*

*

Ads

Kamis, 19 April 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 045

Hay Hay tersenyum dan melambaikan tangan, sengaja tidak mengeluarkan sepatah kata pun agar keharuan tidak semakin menenggelamkan mereka bertiga. Setelah kedua orang gadis itu pergi, Hay Hay lalu mempersiapkan tempat beristirahat di dekat batu besar itu, menyalakan api unggun dan setelah hari menjadi gelap, dia pun duduk bersila, menyelimuti tubuhnya dengan selimut pemberian gadis manis bertahi lalat di dagunya. Selimut yang tebal dan hangat.

Akan tetapi Hay Hay sudah melupakan lagi dua orang gadis itu. Demikianlah watak pemuda ini, tidak mau mengikatkan diri dengan segala sesuatu, dengan kenangan pun tidak! Segala peristiwa yang terjadi lewat saja tanpa bekas di hatinya, dan dengan cara hidup demikian itu, dia selalu bergembira dan kini dia pun duduk bersila dengan wajah tenang gembira, sedikit pun tidak ada bekas-bekas peristiwa masa lalu yang mengganggu hatinya, baik yang menyenangkan, dan menimbulkan keinginan untuk rnengulanginya maupun yang tidak menyenangkan dan menimbulkan kegelisahan atau duka.

Malam itu bulan bersinar dengan terangnya. Hawa amat sejuk dan sinar bulan menciptakan suasana yang amat indah di malam itu, indah dan kelihatan tenang tenteram penuh damai.

Akan tetapi, agaknya tidak demikian keadaan di dusun kecil itu. Para penduduk laki-laki berkumpul di rumah kepala dusun dan wajah mereka nampak tegang. Ada dua orang gadis yang hilang malam itu! Orang tuanya bingung mencari karena mereka berdua, gadis bertahi lalat di dagu gadis hitam manis bermata cerah tidak pamit ketika pergi.

"Mereka tentu pergi mengunjungi pemuda itu!" tiba-tiba terdengar seorang laki-laki berkata. "Aku tadi melihat dia berada di batu besar dekat sungai!"

"Hemm, orang asing kurang ajar itu berani kembali ke sana?" kata kepala dusun sambil mengerutkan alisnya.

"Mari kita cari ke luar dusun sekalian mengusir pemuda itu. Aku yang akan menghajarnya!" kata A-liong, pemuda tinggi besar yang menaruh hati kepada Siauw Lan, gadis bertahi lalat.

Kepala dusun menyetujui dan berangkatlah sekitar dua puluh orang laki-laki sambil membawa obor mencari keluar dusun. Sudah terlalu lama dua orang gadis itu pergi dan memang menimbulkan kekhawatiran dan kecurigaan. Berbondong-bondong mereka pergi menuju ke sungai kecil yang berada agak jauh di luar dusun.

Akan tetapi ketika rombongan itu tiba di luar dusun, di sebuah lapangan rumput, ada yang berteriak dan semua orang segera menghampiri. Dan mereka melihat dua orang gadis yang mereka cari-cari itu menggeletak di atas lapangan rumput dalam keadaan telanjang bulat.

Pakaian mereka berserakan di sekitar tempat itu. Yang mengerikan, gadis hitam manis itu telah tewas dengan leher terluka menganga lebar hampir putus, sedangkan gadis bertahi lalat di dagunya masih hidup, akan tetapi merintih-rintih dan seperti orang yang menderita ketakutan hebat. Begitu melihat banyak orang datang menghampirinya, gadis bertahi lalat itu merangkak menjauhi, mulutnya merintih-rintih menyebut nama Hay Hay.

"Hay-ko... tolong... tolonglah aku…..!"

Mudah saja bagi orang-orang ini untuk menduganya apa yang terjadi. Dua orang gadis ini telah diperkosa orang! Dan yang berkulit hitam manis dibunuh! Masih nampak jelas betapa mereka bertelanjang bulat.

Kepala dusun cepat menubruk keponakannya, gadis bertahi lalat, dan menyelimutinya dengan mantelnya. Gadis itu menangis terisak-isak, tidak takut lagi dan agaknya sudah sadar.

"Keparat! Ini tentu perbuatannya! Mari kita kejar ke sana!"

Teriak kepala dusun dan semua orang lalu mengikutinya menuju ke sungai kecil dengan cepat.

Hanya pemuda tinggi besar yang tinggal di situ, merangkul gadis bertahi lalat sambil menghiburnya. Akan tetapi Siauw Lan, gadis itu kini telah sadar dan ia pun menjadi histeris dalam rangkulan pemuda itu. Ia meronta-ronta minta lepas sambil menangis tersedu-sedu.

"Lepaskan aku...! Ah, lepaskan aku, biarkan aku mati saja…..!!”

Akan tetapi, A-Liong? demikian nama panggilan pemuda tinggi besar itu, merangkul semakin kuat mendengar ucapan ini. Dia sudah banyak mendengar tentang gadis yang membunuh diri karena aib dan gadis yang dicintanya ini, bukan tidak mungkin akan membunuh diri karena diperkosa laki-laki keparat itu. Dia harus dapat menghiburnya. Diambilnya pakaian gadis itu yang bertebaran di mana-mana.






"Siauw Lan, kaupakailah pakaianmu dulu... jangan berduka, ada aku di sini. Maukah engkau bercerita apa yang telah terjadi?”

Gadis itu sadar bahwa masih telanjang bulat, bahwa tubuhnya hanya tertutup mantel milik pamannya, kepala daerah itu. Ia melirik ke kanan dan melihat tubuh telanjang dari temannya yang masih menggeletak mandi darah dan ia pun menggigil, lalu menangis lagi, akan tetapi dipakainya pakaiannya.

“Apakah yang telah terjadi? Apakah dia telah menyerang kalian berdua?”

Siauw Lan mengangguk-angguk, masih terisak.
"Kami berjalan berdua……dan tiba-tiba orang itu menyergap. Aku merasa dipukul pundakku dan aku pun tidak mampu bergerak lagi. Dia menyeret kami ke sini dari jalan itu dan melemparku di atas rumput. Aku tidak mampu menggerakkan kaki dan tanganku, hanya dapat melihat betapa dia…..dia menanggalkan pakaian A-kiu dan mereka bergumul. A-kiu menjerit-jerit dan meludahi mukanya, lalu... lalu... ahhh hu-hu-hu-huuuh……!"

Kembali A-liong merangkulnya dan menepuk-nepuk bahunya,
"Tenanglah, semua telah berlalu dan ada aku di sini menjaga dan melindungimu."

Gadis itu merasa aman dalam rangkulan A-liong, dan ia menangis di pundak pemuda itu. Setelah tangisnya mereda, ia melanjutkan.

"Orang itu marah dan menampar A-kiu, lalu…..lalu pedangnya berkelebat dan... ah, mengerikan……!" Ia menengok ke arah mayat kawannya dan menangis lagi.

"Keparat itu membunuhnya karena A-kiu menjerit dan meludahinya?"

Siauw Lan mengangguk.
"Ya... lalu dia menghampiri aku yang tidak mampu bergerak dan aku ditepuknya di pundak, dan tiba-tiba aku dapat bergerak lagi. Dan dia lalu menunjuk ke arah tubuh A-kiu yang masih berkelojotan dengan darah menyembur keluar, berkata bahwa kalau aku melawan aku pun akan disembelih... hu-huuuuh! Dia... dia... lalu memaksaku, memperkosaku……uhuhuhuuuhhh……..!”

A-liong mendekap mukanya di dada.
"Tenanglah, engkau tidak bersalah ….."

"Aku mau mati saja! A-liong, biarkan aku mati saja! Untuk apa hidup dalam aib dan akan terhina selamanya?" Gadis itu meronta-ronta dan menangis.

"Tenanglah, Siauw Lan, ada aku di sini. Aku... cinta padamu, dan aku yang akan menutupi aibmu itu. Aku akan mengawinimu…..”

Gadis itu mengangkat muka, melalui air matanya ia memandang wajah pemuda itu, matanya terbelalak.

"Kau…..? Mau mengawini aku yang telah ternoda.…..?"

A-liong mengangguk penuh kepastian.
"Aku bersumpah, aku akan mengawinimu dan aku tetap menganggap engkau seorang gadis yang suci dan paling baik di dunia ini. Tentang perkosaan itu, bukan salahmu, lupakan saja. Sekarang pemuda bermulut manis dan perayu itu tentu sedang dikeroyok dan dihajar sampai mampus! Dan kelak kalau ada orang yang menghinamu karena peristiwa ini, akulah yang akan menghajarnya….."

Tiba-tiba Siauw Lan mencengkeram lengan A-liong.
"A-liong, siapa yang kaumaksudkan? Siapa yang dikeroyok dan dipukuli, yang kaumaksudkan perayu bermanis mulut itu tadi?"

A-liong memandang wajah gadis itu dengan alis berkerut.
“Siapa lagi kalau bukan pemuda asing yang pagi tadi mencoba untuk mengganggu kalian? Pemuda yang berada di batu besar dekat sungai itu?"

"Hay-ko... ?? Ahh.….tidak, tidaaakkk…..!!" teriaknya sambil meronta dan pemuda itu menjadi kaget.

"Siauw Lan, bukankah dia yang telah membunuh A-kiu dan….. memperkosamu?"

"Tidak! Bukan dia! Ahhh, A-liong, kalau engkau benar cinta padaku, lepaskan aku, aku harus pergi ke sana, mencegah mereka mengeroyoknya. Dia sama sekali tidak berdosa!"

"Bukan dia... ?" pemuda itu terkejut dan merasa heran.

"Bukan! Bukan dia. Penjahat itu jauh lebih tua dan ini.…..ini…." Siauw Lan meraba-raba ke kanan kiri di atas rumput dan akhirnya menemukan yang dicarinya, sebuah benda kecil berkilauan. "Ini...dia meninggalkan ini untukku... katanya, kalau kelak aku ingin mencari dia, inilah tandanya…..”

A-Liong mengambil benda itu dari tangan Siauw Lan dan mengamatinya di bawah sinar bulan. Ternyata sebuah perhiasan berupa tawon merah, terbuat dari emas dan batu merah.

"A-liong, kita harus cepat ke sana, mencegah mereka mengeroyok orang yang tidak bersalah!"

A-liong, adalah seorang pemuda petani yang kasar namun jujur. Mendengar pengakuan ini, dia pun menggandeng tangan Siauw Lan dan diajaknya melakukan pengejaran. Akan tetapi Siauw Lan merintih, tubuhnya terasa nyeri dan sukar baginya untuk jalan cepat.

"Biar kupondong engkau agar cepat!" kata A-Iiong.

Gadis itu tidak menolak, karena ia ingin agar mereka dapat cepat tiba di tempat itu, untuk mencegah orang-orang dusun mengeroyok pemuda yang sama sekali tidak berdosa itu.

Kita menengok keadaan Hay Hay. Dia belum tidur ketika orang-orang dusun datang berbondong-bondong ke tempat dia beristirahat. Dia masih duduk bersila di atas tanah yang telah dia beri daun-daun kering, berkalung selimut pemberian Siauw Lan sampai ke lehernya, untuk melindungi tubuhnya dari serangan nyamuk yang masih banyak berdatangan walaupun dia telah membuat api unggun.

Ketika dia mendengar suara banyak orang datang, ada yang membawa obor, dia bersikap tenang saja. Memang Hay Hay selalu bersikap tenang. Ketenangan terdapat pada diri orang yang tidak pernah mengkhawatirkan sesuatu.

Kekhawatiran timbul dari pikiran yang membayangkan hal-hal yang menyusahkan, hal-hal yang belum terjadi dan yang diperkirakan mungkin terjadi menimpa dirinya. Orang hanya dapat merasa takut dan khawatir akan hal-hal yang belum atau tidak ada. Bukan berarti orang yang tidak membayangkan hal-hal yang belum ada itu lalu menjadi lengah dan acuh. Sama sekali tidak.

Kewaspadaan akan saat ini membuat orang selalu dalam keadaan waspada, tanpa rasa takut dan khawatir. Demikian pula keadaan Hay Hay. Dia merasa heran melihat banyak orang berdatangan membawa obor, akan tetapi karena tidak membayangkan sesuatu yang tidak enak dia pun tenang-tenang saja duduk bersila dan memandang ke arah mereka.

Kewaspadaannya membuat dia maklum bahwa mereka yang kini berdiri membuat setengah lingkaran di depannya itu mempunyai niat buruk. Kemarahan dan kebencian terbayang dalam pandang mata mereka.

Hay Hay merasa heran dan siap siaga, lalu bangkit berdiri melihat bahwa rombongan orang dipimpin sendiri oleh kepala dusunnya yang tadi pagi juga sudah datang menegurnya. Kini, dua puluh orang lebih itu memandang kepadanya dengan kemarahan meluap-luap, seolah-olah mereka tidak sabar lagi dan ingin segera menghajarnya.

"Selamat malam Chung-cu." kata Hay Hay. "Ada urusan apakah maka Cu-wi beramai-ramai malam-malam begini datang ke sini?"

Orang-orang itu tidak segera menjawab, melainkan memandang kepadanya dengan sinar mata penuh kemarahan, kebencian dan selidik.

"Lihat, itu selimut Siauw Lan!" tiba-tiba seorang laki-laki, kakak Siauw Lan, berteriak sambil menuding ke arah selimut yang masih mengalungi leher Hay Hay itu. Semua orang memandang dan kemarahan mereka memuncak.

Hay Hay meraba selimut itu.
"Benar, memang Nona Siauw Lan yang tadi datang bersama seorang temannya, memberi selimut dan makanan kepadaku. Mereka adalah dua orang Nona yang amat baik hati dan aku berterima kasih sekali kepada mereka….”

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar