*

*

Ads

Jumat, 27 April 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 084

Nenek Wa Wa Lo-bo memandang marah dan menggerakkan tongkatnya menuding ke arah muka Sui Cin.

"Engkau dan kawan-kawanmu telah menyebabkan kematian Ong-ya dan isterinya, juga menyebabkan kematian Nona Siang Hwa. Bagaimanapun juga aku tidak akan tinggal diam. Biarlah anak durhaka ini tidak menuntut balas, akan tetapi aku harus membunuhmu."

Berkata demikian, Nenek Wa Wa Lo-bo menggerakkan tubuhnya dan tongkatnya sudah menyambar ganas ke arah perut Sui Cin. Tentu saja Sui Cin sudah siap siaga dan dengan mudahnya ia mengelak.

"Lo-bo, jangan …..!" Sun Hok berseru dengan khawatir.

Akan tetapi nenek itu tidak peduli, begitu tongkatnya luput dari sasaran, segera tongkat itu membalik ke kiri dan melanjutkan serangannya, kini menusuk ke arah leher Sui Cin. Kembali Sui Cin mengelak dan dari samping tangan kirinya menyambar dengan dorongan tenaga Hok-te Sin-kun yang dahsyat.

Terkena dorongan tangan ini, biarpun Wa Wa Lo-bo sudah berusaha mengelak dan menangkis, tetap saja tubuhnya terhuyung hampir menambrak Sun Hok.

“Lo-bo, jangan berkelahi …..!" kembali Sun Hok berseru. Mendengar ini, Wa Wa Lo-bo menjadi semakin marah.

"Engkau murid murtad, anak terkutuk yang durhaka!" bentaknya dan tiba-tiba saja tongkatnya melayang ke arah kepala Sun Hok dengan pukulan maut yang amat dahsyat.

"Ahhh ……!"

Kui Hong yang berdiri di dekat Sun Hok, melihat betapa pemuda itu agaknya sengaja tidak menangkis dan pasrah terhadap gurunya, cepat menggerakkan tangannya, dengan Ilmu Thian-te Sin-ciang ia menangkis tongkat itu dengan kedua lengannya.

"Dukkk!!"

Tubuh Kui Hong terdorong ke belakang, akan tetapi pukulan itu tidak mengenai kepala Sun Hok yang kini sudah melompat menjauhi nenek itu dengan wajah penuh kegelisahan.

Nenek Wa Wa Lo-bo terkejut bukan main. Ia tahu bahwa Ceng Sui Cin puteri Pendekar sadis itu lihai sekali, dan ia hanya mengandalkan kenekatannya saja ketika menyerang tadi. Akan tetapi tak pernah disangkanya bahwa gadis yang masih amat muda ini, puteri Ceng Sui Cin, ternyata juga lihai sekali sehingga mampu menangkis serangan tongkatnya dengan kedua tangan dan sama sekali tidak terluka atau terbanting, hanya terdorong saja ke belakang. Ini menunjukkan bahwa tingkat kepandaian gadis itu sudah amat tinggi dan mungkin menghadapi gadis itupun ia tidak akan mampu menang!

"Lo-bo, harap jangan lanjutkan perkelahian ini!" kembali Sun Hok berkata kepada nenek itu dengan suara membujuk.

"Wa Wa Lo-bo." kata Ceng Sui Cin dengan suara tenang namun tegas. "Diantara kita tidak ada permusuhan dan aku tidak berniat untuk berkelahi melawanmu. Engkau sudah lanjut usia, hidupmu takkan lama lagi, haruskah kini engkau nekat menyerangku mati-matian hanya untuk menurutkan hati panas saja? Ingat bahwa Raja dan Ratu Iblis dan semua kawan dan anak buahnya, tewas sebagai akibat dan perbuatan dan kejahatan mereka sendiri."

"Tutup mulutmu! Kalau aku tidak dapat membalaskan dendam kematian mereka kepadamu, lebih baik aku mampus!"

Dan nenek itu dengan kemarahan meluap-luap, terutama sekali melihat betapa Sun Hok tidak membantunya, kini menggunakan senjata tongkatnya yang diputar dengan cepat sehingga berubah merijadi sinar hitam bergulung-gulung, menerjang Sui Cin dengan dahsyat dan nekat.

"Hemm, engkau mencari kematianmu sendiri!" kata Sui Cin dan cepat iapun menggunakan kepandaiannya untuk mengelak dan balas menyerang.

Sui Cin tidak membawa senjatanya yang istimewa, yaitu payung pedangnya yang ditinggalkan di dalam kamar. Akan tetapi tingkat ilmu silatnya sudah jauh lebih tinggi dari pada tingkat lawan sehingga semua serangan yang dilakukan nenek itu hanya mengenai tempat kosong belaka, bahkan serangkaian serangan balasan kedua tangan dan kaki Sui Cin membuat nenek itu kerepotan dan beberapa kali terhuyung ke belakang






Tiba-tiba nenek Wa Wa Lo-bo mengeluarkan suara gerengan seperti seekor binatang buas, tongkatnya menyambar ganas ke arah dada Sui Cin. Serangan ini merupakan serangan maut karena ujung tongkat tergetar menjadi beberapa belas buah banyaknya, dan tahulah Sui Cin bahwa serangan itu tidak akan berhenti kalau dielakkan begitu saja, tentu akan terus mengejar dan menyerang bertubi-tubi. Iapun menjadi marah melihat kenekatan nenek itu.

"Haiiiittt ......!"

Teriaknya dan tiba-tiba ia memasang kuda-kuda, tidak mengelak lagi melainkan menyambut serangan tongkat itu dengan hantaman tangannya ke arah batang tongkat. Tenaga sinkang yang disalurkan melalui tangan itu kuat bukan main.

"Krakkk ......!"

Tongkat itu bertemu tangan dan patah seketika! Yang tertinggal di tangan nenek itu hanya dua jengkal saja kayu yang meruncing ujungnya, sedangkan tubuh nenek itu terpental kebelakang. Ia dapat mengatur keseimbangan tubuhnya sehingga tak terbanting, namun ketika ia bangkit lagi sambil memegang tongkat yang tinggal dua jengkal, nampak betapa darah segar mengalir dari ujung bibirnya.

Kiranya pertemuan tenaga dahsyat tadi telah melukai Si Nenek, luka dalam yang membuat darah mengalir keluar dari mulutnya. Melihat ini, Sun Hok berseru kaget.

"Lo-bo ....!"

Teriakan pemuda ini membuat Wa Wa Lo-bo teringat lagi akan sikap pemuda itu yang paling menyakitkan hatinya. Ia maklum bahwa melawan Sui Cin tidak mungkin lagi. Tongkatnya patah dan dadanya terasa nyeri, tanda bahwa ia telah menderita luka dalam yang cukup parah. Mengandalkan Sun Hok? Pemuda itu telah memihak musuh. Saking marah, jengkel dan putus asa, nenek itu lalu berteriak,

"Ong-ya berdua, dan Siocia, jangan salahkan saya kalau anak ini menjadi seorang durhaka dan murtad!"

Kemudian, secepat kilat ia menggerakkan sisa tongkat yang menjadi kayu runcing itu ke arah dadanya sendiri.

"Lo-bo …..!"

Sun Hok meloncat dan menubruk tubuh tua yang sudah roboh terlentang dengan kayu itu menancap di dadanya, menembus jantung dan membuat ia tewas seketika.

"Lo-bo, ah, Lo-bo... ampunkan aku...!"

Sun Hok merangkul tubuh nenek yang bermuka buruk itu dan menangis tersedu-sedu, sedangkan kini para pelayan datang dan terbelalak melihat majikan mereka menangisi nenek yang sudah menjadi mayat dalam keadaan mengerikan itu.

Sui Cin memandang pemuda itu dan menarik napas panjang. Ia merasa kasihan kepada Sun Hok. Ia tahu betapa hancur hati pemuda itu melihat nenek itu tewas terbunuh. Nenek itu, bagaimanapun juga, merupakan pengasuhnya, pendidiknya, pengganti orang tua dan guru!

"Kui Hong, mari kita pergi saja." katanya dan Kui Hong yang juga menjadi termangu menyaksikan pemuda itu menangisi mayat Wa Wa Lo-bo, mengangguk dan mengikuti ibunya.

Mereka mengambil pakaian mereka dan tanpa pamit lagi karena hal ini hanya akan mendatangkan suasana tidak enak, ibu dan anak itu lalu meninggalkan rumah besar itu, bahkan langsung mereka malam itu juga meninggalkan kota Siang-tan dan memilih tidur di dalam hutan, di atas pohon besar daripada tinggal bermalam di kota yang menyimpan kenangan tidak enak itu.

**** 084 ****
Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar