*

*

Ads

Senin, 23 April 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 065

"Hemm, seharusnya Dalai Lama sendiri, atau setidaknya harus utusan yang berilmu tinggi. Akan tetapi karena kalian bertiga sudah tiba disini, baiklah. Aku akan ikut kalian kalau saja kuanggap ilmu kepandaian kalian tinggi sehingga aku akan merasa cukup terhormat. Nah, kalian majulah. Ingin kulihat sampai dimana kelihaian kalian, apakah patut untuk menjadi orang-orang yang ditugaskan menjemput diriku."

Tiga orang pendeta Lama itu saling pandang dan mereka kelihatan terkejut dan juga terheran-heran, lalu menjadi bingung sendiri. Selama mereka menjadi pendeta Lama, baru sekali inilah ada Sin-tong yang ketika dijemput hendak menguji dulu kepandaian para penjemputnya! Biasanya, yang sudah-sudah, seorang Sin-tong hanya pandai menghafal isi kitab-kitab suci, merupakan seorang setengah dewa yang lemah-lembut dan sama sekali tidak pernah mempergunakan kekerasan.

Akan tetapi, Sin-tong yang ini menantang mereka untuk menguji kepandalan silat! Padahal tingkat mereka dalam ilmu silat sudah amat tinggi. Keluarga Pek yang merupakan orang-orang gagah terkenal dari Pek-sim-pang saja bukan tandingan mereka, apalagi pemuda ini yang kelihatan begitu lemah!

"Hayo mulai, kenapa kalian diam saja?"

Hay Hay mendesak. Keluarga Pek dan juga para anggauta Pek-sim-pang memandang dengan muka pucat dan jantung berdebar. Betapa beraninya pemuda itu, menantang tiga orang pendeta Lama yang demikian lihainya sehingga Ketua Pek-sim-pang dan ayahnya saja bukan tandingan mereka!

"Kami... mana kami berani?" Akhirnya pendeta bermuka bopeng mewakili dua orang temannya menjawab.

Hay Hay mengerutkan alisnya, pura-pura marah.
“Kalau katian tidak memenuhi permintaanku, berarti kalian memandang rendah kepadaku dan selain aku tidak akan sudi ikut ke Tibet, juga kelak aku akan melapor kepada Dalai Lama bahwa kalian bertiga telah menghina diriku!"

Terkejutlah tiga orang pendeta Lama itu. Mereka saling pandang, lalu berbisik-bisik dan mengadakan perundingan diantara mereka sendiri dalam bahasa Tibet. Akhirnya, Si Pendeta Kurus Pucat yang melangkah maju dan menjura dengan hormat kepada Hay Hay.

"Biarlah pinceng mewakili teman-teman untuk menerima perintah Sin-tong dan siap untuk diuji kepandaian pinceng." katanya dengan sikap hormat.

Melihat ini. diam-diam Hay Hay tersenyum. Tiga orang pendeta Lama ini ternyata memandang rendah kepadanya. Dari gerakan-gerakan mereka tadi ketika berkelahi dalam beberapa gebrakan melawan orang-orang Pek-sim-pang, dia dapat menilai bahwa diantara mereka bertiga, Si Kurus Pucat ini yang paling rendah ilmunya, sedangkan yang tinggi besar muka hitam itu yang paling lihai.

"Baik, majulah. Akan tetapi kalau engkau kalah, dua yang lain harus kuuji pula kepandaiannya. Kalau aku tidak mampu mengalahkanmu, berarti tingkat kepandaian kalian bertiga sudah cukup tinggi." kata Hay Hay dan dengan sikap sembarangan saja dia lalu membuat kuda-kuda.

Melihat betapa pemuda itu membuat kuda-kuda dengan kedua kaki berdiri tegak, lututnya bengkak-bengkok seperti orang yang tidak bertenaga, pinggangnya juga menggeliat-geliat ke sana-sini seperti orang habis bangun tidur, matanya melirik-lirik ke sana-sini, terutama ke arah Pek Eng, kedua tangannya juga tergantung agak ke belakang, sungguh sikap ini sama sekali tidak meyakinkan! Bukan sikap atau kuda-kuda seorang ahli silat yang tangguh.

Diam-diam keluarga Pek merasa kecewa dan gelisah, sedangkan pendeta kurus pucat itu bersama kawan-kawannya merasa geli. Sin-tong yang ini tidak becus ilmu silat akan tetapi hendak menyombongkan diri, pikir mereka. Akan tetapi karena pemuda itu Sin-tong, tentu saja mereka tidak berani mentertawakan, juga Si Kurus Pucat tidak akan berani menjatuhkan tangan besi melukai, apalagi membunuh Sin-tong! Hanya saja, melihat gaya Sin-tong yang lemah ini, hatinya merasa lega.

Dari Dalai Lama dia mendengar bahwa Sin-tong telah menjadi seorang pemuda dewasa yang berilmu tinggi, akan tetapi melihat sikap tidak meyakinkan itu, dia tahu bahwa dengan mudah dia akan mampu mengalahkan pemuda ini. Dia hanya akan mengelak dan menangkis saja, membuat pemuda itu kehabisan tenaga dan napas agar menyerah dengan sendirinya, tanpa membalas serangan dan tanpa memukul atau menendang!

"Hayo seranglah!" kata Hay Hay.

“Pinceng tidak berani, harap Paduka Yang Mulia menyerang." jawab kakek pendeta kurus pucat itu.

“Rewel benar kau! Kalau tidak mau menyerang, mana aku tahu sampai dimana kelihaianmu?”






Pek Eng memandang dengan alis berkerut. Benarkah pemuda tolol ini kakak kandungnya? Kenapa begitu tolol, apakah tidak melihat bahwa pendeta kurus pucat itu lihai bukan main? Sungguh mencari penyakit saja, pikirnya tak puas. Hatinya kecewa, tidak puas memiliki seorang kakak kandung seperti itu, sombong dan brengsek!

“Baiklah, pinceng menyerang, harap disambut!” kata pendeta kurus pucat dan dia pun menyerang.

Akan tetapi itu sama sekali tidak dapat dinamakan serangan, karena tangan kirinya bergerak perlahan, seperti hendak mengusap pundak kanan Hay Hay saja. Gerakannya juga lambat dan tidak mengandung tenaga.

Hay Hay dengan gerakan kaku mundur untuk mengelak, mulutnya mengomel panjang pendek.

"Wah, kalau pukulanmu hanya seperti itu, untuk memukul tahu pun tidak akan pecah. Mana bisa dibilang lihai?"

Pendeta Lama itu maklum bahwa gerakannya terlalu lambat dan lemah, maka agar tidak kentara bahwa dia mengalah, dia maju lagi dan menyerang lagi, kini agak lebih cepat dan lebih kuat, maksudnya pun hanya mengelus ke arah pundak kiri pemuda itu, sambil menanti pemuda itu membalas serangannya.

Akan tetapi kembali dengan gerakan kaku Hay Hay mengelak, kini mengelak ke samping dan masih mengomel.

"Hanya sebegini? Tidak ada mutunya sama sekali. Ilmu silat apa sih ini?" Dia mengejek dan mencela.

Muka yang pucat itu kini berubah agak merah, apalagi ketika pendeta itu mendengar suara ketawa di sana-sini, suara ketawa para anggauta Pek-sim-pang yang merasa betapa lucunya pertunjukan itu.

"Pinceng akan menyerang lagi lebih cepat, harap siap siaga!”

Dia membentak lalu kini menubruk dengan lebih cepat dan bertenaga. Maksudnya untuk menangkap dan memeluk Sin-tong agar tidak dapat bergerak meronta lagi dan langsung membawanya lari ke Tibet.

"Wuuuttt... brukkk …….!"

Hampir saja pendeta itu berteriak kaget karena yang ditubruknya hanya angin belaka! Tubrukannya luput! Betapa mungkin ini? Dia tadi menggunakan kecepatan dan tenaga sinkang, akan tetapi tanpa diketahuinya bagaimana caranya, tahu-tahu tubrukannya mengenai tempat kosong dan pemuda itu entah pergi kemana.

"Heii, muka pucat. Engkau sedang apa-apaan disitu? Jangan main-main, aku minta engkau menggunakan ilmu silat mengalahkan aku, bukan untuk main-main seperti orang mencari kodok saja. Apakah engkau biasa menangkap dan makan daging kodok?"

Kini lebih banyak lagi terdengar suara ketawa dan keluarga Pek memandang dengan terheran-heran. Tadinya mereka merasa kecewa dan tidak puas melihat sikap ketololan dari pemuda yang mereka sangka Pek Han Siong itu. Mereka tahu bahwa pendeta kurus pucat itu mengalah dan tidak berani menggunakan kekerasan. Pemuda itu yang mereka anggap tidak tahu diri.

Akan tetapi tubrukan tadi cukup cepat, dan mereka melihat betapa pemuda itu hanya memutar kakinya seperti gasing dan tahu-tahu sudah berada di luar tubrukan dan tubrukan itu pun mengenai tempat kosong sedangkan pemuda itu tahu-tahu dengan terhuyung-huyung, telah berada di belakang Si Pendeta dan menegurnya dengan kata-kata mengejek. Seperti juga pendeta kurus pucat itu, para keluarga Pek juga mengira bahwa keberhasilan pemuda itu menghindarkan diri dari tubrukan hanyalah kebetulan saja.

"Hayo pukullah aku, seranglah dan jangan main.main. Apa engkau ingin aku menjadi marah dan memukulmu sampai babak belur?”

Mendengar ucapan keras pemuda ini, kembali memancing suara ketawa geli di sana-sini. Pemuda yang agaknya sama sekali tidak pandai ilmu silat itu kini malah mengancam hendak memukul si pendeta lihai sampai babak belur!

"Baik, dan Paduka sambutlah!" kata Si Pendeta Kurus Pucat.

Kini dia harus berhasil, pikirnya. Dia mengerahkan sinkang dan dengan cepat sekali pukulan tangannya yang dikepal sudah meluncur ke arah perut Hay Hay. Semua orang terkejut. Pukulan itu cepat dan dahsyat, kalau mengenai perut pemuda yang tidak pandai silat itu tentu akan mengakibatkan isi perutnya berantakan dan Sin-tong pasti tewas!

Wajah Pek Kong, Souw Bwee, Pek Ki Bu dan Pek Eng sudah menjadi pucat sekali, bahkan Souw Bwee memejamkan mata, tidak tega melihat puteranya terpukul mati. Dan semua orang melihat betapa pemuda yang tidak pandai silat itu agaknya tidak tahu akan datangnya pukulan, buktinya dia masih menyeringai dan tidak bergerak untuk mengelak atau menangkis!

Pendeta kurus pucat itu memang sudah menduga bahwa Sin-tong pasti tidak akan mampu mengelak, maka dengan kepandaiannya yang tinggi dia sudah dapat menguasai gerakannya sepenuhnya, maka begitu kepalan tangannya mendekati perut lawan, dia sudah dapat menahan dan mengeremnya sehingga kepalan itu hanya menyentuh kulit perut perlahan saja, tanpa ada angin pukulan tenaga sinkang.

“Plekk!” kepalan itu hanya menempel lirih saja, lembut dan tidak mendatangkan rasa nyeri sama sekali.

Hay Hay tersenyum mengejek.
"Ha-ha, begitu saja pukulanmu! Wah, lebih lunak daripada tahu! Mana bisa dibilang lihai kalau pukulannya hanya seperti ini?”

"Sin-tong, pinceng tidak berani memukul sungguh-sungguh. Paduka tidak akan kuat menerima pukulan pinceng!” kata Si Kurus Pucat yang menjadi mendongkol juga karena semua orang tersenyum, ada pula yang tertawa mendengar ejekan Hay Hay tadi.

Mereka semua tidak suka kepada para Lama yang menyebabkan Pek-sim-pang harus pergi mengungsi, apalagi kini tiga orang Lama datang untuk membawa pergi putera ketua mereka. Maka, melihat betapa pendeta Lama yang kurus pucat itu dipermainkan, mereka merasa gembira juga

"Apa ……..? Aku tidak tahan menerima pukulanmu? Ha-ha-ha, jangan bergurau! Pukulanmu tidak akan menghancurkan sepotong tahu, apalagi perutku!"

Hay Hay tidak menyombong. Tadi pun sudah melindungi perutnya dengan sin-kang yang terkuat, untuk menjaga diri Andalkata tadi Si Pendeta Lama memukulnya benar-benar, tetap saja dia tidak akan terluka!

"Sebaiknya kalau Paduka saja yang memukul pinceng dan pinceng akan menjaga diri. Kalau sampai pinceng dapat terpukul roboh satu kali saja, biarlah pinceng mengaku kalah." kata pula hwesio kurus pucat dengan sikap serba salah.

Diam-diam dia mendongkol bukan main karena ucapan-ucapan yang mengejek itu, yang membuat dia menjadi bahan tertawaan orang banyak. Memukul sungguh-sungguh, tentu saja dia tidak berani melukai Sin-tong, tidak sungguh-sungguh, dia dijadikan bahan ejekan dan tertawaan.

“Benarkah? Saudara-saudara semua mendengar sendiri bahwa kalau aku mampu memukul dia roboh satu kali saja, dia akan mengaku kalah. Harap Saudara sekalian menjadi saksi!" kata Hay Hay sambil memutar tubuh ke empat penjuru. Para anggauta Pek-sim-pang sudah menjadi semakin gembira.

"Kami menjadi saksi!" terdengar; teriakan di sana-sini.

"Nah, puluhan orang menjadi saksi agar engkau nanti tidak melanggar janjimu sendiri. Bersiaplah, aku akan segera menyerang!" kata Hay Hay.

Kini pendeta itu bersiap siaga, memasang kuda-kuda yang kokoh kuat, sedangkan para keluarga Pek menonton dengan hati tegang dan penuh perhatian. Kini mereka ingin melihat bagaimana sebenarnya kepandaian pemuda itu karena sejak tadi, pemuda itu belum pernah memperlihatkan satu kali pun gerakan ilmu silat. Sekarang, karena dia hendak menyerang, tentu dia akan menggunakan jurus-jurus silat dan mereka ingin mengenal aliran silat apa yang dimiliki pemuda itu.

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar