*

*

Ads

Senin, 16 April 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 033

Seorang gadis berpakaian sutera putih, berwajah cantik dan bertubuh ramping padat, berusia dua puluh tahun lebih, berdiri di depan pondoknya bersama seorang pria berusia empat puluh tahun lebih. Juga pria tinggi besar yang lengan kirinya buntung ini tidak dikenalnya, maka lam-hai Giam-lo memandang dengan alis berkerut dan menduga-duga siapa adanya dua orang pengunjung yang agaknya bersikap memusuhinya itu.

Sepuluh tahun yang lalu, Su Kiat merupakan lawan yang amat lunak bagi Lam-hai Giam-lo, maka peristiwa itu sama sekali tidak meninggalkan kesan di hatinya dan dia benar-benar sudah lupa sama sekali kepada pria berlengan buntung sebelah itu. Apalagi kepada Hui Lian yang ketika itu masih merupakan seorang anak perempuan belum dewasa.

Sebaliknya, Su Kiat dan Hui Lian ingat benar kepada laki-laki muka kuda ini dan mereka sudah memandang dengan sinar mata mencorong penuh kemarahan.

"Lam-hai Giam-lo, kami datang untuk membalas dendam atas kejahatanmu sepuluh tahun yang lalu!" kata Ciang Su Kiat.

"Siapakah kalian?"

Lam-hai Giam-lo membentak, marah karena dua orang itu agaknya memandang rendah kepadanya, padahal di daerah selatan ini dia dapat menamakan dirinya sebagai tokoh sesat nomor satu.

"Lam-hai Giam-lo, lupakah engkau akan peristiwa sepuluh tahun yang lalu, ketika engkau melempar seorang gadis tak berdosa ke bawah tebing yang curam, kemudian menendang aku ke bawah tebing pula?"

"Dan aku meloncat ke bawah, menyusul Suhu!" Hui Lian membantu suhunya mengingatkan kepada musuh itu.

Kini Lam-hai Giam-lo teringat dan dia pun tertawa bergelak. Suara ketawanya lebih mirip lagi dengan ringkik kuda daripada suaranya yang sudah parau dan serak itu.

"Hieeeh-heh-heh...! Jadi kalian adalah mereka itu? Hah-hah-hah !" Tiba-tiba dia menghentikan suara ketawanya dan memandang dengan mata yang sipit itu dicoba untuk dilebarkan. "Tapi... tapi kalian sudah jatuh ke bawah tebing…..bagaimana sekarang bisa muncul lagi?"

"Lam-hai Giam-lo, betapa pun jahat dan kejammu, engkau bukanlah Giam-lo-ong yang sesungguhnya dan tidak berhak mencabut nyawa orang sebelum kematian orang itu dikehendaki oleh Thian! Dan kini kami datang untuk membalas kejahatanmu yang melampaui takaran itu."

Kembali kakek muka kuda itu tertawa meringkik.
"Heh, heh, heh, kalau sepuluh tahun yang lalu aku gagal, sekarang tentu aku tidak akan gagal mencabut nyawamu, lengan buntung. Dan anak perempuan dulu itu kini telah menjadi seorang gadis yang cantik, hemm, sekarang harus melayaniku beberapa hari lamanya.!"

"Jahanam bermulut busuk!"

Hui Lian memaki dan gadis ini sudah mencabut pedang Kiok-hwa-kiam (Pedang Bunga Seruni) dari punggungnya, lalu menyerang dengan tusukan kilat ke arah perut lawan.

Melihat sinar pedang yang meluncur cepat itu, dan sinarnya berkilauan menyambar, Lam-hai Giam-lo tidak berani memandang rendah dan dia pun mengelak dengan melangkah ke belakang dan miringkan tubuhnya. Akan tetapi, ternyata pedang yang meluncur lewat itu tahu-tahu sudah membalik secara aneh dan cepat sekali, tahu-tahu telah membabat ke arah lehernya dari samping!

"Ehh...!"

Lam-hai Giam-lo terpaksa melempar tubuh ke belakang dan meloncat mundur, sambil mengirim tendangan yang dapat dielakkan pula oleh Hui Lian.

"Tahan dulu! Aku tidak ingin membunuh orang-orang yang tak bernama. Siapakah kalian?" bentak Lam-hai Giam-lo.

Hui Lian mewakili gurunya menjawab, suaranya dingin seperti pandang matanya sehingga Lam-hai Giam-lo merasa ngeri juga.

"Aku bernama Kok Hui Lian dan ini adalah Guruku Ciang Su Kiat." Lalu dara itu mengelebatkan pedangnya. "Lam-hai Giam-lo, bersiaplah engkau untuk menebus dosa-dosamu!"






Pedangnya lalu menyambar dan diputar dengan cepat sehingga lenyaplah bentuk pedangnya, berubah menjadi segulungan sinar putih yang menyilaukan mata.

Sementara itu, Su Kiat juga tidak tinggal diam. Dia melihat betapa muridnya sudah memainkan In-liong Kiam-sut, maka dia pun mengimbanginya dengan permainan silat sakti Sian-eng Sin-kun.

Melihat betapa gulungan sinar pedang itu menyambar seperti ombak hendak menggulungnya, dan gerakan tangan kanan Su Kiat mengandung hawa pukulan seperti badai menderu, diam-diam Lam-hai Giam-lo menjadi terkejut. Tak disangkanya bahwa dua orang yang telah terjatuh ke bawah tebing curam itu masih hidup dan lebih tak disangkanya lagi bahwa dalam waktu sepuluh tahun, kedua orang ini telah memiliki ilmu kepandaian yang begini hebat.

Dia pun cepat menggerakkan tubuhnya dan tubuhnya diputar dengan cepat sekali, berpusing seperti gasing dan dari putaran itu, kedua lengannya yang dapat mulur panjang itu mencuat dan kadang-kadang menyerang dengan tiba-tiba. Beberapa kali dia berusaha menangkap sebelah tangan Su Kiat atau pergelangan tangan Hui Lian yang memegang pedang, namun tak pernah berhasil karena kedua orang itu dapat bergerak dengan cepat, dibarengi langkah-langkah kaki yang aneh.

Lam-hai Giam-lo hampir tidak percaya akan hal yang dialaminya sendiri. Dia adalah seorang tokoh besar dan dalam hal ilmu silat, dia telah mewarisi ilmu kepandaian gurunya, mendiang Lam-kwi-ong sehingga tingkat kepandaiannya dibandingkan dengan mendiang gurunya, tidak banyak selisihnya.

Akan tetapi sekarang, menghadapi pengeroyokan dua orang yang pada sepuluh tahun yang lalu belum apa-apa, kini dia terdesak hebat dan repot melayani sinar pedang dan tangan yang hanya sebelah kanan itu. Yang berbahaya bahkan lengan baju kiri yang buntung itu karena secara tak disangka-sangka sekali, kadang-kadang ujung lengan baju itu menyambar dan melakukan totokan-totokan yang ampuh.

Harus diakui bahwa ilmu silat yang dimainkan laki-laki buntung lengan kirinya ini hebat luar biasa, aneh dan mengandung tenaga dahsyat. Akan tetapi, pedang yang dimainkan oleh gadis itu pun ampuh sekali. Selain pedangnya merupakan pusaka yang ampuh, juga ilmu pedang itu membingungkan Lam-hai Giam-lo.

Sudah banyak dia berkelahi melawan ilmu-ilmu pedang di dunia persilatan, akan tetapi belum pernah dia menghadapi ilmu pedang yang begini tangkas. Pedang yang berubah menjadi segulungan sinar putih itu seperti seekor naga yang mengamuk! Akan tetapi nampaknya demikian lembut dan indah sekali gerakannya, seperti seorang gadis cantik yang menari-nari saja, hanya tarian itu mengandung ancaman maut di setiap gerak serangannya!

Su Kiat dan Hui Lian harus mengakui bahwa mereka berhadapan dengan lawan yang amat tangguh. Su Kiat pernah menjadi murid Cin-ling-pai dan bagaimanapun juga, dia sudah memiliki pengalaman berkelahi yang cukup banyak. Sebaliknya, Hui Lian belum pernah berkelahi dan semua ilmu yang dikuasainya hanyalah berkat latihan-latihannya yang amat rajin, dibantu oleh bimbingan gurunya yang sungguh-sungguh. Oleh karena itu, permainan pedang Hui Lian juga amat hebatnya. Bahkan Su Kiat sendiri harus mengakui bahwa dalam hal berlatih ilmu pedang In-liong Kiam-sut, dia sendiri masih kalah oleh muridnya sendiri.

Bukan hanya karena lengan kirinya buntung, sehingga kurang keseimbangan kalau dia yang memainkan pedang dengan ilmu itu, akan tetapi terutama sekali karena Ilmu Pedang In-liong Kiam-sut itu memang bersifat lembut seperti wanita, dan gerakannya halus indah, lebih tepat digerakkan oleh tubuh wanita yang lentur dan lemah gemulai. Dia tidak tahu bahwa ilmu pedang itu adalah ciptaan mendiang In-liong Nio-nio, seorang di antara Delapan Dewa, dan karena penciptanya wanita dan untuk dimainkan sendiri, tentu saja memiliki ciri khas permainan wanita yang halus.

Perkelahian itu semakin seru dan hebat mati-matian. Makin lama, Lam-hai Giam-lo menjadi semakin marah dan penasaran. Dia bukan hanya mempertahankan diri, melainkan juga merasa bahwa dia mempertahankan nama dan kedudukannya. Masih untung baginya bahwa pada saat itu, tidak ada saksi yang akan melihat betapa dia, Lam-hai Giam-lo, kini terdesak oleh seorang laki-laki buntung sebelah tangannya dan seorang gadis muda.

Dia mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan semua ilmunya, akan tetapi tetap saja dia terdesak terus. Sampai seratus jurus dia mampu bertahan, akan tetapi akhirnya, pundaknya terkena totokan ujung lengan baju kiri yang buntung dari Su Kiat. Lam-hai Giam-lo tidak roboh melainkan merasa kesemutan dan dalam beberapa detik dia terhuyung.

Kesempatan ini cukup bagi Hui Lian untuk mendesak dengan pedangnya. Pedang itu berkelebat menuju ke arah leher lawan. Lam-hai Giam-lo terkejut, untuk mengelak sudah tidak ada waktu lagi, terpaksa dia berlaku nekat, menggunakan tangan kirinya yang diisi tenaga sinkang sepenuhnya untuk menangkis.

"Plakk!"

Pedang itu tertangkis, akan tetapi kulit lengannya terobek sedikit sehingga terluka dan berdarah. Pada saat itu, sebuah pukulan tangan kanan Su Kiat mengenai punggungnya.

"Bukk!"

Lam-hai Giam-lo terpelanting terus bergulingan dan muntahkan darah segar. Maklumlah dia bahwa kalau dilanjutkan, berarti dia bunuh diri, maka tanpa malu-malu lagi dia lalu meloncat dan melarikan diri.

"Pengecut, hendak lari ke mana kau!" Su Kiat membentak dan mengejar.

"Ke neraka pun akan kukejar kau! Keparat jahanam jangan lari!" Hui Lian juga berteriak mengejar.

Keringat dingin membasahi dahi dan leher Lam-hai Giam-lo, karena ketika dia menoleh, dia melihat betapa guru dan murid itu dapat berlari amat cepatnya sehingga sukar baginya untuk meloloskan diri. Dia mengerahkan seluruh tenaga dan mempergunakan semua ilmu ginkangnya untuk mempercepat larinya, namun bayangan dua orang itu tetap saja mengejar di belakangnya, hanya dalam jarak seratus meter lebih!

Dan dia sudah menderita luka di sebelah dalam tubuhnya, kalau dilanjutkan pengerahan sinkang seperti ini, akhirnya dia akan roboh sendiri. Untuk berhenti dan melawan, dia tidak sanggup lagi karena maklum bahwa dia tidak akan menang.

Dengan napas terengah-engah karena harus berlari cepat terus-menerus, akhirnya sebuah sungai yang cukup lebar menghalang di depannya. Lam-hai Giam-lo hampir bersorak ketika dia berhasil mencapai tepi sungai ini.

Memang sungai itu yang ditujunya dan sungai itu satu-satunya harapannya untuk menyelamatkan diri. Begitu tiba di tepi sungai, dia lalu meloncat ke air dan menyelam. Memang satu di antara keahlian Lam-hai Giam-lo adalah permainan di dalam air.

Melihat buruan mereka meloncat ke dalam air dan lenyap, Su Kiat dan Hui Lian tertegun berdiri di tepi sungai. Mereka hanya mampu mencari-cari dengan pandang mata mereka dan akhirnya mereka melihat buruan itu telah mendarat di seberang, akan tetapi di hulu yang agak jauh. Terpaksa guru dan murid ini lalu mencari perahu untuk dapat menyeberang dan ketika akhirnya mereka dapat menumpang perahu nelayan dan menyeberang, buruan mereka telah lenyap tanpa meninggalkan jejak.

Su Kiat dan Hui Lian merasa kecewa sekali, akan tetapi mereka tidak putus asa dan mereka melanjutkan penyelidikan dan pencarian mereka. Mereka terus menyelidiki jejak Lam-hai Giam-lo dan bertanya-tanya.

Untung bagi mereka bahwa selain tersohor juga Lam-hai Giam-lo memiliki wajah yang mengesankan, sehingga semua orang yang pernah melihatnya tidak akan mudah melupakan wajah yang seperti kuda, suara yang serak parau seperti ringkik kuda itu pula.

Mereka dapat mengikuti jejak musuh mereka dan akhirnya kurang lebih sebulan kemudian, mereka berhasil menemukan tempat persembunyian Lam-hai Giam-lo di luar kota Swatouw, Su Kiat dan Hui Lian menyerbu rumah di luar kota itu dan memang benar Lam-hai Giam-lo berada di situ bersama lima orang temannya yang juga merupakan orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi. Lam-hai Giam-lo sudah sembuh dari lukanya dan kini dia mengandalkan lima orang temannya yang merupakan penjahat-penjahat besar di Swatouw untuk mengeroyok.

Namun Su Kiat dan Hui Lian mengamuk dan lima orang teman Si Muka Kuda itu roboh semua oleh sinar pedang Hui Lian. Terpaksa Lam-hai Giam-lo melawan lagi sampai lebih dari seratus jurus. Akan tetapi akhirnya sebuah tendangan kaki Hui Lian mengenal perutnya dan sebuah pukulan tangan kanan Su Kiat kembali membuatnya muntah darah dan untuk kedua kalinya kakek muka kuda itu melarikan diri! Dan dua orang musuhnya melakukan pengejaran.

Akan tetapi sekali ini, Lam-hai Giam-lo sudah membuat persiapan. Dia memang cerdik sehingga ketika dia bersembunyi di luar kota Swatouw, dia telah memperhitungkan bahwa kalau sampai dia dapat dikejar musuh, dia sudah mempunyai tempat untuk menyelamatkan diri. Dia berlari ke utara dan tak lama kemudian tibalah dia di tepi sungai yang mengalir dari pegunungan Tai-yun-san. Sekali meloncat dia pun lenyap di bawah permukaan air.

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar