*

*

Ads

Jumat, 27 April 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 081

Mendengar ucapan itu, Can Sun Hok tersenyum lagi dan mengangguk-angguk.
"Saya tidak bermimpi apa-apa semalam, akan tetapi ternyata kini memperoleh kehormatan yang amat besar! Baiklah, Bibi, dan engkau Adik Kui Hong, aku yang sudah yatim piatu seolah-olah kini memperoleh keluarga lagi. Aih, kalau Bibi dan Adik merasa kasihan kepada saya dan sudi menerima undangan saya, maka saya persilakan Ji-wi (Anda Berdua) singgah di rumahku yang terletak di Siang-tan, kota di depan itu. Tak mungkin kita berpisah begini saja setelah Thian telah mempertemukan kita di tempat yang tak terduga-duga."

Karena perjalanan mereka malam itu memang tiba di siang-tan dan harus bermalam di tempat itu, Sui Cin tidak merasa keberatan.

"Terima kasih, Kongcu..."

"Aih, Bibi! setelah aku tidak sungkan lagi, kenapa Bibi masih menyebut Kongcu kepadaku? Namaku adalah Can Sun Hok, harap Bibi suka menganggap aku sebagai keponakan sendiri saja."

Sui Cin tersenyum dan merasa semakin suka kepada pemuda yang ramah ini.
"Baiklah, Sun Hok, kami menerima undanganmu dan terima kasih kuucapkan. Akan tetapi, karena engkau hidup sebatang kara, apakah kehadiran kami tidak akan merepotkanmu?"

"Tidak sama sekali, Bibi. Aku mempunyai banyak pelayan di rumah."

"Ha, engkau seorang yang kaya rupanya!" Kui Hong berseru. “Akan tetapi tidak mengapa, yang kubutuhkan hanya agar engkau suka melayani aku untuk pi-bu."

"Hah?" Sun Hok terbelalak. "Pi-bu?"

"Ya, adu silat secara persahabatan. Tidak mengapa, bukan? Aku mendengar bahwa engkau dapat menggulingkan perahu, dan aku melihat engkau merobohkan tukang pukul di tepi Telaga Tung-ting, aku ingin sekali mencoba ilmu kepandaianmu!"

"Kui Hong! Bersikaplah sopan dan ramah, jangan kurang ajar!" Sui Cin membentak puterinya.

"Tidak mengapa, Bibi. Adik Kui Hong ini lucu sekali, aku suka padanya. Akan tetapi, Adikku, mana aku berani mengadu ilmu dengan cucu Ketua Cin-ling-pai? Jangan-jangan belum sampai sepuluh jurus aku sudah akan keok!"

"Apa itu keok?" Kui Hong bertanya, karena memang ia tidak pernah mendengar istilah itu.

"Ayam itu kalau diadu dan kalah, bukankah lalu mengeluarkan bunyi keok-keok? Nah, keok berarti kalah."

Kui Hong tertawa geli dan merasa lucu sekali. Mereka lalu menunggang kuda masing-masing dan mengikuti Sun Hok yang mengajak mereka ke rumahnya. Sui Cin mengambil keputusan untuk melihat keadaan rumah pemuda itu. Kalau terlalu merepotkan, ia akan mengajak puterinya untuk bermalam dirumah penginapan saja.

Akan tetapi, apa yang dilihatnya sungguh jauh di luar dugaannya. Sebuah rumah gedung yang besar sekali, seperti istana dan pantasnya menjadi rumah seorang bangsawan dan hartawan besar! Dan kedatangan mereka disambut oleh tiga orang pelayan pria yang mengurus tiga ekor kuda itu.

Ketika pemuda itu mengajaknya masuk ke rumah gedung itu, dua orang pelayan wanita yang berpakaian serba bersih menyambut mereka dan memberi hormat dengan ramah.

Bukan hanya Sui Cin yang terheran-heran, bahkan Kui Hong kini juga memandang dengan takjub. Ketika mereka memasuki ruangan depan, dinding itu penuh dengan lukisan-lukisan sajak berpasangan yang serba indah, lantainya mengkilat putih dan perabot-perabot rumah juga terdiri dari barang-barang mewah dan serba indah dan mahal!

"Can-toako…. Ini….. ini rumahmu sendiri?" Kui Hong bertanya heran.

Sun Hok tersenyum.
“Benar, Adik Kui Hong. Ini rumahku, peninggalan dari Ayahku yang menerima warisan dari Kakekku pula. Kakekku adalah bekas gubernur di Ning-po, juga dia seorang pangeran ..."

"Ah, kiranya engkau seorang bangsawan!" kata Sui Cin kaget.






"Bukan bangsawan, Bibi, melainkan keturunan bangsawan saja. Mendiang ayahku sudah tidak memegang jabatan walaupun kakekku adalah seorang bekas gubernur dan seorang pangeran. Dan aku sendiri... ah, agaknya aku hanya kebagian menghabiskan warisan mereka saja."

Tiba-tiba muncul seorang nenek dan dua orang tamu itu terkejut. Kalau para pelayan yang lain nampak rapi dan bersih, nenek ini kelihatan menakutkan. Seorang nenek yang usianya sudah tua sekali, sedikitnya tentu tujuh puluh tahun, mukanya bopeng penuh bekas cacar, hitam dan matanya lebar menakutkan. Wajahnya tentu akan menakutkan seorang anak-anak, bahkan Kui Hong juga terbelalak memandang, teringat akan dongeng tentang setan dan iblis. Nenek ini agak bungkuk, pakaiannya serba hitam dan memegang sebatang tongkat.

"Kongcu baru pulang?" tanya nenek itu, tanpa mempedulikan dua orang tamunya.

"Benar, Lo-bo, dan kau beritahukan kepada pelayan agar mempersiapkan sebuah kamar besar untuk dua orang tamu terhormat ini, juga persiapkan air hangat untuk mandi, kemudian hidangan yang cukup untuk kami makan malam. Lo-bo, ini adalah Bibi Ceng Sui Cin dan puterinya, Adik Cia Kui Hong."

Nenek itu kelihatan terkejut, memandang kepada dua orang tamunya, sejenak matanya terbelalak dan mencorong, kemudian ia menunduk dan membungkuk sebagai tanda hormat.

"Selamat datang, Toanio dan Siocia!" katanya dan iapun membalikkan badan, terseok-seok berjalan pergi dibantu tongkatnya.

Melihat betapa dua orang tamunya kelihatan terkesan oleh kemunculan nenek itu, Sun Hok cepat berkata menjelaskan,

"Ia adalah Wa Wa Lo-bo, seorang pembantu yang setia, yang telah menjadi pembantuku sejak aku masih bayi. Karena kesetiaannya, maka aku merasa kasihan kepadanya dan membiarkan ia hidup disini sampai selamanya untuk membalas budinya. Ialah yang dulu mengasuh dan merawat aku sejak aku bayi."

Mereka lalu diajak memasuki ruangan dalam, sebuah ruangan yang lebih indah lagi, penuh dengan gorden-gorden sutera yang serba indah. Mereka duduk berhadapan di kursi dan meja yang diukir indah.

"Kita menanti disini dulu sambil menanti dipersiapkannya kamar Ji-wi dan juga keperluan mandi. Setelah mandi kita makan bersama di ruangan makan." Kata Can Sun Hok, nampaknya gembira sekali menerima dua orang tamunya ini.

Diam-diam Sui Cin memperhatikan tuan rumah yang masih muda tapi kaya raya ini. Seorang pemuda yang usianya masih kurang lebih dua puluh tahun, wajahnya tampan dan tubuhnya tegap. Pakaiannya sederhana, tidak sesuai dengan keadaan rumah gedung yang mewah seperti istana itu. Wajahnya yang tampan itu penuh wibawa, pendiam dan bengis, akan tetapi adakalanya, seperti sekarang ini, nampak halus perangainya dan ramah sikapnya.

Yang masih membuat Sui Cin menduga-duga adalah tentang ilmu silatnya. Sukar menaksir sampai dimana tingkat kepandaian pemuda ini. Dan mempelajari keadaan pemuda ini timbul suatu gagasan dalam pikiran Sui Cin. Pemuda ini sungguh merupakan seorang pemuda yang baik, dan agaknya tidak akan mengecewakan kalau menjadi calon jodoh puterinya! Cukup tampan, kaya raya, lihai dan berperangai baik, bahkan jelas seorang pendekar melihat sepak terjangnya baru-baru ini.

Akan tetapi, ia tidak tahu bahwa diam-diam Kui Hong juga memperhatikan pemuda itu dan puterinya itu mempunyai pendapat sendiri. Seorang pemuda yang tampan dan gagah, akan tetapi aneh dan sinar matanya yang kadang-kadang mencorong itu mencurigakan, pikir Kui Hong! Entah mengapa ia sendiri tidak tahu, akan tetapi Kui Hong mempunyai perasaan tidak suka kepada pemuda ini! Seorang yang menyembunyikan sesuatu, seorang yang palsu, pikir Kui Hong.

Tak lama kemudian, Sui Cin mulai menyelidiki keadaan pemuda itu secara tidak langsung, dengan pertanyaan-pertanyaan yang nampaknya sepintas lalu saja,

“Sun Hok, sungguh janggal sekali menyebutkan namamu begitu saja seolah-olah kita masih ada hubungan keluarga, padahal engkau adalah seorang pemuda yang kaya raya. Akan tetapi, melihat usiamu, yang tentu tidak lebih dari dua puluh tahun, tentu orang tuamu juga belum tua benar. Akan tetapi, kenapa engkau telah menjadi seorang yatim piatu? Apa yang telah terjadi dengan orang tuamu?”

Pemuda itu menarik napas panjang dan menundukkan mukanya, kelihatan berduka sehingga ibu dan anak itu semakin tertarik dan menanti penuh perhatian.

“Ah, memang nasibku sejak masih bayi amat buruk, Bibi. Ibu kandungku meninggal dunia sejak aku berusia tiga tahun, kemudian ketika aku berusia belasan tahun, ayah kandungku meninggal pula karena sakit. Aku sejak kecil, sejak berpisah dari Ibu dirawat dan diasuh oleh Wa Wa Lo-bo, bahkan setelah Ayah meninggal, Wa Wa Lo-bo yang terus mendidikku, memanggilkan guru-guru baca tulis, bahkan mencarikan sastrawan-sastrawan terpandai dengan bayaran mahal untuk mendidik aku "

"Hemm, pantas sekali engkau demikian pandai membuat sajak!" kata Kui Hong kagum.

"Dan siapakah yang telah mengajarkan ilmu silat padamu? Engkau tentu memiliki ilmu silat yang tinggi sekali dan tentu gurumu seorang tokoh persilatan yang amat terkenal!" kata Sui Cin memancing.

Pemuda itu kembali menarik napas panjang dan jelas nampak bahwa dia tidak suka membicarakan tentang hal itu agaknya.

"Bibi yang baik, aku mempelajari ilmu silat hanya sebagai suatu bekal untuk suatu tujuan. Aku berusaha menyembunyikan kepandaian silatku, dengan maksud untuk kelak kupakai melaksanakan tujuan itu, akan tetapi ternyata tidak lepas dari pengamatan Bibi yang amat tajam. Sesungguhnya, aku... aku agak merasa kikuk dan canggung untuk bicara soal ilmu silat, karena sesungguhnya, ilmu silatku belum berapa tinggi dan masih jauh daripada cukup untuk pelaksaan tujuan yang kupendam sejak aku kecil itu, Bibi!"

"Hemm, untuk tujuan balas dendam, bukan?”

Pemuda itu tiba-tiba meloncat dari kursinya dan memandang kepada wajah nyonya itu dengan mata terbelalak dan muka berubah pucat.

"Bagaimana Bibi... bisa mengetahuinya... ?" tanyanya gagap.

Sui Cin tersenyum dan melambaikan tangannya.
"Duduklah dan jangan kaget, jangan pula khawatir orang muda. Tidak sukar untuk menduga demikian. Engkau kehilangan Ayah dan Ibu sejak masih kecil dan aku menduga bahwa kematian mereka, atau satu diantara mereka tentu karena dibunuh orang. Dan engkau menyembunyikan ilmu silatmu, dengan maksud tertentu dan karena kuhubungkan dengan dugaan bahwa orang tuamu mungkin dibunuh orang, maksud apalagi kalau bukan balas dendam?”

Pemuda itu memandang kagum.
"Ahh, sungguh luar biasa sekali ketajaman pikiran Bibi! Kalau begitu, Bibilah tempat aku bertanya. Sudah lama aku dibikin pusing oleh keadaanku ini. Bibi yang terhormat, bolehkah aku bertanya dan sukalah Bibi memberi nasihat kepadaku yang seperti orang dalam gelap ini, maukah Bibi memberi penerangan kepadaku?"

Sui Cin tersenyum lagi. Pemuda ini sungguh membuat ia merasa suka sekali, demikian penuh rahasia, akan tetapi juga demikian rendah hati dan ramah.

"Tanyalah, orang muda, kalau aku dapat memberi nasihat tentu akan kubantu memikirkan masalah apa yang memusingkan hatimu."

"Begini, Bibi Ceng, terus terang saja, mendiang Ibu kandungku adalah seorang yang pernah melakukan kejahatan, bahkan terkenal jahat sekali, seorang tokoh sesat kata orang-orang dunia persilatan. Nah, biarpun aku sendiri tak pernah melihat buktinya, setelah mendengar bahwa Ibu kandungku adalah seorang yang amat jahat, lalu apa yang harus kulakukan? Baikkah kalau aku berbakti kepadanya?"

Pertanyaan itu mengejutkan hati Sui Cin. Tentu saja, walaupun hatinya ingin sekali tahu siapa gerangan ibu kandung pemuda ini, ia tidak berani bertanya karena hal itu bukanlah urusannya dan sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengannya. Dan pertanyaan itupun membuat ia menjadi bingung. Apa yang harus dilakukannya andaikata ia sendiri yang demikian? Dan bagaimana ia harus menjawab?

Keraguan ini timbul karena Sui Cin merasa bahwa ibu kandungnya sendiri dahulupun merupakan seorang tokoh sesat, bahkan seorang datuk sesat! Ibunya, yang bernama Toan Kim Hong, dahulu sebelum menikah dengan ayahnya terkenal sebagai datuk sesat yang berjuluk Lam Sin (Malaikat Selatan), seorang datuk sesat yang seolah-olah menjadi raja diantara orang-orang jahat!

Ah, pikirnya, kini ibunya telah menjadi orang baik-baik, bahkan menjadi seorang pendekar. Jadi, kalau ibu kandung pemuda ini dahulunya jahat, tak boleh dikatakan bahwa selamanya akan menjadi jahat. Hanya bedanya, ibu kandung pemuda ini telah meninggal dunia!

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar