*

*

Ads

Rabu, 11 April 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 021

Mendengar teriakan ini, berbareng dengan Ci Kang, Hui Cu meloncat mundur dan mereka berdua menyimpan tongkat, juga Hui Cu menyimpan sabuknya. Kemudian, mereka berdiri tegak dan merangkap kedua tangan di depan dada. Tentu saja Ci Kang hanya dapat memiringkan tangan kanan saja depan dada. Mereka mengambil sikap seperti menyembah, sikap yang biasa terdapat pada patung Dewi Kwan Im.

Lam-hai Giam-lo tertegun dan tadinya dia tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Ci Kang yang meneriakkan sebutan untuk Dewi Kwan Im tadi. Akan tetapi, melihat betapa keduanya memasang kuda-kuda seperti sikap Dewi Kwan Im itu, dia pun dapat menduganya dan wajahnya berubah cerah berseri.

"Ha-ha, akhirnya kalian terpaksa membuka rahasia! Jadi ilmu dari kitab kuno itu adalah ilmu dari Dewi Kwan Im? Perlihatkanlah, anak-anak, biar aku mengujinya!"

Akan tetapi, kedua orang itu tidak menyerang, sebaliknya malah berpencar, dengan menggeser kaki secara lembut dan halus sekali, seperti seorang puteri yang melangkahkan kaki, pendek-pendek dan lembut dan kini mereka berada di kanan kiri lawan.

Lam-hai Giam-lo menoleh ke kanan kiri dan tertawa, memandang rendah karena sejak tadi diapun sudah tahu bahwa betapapun lihainya dua orang pengeroyoknya, namun dia mampu menandingi mereka, bahkan yakin akan dapat mengalahkan mereka.

"Biarlah aku yang memaksa kalian bergerak!" teriaknya dan dia pun menerjang ke arah Hui Cu.

Seperti tadi, serangannya mengandung keceriwisan karena dia sengaja mencengkeram dengan kedua tangan, satu di dada dan satu ke bawah perut! Akan tetapi, dengan gerakan lembut sekali Hui Cu menggerakkan kakinya melangkah aneh sekali sambil memutar tubuhnya dan serangan itu pun luput!

Kakek muka kuda terkejut bukan main. Dia tadi merasa yakin bahwa serangannya akan berhasil karena gerakan wanita itu lembut dan lambat sekali. Siapa tahu, secara tiba-tiba saja serangannya seperti hanya menyerang bayangan dan mengenai udara kosong! Dia tidak dapat mengikuti bagaimana cara wanita itu mengelak, langkahnya demikian aneh, gerakannya pun lembut, namun nyatanya, cengkeraman kedua tangannya yang dahsyat itu luput!

Dan tiba-tiba saja, seperti orang melambaikan tangan Hui Cu sudah "mengusap" ke arah leher Lam-hai Giam-lo. Nampaknya memang hanya seperti orang melambaikan tangan dan mengusap mesra saja sehingga mengherankan Si Muka Kuda. Akan tetapi tiba-tiba dia merasa betapa ada hawa yang dingin sekali menyambar dengan kekuatan dahsyat ke arah lehernya, keluar dari jari-jari tangan yang mungil dan halus itu!

"Celaka!" teriaknya dan cepat Lam-hai Giam-lo melempar tubuh atas ke belakang sehingga leher itu luput dari totokan jari-jari yang amat lihai.

Dengan marah kakek ini lalu memutar lagi tubuhnya berpusingan cepat dan membalas serangan lawan, bahkan bukan hanya Hui Cu yang diserangnya, melainkan juga Ci Kang sekaligus.

"Jurus ke tiga dan ke sebelas!" tiba-tiba Ci Kang berseru dan Hui Cu secara otomatis bergerak memainkan jurus ke sebelas sedangkan Ci Kang sendiri memainkan jurus ke tiga dari ilmu silat mereka yang aneh itu.

Ci Kang merendahkan tubuhnya dan merangkap kedua tangan ke depan dada, lalu kedua tangan itu bergerak ke depan, kedua lengan dikembangkan dengan penyerangan dahsyat ke arah dada dan perut lawan, sedangkan Hui Cu tiba-tiba melayang ke atas dan turun sambil menotok dengan tangan kanan kiri bergantian dengan gerakan seperti orang memetik sesuatu.

Jurus ke tiga itu adalah jurus Kwan-im-khai-bun (Dewi Kwan Im Membuka Pintu) sedangkan jurus ke sebelas yang dimainkan Hui Cu adalah jurus Kwan Im Mencari Teratai.

Kelihatan kedua gerakan itu sederhana sekali, gerakannya lembut dan perlahan, seperti tidak mengandung tenaga. Akan tetapi dengan kaget Lam-hai Giam-lo merasa betapa angin dingin menyambar-nyambar dari empat buah lengan itu dan terdengar suara mendesis seperti benda tajam mengiris udara. Dia masih mengandalkan kecepatan tubuhnya yang berpusing itu dan kedua lengannya yang panjang membalas serangan sambil memutar tubuh lebih cepat.

Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika melihat betapa tangan dua orang pengeroyoknya mampu menembus gulungan sinar atau bayangannya dan tahu-tahu tangan Ci Kang sudah mengancam lambungnya dan tangan Hui Cu meluncur ke bawah dari atas, mengancam pelipis kepalanya!

“Aihhh….!"

Dia berteriak dan cepat melempar tubuh ke belakang lalu bergulingan di atas lantai. Akan tetapi, dengan langkah-langkah aneh kedua orang pengeroyoknya itu sudah mengejarnya dan bertubi-tubi empat buah lengan melakukan tamparan ke bawah.






Yang mengerikan adalah hawa dingin dari serangan mereka. Namun, kakek bermuka kuda itu memang lihai bukan main. Biarpun dia sedang bergulingan dan dihujani tamparan, sambil bergulingan itu dia masih mampu menggerakkan kedua tangan, bahkan kedua kakinya, untuk menangkis. Dia merasa betapa hawa dingin menyergap ke dada melalui tangannya yang menangkis, juga menyergap ke dalam perutnya melalui kaki yang menangkis.

Betapapun juga, tamparan-tamparan itu demikian aneh dan hebat sehingga masih ada sebuah tamparan dari Ci kang yang sempat mengenai pundaknya.

"plakk……”

Lam-hai Giam-lo mengeluarkan suara parau yang panjang dan dari mulutnya keluar darah segar. Teriakannya yang parau itu mengandung daya serangan yang ampuh karena dikeluarkan dengan pengerahan khikang.

Hui Cu dan Ci Kang terkejut, cepat melompat mundur dan melindungi dada dan telinga dengan pengerahan sinkang. Akan tetapi kesempatan itu dipergunakan oleh Lam-hai Giam-lo untuk melarikan diri. Dengan lompatan panjang dia menghilang ke luar dan ketika kedua orang lawannya mengejar, dia sudah lenyap ditelan kegelapan malam. Hui Cu tidak melanjutkan pengejaran, melainkan kembali ke ruangan itu, disambut oleh Ceng Hok Hwesio dan para penghuni kuil dengan pandang mata kagum.

"Wah, sungguh berbahaya sekali Lam-hai Giam-lo..." kata Ci Kang sambil menggeleng kepala dan menarik napas panjang.

Semenjak dia dahulu ikut mengeroyok Raja Iblis, baru sekarang dia bertemu dengan orang yang luar biasa lihainya. Andaikata dia dan Hui Cu tidak memiliki ilmu baru yang sedang mereka latih berdua, biarpun melakukan pengeroyokan, agaknya dia dan Hui Cu tidak akan dapat menandingi kakek muka kuda itu!

Ceng Hok Hwesio merangkapkan kedua tangan di depan dada. Hwesio ini masih belum pulih dari keadaan terheran-heran dan terkejut mendapat kenyataan bahwa dua orang hukuman itu ternyata memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat!

"Omitohud, kalian telah menolong kami, semoga amal perbuatan kalian itu diterima oleh Sang Buddha dan dapat meringankan dosa kalian. Sekarang harap kalian suka kembali kedalam Kamar Renungan Dosa diiringi ucapan terima kasih kami."

Ci Kang dan Hui Cu saling pandang, maklum bahwa ketua kuil itu masih tetap keras hati terhadap kesalahan mereka dan Ci Kang lalu menarik napas panjang, merangkap kedua tangan di depan dada dan berkata.

"Baiklah, Suhu, kami akan kembali ke kamar masing-masing."

Akan tetapi Hui Cu menghadap Ceng Hok Hwesio dan setelah memberi hormat wanita ini berkata,

"Suhu, kami mengulang permintaan kami beberapa hari yang lalu, yaitu agar kami diperbolehkan mengambil Han Siong menjadi murid kami."

Mendengar ini, Han Siong terkejut sekali dan juga merasa girang bukan main. Wajahnya berseri-seri dan dia memandang kepada dua orang itu dengan sinar mata penuh kegirangan. Akan tetapi, seri wajahnya melayu dan lenyap ketika dia mendengar ucapan Ceng Hok Hwesio yang keren dan penuh wibawa.

"Sayang, hal itu tidak mungkin dapat dilakukan. Kalian adalah orang-orang hukuman yang tidak dapat menjadi hwesio dan nikouw lagi, sedangkan Han Siong adalah seorang calon pendeta, seorang hwesio yang hidupnya bersih. Mana mungkin dapat menjadi murid kalian? Dia hanya boleh mempelajari ilmu silat Siauw-Iim-pai dari para hwesio yang suci."

Selama hampir lima tahun Han Siong mempelajari kitab-kitab suci agama dan filsafat, dan karena dia memang mempunyai kecerdikan yang lebih daripada kecerdikan anak-anak seusianya, maka ucapan suhunya itu membuat dia mengerutkan alisnya.

Dari sikap dan kata-kata ketua kuil itu, jelaslah bahwa ketua kuil itu merendahkan dua orang hukuman itu, menekankan bahwa mereka berdua adalah orang-orang berdosa yang kotor, sebaliknya para hwesio adalah orang-orang yang bersih dan suci! Hal ini sama sekali tidak cocok dengan isi pelajaran agama dan filsafat. Bukankah anggapan bahwa diri sendiri bersih merupakan suatu anggapan yang kotor? Disitu tersembunyi suatu kesombongan dan ketinggian hati yang sama sekali berlawanan dengan pelajaran agama!

Memang demikianlah kenyataannya dalam diri kita manusia di dunia ini. Kita yang beragama selalu kejangkitan penyakit yang sama, yaitu menganggap diri sendiri bersih dan baik, menganggap diri sendiri sebagai kekasih-kekasih Tuhan akan tetapi memandang orang atau golongan lain seperti melihat orang-orang yang kotor penuh dosa dan dikutuk atau dimusuhi Tuhan!

Betapa kotornya pandangan seperti ini dan jelas bukan pandangan yang bersih. Kekuasaan Tuhan yang nampak di dunia ini sama sekali tidak pernah membeda-bedakan antara manusia, dari bangsa atau golongan atau agama apapun juga! Kasih Tuhan nampak di mana-mana, merata dan sudah tersedia bagi manusia yang tinggal menikmatinya saja asal kita mau menyadari akan hal itu.

Lihatlah sinar matahari yang hangat, menghidupkan, nyaman dan menjadi sumber kehidupan segala sesuatu yang nampak di permukaan bumi. Bukankah sinar matahari itu satu diantara kekuasaan dan kasih sayang Tuhan? Dan apakah sinar matahari itu, seperti anugerah-anugerah yang lain, membeda-bedakan? Sama sekali tidak. Baik seseorang itu pendeta yang katanya suci, maupun dia seorang yang dianggap paling jahat, akan menerima sinar matahari yang sama.

Hanya bedanya, orang yang mau membuka matanya dan sadar akan semua yang berada di luar dirinya, akan dapat menikmati sepenuhnya kalau matahari pagi yang hangat dan sehat memancarkan cahayanya, dan akan berteduh dengan penuh pengertian kalau matahari menyengat terlampau keras.

Sebaliknya, orang yang pikirannya selalu keruh dan sibuk, akan lengah dan tidak mampu menikmati keindahan dan kegunaan matahari pagi, kemudian akan mengeluh dan mengomel kalau matahari terlalu terik.

Jelaslah, bagi kekuasaan Tuhan, bagi alam, tidak ada bedanya diantara manusia karena disitu tidak terdapat penilaian. Hanya penilaian yang menimbulkan pembedaan, karena penilaian ini didasari oleh aku yang merasakan diuntungkan atau dirugikan. Kalau diuntungkan, maka penilaian tentu saja condong ke arah baik sedangkan kalau dirugikan, dinilai buruk. Jelas bahwa penilaian bersumber kepada keakuan yang selalu mengejar kesenangan

"Suhu! Paman dan Bibi ini dengan gagah berani telah mengusir kakek jahat itu. Tanpa adanya bantuan mereka berdua, mungkin kita semua akan habis binasa dibunuh Lam-hai Giam-lo dan kuil kita. dibakar! Tidak sepatutnya kalau mereka dihukum!"

Mendengar ucapan lantang dari Han Siong ini, Ceng Hok Hwesio mengerutkan alisnya. Apalagi ketika dia melihat betapa para hwesio lain nampaknya setuju dengan pendapat Han Siong karena banyak diantara mereka yang mengangguk.

"Hemm, Han Siong. Engkau anak kecil tahu apa? Mereka telah melakukan dosa besar, dan setiap pelanggaran dan dosa harus dihukum menurut peraturan kuil.” Demikian ketua kuil itu berkata dengan keren.

"Akan tetapi, Suhu, teecu ingin sekali menjadi murid mereka!" kembali Han Siong berseru dengan suara lantang. "Dan teecu kira Suhu tidak berhak untuk melarang teecu menjadi murid mereka."

"Omitohud, bicaramu lancang sekali, Han Siong. Ketika Kakek Buyutmu, Susiok Pek Khun, menyerahkan engkau kepada pinceng, dia menghendaki agar engkau menjadi murid disini. Dan setelah engkau menjadi seorang calon hwesio berarti engkau menjadi murid Siauw-lim-pai dan pinceng tentu saja berhak melarang semua murid Siauw-lim-pai untuk berguru kepada orang lain!" .

"Teecu ingin sekali menjadi murid mereka, dan biarlah teecu tidak dianggap murid Siauw-lim-pai asal teecu diperbolehkan menjadi murid mereka!"

Ucapan Han Siong ini mengejutkan semua orang. Betapa beraninya anak itu! Akan tetapi, Ceng Hok Hwesio mengerutkan alisnya dan memandang kepada Han Siong penuh perhatian, kemudian memandang kepada dua orang hukuman yang masih belum pergi meninggalkan ruangan itu.

"Pinceng tidak akan merobah aturan. Kalau engkau menjadi hwesio di kuil kami, tentu saja engkau tidak boleh berguru kepada siapapun juga kecuali kepada pinceng. Akan tetapi kalau engkau mau menanggalkan jubah hwesio, memelihara rambut dan tidak menjadi murid Siauw-lim-pai lagi, tentu saja engkau boleh berguru kepada mereka."

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar