*

*

Ads

Kamis, 12 April 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 028

Kita tinggalkan dulu Hay Hay yang mulai berguru kepada Ciu-sian Sin-kai dan mengikuti gurunya itu pergi ke Pulau Hiu dan marilah kita mengikuti keadaan Lam-hai Giam-lo, kakek muka kuda yang penuh rahasia itu.

Mengapa kakek yang memiliki kepandaian amat tinggi itu sampai rela merendahkan diri, menjadi tukang kebun dan bahkan pura-pura gagu tuli di kuil Siauw-lim-si yang sunyi itu? Dia menyamar sebagai seorang hwesio tuli gagu, seolah-olah dia hendak menyembunyikan diri karena ketakutan.

Memang kakek iblis ini dilanda ketakutan! Ada dua orang musuh besar yang selalu mengejarnya dan biarpun dia amat lihai, namun dalam beberapa kali perkelahian melawan mereka, dia selalu kalah dan nyaris tewas. Akhirnya, karena terus dikejar-kejar, dalam keadaan terluka dalam dia melarikan diri dan menggunduli rambut, menyamar sebagai hwesio dan dengan bermain sandiwara sebagai seorang hwesio terlantar kelaparan, dia ditolong oleh para hwesio kuil itu dan diterima bekerja sebagai tukang sapu.

Siapakah dua orang yang ditakuti seorang seperti Lam-hai Giam-lo ini dan mengapa dia bermusuhan dengan mereka? Awal mula permusuhan itu terjadi sepuluh tahun yang lalu. Ketika itu, Lam-hai Giam-lo yang baru saja kehilangan gurunya, yaitu Lam-kwi-ong seorang diantara Empat Setan Dunia, seperti menggantikan kedudukan mendiang gurunya dan dia merajalela di dunia persilatan, di bagian selatan dan jauh di barat.

Karena sejak muda dia memang berkeliaran di pantai selatan sehingga memperoleh julukan Lam-hai Giam-lo (Raja Akhirat Laut Selatan), maka namanya amat ditakuti di daerah selatan. Ketika itu, usianya baru sekitar empat puluh tahun dan satu diantara kejahatan yang dilakukannya adalah menculik dan memperkosa wanita yang menarik hatinya.

Pada suatu hari, dia melarikan seorang gadis cantik dari kota Swatouw, dilarikannya menuju ke pantai yang amat curam karena pantai ini merupakan bagian pegunungan tepi laut selatan.

Gadis itu berusia tujuh belas tahun dan selalu menangis, meronta dan menolak untuk melayani orang yang mukanya mengerikan seperti muka kuda itu. Hal ini membuat Lam-hai Giam-lo marah sekali. Dia ingin gadis ini menyerahkan diri dengan suka rela karena dia tidak merasa puas kalau harus memperkosa dengan kekerasan.

Di tempat yang sunyi itu, di tebing jurang yang amat curam, dia marah-marah karena kembali gadis itu menolak, bahkan memaki-maki sambil menangis. Dijambaknya rambut gadis itu yang panjang dan terurai lepas dari sanggulnya, dan dibawanya gadis itu ke tepi tebing. Dengan satu tangan, dia menggantung gadis itu pada rambut yang dijambaknya.

"Nah, lihat ke bawah! Apakah engkau lebih suka kulempar ke bawah sana? Hayo pilih, engkau memenuhi permintaanku dengan manis atau kulempar ke bawah sana?"

Gadis itu tergantung di udara dan dengan muka pucat dan mata terbelalak ia memandang ke bawah. Jauh disana nampak air laut dan batu-batu besar, amat jauh di bawah. Air laut yang kalau didekati bergelombang besar itu, dari tempat setinggi ini nampak tenang dan indah.

Akan tetapi membayangkan dirinya dilepas dan meluncur ke bawah, sungguh amat mengerikan. Batu-batu yang seperti bentuk-bentuk binatang purba itu tentu akan menyambut tubuhnya menjadi hancur lebur dan ombak-ombak laut akan melenyapkan sisa-sisa tubuhnya. Tinggi tebing itu tidak kurang dari seribu kaki!

"Tidak... tidak... lebih baik kau bunuh saja aku! Lebih baik ,aku mati daripada harus memenuhi permintaanmu yang keji!"

Gadis itu sudah nekat dan ia memejamkan mata, menanti saat ia dilemparkan ke bawah.

Dapat dibayangkan betapa marahnya rasa hati Lam-hai Giam-lo. Dia amat suka kepada gadis ini, suka akan kecantikannya, kesegaran tubuhnya, dan keberaniannya. Dia ingin memiliki gadis ini dengan sukarela, tidak memperkosa seperti yang biasa dilakukannya terhadap wanita yang tidak mau melayaninya dengan sukarela. Penolakan yang amat keras dari gadis itu membuat rasa sukanya berbalik menjadi rasa benci yang besar.

"Baik, kalau begitu, engkau akan kuperkosa sampai puas, baru akan kulemparkan ke bawah sana!" katanya penuh geram.

Mendengar ancaman ini, yang baginya lebih mengerikan daripada maut, gadis itu menjerit sekuat tenaga, lalu terkulai pingsan!

Agaknya jeritannya itu menarik perhatian dua orang yang berada tak jauh dari tempat itu. Seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih dan seorang gadis kecil berusia dua belas tahun datang berlari-lari. Laki-laki itu buntung lengan kirinya, sebatas siku, tubuhnya tinggi besar dan wajahnya membayangkan sikap yang gagah perkasa.






Adapun gadis cilik itu cantik mungil, dengan tubuh yang tangkas terlatih. Ketika laki-laki buntung lengan kirinya itu tiba disitu dan melihat seorang laki-laki bermuka kuda sedang menjambak rambut seorang gadis yang tergantung di tepi tebing, dia terkejut bukan main dan membentak nyaring.

"Lepaskan gadis itu!"

Melihat munculnya seorang laki-laki buntung sebelah lengannya, dan seorang gadis remaja yang cantik, Lam-hai Giam-lo menatap tajam ke arah wajah gadis remaja itu. Kejengkelan hatinya memuncak melihat ada orang berani membentaknya dan mencampuri urusannya, akan tetapi dia pun tertarik melihat gadis remaja itu.

"Ha-ha-ha, baik, kulepaskan gadis ini dan gadis remaja itu menjadi penggantinya, ha-ha-ha!"

Dan dia benar-benar melepaskan jambakan rambutnya sehingga tentu saja tubuh gadis yang sudah pingsan itu meluncur ke bawah. Melihat ini, gadis remaja itu terbelalak dan lari ke tepi tebing, menjenguk ke bawah. Mukanya berubah pucat melihat betapa tingginya tebing itu dan tubuh yang meluncur ke bawah itu sudah tidak nampak lagi. Tentu sudah hancur lebur terbanting pada batu-batu karang di bawah sana!

Laki-laki tinggi besar berlengan buntung sebelah itu marah bukan main.
"Keparat, engkau ini iblis jahat, bukan manusia!" Sambil membentak demikian, dia melangkah maju.

Lam-hai Giam-lo tertawa lagi.
"Tepat, memang aku bukan manusia, melainkan Raja Akhirat Laut Selatan. Aku tadi memberi korban kepada laut selatan, ha-ha!"

"Lam-hai Giam-lo...!"

Kini laki-laki berlengan buntung sebelah itu terbelalak, mukanya berubah. Tentu saja dia sudah mendengar akan nama tokoh sesat ini ketika dia mulai memasuki daerah pantai selatan. Tak disangkanya dia akan menyaksikan iblis itu membunuh seorang wanita begitu kejam dan biarpun dia sudah mendengar bahwa iblis itu amat sakti, melihat kekejamannya dia melupakan hal ini dan mengambil keputusan untuk menentangnya.

"Ha-ha-ha, engkau sudah mendengar namaku? Lekas berlutut dan serahkan gadis remaja itu kepadaku sebagai pengganti korban tadi."

Laki-laki berlengan buntung itu memandang marah. Mukanya yang gagah dan keras itu berubah merah dan dia mengepal tangan kanannya.

"Iblis seperti engkau ini harus dibasmi!" bentaknya dan dia pun kini menerjang maju dengan marah, menyerang dengan tangan kanannya, menghantam ke arah dada Lam-hai Giam-lo.

Lam-hai Giam-lo melihat datangnya pukulan yang mengandung angin pukulan keras, tersenyum mengejek. Dia tidak berani menerima pukulan yang cukup ampuh itu, melainkan mengelak ke samping dan kakinya mencuat dalam sebuah tendangan kilat mengarah lambung lawan.

Akan tetapi, laki-laki buntung lengan kirinya ini dapat meloncat ke samping, menghindarkan tendangan dan kembali tangan kanannya menyambar dengan totokan ke arah lener.

Lam-hai Giam-lo menangkis sambil mengerahkan tenaga pada lengan kirinya.
"Dukk!"

Tangan laki-laki buntung itu terpental, akan tetapi tidak membuat lengan itu patah, bahkan kembali tangan kanan laki-laki itu menyerang dengan cengkeraman ke arah ubun-ubun kepala Lam-hai Giam-lo.

Iblis ini menyeringai, maklum bahwa bagaimanapun juga, laki-laki buntung sebelah lengannya ini mempunyai sedikit kepandaian. Dan melihat gerak dan geseran kakinya, dia maklum bahwa lawannya memiliki dasar ilmu silat yang cukup tinggi. Maka, dia pun mengeluarkan kepandaian simpanannya dan dengan gerakan dahsyat dia menubruk ke depan, mengembangkan kedua tangannya dan membentak dengan nyaring sekali.

Suara bentakannya melengking dan mengejutkan laki-laki itu yang berusaha untuk menghindar sambil menggerakkan tangan kanan menangkis. Namun, serangan itu terlampau hebat. Angin pukulan yang keras menyambar dan laki-laki itu terpelanting sampai bergulingan dan sebuah tendangan susulan yang mengenai pinggulnya membuat tubuhnya terjungkal ke dalam jurang, ke bawah tebing yang amat curam tadi!

"Ha-ha-ha, kau susullah gadis keras kepala tadi. Dan kau, anak manis, kesinilah, mari ikut bersamaku bersenang-senang!"

Dia melangkah menghampiri gadis remaja yang masih berada di tepi tebing. Gadis itu tadi masih merasa ngeri melihat betapa tubuh wanita itu tadi dilempar ke bawah, kini melihat pria buntung lengan kirinya juga terpelanting ke bawah tebing, ia menahan jeritnya dan memandang dengan mata terbelalak ke bawah tebing.

Ketika Lam-hai Giam-lo yang mukanya menyeramkan itu kini menghampirinya, gadis cilik itu tak dapat menahan rasa ngerinya dan dengan nekat ia pun meloncat ke bawah tebing menyusul gurunya sambil berteriak memanggil.

"Suhuuuuu……!!"

Lam-hai Giam-lo tertegun. Mukanya berubah merah dan dia mengepal tinjunya, mengamang-amangkan tinjunya kebawah tebing.

"Keparat, kau melahap semuanya!" bentaknya seolah-olah marah kepada tebing yang telah menelan dua calon korbannya.

Kini dia tidak kebagian apa-apa dan kalau saja disitu terdapat orang lain, tentu akan menjadi korban kemarahannya. Dia menendang sebuah batu besar sehingga batu itu pun menggelinding ke bawah tebing, lalu mendorong roboh sebatang pohon besar dengan kedua tangannya, menendangi batu-batu kecil seperti orang kesurupan setan. Setelah melampiaskan kemarahannya, Lam-hai Giam-lo lalu lari dari tempat itu.

Menurut akal sehat, sungguh tidak mungkin sekali kalau orang yang terjungkal ke bawah tebing securam itu, seribu kaki tingginya, akan tetapi selamat. Tubuh tentu akan hancur lebur kalau menimpa batu-batu karang, dan akan lebih remuk lagi kalau ditangkap dan dihempaskan ombak laut yang besar itu kepada batu dan dinding karang yang runcing tajam dan keras.

Akan tetapi, kenyataan kadang-kadang lebih aneh daripada perhitungan akal. Terdapat keajaiban dimana-mana yang oleh kita dinamakan "kebetulan". Apalagi urusan nyawa, sungguh di luar perhitungan akal dan kita sama sekali tidak dapat menguasai mati hidup kita sendiri.

Kalau memang sudah tiba saatnya nyawa harus meninggalkan raga, biarpun kita bersembunyi ke dalam lubang semut, tetap saja maut akan datang menjemput, tepat pada saatnya dan dengan cara yang bagaimana aneh pun.

Sebaliknya, kalau memang belum saatnya kita mati, biarpun sudah terancam seribu satu bahaya maut, ada saja "kebetulan" yang seribu satu macamnya yang akan membuat kita terluput daripada kematian. Seorang perajurit yang sejak mudanya menjadi perajurit, hidup di medan perang dan setiap saat terancam bahaya maut, dapat keluar tanpa lecet sedikit pun sampai hari pensiunnya. Akan tetapi begitu dia pulang ke kampung, baru saja dia terkena penyakit dan dalam satu dua hari saja meninggal dunia!

Banyak pula orang yang sudah menderita sakit yang berat, sampai bertahun-tahun tidak juga mati walaupun dia sudah merasa bosan dengan penderitaan penyakitnya dan minta mati. Sebaliknya, ada pula orang yang hari ini masih nampak segar bugar dan tertawa-tawa, besok secara tiba-tiba saja meninggal dunia!

Karena itu, biarpun nampaknya ajaib dan luar biasa aneh, kalau mengingat akan hal-hal diatas, tidaklah aneh kalau laki-laki buntung lengan kirinya tadi, yang terjungkal dari tempat setinggi seribu kaki, tidak menjadi mati karena memang belum saatnya. Hanya perkataan "belum saatnya" itulah yang dapat kita keluarkan karena kita tidak dapat menembus rahasia di balik itu semua.

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar