu, terimalah kitab ini. Kitab ini adalah tulisanku sendiri, merupakan inti dari ilmu silat Pek-sim-kun, sudah kusaring dan kupadatkan menjadi tiga belas jurus saja. Untuk dapat mempelajari ini, engkau harus sudah mencapai tingkat ilmu silat yang cukup tinggi, karena itu rajin-rajinlah belajar di Siauw-lim-si."

Kakek itu menyerahkan sebuah kitab yang diterima dengan sikap hormat oleh Han Siong.

"Pesan Kakek akan kuperhatikan baik-baik dan akan kulaksanakan dengan patuh.” jawabnya.

Setelah meninggalkan pesan-pesan kepada cucu buyutnya, pada hari itu juga kakek Pek Khun meninggalkan kuil Siauw-lim-si itu untuk kembali ke Kun-lun-san dimana dia akan bertapa sampai akhir hayatnya.

Demikianlah, mulai hari itu, Han Siong tinggal di kuil Siauw-lim-si dan menjadi murid yang setiap hari membantu pekerjaan para hwesio tua muda di kuil itu. Setelah dia dapat menyesuaikan diri, barulah Ceng Hok Hwesio mulai memberi pelajaran ilmu silat, juga ilmu baca tulis dan membaca kitab-kitab agama.

Ternyata anak itu cerdik sekali sehingga segala macam mata pelajaran yang diajarkan kepadanya, dengan cepat dapat diresapi dan dimengerti. Di Siauw-lim-si ini, dia menerima gemblengan dasar-dasar ilmu silat sehingga dia memiliki dasar yang kuat dan asli dari Siauw-lim-pai.

Berbeda dengan kakek Pek Khun yang biarpun tokoh Siauw-lim-pai namun tidak mempunyai cukup waktu untuk menggembleng seperti yang dilakukan di perguruan Siauw-lim-si, di kuil ini Han Siong benar-benar mengulang kembali dan belajar dari tingkat terendah.

Untuk memperkuat dan menyempurnakan kuda-kuda kedua kakinya saja, setiap hari dia harus berlatih memikul air melalui jalan tanjakan yang licin dan berliku-liku, dan harus terus berlatih selama dua tahun! Setelah itu, dia harus melatih kaki tangannya untuk memperkuat otot-ototnya dengan menggantungi kaki tangan dengan gantungan besi yang cukup berat. Belajar pula menghimpun tenaga untuk dasar ilmu meringankan tubuh.

Setelah lima tahun digembleng, walaupun belum pernah diajar ilmu silat yang berarti, tubuh Han Siong yang berusia dua belas tahun itu menjadi kuat sekali, otot-ototnya kuat dan lentur, dia dapat bergerak dengan gesit seperti tubuh seekor kijang, kuat seperti seekor harimau. Bukan hanya otot-otot tubuhnya yang terlatih dan menjadi kuat, juga panca inderanya dilatih sehingga memiliki pandangan yang tajam, pendengaran dan penciuman yang peka pula. Pendeknya, selama lima tahun dia digembleng sehingga memiliki dasar-dasar bagi seorang calon ahli silat yang lihai.

Di antara tugas-tugas pekerjaannya, Han Siong setiap pagi dan sore menyapu lantai, baik pekarangan depan maupun pekarangan belakang. Setelah lima tahun tinggal di dalam kuil, kadang-kadang dia merasa kesepian dan rindu kepada kakek buyutnya. Sejak kecil dia biasa hidup di alam terbuka, dan di Pegunungan Kun-lun-san dia setiap hari menjelajah hutan-hutan dan alam bebas. Akan tetapi kini dia tidak boleh keluar dari dalam kuil dan dia mulai merasa terkurung dan tidak leluasa.

Di bagian belakang bangunan kuil itu terdapat dua buah bangunan kecil, di ujung kanan dan di ujung kiri, dekat kebun yang luas. Dari para hwesio kecil lainnya, dia mendengar bahwa dua bangunan kecil ini merupakan tempat-tempat hukuman. Yang sebelah kanan terdapat seorang hwesio yang menjalani hukuman kurungan, sedangkan yang sebelah kiri terdapat seorang nikouw (pendeta perempuan) yang menjalani hukuman yang sama.

Setelah lima tahun berada disitu, kini Han Siong juga telah menjadi seorang calon hwesio. Kepalanya sudah digundul dan dia mengenakan pakaian seperti hwesio. Dia sudah pandai membaca kitab-kitab agama, pandai berliam-keng (berdoa) dan selain berlatih ilmu silat, kesukaannya adalah membaca kitab-kitab suci sampai jauh malam.

Malam itu sunyi sekali. Semua hwesio sudah tidur. Bahkan hwesio yang membaca liam-keng dengan suara yang parau sudah berhenti dan suasananya menjadi semakin sunyi. Namun, seperti biasa, Han Siong yang suka menyendiri itu belum memasuki kamarnya. Dia masih duduk melamun di sudut pekarangan belakang, di tepi kebun sambil menikmati langit yang amat indah, penuh dengan bintang-bintang cemerlang.

Semenjak kecil di Pegunungan Kun-lun-san, Han Siong suka sekali menerawang ke langit mengagumi kebesaran alam. Karena sudah menjadi kebiasaannya, maka dia banyak mengenal bintang-bintang di langit. Dari kakek buyutnya, dia banyak mendengar keterangan tentang perbintangan sehingga niatnya untuk mempelajari menjadi semakin besar.

Setelah kini dia menjadi calon hwesio di kuil Siauw-lim-si dan memperdalam ilmu membaca kitab agama, dia menemukan kitab tentang perbintangan di perpustakaan. Dibacanya kitab itu dan kini dia dapat menikmati bintang-bintang di langit lebih tertarik karena dia sudah mulai mengenal peredaran dan pergerakan bintang-bintang itu.






Tiba-tiba Han Siong terkejut dan cepat dia menyelinap di belakang batang pohon di sebelah kirinya untuk bersembunyi. Dia melihat berkelebatnya orang yang meloncat turun dari luar pagar tembok kebun! Lalu ada bayangan ke dua yang juga berkelebat cepat sekali. Dua bayangan itu bagaikan terbang saja lalu berlari menuju kedua pondok belakang di sudut kanan kiri kebun dan lenyap disitu.

Han Siong merasa jantungnya berdebar. Demikian cepatnya gerakan dua orang itu sehingga dia tidak mampu melihat muka mereka dengan jelas. Selagi dia menduga-duga, tiba-tiba berkelebat bayangan ke tiga dari luar. Bayangan ini berbeda dengan dua bayangan terdahulu karena bayangan ini begitu meloncat turun, lalu celingukan seperti orang menyelidik.

Ketika orang itu agak berdongak, mukanya tertimpa sinar bintang dan terkejutlah Han Siong ketika dia mengenal muka itu sebagai muka seorang hwesio tua yang bekerja sebagai tukang sapu di dalam kuil, seorang hwesio tua yang tuli dan gagu. Dia ditemukan kelaparan dan hampir mati di pekarangan depan kuil, maka oleh Ceng Hok Hwesio lalu ditolong, dirawat dan diberi pekerjaan sebagai tukang sapu disitu.

Setelah celingukan dan sepasang matanya seperti mencorong ditujukan ke arah kedua pondok dimana dua bayangan pertama tadi menghilang, hwesio tua ini pun meloncat dan menghilang di bagian belakang bangunan dimana terdapat kamar hwesio tua tuli gagu itu.

Han Siong mengerutkan alisnya, berpikir dengan hati tegang. Biarpun tidak jelas, dia dapat menduga bahwa dua bayangan pertama tadi tentulah dua orang terhukum itu. Hal ini saja sudah amat aneh. Akan tetapi lebih aneh lagi adalah hwesio tua tuli dan gagu itu. Jelaslah bahwa melihat gerakannya, hwesio tua ini lihai bukan main.

Sudah lama dia mempunyai perasaan curiga terhadap hwesio gagu ini. Seringkali dia melihat betapa kalau dia sedang tidak diperhatikan orang, hwesio tua itu mempunyai sinar mata yang mencorong dan berkilat, penuh kekerasan. Akan tetapi di depan para hwesio, sinar matanya dapat berubah menjadi demikian lembut dan mendatangkan rasa iba.

Selain ini, yang membuat Han Siong semakin curiga adalah ketika beberapa kali, dalam perjalanannya keliling kalau sedang bergadang, dia lewat di depan kamar hwesio tua ini dan mendengar suara hwesio tua ini mengigau! Hal ini tentu saja amat mengejutkan hatinya karena mana mungkin seorang gagu dapat mengigau dan bicara, walaupun dalam tidur! Dia semakin curiga akan tetapi masih menyembunyikan hal itu sebagai rahasianya sendiri.

Dan malam ini, secara kebetulan dia memergoki hwesio tua itu yang agaknya tadi membayangi dua orang hukuman yang berkeliaran keluar dari kuil, dan mendapat kenyataan bahwa hwesio tua gagu ini adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.

Pada keesokan harinya, Han Siong masih menyembunyikan rahasia yang dilihatnya itu. Jantungnya kadang-kadang berdebar tegang dan bagi pemuda remaja seperti dia, mengetahui sebuah rahasia untuk dirinya sendiri seolah-olah menggenggam sebutir mutiara yang belum diketahui orang lain. Menimbulkan ketegangan yang menggembirakan sekali!

Selagi Han Siong pada pagi hari itu menyapu lantai pekarangan dengan sinar mata berseri karena kegembiraan menyimpan rahasia semalam, tiba-tiba terdengar suara Ceng Hok Hwesio memanggilnya dari ruangan depan.

"Han Siong... ke sinilah sebentar!"

Han Siong menyandarkan sapunya pada dinding lalu memasuki ruangan depan itu. Dia melihat suhunya duduk bersila di atas lantai bertilamkan kasur kecil dan hwesio tua itu memandang kepadanya dengan sinar mata tajam penuh selidik. Hal ini mengherankan hati Han Siong karena belum pernah gurunya bersikap seperti itu. Dia lalu menjatuhkan diri berlutut dan menghadap gurunya.

"Suhu memanggil teecu hendak memerintah apakah?" tanyanya dengan sikap sopan.

Ceng Hok Hwesio tidak segera menjawab, melainkan mengamati anak itu dengan penuh perhatian.

"Han Siong, tahukah engkau siapa yang berada di lalam dua buah kamar di sudut belakang dekat kebun itu?" tiba-tiba dia bertanya dan pandang matanya amat tajam menatap wajah anak itu.

Han Siong sampai terkejut melihat sinar mata gurunya itu dan dia menjadi semakin heran.

"Suhu maksudkan, dua kamar yang bernama Kamar Renungan dosa itu?"

"Benar! Bukankah setiap hari engkau menyapu lantai depan dua kamar itu? Tahukah engkau siapa yang berada disana?"

Dengan pandang mata yang polos Han Siong menjawab sejujurnya.
"Teecu pernah mendengar penuturan beberapa orang suheng bahwa di kamar sebelah barat terdapat seorang hwesio tua yang bertapa dan menjalani hukuman, sedangkan di kamar sebelah timur terdapat seorang nikouw tua. Hanya itulah yang pernah teecu dengar dari pembicaraan para Suheng."

"Hemm, apa yang engkau dengar itu memang benar. Pernahkah engkau bertemu atau melihat mereka atau seorang diantara mereka berdua itu?" Kembali sepasang mata Ceng Hok Hwesio menatap tajam penuh selidik.

Han Siong sejenak tertegun. Semalam dia melihat dua bayangan orang yang lenyap di dalam kedua kamar itu, akan tetapi dia tidak melihat wajah kedua orang itu dan diapun tidak berani merasa yakin bahwa dua bayangan orang itu adalah Si Hwesio dan Si Nikouw yang dibicarakan. Maka ia lalu menggeleng kepala.

"Teecu belum pernah bertemu dengan mereka, Suhu."

"Dan tidak pernah bicara atau mendengar suara mereka? Ingat, engkau tidak boleh membohong."

"Suhu, bagaimana teecu berani membohong kepada Suhu atau kepada siapapun juga? Teecu tahu bahwa membohong adalah sebuah dosa. Tidak, Suhu, teecu tidak membohong kepada Suhu."

"Baiklah, pinceng percaya kepadamu. Akan tetapi sekarang engkau pergilah kepada kedua orang itu, ketuk pintu kamar mereka dan sampaikan bahwa pinceng memanggil mereka agar sekarang juga menghadap kesini."

Han Siong terkejut dan juga hatinya merasa tegang. Tentu saja dia merasa gembira bahwa dia yang diserahi tugas ini karena memang sudah lama ingin sekali melihat kedua orang hukuman itu.

Diam-diam dia merasa kasihan sekali karena menurut percakapan para hwesio kecil di kuil itu, kedua orang hukuman itu kabarnya sudah menjalani hukuman selama sepuluh tahun lebih dan masih harus meringkuk disitu selama sepuluh tahun lagi karena mereka masing-masing dihukum dua puluh tahun! Tak seorang pun hwesio kecil disitu tahu apa yang menjadi kesalahan kedua orang itu maka dihukum selama dua puluh tahun.

"Ba... baik, Suhu….." katanya agak gagap saking tegang hatinya dan cepat dia lalu bangkit dan berlari menuju kebelakang.

Pertama-tama Han Siong menuju ke rumah pondok satu kamar yang menjadi kamar hukuman dengan nama Kamar Renungan Dosa itu, yang sebelah barat. Jantungnya berdebar penuh ketegangan, karena bukankah selama bertahun-tahun dia menganggap kamar ini penuh rahasia, merupakan tempat larangan untuk dikunjungi? Dia hanya boleh menyapu lantai pekarangannya saja, sama sekali tidak boleh mendekati pintu, apalagi menyentuhnya. Dan kini dia harus mengetuk pintu itu, dan bicara dengan penghuninya yang selama ini menjadi tokoh penuh rahasia.

“Tok-tok-tok!"

Tiga kali Han Siong mengetuk daun pintu yang ternyata terbuat dari papan yang tebal itu. Dia menanti sambil memasang telinga mendengarkan suara yang keluar dari dalam. Namun tidak ada jawaban.

"Heiii, Sute, apa yang kau lakukan itu?"

Tiba-tiba terdengar bentakan seorang hwesio muda karena dia terkejut bukan main melihat betapa hwesio kecil itu berani mengetuk daun pintu kamar larangan itu!

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar