*

*

Ads

Selasa, 10 April 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 019

"Suhu..., Suhu !" katanya dengan napas agak memburu dan suara berbisik.

Ceng Hok Hwesio mengerutkan alisnya, merasa terganggu dengan kemunculan Han Siong.

“Ada apa lagi engkau sekali ini?" tanyanya tidak sabar.

"Suhu... Si Gagu itu mengigau lagi..."

"Han Siong! Jangan bicara sembarangan saja!"

"Tidak, Suhu. Teecu tidak berbohong, silakan Suhu membuktikannya sendiri."

Ceng Hok Hwesio memandang wajah anak itu dengan tajam penuh selidik. Wajah anak itu serius dan tegang. Hatinya tertarik dan dia menarik napas panjang.

"Omitohud... engkau ini mengada-ada saja. Han Siong, mengganggu ketenteraman pinceng…."

Akan tetapi karena hatinya tertarik, dia pun turun dari tempat dia bersila bergegas mengikuti Han Siong menuju ke bagian belakang.

Setelah mereka tiba di luar kamar kakek gagu, benar saja dalam kamar itu terdengar suara bergumam orang ngelindur! Ceng Hok Hwesio merasa penasaran sekali dan dia menempelkan telinganya pada daun jendela. Terdengar suara parau, pecah dan serak yang menginggatkan orang akan ringkik kuda! Dan memang benar suara itu merupakan igauan yang mengandung kata-kata!

"….kalau tidak diberikan kepadaku kubunuh kalian…."

Ceng Hok Hwesio terkejut sekali mendengar suara yang mengerikan itu. Dan kini mau tidak mau dia harus percaya karena telinganya sudah mendengar sendiri ucapan itu. Jelaslah bahwa Si Gagu itu sebenarnya dapat bicara!

Hati Ceng Hok Hwesio yang memang keras sekali itu menjadi marah. Dia telah ditipu dan dikelabuhi oleh hwesio tukang sapu itu. Kalau begini, jelaslah bahwa dulu dia hanya pura-pura saja sakit dan kelaparan, agar memperoleh kesempatan masuk ke kuil tanpa dicurigai. Akan tetapi mengapa hal itu dilakukannya? Apa pun niatnya, tentu niat itu tidak baik dan jahat sekali.

"Manusia palsu, penipu yang jahat!" Dia membentak dan kedua tangannya mendorong ke arah daun pintu kamar itu.

"Braaakkk….!" Daun pintu itu pecah dan jebol

CENG HOK HWESIO meloncat kedalam. Kaget oleh suara itu, hwesio tua tukang sapu sudah terbangun dan kini nampak dia duduk di atas pembaringannya, matanya yang sipit memandang dengan marah dan nampak mencorong dibawah sinar lampu gantung yang menyorot masuk dari pintu yang tak berdaun lagi itu.

Ceng Hok Hwesio semakin terkejut melihat sinar mata itu, sungguh jauh bedanya dengan sinar mata yang biasa dilihatnya pada sepasang mata sipit itu.

"Penipu jahat! Berlutut dan menyerahlah!" kata Ceng Hok Hwesio dengan suara keren berwibawa.

Akan tetapi, orang yang dibentak itu tiba-tiba tertawa dan Han Siong yang berada di luar bergidik mendengar suara ketawa yang tidak patut menjadi suara manusia itu.

"Ha-ha-ha, Ceng Hok Hwesio, engkau jangan berlagak di depanku!"

Ketua kuil itu sampai terbelalak saking kaget dan herannya. Kini sikap orang bermuka kuda itu benar-benar berubah sama sekali. Biasanya, sebagai seorang gagu dia selalu tunduk dan taat, akan tetapi sekarang, begitu bicara berani bersikap demikian angkuhnya sehingga memandang rendah kepadanya!

"Siapakah engkau!" bentak Ceng Hok Hwesio, kemudian laporan yang disampaikan oleh Han Siong beberapa hari yang lalu teringat olehnya. "Benarkah engkau berjuluk Lam-hai Giam-lo, murid mendiang Lam-kwi-ong?"

Kembali kakek itu tertawa dan kamar itu seakan-akan hendak runtuh oleh getaran suara ketawanya,






"Hah-hah-hah, Ceng Hok Hwesio! Kalau sudah tahu, kenapa engkau tidak lekas berlutut di depan kakiku?"

Dapat dibayangkan betapa marahnya Ceng Hok Hwesio mendengar kata-kata yang amat menghinanya itu.

"Omitohud, manusia jahat seperti engkau patut dihajar!"

Dan dia pun menerjang ke depan, menggerakkan kedua tangannya yang membentuk cakar harimau menyerang kakek yang duduk di atas pembaringan itu. Akan tetapi, tiba-tiba bayangan kakek itu berkelebat dan terdengar bunyi kain robek dan kapuk berhamburan ketika kedua cakar tangan Ceng Hok Hwesio mengenai kasur yang tadi diduduki kakek muka kuda itu!

Mendengar suara ketawa di belakangnya, Ceng Hok Hwesio memutar tubuh sambil menyerang lagi, sekali ini serangannya lebih hebat. Ketua kuil ini memang seorang ahli gwakang (tenaga luar) yang selain memiliki tenaga kuat, juga menguasai ilmu-ilmu silat yang sifatnya keras dari Siauw-lim-pai.

Membalik sambil menggunakan kedua tangan untuk menyerang dengan bentuk cakar ini luar biasa kuatnya dan kalau mengenai tubuh lawan, tentu kulit dan daging akan terkoyak oleh jari-jari tangan yang seperti berubah menjadi kaitan baja itu, tulang pun akan remuk.

Akan tetapi, sambil mengeluarkan suara seperti kuda meringkik, kakek gundul bermuka kuda itu sama sekali tidak kelihatan jerih, bahkan menggunakan lengan kirinya menangkis dari samping dengan memutar siku.

“Desss...!!"

Pertemuan antara kedua lengan Ceng Hok Hwesio yang ditangkis oleh lengan kiri kakek yang di kuil itu dikenal sebagai Aekau Hwesio itu hebat sekali karena begitu bertemu, tubuh Ceng Hok Hwesio terpental seperti terdorong oleh angin yang amat kuat! Padahal, gerakan kakek gagu itu nampak lambat dan tidak bertenaga.

"Aihhh!"

Ceng Hok Hwesio sudah berjungkir balik sehingga tubuhnya tidak sampai terbanting. Dia terkejut sekali dan maklum bahwa lawannya memiliki sinkang yang luar biasa kuatnya, maka dia bersikap hati-hati dan maju perlahan-lahan sambil memasang kuda-kuda yang kokoh kuat. Karena maklum bahwa dia berhadapan dengan lawan tangguh, Ceng Hok Hwesio lalu berkata dengan sikap keren.

"Lam-hai Giam-lo, selamanya pinceng dan Siauw-lim-pai tidak pernah ada urusan denganmu, maka apa maksudmu menyamar dan menyelundup ke kuil kami?"

"Ha-ha-ha, Ceng Hok Hwesio. Sudah setahun aku berada disini. Apa sebabnya aku berada disini adalah urusanku sendiri. Tidakkah selama ini aku bekerja baik-baik dan tidak pernah mengganggu Siauw-lim-pai? Jangan campuri urusanku dan aku pun tidak akan mengganggumu!"

"Omitohud, kuil kami bukanlah tempat persembunyian segala macam penjahat! Engkau pergilah dengan aman dari sini dan jangan kembali lagi!"

Kini nada suara kakek ketua kuil itu tidak tinggi hati seperti tadi, tidak minta agar Lam-hai Giam-lo berlutut dan menyerah, melainkan minta kepadanya agar pergi dengan aman!

"Ha-ha-ha, engkaulah yang harus pergi dari sini! Aku datang atau pergi sesuka hatiku."

"Keparat! Engkau memang jahat!"

Dan Ceng Hok Hwesio sudah rnenyerang lagi dengan lebih dahsyat karena merasa bahwa wewenang dan kekuasaannya dilanggar. Namun dengan mudah pukulan dengan tangan terbuka itu ditangkis oleh lawannya dan kembali dia terhuyung. Pada saat itu, lima orang murid kepala Siauw-lim-pai bersama belasan murid lain sudah tiba di tempat itu dan Lam-hai Giam-lo lalu dikepung.

"Dia ini Lam-hai Giam-lo, penjahat besar yang hendak mengacaukan kuil kita. Usir dia!" teriak Ceng Hok Hwesio yang dari dua gebrakan tadi saja sudah maklum bahwa lawannya ini lihai bukan main dan untuk mengusirnya dibutuhkan bantuan murid-muridnya.

Para hwesio itu tua muda lalu bergerak mengepung dengan sikap mengancam, walaupun dengan pandang mata penuh keheranan karena mereka sama sekali tidak mengira bahwa hampir tidak dapat percaya bahwa hwesio gagu tukang sapu tua ini sekarang disebut Lam-hai Giam-Io seorang penjahat besar!

“Ha-ha-ha-ha-hiyeeehh…..!"

Suara ketawa yang makin mirip dengan kuda itu terdengar berbareng dengan penyerbuan para hwesio Siauw-lim-si, disusul pekik kesakitan dan dua orang murid Siauw-lim-pai roboh ketika Lam-hai Giam-lo menggerakkan kedua tangannya.

Lengannya dipentang lebar dan tubuhnya seperti berputar. Dengan gerakan ini, dia sudah menangkis semua pukulan yang datang dari empat penjuru dan juga merobohkan dua orang pengeroyok dengan amat mudahnya

Melihat kehebatan kakek itu, diam-diam Han Siong yang menonton dari luar, menyelinap pergi. Tak lama kemudian dia sudah mengetuk daun pintu Kamar Renungan Dosa dimana ditahan laki-laki berlengan buntung itu.

"Paman….! Paman…..! Bukalah pintu!” teriaknya, lupa akan larangan ketua kuil bahwa dia tidak boleh berhubungan dengan orang hukuman itu.

"Anak baik, apakah yang terjadi?" Terdengar suara pria itu dan daun pintu pun terbuka.

"Paman... terjadi keributan. Kakek gagu palsu itu kini mengamuk, dikeroyok para Suheng dan Suhu, tapi... agaknya dia lihai sekali."

“Ahhh! Sudah kuduga akan begini jadinya!" laki-laki itu berkelebat dan Han Siong terbelalak karena orang itu tahu-tahu sudah lenyap dari depan matanya.

Dia menjadi bingung, tidak tahu kemana perginya pria itu, maka dia pun cepat lari ke Kamar Renungan Dosa yang kedua, dengan maksud mengabarkan kepada wanita cantik yang berada disana.

Akan tetapi, ketika dia tiba di depan kamar itu, daun pintu kamar itu sudah terbuka dan tiba-tiba berkelebat bayangan dua orang keluar dari kamar itu.

Demikian cepat gerakan mereka sehingga Han Siong hanya dapat melihat bentuk tubuh mereka saja dan dia pun mengenal bahwa mereka adalah pria lengan buntung dan wanita cantik yang sudah dikenalnya itu. Maka diapun cepat kembali ke tempat terjadinya pertempuran tadi.

Kiranya Ceng Hok Hwesio dan para muridnya kewalahan ketika mengeroyok Lam-hai Giam-lo. Kakek bermuka kuda ini mengamuk, semakin lama semakin beringas dan ganas sekali.

Melihat betapa para muridnya roboh berserakan, Ceng Hok Hwesio menjadi marah. Dia menyambar sebatang toya dan dengan senjata andalannya ini, yang diputarnya dengan amat cepat, dia pun menerjang Lam-hai Giam-lo sambil mengeluarkan bentakan nyaring.

Namun, lawannya terkekeh dan menyambut serangan ketua kuil itu dengan kedua tangan kosong saja. Dengan lengan tangannya, dia berani menangkis hantaman toya kuningan, bahkan membalas dengan tamparan ke arah kepala hwesio ketua kuil itu.

"Dukk! Wuuuttt...!"

Ceng Hok Hwesio terkejut sekali dan untung dia masih mampu mengelak dengan melompat ke belakang. Tangkisan pada toyanya tadi membuat kedua lengannya tergetar sehingga dia tidak mampu menggerakkan toyanya sebagai lanjutan serangannya, bahkan tidak sempat lagi menangkis ketika tangan yang menampar kepala itu datang menyambar.

Namun, kemarahan membuat ketua kuil itu tidak mengenal bahaya dan dia pun sudah menyerbu lagi, toyanya kini menusuk ke arah perut. Kembali yang diserang tertawa dan sekali ini sama sekali tidak mengelak, juga tidak menangkis, melainkan menerima toya yang menusuk itu begitu saja dengan perutnya.

“Cusss!"

Ujung toya kuningan itu seperti amblas ke dalam perut. Akan tetapi sebetulnya bukan menembus kulit daging, melainkan disedot oleh perut itu yang tiba-tiba saja mengempis.

Ketika Ketua Siauw-lim-pai itu terkejut karena mengira bahwa toyanya melukai perut dan mungkin membunuh, mendadak kedua tangan Lam-hai Giam-lo sudah bergerak, yang satu menotok pundak yang lain mencengkeram jubah pada tengkuk Ceng Hok Hwesio! Ketua kuil itu seketika lemas dan tengkuk jubahnya kena dicengkeram!

Melihat betapa guru mereka tertawan musuh, para murid Siauw-lim-pai terkejut dan marah. Mereka kini sudah memegang senjata di tangan dan siap untuk mengeroyok.

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar