*

*

Ads

Senin, 23 April 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 063

"Aku adalah Pek Eng, puteri Ketua Pek-sim-pang. Tidak perlu bicara dengan Ayahku, kalau ada keperluan, cukup kalian bicara saja dengan aku. Mau apakah kalian datang ke tempat kami ini?"

Hatinya makin kesal membayangkan betapa keluarganya bersama para anggauta Pek-sim-pang terpaksa melarikan diri karena ulah orang-orang ini.

Tiga orang pendeta itu saling pandang, kemudian Si Muka Bopeng yang agaknya menjadi wakil pembicara mereka, berseru.

"Omitohud...! Kiranya Nona adalah puteri Pek Kong? Jadi Nona adalah Adik Sin-tong... hemmm, baiklah, kami akan bicara denganmu, Nona. Sampaikan kepada Ayahmu bahwa kami datang untuk menagih hutang. Sudah dua puluh tahun kami menanti dengan sabar, kini Sin-tong telah menjadi dewasa, maka keluarga Pek harus menyerahkan Sin-tong kepada kami!"

Tentu saja hati Pek Eng yang sudah sakit dan marah terhadap para pendeta Lama, kini menjadi semakin panas mendengar ucapan pendeta muka bopeng itu. Ia pun melangkah maju, membusungkan dadanya dan suaranya nyaring dan keras penuh kemarahan ketika ia membentak.

"Kalian iblis-iblis neraka yang menyamar menjadi pendeta-pendeta, seperti harimau-harimau berkerudung bulu domba! Kalian inilah manusia-manusia terkutuk yang telah membuat kakak kandungku semenjak lahir berpisah dengan keluarga kami. Masih belum puas kalian yang jahat ini mengacau keluarga kami sampai dua puluh tahun kini datang lagi. Sungguh, manusia-manusia terkutuk macam kalian ini harus dibasmi!"

Kini ada dua belas orang anak murid Pek-sim-pang yang berkumpul disitu dan mendengar kata-kata keras nona mereka, empat orang yang berada paling depan sudah menerjang pendeta Lama muka bopeng itu.

"Pergilah!" pendeta Lama itu membentak sambil mengebutkan lengan bajunya ke depan, menyambut serangan empat orang itu.

Empat orang itu seperti daun-daun kering dilanda angin keras, tubuh mereka terpelanting dan terbanting keras sampai bergulingan di atas tanah.

Melihat ini, delapan orang murid Pek-sim-pang lainnya cepat mengikuti gerakan Pek Eng yang mengepung tiga orang pendeta Lama itu. Pek Eng sudah mencabut sebatang pedang, juga delapan orang itu mengambil senjata masing-masing. Empat orang murid yang tadi roboh ternyata tidak terluka berat dan mereka pun kini ikut mengepung.

"Omitohud, kiranya Pek-sim-pang kini hanya menjadi Perkumpulan tukang pukul yang beraninya hanya main keroyokan saja!" kembali kakek pendeta bermuka bopeng itu berseru mengejek.

Mendengar ini, Pek Eng lalu membentak para murid itu.
"Kalian mundurlah dan jangan mengeroyok! Biarkan aku menghadapi anjing gundul muka bopeng ini!"

Kemarahan Pek Eng sudah memuncak sehingga ia tidak ingat akan sopan santun lagi, kini terang-terangan ia memaki pendeta Lama itu sebagai anjing!

Pendeta Lama termuda di antara mereka lalu maju, dan dengan bahasa Han yang lucu dan patah-patah dia berkata,

"Omitohud, biarlah pinceng yang melayani Nona ini, Suheng."

Kiranya pendeta ini sute dari Si Muka Bopeng. Dia seorang pendeta yang tubuhnya kurus sekali, seperti tulang-tulang dibungkus kulit saja, mukanya seperti tengkorak hidup, sepasang mata yang cekung itu nampak kehitaman, mengerikan sekali wajah pendeta Lama ini. Dia melangkah maju sambil mengebutkan jubah kuningnya. Si Muka Bopeng mengangguk dan mundur, berdiri di samping pendeta lainnya yang sejak tadi diam saja.

"Huh, engkau ini anjing kurus kurang makan mau banyak menjual lagak? Menggelindinglah dari sini!" bentak Pek Eng yang marah dan gadis ini sudah melangkah maju dan mengirim tendangan yang cepat dan kuat dengan kaki kanannya.

Tendangan itu cepat datangnya, mengarah pusar lawan, gerakannya seperti terputar dan ini merupakan tendangan khas dari ilmu silat keluarga Pek, yaitu ilmu silat yang mereka namakan Pek-sim-kun.

"Hemm, gadis manis yang ganas!" terdengar pendeta kurus kering itu berseru perlahan, namun dengan miringkan tubuhnya, dia dapat mengelak dari sambaran kaki Pek Eng; tangannya menyambar untuk menangkap kaki yang menendang itu.

Melihat ini, Hay Hay mengerutkan alisnya. Orang ini, biarpun memakai pakaian jubah pendeta, akan tetapi, mempunyai hati yang condong ke arah kecabulan dan kekurangajaran, pikirnya. Dia sendiri tidak akan tega, bahkan malu sendiri kalau menyerang dengan cara menangkap kaki lawan yang merupakan seorang gadis remaja!






Akan tetapi, pedang di tangan Pek Eng berkelebat menyambut tangan pendeta Lama itu! Sang Pendeta menarik kembali tangannya, membuat langkah memutar sehingga tubuhnya berputar dan keetika membalik, dia sudah membalas dengan cengkeraman tangannya ke arah kepala Pek Eng. Sungguh merupakan serangan yang amat ganas dan juga berbahaya sekali!

Begitu melihat gerakan-gerakan mereka, Hay Hay sudah maklum bahwa agaknya lawan gadis itu lebih unggul dan lebih berbahaya, maka diam-diam dia sudah siap siaga untuk membantu dan menyelamatkan kalau sampai gadis itu terancam bahaya. Tentu saja dia menaruh perhatian besar atas peristiwa ini, peristiwa yang dekat sekali hubungannya dengan dirinya.

Masih teringat dia betapa ketika masih kecil dia menjadi rebutan orang-orang sakti, karena dia disangka Sin-tong. Kiranya sampai sekarang, para pendeta Lama di Tibet itu masih saja meributkan urusan Sin-tong dan masih merasa penasaran, berani datang menyerbu Pek-sim-pang untuk menuntut agar Sin-tong yang kini lelah dewasa itu diserahkan kepada mereka!

Pek Eng dapat bergerak lincah. Ketika rnetihat sambaran tangan dengan lengan baju lebar itu ke arah kepalanya, ia cepat melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik, lalu memutar pedangnya dan membuat serangan lagi. Pedangnya yang diputaar-putar itu mendahului gerakan kakinya ke depan dan tiba-tiba pedang meluncur menjadi serangan tusukan ke arah dada pendeta Lama yang kurus kering.

"Trakkk …..!”

Pedang di tangan Pek Eng terpukul miring dan gadis itu harus mempertahankan pedangnya yang hampir saja terlepas dari tangannya saking keras dan kuat tangkisan pendeta itu.

Dan kesempatan ini dipergunakan oleh Sang Pendeta untuk mencengkeram pundak Pek Eng dari samping. Namun, gadis itu memiliki gerakan lincah dan gesit sekali. Dalam keadaan berbahaya itu ia masih sempat melempar tubuh ke atas tanah, bergutingan menjauh dan melompat bangun lagi setelah terbebas dari ancaman lawan. Bukan main marahnya hati Pek Eng. Ia mengeluarkan suara melengking nyaring dan menyerang lagi.

Hay Hay kini siap siaga. Gadis itu sudah nekat dan ini tandanya ia terancam bahaya. Ilmu silat gadis itu memang cukup baik, apalagi ia memiliki ginkang yang lumayan, yang membuat tubuhnya dapat bergerak dengan gesit sekali, akan tetapi dalam hal ilmu kepandaian silat, jelas ia masih kalah jauh dibandingkan pendeta kurus kering itu. Kalau ia nekat menyerang, ia dapat celaka.

Terjangan Pek Eng disambut dengan senyum dingin oleh pendeta kurus kering. Beberapa kali ia mengelak dan mengebutkan lengan baju, melindungi diri sambil mencari kesempatan.

Ketika tangkisan kebutan lengan bajunya kembali membuat tubuh gadis itu miring, kakinya menendang cepat. Pek Eng berusaha menarik kakinya dan miringkan tubuh namun tetap saja pahanya tersentuh ujung sepatu lawan dan iapun terpelanting, lalu cepat bergulingan menjauhi.

Ketika ia meloncat bangun, mukanya agak pucat, pakaiannya kotor dan kakinya agak terpincang. Akan tetapi agaknya ia tidak menjadi kapok bahkan kini ia memutar pedang di atas kepala untuk melakukan serangan lebih nekat lagi. Pada saat itu muncullah beberapa orang keluar dari pintu gerbang.

"Eng-ji, tahan senjata '" terdengar bentakan orang dan Pek Eng terpaksa menghentikan gerakan pedangnya ketika mendengar suara ayahnya.

Dengan muka merah saking marah dan penasaran, ia lalu berdiri dengan pedang masih di tangan.

Pek Kong dan Pek Ki Bu telah berdiri disitu bersama Souw Bwee dan beberapa murid Pek-sim-pang yang lebih tua. Melihat betapa Pek Eng berkelahi melawan seorang pendeta Lama, Ketua Pek-sim-pang dan ayahnya memandang kepada tiga orang pendeta Lama itu dengan alis berkerut.

Mereka berdua mengenal tiga orang pendeta Lama itu sebagai tokoh-tokoh para Lama di Tibet, tokoh tingkat tiga yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Jangankan Pek Eng, walaupun Pek Kong sendiri bukan lawan mereka, dan Pek Ki Bu sendiri pun meragukan apakah dia akan mampu melawan seorang diantara mereka.

"Omitohud... selamat bertemu, Pek-sim-pangcu!" kata pendeta Lama muka bopeng sambil menjura kepada Pek Ki Bu diturut oleh dua orang temannya.

Pek Ki Bu balas menjura dan berkata,
"Sam-wi keliru, bukan saya yang menjadi ketua sekarang, melainkan anak saya Pek Kong."

"Aih, maaf... maaf... kiranya Pek-taihiap telah memperoleh banyak kemajuan dan menjadi Ketua Pek-sim-pang." kata pula pendeta muka bopeng.

Pek Kong mengerutkan alisnya dan menjura ke arah tiga orang pendeta itu.
"Harap maafkan kalau puteri kami yang masih terlalu muda itu berlancang tangan dan mulut terhadap Sam-wi Losuhu. Akan tetapi, kami Pek-sim-pang agaknya sudah tidak mempunyai urusan lagi dengan Cu-wi di Tibet, maka, apa maksud Sam-wi datang berkunjung ke tempat kami?" Kata-kata itu sopan dan merendah, namun mengandung teguran.

Sejak tadi Hay Hay memandang penuh perhatian dan dia merasa kagum kepada keluarga Pek itu. Mereka adalah orang-orang gagah, pikirnya.

"Perlukah Pangcu bertanya lagi? Sudah dua puluh tahun lebih kami bersabar dan kini terpaksa kami harus datang untuk menjemput Sin-tong yang kini tentu telah menjadi dewasa, untuk mengangkatnya dengan upacara kebesaran menjadi seorang pendeta Lama, calon Dalai Lama."

Pek Kong mengerutkan alisnya dan dia mendongkol bukan main.
"Pihak para Lama di Tibet sungguh terlalu mendesak orang!" dia berkata, nada suaranya jelas menunjukkan kemarahannya. "Sejak kecil putera kami itu hilang entah kemana, hal ini semua orang juga mengetahui. Bahkan kami sebagai orang tuanya, merasa prihatin dan berduka karena kami tidak tahu dia berada dimana. Bagaimana sekarang Sam-wi datang-datang menuntut kami menyerahkan putera kami? Kami sedang berduka akan tetapi Sam-wi bahkan hendak menekan, sungguh suatu perbuatan yang tidak layak dan tidak mulia sama sekali."

"Omitohud, semoga Sang Buddha mengampuni kita sekalian!" pendeta muka bopeng berseru, lalu dia tersenyum menyeringai. "Pangcu dapat saja membohongi orang lain, akan tetapi tidak mungkin membohongi para Dalai Lama yang arif bijaksana dan mengetahui segala sesuatu yang terjadi di permukaan bumi ini. Menurut ramalan dan penglihatan tajam beliau, kini Sin-tong telah menjadi dewasa. Selama ini, anak itu diberi nama Pek Han Siong, bukan? Dan dia mempelajan ilmu-ilmu dan kini telah menjadi seorang pemuda dewasa yang perkasa. Nah, kalau dia belum pulang kesini, katakan saja dimana dia dan kami akan segera menjemputnya, Pangcu." .

"Kami tidak tahu!" Tiba-tiba Souw Bwee, isteri Pek Kong menjawab dengan suara mengandung isak. "Andaikata kami tahu sekalipun, tidak akan kami beritahukan kepada kalian, pendeta-pendeta keparat!"

Sakit sekali rasa hati ibu yang dipisahkan dari puteranya ini, merasa sakit hati yang dipendam selama ini sekarang meledak setelah melihat betapa tiga orang pendeta Lama itu mendesak.

"Omitohud..., Toanio, tidak baik memaki kami para pendeta. Toanio akan dikutuk dan akan hidup dalam kesengsaraan ……" Pendeta muka bopeng menegur.

“Tidak peduli!" Wanita yang sudah marah itu membentak. "Selama ini aku sudah hidup sengsara dlpisahkan dari puteraku oleh kalian pendeta-pendeta busuk. Sekarang aku malah ingin membunuh kalian!"

Berkata demikian, nyonya itu sudah bergerak maju menyerang Si Muka Bopeng. Suaminya terkejut sekali, akan tetapi tidak keburu mencegah.

“Plakk!"

Si Muka Bopeng menggerakkan tangan dan lengan bajunya yang panjang lebar itu menyambar. Tubuh nyonya itu terhuyung ke belakang.

"Ibu …..!"

Pek Eng menubruk dan merangkul ibunya yang mukanya menjadi pucat. Pipi kanan ibunya membiru dan darah mengalir dari mulutnya. Ternyata ujung lengan baju itu menampar muka dan biarpun tidak mengakibatkan luka berbahaya, namun pipi wanita itu bengkak dan membiru.

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar