*

*

Ads

Kamis, 19 April 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 043

Melihat ini, kembali dua pasang suami isteri itu mengeluarkan aba-aba dan memberi semangat. Namun, sia-sia, kini teman-teman mereka sudah menjadi gentar menghadapi dua orang kakek sakti itu. Apalagi ketika Siangkoan Leng terhuyung oleh tendangan Pak-kwi-ong, sedangkan tulang lengan kiri Tong Ci Ki patah ketika ditangkis oleh Tung-hek-kwi, mereka semua menjadi semakin panik dan akhirnya sisa para pengeroyok itu melarikan diri tanpa dapat dicegah lagi!

Mereka, meninggalkan sedikitnya mayat enam orang kawan mereka. Yang terluka ikut pula melarikan diri. Terpaksa dua pasang suami isteri itu pun harus melarikan diri kalau mereka tidak ingin tewas di tangan dua orang raja datuk sesat itu!

Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi mengamuk terus. Karena dua pasang suami isteri dan teman-teman mereka telah melarikan diri ke malam gelap, dua orang kakek itu mengamuk kepada orang-orang dusun yang mereka anggap telah membantu musuh-musuh mereka!

Celakalah para penghuni dusun yang tidak sempat melarikan diri. Mereka diseret keluar dan dibanting remuk, tidak peduli laki-laki perempuan atau kanak-kanak.

Dua orang kakek itu tidak melewatkan rumah keluarga Cu Pak Sun. Mereka menjebol daun pintu dan sambil tertawa-tawa, Pak-kwi-ong memasuki rumah itu, diikuti oleh Tung-hek-kwi. Kedua lengan tangan mereka sudah berlepotan darah!

Pada waktu itu, Cu Pak Sun dan isterinya memeluk Bi Lian yang baru berusia kurang lebih sembilan tahun. Suami isteri ini menggigil ketakutan mendengar suara perkelahian di luar itu, mendengar jeritan-jeritan kematian mereka yang menjadi korban.

Akan tetapi Bi Lian tidak kelihatan takut, bahkan merasa penasaran. Tadi ia hendak menonton keluar, akan tetapi dipeluk ayah dan ibunya dengan erat yang tidak memperkenankan ia keluar. Kini mereka malah bersembunyi di dalam kamar dan ia dipeluk dua orang, dipegangi agar jangan keluar.

"Aku harus melihat keluar…..!" kata Bi Lian berkali-kali.

"Jangan... jangan... ada orang-orang jahat seperti iblis mengamuk di luar, membunuhi orang-orang!" kata Cu Pak Sun dengan suara gemetar dan isterinya menangis dengan menahan suara tangisnya.

"Kalau begitu lebih baik aku harus keluar, membantu orang-orang untuk melawan penjahat-penjahat itu!"

Bi Lian memang memiliki watak yang keras dan berani, tabah karena gemblengan suhu dan subonya. Malam itu kebetulan suhu dan subonya tidak datang karena baru kemarin malam mereka datang dan melatihnya ilmu silat sampai hampir pagi.

"Jangan, engkau akan celaka…..!" kata Cu Pak Sun.

"Jangan, Bi Lian, aku takut... engkau jangan keluar, di sini saja menemaniku..." Nyonya Cun mengganduli dan merangkul Bi Lian sambil menangis.

Ketika dua orang kakek iblis itu menjebol pintu, tentu saja, Cu Pak sun dan isterinya yang bersembunyi di dalam kamar menjadi semakin ketakutan. Apalagi ketika dua orang kakek itu muncul seperti iblis sendiri di ambang pintu kamar, seketika isteri Cu Pak Sun jatuh pingsan. Cu Pak Sun sendiri segera berlutut di atas lantai dengan suara gemetar minta-minta ampun.

Melihat ini, Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi tertawa. Akan tetapi tiba-tiba Bi Lian meloncat berdiri, menghadapi dua orang kakek itu dengan sinar mata tajam seperti sepasang mata seekor anak harimau.

"Kalian sungguh kakek-kakek jahat sekali! Jangan ganggu ayah ibuku dan keluarlah kalian dari sini!”

Bi Lian membentak, seperti mengusir dua ekor anjing saja, sedikit pun tidak merasa takut dan sepasang matanya yang tajam itu terbelalak penuh kemarahan.

Dua orang datuk sesat itu terkejut dan terheran, sampai bengong sejenak, kemudian saling pandang dan Pak-kwi-ong tertawa bergelak. Tentu saja mereka terkejut dan heran melihat ada seorang anak perempuan berusia paling banyak sepuluh tahun berani menghardik mereka, padahal banyak laki-laki dewasa lari ketakutan melihat mereka!

"Ha-ha-ha-ha, Setan Hitam, aku mendadak merasa seperti menjadi seekor anjing kecil yang ketakutan, ha-ha!"

"Huh, anak setan!" Tung-hek-kwi menggereng dan lengan tangannya yang panjang itu meluncur ke depan, ke arah Bi Lian dengan jari-jari tangan terbuka seperti cakar harimau hendak mencengkeram seekor kelenci kecil. "Dagingnya tentu lunak!"






"Wuuuttt... ehhhh……?"

Tung-hek-kwi berseru kaget karena terkaman tangannya tadi luput! Dengan gerakan lincah dan langkah kaki yang aneh, Bi Lian mampu menghindarkan diri dari cengkeraman itu, menyelinap, bahkan mendekati Tung-hek-kwi yang menyerangnya dan dengan cepat sekali tangannya bergerak menghantam ke arah perut Si Iblis Hitam dari Timur itu!

"Bukk!"

Perut Tung-hek-kwi terpukul dan akibatnya tubuh Bi Lian terlempar ke belakang. Akan tetapi, anak ini berjungkir balik dan membuat poksai (salto) yang indah sekali!

"Ha-ha-ha, yang kaukira kelenci berdaging lunak ternyata anak naga!"

Pak-kwi-ong berseru kagum dan dia pun sudah mengulur tangan menerkam. Kembali Bi Lian memperlihatkan keringanan tubuhnya dan langkahnya yang ajaib, karena seperti juga terkaman Tung-hek-kwi, kini cengkeraman tangan Pak-kwi-ong juga luput!

"Ehhh...!!"

Pak-kwi-ong lupa tertawa saking kaget dan herannya. Dia mengerahkan tenaga sinkangnya mendorong dan tubuh Bi Lian tentu saja tidak kuat bertahan dan anak itu pun roboh terguling, disambut tangan Pak-kwi-ong yang menangkap kedua kakinya dan mengangkat tubuh itu ke atas!

Dengan kedua kaki tergantung, kepala di bawah, Bi Lian tidak menjerit ketakutan, bahkan ia mengamuk dan berusaha untuk memukul dengan kedua tangannya, terus menggeliat-geliat berusaha membebaskan diri sambil memaki-maki.

"Kakek setan! Kakek iblis! Lepaskan aku dan mari kita berkelahi sampai seribu jurus kalau kau memang gagah!"

Melihat sikap anak itu, dan mendengar tantangannya, kembali Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi melongo.

"Ha-ha-ha-ha! Setan Hitam, apa yang kita temukan di sini? Ia memiliki bakat yang lebih baik daripada Sin-tong agaknya!"

“Serahkan padaku, Pak-kwi-ong! Aku ingin mendidiknya!” kata Tung-hek-kwi yang tiba-tiba merasa suka pula kepada anak itu karena dia dapat melihat sendiri betapa anak itu memiliki keberanian luar biasa, juga memiliki gerakan cepat dan aneh, sepasang mata tajam mencorong dan se1uruh keadaannya menunjukkan bakat yang luar biasa.

"Ha-ha-ha, enak saja! Aku yang menangkapnya lebih dulu!" berkata Pak-kwi-ong dan kakinya menendang ke depan ketika Cu Pak Sun merangkak hendak menolong anaknya yang digantung dengan kepala di bawah itu.

"Desss…….!" Tubuh Cu Pak Sun terlempar dan dia tewas seketika oleh tendangan itu.

"Ouhhh……!"

Nyonya Cu Pak Sun yang kebetulan siuman, melihat suaminya ditendang, bangkit dan hendak menubruk. Di saat itu, Tung-hek-kwi yang merasa marah kepada Pak-kwi-ong yang dianggap merebut anak itu darinya, menggerakkan kakinya pula ke arah wanita itu.

"Desss…..!"

Kini giliran wanita itu yang tewas seketika dan tubuhnya terlempar dan terbanting menindih mayat suaminya.

"Kalian pembunuh-pembunuh jahat!"

Berkali-kali Bi Lian berteriak dan meronta-ronta, akan tetapi, Pak-kwi-ong hanya tertawa dan tiba-tiba kakek ini meloncat keluar dari rumah itu sambil membawa tubuh Bi Lian dengan cara seperti tadi yaitu memegangi kedua kaki anak itu dengan tangan kiri seperti orang membawa seekor ayam saja.

Pak-kwi-ong bukan sembarangan meloncat, melainkan mengelak karena pada saat itu Tung-hek-kwi sudah menubruk untuk merampas tubuh Bi Lan dari tangannya. Begitu tiba di luar dusun, Pak-kwi-ong terus melarikan diri dengan cepat, dikejar oleh Tung-hek-kwi!

Kejar-kejaran itu berlangsung sampai semalam suntuk dan sampai keesokan harinya pagi-pagi sekali Pak-kwi-ong masih dikejar-kejar oleh Tung-hek-kwi. Mereka telah tiba di daerah pegunungan yang jauh sekali dari dusun di mana mereka menyebar maut semalam itu. Dan Bi Lian masih dibawa oleh Pak-kwi-ong dalam keadaan tergantung!

Dapat dibayangkan penderitaan anak ini, akan tetapi, bukan main rasa kagum di hati Pak-kwi-ong karena anak itu satu kalipun tidak pernah terdengar berteriak ketakutan ataupun menangis! Benar-benar seorang anak perempuan dengan hati keras melebihi besi!

Pak-kwi-ong terpaksa melarikan diri karena dia maklum bahwa tingkat kepandaiannya berimbang dengan Tung-hek-kwi. Kalau dia harus melawan rekannya itu sambil melindungi anak perempuan itu, tentu dia akan kalah. Akan tetapi untuk menyerahkannya, dia pun tidak rela. Akhirnya dia memperoleh akal dan dia pun berhenti. Peluh sudah membasahi seluruh tubuhnya dan napasnya agak terengah-engah.

Biarpun dia seorang sakti, dia harus mengaku kalah oleh usianya. Usia tua membuat kekuatannya tidak sehebat dulu lagi. Ketika Tung-hek-kwi berhenti di depannya, keadaan kakek raksasa ini sama saja, mandi peluh dan napasnya memburu.

“Setan Hitam, engkau nekat mengejarku?" tegur Pak-kwi-ong, kini membalikkan tubuh Bi Lian dan mengempit di bawah lengannya, membuat Bi Lian tidak mampu berkutik, namun kini anak itu tidak begitu tersiksa seperti ketika dijungkir balikkan tadi.

Hanya bau ketiak penuh keringat yang dekat hidungnya itu saja membuat ia ingin muntah. Akan tetapi untuk muntah pun ia sudah kehilangan kekuatan. Tubuhnya lemas dan setengah pingsan oleh penderitaannya semalam, dilarikan dalam keadaan tergantung jungkir balik.

"Lari ke neraka pun akan kukejar. Anak itu harus rnenjadi muridku."

Jawab Tung-hek-kwi, semakin kagum kepada Bi Lian karena anak itu sama sekali tidak menangis, kelihatan ketakutan atau berduka. Selama hidupnya belum pernah dia melihat anak seperti ini, apalagi anak perempuan.

"Aku pun ingin rnenjadi gurunya." kata Pak-kwi-ong.

"Aku akan merampasnya dari tanganmu." Tung-hek-kwi menjawab kukuh.

"Kalau aku melawan sambil membawa anak ini tentu aku kalah, akan tetapi, kalau anak ini berhasil kaurampas dan aku menyerangmu, tentu engkau pun akan kalah. Perkelahian antara kita memperebutkan anak ini hanya akan berakhir dengan tewasnya anak ini terkena pukulan kita, Setan Hitam!"

"Tidak peduli, ia harus menjadi muridku atau mati!" kata Tung-hek-kwi.

"Aih, kita berebutan seperti anak kecil. Anak ini luar biasa, sebaiknya kita tanyakan ia, siapa di antara kita yang ia pilih sebagai guru!" kata Pak-kwi-ong dan dia melepaskan Bi Lian dari kempitannya.

Anak itu berdiri agak terhuyung karena lemas dan pusing, akan tetapi dengan angkuh ia mengangkat kepalanya dan berusaha untuk berdiri tegak dan tidak memperlihatkan kelemahannya. Sepasang matanya masih berkilat menyambar kepada dua orang kakek itu penuh kemarahan.

"Anak baik, kami berdua ingin sekali mengambil engkau sebagai murid. Coba kaupilih, siapa di antara kami yang kau pilih untuk menjadi gurumu?" kata Pak-kwi-ong dengan suara ramah dan muka penuh senyum.

Akan tetapi dengan alis berkerut Bi Lian memandang kedua orang kakek itu, penuh kebencian dan ia pun menjawab dengan suara ketus.

"Memilih kalian untuk menjadi guru? Hemmm, aku memilih kalian berdua untuk menjadi musuh besarku yang kelak harus kubunuh untuk membalas dendam atas kematian Ayah dan Ibuku dan orang-orang dusun kami!" Jawaban itu berapi-api, penuh perasaan dan bersungguh-sungguh.

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar