*

*

Ads

Selasa, 10 April 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 018

“Han Siong…..!”

Suara ini demikian dekat terdengar olehnya, seperti diserukan orang didekat telinganya saja, mengejutkan Han Siong yang sore hari itu duduk mengaso dibawah pohon di kebun setelah selesai bekerja. Dia menoleh ke kanan kiri akan tetapi tidak melihat seorangpun manusia.

"Han Siong kesinilah engkau!" kembali terdengar suara itu dan Han Siong segera mengenal suara lembut itu.

Suara pria yang berada dalam kamar tahanan di pondok sebelah barat! Maka bergegas dia lalu bangkit dan melangkah cepat menuju ke Kamar Renungan Dosa sebelah barat. Dia menghampiri pintu dan tiba-tiba terdengar suara yang jelas sekali, keluar dari kamar itu.

"Han Siong, kau pergilah menghadap Gurumu dan katakan kepadanya bahwa hwesio gagu tukang sapu itu adalah seorang tokoh sesat bernama Lam-hai Giam-lo, murid mendiang Lam-kwi-ong seorang diantara Empat Setan. Kedatangannya kesini, menyamar sebagai seorang hwesio gagu, tentu mengandung maksud yang tidak baik!"

Han Siong merasa terkejut sekali. Sudah diduganya bahwa kakek gagu itu tentu seorang yang memiliki niat jahat. Akan tetapi tak disangkanya bahwa kakek itu adalah seorang yang memiliki julukan demikian mengerikan. Lam-hai Giam-lo (Malaikat Pencabut Nyawa Laut Selatan)!

"Baik..., baik, Paman….!" katanya dan dia pun berlari-lari mencari suhunya.

Pada saat itu, Ceng Hok Hwesio sedang duduk didalam ruangan samadhi, akan tetapi dia tidak sedang bersamadhi karena sudah selesai membaca kitab suci. Melihat munculnya Han Siong diambang pintu, dia lalu menggapai. Han Siong memasuki ruangan dan menjatuhkan diri berlutut.

"Harap Suhu sudi memaafkan kalau teecu datang mengganggu."

Ketua kuil itu tersenyum. Dia seorang yang berwatak keras dan memegang teguh disiplin dan peraturan kuil, akan tetapi setiap kali habis berliam-keng dan bersamadhi, kekerasan itu seperti luntur dan dia lebih ramah.

"Tidak mengapa Han Siong. Pinceng sudah selesai bersamadhi. Ada keperluan apakah engkau agaknya mencari pinceng?"

"Benar, Suhu. Tadi... paman yang berada di Kamar Renungan Dosa di sebelah barat memanggil teecu dan minta agar teecu menyampaikan pesanan penting kepada Suhu."

Hwesio tua itu mengerutkan alisnya dan mulailah nampak kekerasan hatinya. Agaknya dia tidak suka mendengar ini.

"Han Siong, engkau tentu sudah tahu apa artinya Kamar Renungan Dosa itu. Orang yang dihukum didalam kamar itu harus merenungkan dosa-dosa yang telah diperbuatnya."

Ingin Han Siong bertanya dosa apa gerangan yang telah dilakukan oleh pria dan wanita itu. Akan tetapi dia tahu akan kegalakan suhunya, maka dia menahan keinginannya dan mengangguk.

"Teecu mengerti, Suhu."

"Nah, karena itu, jangan engkau terlalu berdekatan dengan mereka yang sedang menjalani hukuman didalam Kamar Renungan Dosa karena dosa itu menular seperti sebuah penyakit, muridku."

"Baik, Suhu."

"Nah, sekarang pesan penting apakah yang harus kau sampaikan kepada pinceng?"

"Begini, Suhu….."

Han Siong memandang ke kanan kiri, takut kalau-kalau kakek tukang sapu itu berada didekat situ. Mendengar bahwa kakek itu seorang penjahat besar, seorang tokoh sesat, dia sudah merasa ngeri.

"Paman disana itu mengatakan bahwa hwesio tua tukang sapu yang gagu itu sebenarnya adalah seorang tokoh sesat yang amat jahat berjuluk Lam-hai Giam-lo, murid dari mendiang Lam-kwi-ong seorang diantara Empat Setan "






"Plakk!" Ketua kuil Slauw-lim-si itu menepuk pahanya sendiri dengan tidak sabar. "Jangan bicara sembarangan!"

"Teecu hanya menyampaikan pesan paman itu….”

"Dia bohong! Mana pinceng bisa percaya omongan seorang yang berdosa? Sudah setengah tahun dia disini dan dia benar-benar seorang tua yang patut dikasihani, mengapa difitnah demikian kejam?"

"Akan tetapi, Suhu, teecu percaya akan keterangan Paman di Kamar Perenungan Dosa itu."

Ceng Hok Hwesio membelalakkan kedua matanya yang lebar, menatap Han Siong dan alisnya berkerut.

"Han Siong, bagaimana engkau bisa mempercaya keterangan seorang yang berdosa? Engkau ikut berdosa kalau menjatuhkan fitnah kepada orang lain!"

“Teecu tidak mengucapkan fitnah, Suhu, akan tetapi memang keadaan kakek itu amat mencurigakan. Beberapa kali di waktu malam, teecu lewat di depan kamarnya dan mendengar dia ngelindur dan mengigau. Suhu, seorang gagu mana dapat bicara walaupun hanya dalam ngelindur?"

Ceng Hok Hwesio nampak terkejut.
"Benarkah apa yang kau katakan itu?"

"Demi nama Sang Buddha, teecu tidak berbohong, Suhu."

"Omitohud, jangan membawa-bawa nama Sang Buddha dalam hal ini. Akan tetapi pinceng masih belum yakin benar."

Dia lalu bertepuk tangan beberapa kali dan muncullah lima orang hwesio yang menjadi murid-murid kepala didalam kuil itu. Mereka datang dan memandang kepada guru mereka dan Han Siong dengan heran.

"Panggil hwesio tua yang tuli gagu kesini!" perintah Ceng Hok Hwesio. "Dan kalian berlima berdiam disini pula menjadi saksi."

Lima orang murid itu duduk bersila dan seorang diantara mereka memanggil tukang sapu tua yang gagu tuli itu. Tak lama kemudian, seorang kakek hwesio yang wajahnya menyeramkan, mirip seekor kuda, dengan mata sipit dan telinga lebar, masuk bersama hwesio murid kepala itu dengan terpincang-pincang.

Memang jelas hwesio tua ini tidak kelihatan sebagai seorang jahat, apalagi yang berkepandaian tinggi. Dia lebih pantas menjadi seorang hwesio cacat yang lemah dan patut dikasihani.

Hwesio tua itu lalu memberi hormat dan duduk bersila pula, memandang kepada ketua kuil dengan sikap bodoh. Lima orang murid kepalapun memandang guru mereka, karena mereka belum tahu apa maksud guru mereka memanggil mereka dan memanggil pula hwesio gagu itu.

"Pinceng mendengar bahwa engkau Hwesio (Gagu) ini dapat bicara, oleh karena itu pinceng ingin menguji apakah berita itu benar ataukah tidak."

Kata Ceng Hok Hwesio dan mendengar ucapan ini, lima orang murid itu terkejut dan memandang kepada Si Gagu yang kelihatan tenang-tenang saja karena agaknya dia tidak mendengar dan tidak mengerti apa yang dibicarakan.

Akan tetapi di dalam hatinya, Han Siong merasa menyesal. Dia menganggap bahwa keterus-terangan suhunya itu merupakan kebodohan. Kalau betul persangkaannya bahwa Si Gagu ini tidak gagu dan betul pula keterangan orang hukuman itu bahwa kakek yang pura-pura gagu ini seorang tokoh sesat yang lihai, bukankah ucapan suhunya itu sama saja dengan membuka rahasia sehingga kakek itu dapat menjadi berhati-hati dan dapat menjaga diri sebelumnya?

Ceng Hok Hwesio lalu menggapai dan memberi isyarat agar Si Gagu mendekat. Si Gagu menggeser duduknya, menghadap semakin dekat derigan pandang mata bodoh. Lalu Ceng Hok Hwesio menggunakan bahasa isyarat dengan tangan, bertanya apakah Si Gagu dapat bicara.

Hwesio tua yang gagu ini menggeleng kepala keras-keras, mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh, memberi isyarat dengan tangan bahwa. mulutnya tidak dapat bicara dan telinganya tidak dapat mendengar.

Sampai beberapa kali Ceng Hok Hwesio mendesaknya, dibantu oleh lima orang muridnya, namun tukang sapu gagu itu tetap menggelengkan kepala keras-keras, menyangkal bahwa dia dapat bicara atau mendengar.

"Omitohud.…..semoga Sang Buddha memaafkan pinceng kalau memang dia ini benar-benar gagu dan tuli. Memang sukar membuktikan bahwa dia ini benar gagu atau tidak. Akan tetapi pinceng ada akal untuk membuktikan apakah dia benar-benar tuli ataukah tidak. Kalian berlima harus menutup telinga dengan rapat dan mengerahkan sinkang melindungi pendengaran kalian. Dan engkau, Han Siong, keluarlah dan pergi jauh dari ruangan ini, dan kalau masih ada suara getaran menyerangmu, cepat tutup kedua telingamu dengan tangan. Beritahu kepada para Suhengmu agar melakukan hal yang sama."

Lima orang murid kepala itu mengerti apa yang akan dilakukan oleh Ceng Hok Hwesio, maka mereka pun cepat menggunakan kedua telapak tangan menutupi telinga, dan mengerahkan tenaga sinkang mereka. Sementara itu, Han Siong juga sudah pergi keluar.

Ceng Hok Hwesio lalu mengerahkan sinkang dan tak lama kemudian keluarlah suara melengking tinggi dari dalam dada kakek ketua kuil Siauw-lim-si ini. Suara itu makin lama semakin tinggi, menggetarkan dan lima orang murid kepala yang sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi itu pun terpaksa harus memejamkan mata dan mengerahkan sinkang sekuatnya untuk melindungi telinga dan jantung mereka.

Han Siong yang sudah berada di kebun, biarpun sudah menutupi kedua telinga dengan tangan, masih merasakan getaran hebat.

Akan tetapi, kakek gagu tuli itu hanya duduk bersila diam saja, menundukkan muka dan sama sekali tidak terpengaruh oleh suara yang mengandung tenaga khikang amat kuatnya itu! Dari sikap ini saja tahulah ketua kuil itu bahwa kakek tukang sapu yang berada di depannya memang benar-benar tuli! Hanya orang tuli yang akan mampu duduk diam tak terpengaruh sama sekali oleh lengkingannya. Maka dia pun menghentikan ujian itu dan lima orang murid kepala kini baru berani membuka mata.

"Ternyata Aekau Hwesio ini benar gagu dan tuli. Apa yang pinceng dengar hanyalah berita bohong belaka. Sudahlah, ajak dia keluar lagi agar dia bekerja seperti biasa, akan tetapi amat-amati gerak-geriknya." pesannya kepada para murid. Mereka semua keluar dan memberi isyarat kepada hwesio gagu itu untuk keluar pula.

Setelah hwesio gagu itu keluar. Ceng Hok Hwesio lalu memanggil Han Siong lagi ke dalam ruangan itu.

"Han Siong, mulai sekarang engkau tidak perlu mendengarkan fitnah yang diucapkan oleh dua orang hukuman itu. Kau melihat sendiri, hwesio tukang sapu itu memang tuli dan gagu, pinceng yakin akan hal ini, karena kalau tidak tuli, tentu dia tadi sudah roboh pingsan. Nah, sekarang terbukti bahwa dua orang hukuman itu sama sekali tidak boleh dipercaya. Dasar orang-orang berdosa, mana mungkin ucapan mereka dapat dipercaya?"

Han Siong diam saja, hanya menundukkan mukanya dan tidak menjawab, melainkan mengangguk-angguk saja."

Kemudian dia pun keluar dan melanjutkan pekerjaannya. Hatinya merasa penasaran sekali. Benarkah dua orang itu membohong? Akan tetapi, melihat wajah mereka yang menimbulkan rasa suka dan iba didalam hatinya, Han Siong tidak percaya bahwa mereka itu tukang fitnah dan pembohong yang jahat.

Sebaliknya, tentu kakek gagu itu yang pandai membohong dan bersandiwara. Dan, melihat betapa gerakannya amat cepat ketika malam itu dia melihatnya membayangi dua orang yang berkelebat lenyap di dalam pondok hukuman, bukan tidak mungkin Si Gagu yang palsu itu mampu pula bertahan terhadap ujian suara melengking ketua kuil.

Karena merasa penasaran sekali Han Siong malam itu tidak tidur melainkan keluar dari tempat tidur dan kamarnya, dan bersembunyi tak jauh dari kamar hwesio gagu yang berada di samping kanan bangunan, di kamar yang sunyi menyendiri karena dia belum diterima sebagai anggauta kuil, melainkan seorang pembantu.

Baru setelah lewat tengah malam, kesabaran Han Siong mendapatkan hasil. Dia mula-mula mendengar suara mendengkur dari dalam kamar itu. Tahu bahwa penghuninya sudah tidur nyenyak, diam-diam dia lalu menyelinap dan berindap-indap mendekati kamar itu. Tak lama kemudian barulah dia mendengar suara orang mengigau, suaranya parau, pecah seperti ringkik kuda! Akan tetapi jelas bahwa igauan itu mengandung kata-kata.

Han Siong cepat meninggalkan tempat itu dan berlari menuju ke kamar suhunya. Hatinya lega melihat hwesio itu masih belum tidur, masih duduk bersila sambil membaca kitab agama.

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar