*

*

Ads

Minggu, 22 April 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 059

Dengan ilmu berlari cepat, sebentar saja Hay Hay tiba di tempat tujuan, memasuki hutan yang agak gelap karena di situ tumbuh pohon-pohon yang besar sekali, usianya sudah ratusan tahun dan amat lebat dan liar. Dia segera mencari binatang yang dikehendaki kakek itu dan akhirnya jauh di tengah hutan, dia melihat dua ekor harimau hitam yang sedang mendekam di bawah pohon besar.

Harimau-harimau itu sebesar anak lembu, nampaknya tangkas dan cekatan, liar dengan mata kehijauan yang bersinar-sinar. Belum pernah Hay Hay berkelahi dengan harimau, maka berdebar juga jantungnya karena tegang ketika dia menghampiri dua ekor binatang buas itu.

Dua ekor harimau itu segera dapat mencium bau manusia yang datang mendekat. Mereka bangkit dan menoleh. Ketika melihat Hay Hay muncul, mereka hanya mengeluarkan suara menggereng, memperlihatkan taring-taring yang runcing, akan tetapi tidak membuat gerakan menyerang.

Hay Hay menenangkan hatinya dan dia pun mendekat, sikapnya hati-hati dan penuh kewaspadaan. Dia dapat menduga bahwa dua ekor harimau itu tentu jantan dan betina, dan tahu bahwa kedua ekor binatang itu tentu akan menyerangnya berbareng Dia belum tahu sampai di mana kekuatan atau kecepatan dua ekor harimau itu, namun maklum bahwa mereka tentu berbahaya sekali. Maka dia pun waspada, dan sudah mempersiapkan suling kayu hitamnya. Dia harus dapat membunuh keduanya, karena melarikan diri dari seekor harimau tentu saja amat berbahaya.

Dia pun berindap-indap mendekat, dan melihat betapa dua ekor harimau itu hanya mengikuti semua gerakannya dengan pandang mata mereka yang mencorong, Hay Hay mengerti bahwa dua ekor binatang itu berbahaya sekali dan agaknya cukup cerdik dan seperti juga dia, dua ekor harimau itu agaknya hendak mengukur kekuatannya dan mencari kesempatan baik.

"Hemmmmm …..!"

Hay Hay menggereng dan kini dua ekor harimau itu memutar tubuh menghadapinya, menggereng-gereng dan makin lebar menyeringai dan memperlihatkan gigi mereka.

Melihat betapa mereka masih belum mau bergerak menyerang, hanya mengambil ancang-ancang dan agaknya mereka mengatur jarak karena kalau dia mendekat mereka mundur dan kalau dia mundur mereka maju, Hay Hay lalu menggunakan kakinya menendang sebatang kayu kering ke arah mereka untuk mengusik mereka.

Pancingannya berhasil. Dua ekor harimau itu nampak marah, merendahkan tubuhnya, mencengkeram tanah dan tiba-tiba seekor di antara mereka mendahului penyerangan, menubruk dengan loncatan yang amat kuat dan cepat.

Hay Hay yang sudah siap siaga, melihat tubrukan yang demikian kuat dan cepatnya, segera menghindarkan diri dengan meloncat ke kiri, akan tetapi tidak lupa untuk menyambut dengan tendangan kaki kanan ketika tubuh harimau itu meluncur lewat di sampingnya.

"Bukkk!!"

Tendangan itu cukup keras, membuat tubuh harimau itu terpelanting dan terbanting. Binatang itu mengaum keras dengan marahnya dan kini harimau ke dua sudah menerjang dengan dahsyatnya, tidak menubruk seperti tadi, melainkan menerjang dengan penyerangan dua buah kaki depannya, tubuhnya berdiri di atas kedua kaki belakang.

Akan tetapi Hay Hay sudah cepat meloncat lagi dengan elakan yang cepat. Pada saat itu, harimau jantan sebagai penyerang pertama, sudah meloncat dan menubruknya lagi dari belakang! Hay Hay maklum betapa hebatnya bahaya mengancam. Tak mungkin cengkeraman kuku-kuku sekuat baja dari kaki yang amat kokoh kuat itu dihadapi dengan kekebalan sinkang. Dia pun mengelak lagi. Ketika dia mengelak, kaki kiri depan binatang itu masih mencakar ke samping. Hay Hay mengayun suling kayu hitamnya, menangkis.

"Dukk!"

Kembali tubuh harimau itu terpelanting. Hay Hay tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, cepat dia menerjang dengan tendangannya pula yang mengenai tubuh belakang harimau itu.

"Desss …..!"

Harimau itu terlempar dan terbanting jatuh sampai bergulingan. Hal ini membuat harimau betina marah. Sambil mengeluarkan suara mengaum dahsyat, ia pun sudah menubruk dari samping.

Pada saat itu, Hay Hay yang baru saja melakukan tendangan berada dalam posisi yang kurang baik, maka tidak sempat lagi baginya untuk mengelak. Terpaksa dia menyambut tubrukan itu dengan ayunan suling kayunya yang menusuk dari samping ke arah leher harimau, disusul tangan kirinya yang diayun dan melakukan pukulan ke arah kepala harimau itu. Tentu saja dia mengerahkan tenaga ketika memukul.






"Dukkkk...!" Harimau itu terbanting dan berkelojotan.

Tiba-tiba, dua ekor cakar harimau telah menubruk dan mencengkeram pundaknya dari belakang! Hay Hay terkejut, tidak mengira bahwa harimau jantan tadi sudah dapat menyerangnya demikian cepat. Dia merasa kedua pundaknya nyeri dan ada bau amis dan apak mendekati tengkuknya. Maklum bahwa kalau harimau itu sudah menggigit tengkuknya dia akan celaka, cepat dia menggerakkan suling kayu hitamnya ke arah belakang tubuh sambil membalik.

"Capppp...!!"

Suling kayu hitam itu menusuk dada harimau dan menembus jantung. Untung Hay Hay sudah menggunakan tangan kirinya menyiku ke belakang sebagai susulan tusukannya sehingga cengkeraman pada pundaknya terlepas. Kalau tidak, tubuhnya bisa cabik-cabik oleh kuku-kuku harimau yang kini berkelojotan dalam sekarat itu.

Hay Hay tidak membuang waktu lagi. Ditangkapnya ekor harimau jantan yang masih berkelojotan itu dan diseretnya keluar dari hutan sambil berlari cepat. Setelah harimau itu tidak bergerak lagi, cepat dipanggulnya tubuh binatang itu dan dilarikannya ke tempat di mana kakek tua renta itu menantinya, yaitu di tepi sungai. Dia tidak peduli betapa bajunya menjadi kotor berlepotan darah dan dia merasa betapa tubuh yang sudah tidak bernyawa itu masih hangat.

Hampir kakek itu tidak dapat percaya ketika melihat pemuda perkasa itu dalam waktu yang amat singkat telah datang kembali memanggul bangkai binatang liar itu. Akan tetapi dia menyambutnya dengan girang bukan main.

"Luar biasa... sungguh luar biasai..!!" Dia memuji kagum. "Orang muda perkasa, jangan kepalang menolongku. Bukalah kepala harimau itu dengan hati-hati, keluarkan segumpal otaknya dan masaklah dengan obat ini, dengan air tiga mangkok sampai mendidih dan airnya menguap tinggal sedikit."

Dia mengeluarkan sebuah bungkusan kertas. Hay Hay menerimanya. Untung bahwa perabot masak yang dibawanya tidak rusak ketika tadi terjadi perkelahian. Dengan sebatang pisau dia membuka kepala harimau itu, mengeluarkan otaknya yang masih mengandung darah, memasukkannya dalam panci bersama obat yang ternyata berupa akar-akar dan daun-daun kering itu, mengisi panci dengan air lalu memasaknya di atas api unggun yang dibuatnya.

Kakek itu sendiri masih duduk bersila dan memejamkan mata, seperti orang bersamadhi. Sambil menanti dan menjaga obat yang dimasaknya itu, Hay Hay memotong daging harimau, memilih bagian yang gemuk, mengumpulkannya, mencuci dan menggaraminya, memberi bumbu dan menusuk daging-daging itu dengan potongan-potongan bambu, lalu memanggangnya. Bau sedap membuat kakek itu membuka kedua matanya, menoleh dan dia tersenyum.

"Daging harimau hitam itu panas, akan tetapi justru amat baik untuk memulihkan tenaga."

Tak lama kemudian obat itu pun masak sudah, airnya tinggal sedikit dan otak harimau itu Nampak merah kecoklatan bercampur dengan sari obat rempa-rempa tadi. Setelah agak dingin, kakek itu lalu mengganyangnya sampai habis! Dan mukanya nampak merah, matanya berseri.

"Orang muda, engkau telah menolongku. Obat ini melenyapkan penyakitku dan mungkin akan menambah usiaku beberapa tahun lagi. Aku ingin mengisi sisa hidupku yang tidak lama ini untuk membalas budimu..."

"Ah, Locianpwe, harap jangan bicara tentang budi. Locianpwe tadi menyelamatkan saya dari ancaman maut yang lebih mengerikan, kalau sekarang saya mencarikan obat untuk Locianpwe, apakah artinya itu? Harap dianggap saja bahwa kita berdua telah melaksanakan kewajiban sebagai orang-orang yang tahu bahwa selagi hidup harus saling bantu. Bukankah begitu, Locianpwe?"

Kakek itu tersenyum dan mengangguk-angguk.
"Engkau gagah perkasa dan bijaksana, anak baik. Karena itulah timbul keinginanku untuk mewariskan kepandaianku kepadamu. Biarpun engkau ahli silat yang pandai, ternyata tadi menghadapi serangan sihir dari Min-san Mo-ko saja, engkau hampir celaka. Maukah engkau belajar ilmu sihir dariku?"

Tentu saja Hay Hay merasa girang bukan main! Memang harus diakuinya bahwa ketika dia berhadapan dengan Min-san Mo-ko tadi, hampir dia celaka oleh serangan ilmu hitam dari kakek kurus pucat itu. Dia pun lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek tua renta itu.

"Kalau Suhu ingin mengajarkan ilmu kepada teecu, tentu saja teecu menerimanya dengan rasa sukur dan terima kasih."

"Bangkitlah, anak baik. Lihat, daging yang kaupanggang bisa hangus." Kata kakek itu.

Hay Hay bangkit dan kembali ke api unggun karena dia sedang memanggang daging harimau tadi. Setelah daging itu masak, mereka lalu duduk berhadapan di atas rumput dan makan daging yang masih panas itu, gurih dan manis rasanya, juga lunak. Mereka makan sambil bercakap-cakap.

"Siapakah namamu?"

"Nama teecu Hay dan biasa disebut Hay Hay. Teecu tidak tahu siapakah nama keturunan teecu karena sejak kecil sudah terpisah dari orang tua kandung. Teecu kini sedang dalam perjalanan mencari tahu tentang orang tua teecu. Teecu hidup sebatang kara dan tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap." Hay Hay memberi keterangan yang sejelasnya sebelum kakek itu bertanya.

Kakek itu memandang tajam dan mengerutkan alisnya, di dalam hatinya merasa kasihan.

"Dan dari siapakah engkau mempelajari ilmu-ilmu silat yang tinggi itu sehingga engkau menjadi seorang pemuda yang lihai?"

Kakek yang duduk di depannya ini telah menjadi gurunya yang ke tiga, Hay Hay tidak mau merahasiakan keadaannya lagi.

"Sejak kecil teecu dirawat dan dididik oleh dua orang Suhu, yaitu See-thian Lama dan Suhu Ciu-si,an Sin-kai …”

"Ya Tuhan ……!" Kakek itu terbelalak memandang kepada pemuda itu seperti tidak percaya akan pendengarannya sendiri. "See-thian Lama dan Ciu-sian Sin-kai…… ? Bukankah mereka itu... dari Delapan Dewa….?”

Hay Hay mengangguk.
"Benar, Suhu. Mereka adalah dua dari Delapan Dewa yang masih hidup."

"Hebat hebat...! Engkau bahagia sekali dapat menjadi murid mereka dan aku bangga bukan main dapat membimbing seorang murid dari See-thian Lama dan Ciu-sian Sin-kai. Ohhh, kini aku akan dapat mati dengan tenang."

"Suhu, bolehkan teecu mengetahui nama dan julukan Suhu?"

Kini kakek itu menghela napas panjang.
" Aku sendiri sudah lupa siapa namaku, karena selama puluhan tahun aku bertapa dan tidak berhubungan dengan manusia lain sehingga namaku pun tak pernah disebut-sebut lagi. Akan tetapi, tentu saja untukmu aku harus mempunyai nama. Nah, sebut saja namaku Pek Mau San-jin (Pertapa Gunung Berambut Putih), cocok dengan keadaanku, bukan?"

Hay Hay tidak mendesak lagi dan mulai hari itu, dia pun mengikuti Pek Mau San-jin, pergi ke puncak Pegunungan Min-san, ke dalam guha-guha yang paling sunyi untuk belajar ilmu sihir yang banyak membutuhkan latihan samadhi di tempat yang amat hening.

Kakek itu dengan tekun melatih muridnya dengan dasar-dasar latihan kekuatan batin sebagai dasar pelajaran ilmu sihir. Akan tetapi sebelum memulai dengan pelajaran ilmu sihir, kakek itu dengan tegas memperingatkan muridnya.

"Hay Hay, ingat baik-baik. Biarpun segala macam ilmu kalau dipergunakan dengan sesat akhirnya akan menjadi kutuk bagi sendiri, namun ilmu sihir ini mendatangkan akibat yang langsung. Sejak ribuan tahun turun-temurun, yang mempelajari ilmu sihir seperti yang akan kuajarkan kepadamu, tidak terlepas daripada syarat batin yang tak dapat dihindarkan lagi. Yaitu, ilmu ini harus dipergunakan untuk kebaikan saja, dan dilarang keras untuk dipergunakan secara sesat. Tidak boleh dipergunakan untuk melakukan kejahatan atau merugikan orang lain, lahir maupun batin. Kalau sampai larangan ini dilanggar, maka akibatnya akan menghantam diri sendiri. Ilmu itu sendiri yang akan menghancurkannya, sedikitnya mendatangkan penyakit seperti yang kualami, besar kecilnya hukuman itu sesuai dengan besar kecilnya pelanggaran. Bahkan ilmu itu sendiri akan dapat membunuh kalau sampai melakukan kejahatan yang besar. Karena itu, ingatlah selalu, muridku, bahwa ilmu ini tidak sekali-kali boleh dipergunakan untuk kejahatan, karena engkau tidak akan bebas daripada hukumannya."

Hay Hay mengangguk-angguk, sedikit pun tidak merasa khawatir.
"Akan teecu ingat selalu, Suhu."

Demikianlah, mulai hari itu Hay Hay belajar dengan tekun. Akan tetapi, dia hanya sempat belajar satu tahun saja pada Pek Mau San-jin, karena setelah kurang lebih setahun mempelajari ilmu sihir dari kakek itu, Pek Mau San-jin meninggal dunia karena usia tua. Hay Hay mengubur jenazah kakek yang menjadi gurunya itu seperti pesannya ketika masih hidup, di bawah sebatang pohon di dekat guha tempat gurunya bertapa, meletakkan sebuah batu besar sebagai tanda makam.

Setelah melakukan sembahyang untuk memberi hormat terakhir kepada gurunya, Hay Hay lalu pergi meninggalkan tempat itu. Kini dibekali sebuah ilmu baru, yaitu ilmu sihir yang walaupun belum dipelajari sampai tamat karena gurunya keburu meninggal dunia, namun kiranya cukup untuk memperlengkap bekal ilmu pembela dan pelindung diri.

**** 059 ****
Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar