*

*

Ads

Rabu, 25 April 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 071

"Mereka sudah pergi. Belum ada satu jam mereka pergi dan engkau bersama Ayah dan pamanmu datang."

"Akan tetapi mengapa ada pendeta-pendeta mengacau? Apakah mereka itu masih terus mendesak dan mencari Kakak kandungmu yang disebut Sin-tong itu?"

Pemuda ini memang sudah mendengar tentang peristiwa yang menimpa keluarga Pek dengan lahirnya kakak Pek Eng yang dianggap Sin-tong dan diminta oleh para pendeta Lama di Tibet.

Gadis itu mengangguk.
"Mereka masih terus mencari kakakku yang belum juga pulang. Ah, sudahlah, Toako. Sekarang aku lelah sekali dan kuharap engkau tidak pelit untuk memperlihatkan ilmumu. Tentu Ilmu Silat Tangan Baja darimu kini sudah maju pesat dan engkau tentu sudah menjadi lihai sekali."

Bu Hok adalah seorang yang amat mengagulkan kepandaiannya sendiri. Harus diakui bahwa dia telah mewarisi ilmu kepandaian ayahnya dan pamannya, dan dia dapat dikatakan murid terpandai di Kang-jiu-pang dan tingkatnya hanyalah sedikit di bawah tingkat ayahnya dan pamannya!

“Ilmu silat tangan kosong dari Kang-jiu-pang telah kukuasai semua, Eng-moi, dan latihanku telah matang dan mencapai puncaknya. Kiranya hanya Ayah dan Paman saja yang dapat mengimbangi aku. Akan tetapi itu masih belum dapat dinamakan maju pesat. Dengan bantuan Ayah dan Paman, aku telah dapat merangkai semacam ilmu pedang yang bersumber dari gerakan Ilmu Silat Tangan Baja, dan karena itu, kuberi nama Ilmu Pedang Tangan Baja (Kang-jiu-kiam). Ilmu pedang ini sedang kulatih terus dan kuperbaiki dengan petunjuk-petunjuk Ayah dan Paman, dan aku baru akan puas kalau dapat menciptakan ilmu pedang itu sebagai ilmu pedang terkuat di dunia persilatan."

Pek Eng memandang kagum. Pemuda Kang-jiu-pang ini memang selalu mengagumkan hatinya, seorang pemuda yang gagah dan selalu bersikap ramah dan manis kepadanya sebagai seorang sahabat baik atau seorang kakak yang bersikap melindungi. Akan tetapi kini kekagumannya terhadap Bu Hok ternoda oleh kenyataan bahwa kiranya tidak mungkin Bu Hok lebih pandai dari pemuda anak jai-hwa-cat yang berdiri di sudut petak rumput itu!

Hay Hay seperti merusak semua kegembiraannya, membuat segalanya menjadi tawar. Akan tetapi juga kini sikap Bu Hok dan sikap Hay Hay membuat Pek Eng melihat kenyataan lain yang menggugah hatinya. Dia telah melihat sendiri kelihaian Hay Hay yang mampu mengusir tiga orang pendeta Lama yang berilmu tinggi tadi, akan tetapi sikap Hay Hay demikian merendah, bahkan kelihatan seperti seorang pemuda lemah dan tolol, sedikit pun tidak menonjolkan kepandaiannya.

Sebaliknya, kini dalam pandang matanya, Bu Hok kelihatan terlalu mengagulkan dirinya! Maka, timbullah keinginan hatinya untuk mengadu kedua orang pemuda ini!

"Song-toako, perlihatkanlah ilmu silatmu agar aku dan... Saudara Tang Hay disana itu dapat mengaguminya."

Bu Hok menoleh ke arah Hay Hay, agaknya baru sekarang dia teringat bahwa Hay Hay berada disitu bersama mereka.

"Baik, aku akan berdemonstrasi untukmu, Eng-moi. Akan tetapi apakah dia itu akan dapat menilai dan menghargai ilmu silatku? Seorang laki-laki yang tidak pandai ilmu silat adalah seperti seekor harimau yang kehilangan taring dan kukunya, tidak ada harganya lagi."

"Aih, Song-toako, jangan pandang rendah kepada dia itu. Ilmu silatnya lihai sekali dan kita berdua bukanlah tandingannya!" Pek Eng berkata sungguh-sungguh akan tetapi juga bermaksud membakar hati Bu Hok.

Mendengar ucapan ini, Bu Hok memandang kepada Hay Hay dengan sinar mata tajam penuh selidik, alisnya berkerut dan hatinya sama sekali tidak percaya. Dia lalu menghampiri Hay Hay dan dengan sikap hormat namun angkuh dia bertanya.

"Saudara Tang Hay, benarkah engkau lihai sekali dalam ilmu silat?”

Hay Hay sejak tadi tersenyum saja dan kini menghadapi pertanyaan putera Ketua Kang-jiu-pang, dia tersenyum makin lebar. Dari sikap pemuda itu, dia tahu bahwa pemuda tinggi besar itu agaknya tertarik atau bahkan jatuh cinta kepada Pek Eng dan dalam gerak-gerik dan kata-katanya, juga pandang mata dan ucapannya, jelas bahwa pemuda tinggi besar itu sedang berusaha untuk memamerkan diri dan memancing kekaguman dari gadis itu.

Hal ini dianggapnya wajar dan dia tidak merasa heran kalau pemuda itu agak angkuh dan sombong nampaknya, memang demikian sikap orang yang ingin menonjolkan diri untuk menarik perhatian seorang gadis.






"Ah, tidak, Song-kongcu (Tuan Muda Song), aku hanya mempelajari sedikit saja gerakan untuk membela diri." katanya merendah karena dia tidak ingin mengurangi nilai pribadi yang sedang dipupuk oleh pemuda Kang-jiu-pang itu.

Akan tetapi Song Bu Hok masih belum merasa puas. Gadis tadi mengatakan bahwa ia berdua dengan dirinya tidak akan mampu menandingi pemuda yang senyum-senyum tolol ini!

“Saudara Tang, engkau dari perguruan manakah?" tanyanya pula, agak lega bahwa setidaknya pemuda tni menyebut "kongcu” kepadanya, tanda bahwa pemuda ini menghormat dan menghargainya, dan tahu bahwa derajatnya lebih tinggi daripada pemuda itu.

Kembali Hay Hay menjawab sambil tersenyum,
"Ah, aku hanya belajar begitu saja, tidak dari perguruan manapun."

Tentu saja Bu Hok tidak percaya. Kalau bukan dari perguruan yang terkenal, tak mungkin Pek Eng memujinya, dan lebih tidak mungkin lagi pemuda ini dapat berkenalan dengan keluarga Pek dan agaknya diterima oleh keluarga itu dengan baik dan hormat.

"Kalau begitu, bagaimana engkau dapat berada disini sebagai tamu keluarga Pek yang terhormat?"

Dia menuntut, dan matanya memandang penuh selidik, alisnya berkerut dan wajahnya membayangkan ketidak senangan dan keraguan.

Diam-diam Hay Hay merasa mendongkol juga. Pemuda ini boleh saja tidak menganggapnya sederajat, boleh saja tidak memperhatikannya, akan tetapi kenapa Pek Eng juga mengacuhkannya? Bukankah gadis itu tadi sudah mendengar semua penuturan tentang dirinya? Hemm, agaknya gadis ini merasa malu untuk menerimanya sebagai seorang sahabat dan tamu.

"Begini, Song-kongcu. Keluarga Pek sudah sedemikian baik dan ramahnya terhadap diriku sehingga ketika untuk pertama kali tadi aku tiba disini, aku disambut rangkulan dan ciuman, tidakkah begitu, Nona Pek Eng?"

Tiba-tiba wajah Pek Eng menjadi merah sekali.
"Ihhh …..!"

Ia mengeluarkan seruan kaget akan tetapi tidak dapat menjawab, hanya memandang wajah Hay Hay dengan muka merah dan mata terbelalak.

"Eng-moi, apa. artinya itu? Kalau dia bermaksud menghina ….." Bu Hok mengepal tinjunya, sinar matanya mengandung ancaman.

"Dia datang tiba-tiba dan kami sekeluarga menyangka bahwa dia kakakku Pek Han Siong, karena itu aku dan Ibu yang mengira dia kakakku, menyambutnya dengan gembira dan... dan menciumnya. Dia tidak berhak untuk mengingat-ingat hal itu dan membicarakannya!" Pek Eng berterus terang dan memandang kepada Hay Hay dengan marah.

"Aku tidak mengingat-ingat, akan tetapi peristiwa itu takkan terlupakan selama hidupku, Nona."

"Dasar engkau laki-laki…… mata keranjang!" Pek Eng berseru marah. "Buah takkan jatuh terlalu jauh dari pohonnya!"

Dengan ucapan ini Pek Eng mengingatkan bahwa Hay Hay tidak akan banyak berbeda dengan ayahnya yang jai-hwa-cat itu. Mendengar ini, wajah Hay Hay menjadi merah dan matanya yang tadinya bersinar-sinar kini menjadi sayu dan muram, akan tetapi dia tidak berkata apa-apa. Sebaliknya, mendengar seruan gadis itu, Bu Hok tertarik dan dia segera mendesak.

"Eng-moi, dia putera siapakah?"

Dia mengharapkan keterangan gadis itu dan menduga bahwa tentu pemuda itu putera seorang datuk sesat. Akan tetapi Pek Eng sudah merasa menyesal bahwa ia telah mengumbar kemarahannya. Ia menggeleng kepala dan menjawab dengan sikap acuh.

"Sudahlah, tak perlu mengurus keadaan orang lain, Toako. Perlihatkanlah ilmu silatmu dan dia sebagai tamu kami boleh saja kalau mau menonton."

Bu Hok tidak mendesak, akan tetapi merasa penasaran bahwa pemuda itu telah disambut oleh Pek Eng dengan ciuman! Dia membayangkan betapa mesranya mereka itu saling berciuman, dan makin dibayangkan, makin panaslah hatinya, panas oleh cemburu dan iri!

"Saudara Tang Hay, mendengar bahwa Saudara lihai sekali, marilah kita main-main sebentar untuk menggembirakan Nona rumah kita. Bagaimana?"

"Ah, tidak, Song-kongcu, aku... aku tidak bisa ….."

"Hemm, kenapa pura-pura? Kalau hanya untuk sekedar pi-bu (pertandingan silat) secara persahabatan, apa salahnya?" Pek Eng berkata.

"Tidak, aku tidak berani main-main dengan Song-kongcu. Silakan Kongcu bersilat sendiri, biar aku menonton saja untuk menambah pengetahuanku."

Song Bu Hok membusungkan dadanya, merasa bangga. Orang ini tidak berani! Dia tersenyum mengejek, mengangguk dan berkata kepada Pek Eng.

"Kalau dia tidak berani, aku pun tidak perlu memaksanya. Lihat aku akan bermain pedang, Eng-moi, dan coba engkau menilainya, apakah permainan pedangku cukup baik."

Berkata demikian, pemuda itu menggerakkan tangannya dan nampaklah sinar terang berkelebat ketika pedang itu telah tercabut dari sarungnya. Sebatang pedang yang bagus, berkilauan saking tajamnya, terbuat dari baja yang pilihan.

Song Bu Hok memang bertubuh gagah dan kini dia beraksi dengan pedangnya, memasang kuda-kuda dengan kedua kaki terpentang lebar, pedangnya menunjuk ke atas di depan dahinya, tangan kiri menyembah di dada, memang hebat sekali. Tiba-tiba dia mengeluarkan seruan nyaring dan pedangnya berkelebat, lalu nampaklah gulungan sinar terang berkelebatan ketika pedangnya digerakkan dengan cepat dan kuat.

Diam-diam Hay Hay memperhatikan gerakan pemuda itu. Memang indah dan cukup cepat dan kuat, namun gerakan pemuda itu masih belum masak dan tenaga yang dikandung gerakan itu pun tidak cukup kokoh. Hal ini nampak jelas olehnya, akan tetapi harus diakui bahwa pemuda itu memang gagah sekali dan kalau saja tidak angkuh dan mau belajar dengan tekun, tentu ilmu pedangnya itu akan menjadi ilmu yang ampuh.

Karena ingin memamerkan kepandaiannya, Bu Hok bersilat dengan cepat, setiap kali menusuk atau membabat, dibarengi bentakannya yang nyaring. Kemudian dia mengeluarkan suara melengking dan pedangnya berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang mendekati sebuah pohon di taman itu.

Pohon yang tingginya seorang akan tetapi daunnya lebat. Gulungan sinar pedang itu kini menyambar di sekeliling pohon, cepat sekali dan tubuh Bu Hok sendiri tertutup sinar pedang, hanya nampak kedua kakinya berloncatan mengitari pohon kembang itu. Nampaklah daun pohon itu berhamburan dan ketika akhirnya dia menghentikan gerakannya dan berdiri tegak dengan pedang di belakang lengan, pohon itu telah berubah. Kini daun-daun yang tumbuh pada pohon itu terbabat rata dan seperti dicukur bulat dan rapi!

"Kiam-hoat (ilmu pedang) yang bagus!" Hay Hay memuji, sekedar untuk mengisi kekosongan.

Akan tetapi Pek Eng mengerutkan alisnya. Hatinya tidak senang. Pohon bunga itu merupakan satu diantara pohon kesayangannya dan pada waktu itu sudah dekat masanya pohon itu berbunga. Kini dibabat oleh pedang Bu Hok. Alangkah lancangnya orang ini, pikirnya. Kenapa menggunakan pohon itu sebagai sasaran tanpa lebih dulu minta perkenan pemiliknya?

Maka, mendengar pujian yang keluar dari mulut Hay Hay, untuk melampiaskan kedongkolan hatinya terhadap Bu Hok yang merusak pohonnya, iapun berkata ditujukan kepada Hay Hay.

"Ah, tidak perlu pura-pura memuji!" Kemudian dia menoleh kepada Bu Hok, "Song-toako, dia memuji dengan mulutnya akan tetapi hatinya tentu mengejek karena aku tahu benar bahwa betapapun indah dan kuatnya ilmu pedangmu, kalau dipakai melawan dia, tidak ada artiya sama sekali!"

"Nona Pek Eng …!" Hay Hay berseru kaget.

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar