*

*

Ads

Minggu, 29 April 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 087

Karena sebab percekcokan adalah karena Cia Kong Liang ingin memperoleh seorang cucu laki-laki, keduanya menjadi lemas dan merasa tidak berdaya, hanya merasa kasihan kepada puteri mereka yang bernasib malang karena tidak mempunyai keturunan laki-laki. Andaikata Sui Cin mempunyai seorang anak laki-laki, tentu tidak akan timbul masalah yang mencemaskan ini.

"Bagaimana dengan sikap Hui Song?" tanya ibunya, hati-hati.

Sui Cin menggerakkan pundaknya.
"Entahlah. Ayahnya marah-marah dan menantangnya untuk memilih antara isteri dan ayah. Kalau Hui Song tidak mau, dia boleh pergi bersama keluarganya dan tidak akan diaku anak lagi, dan ayahnya akan mengangkat orang lain sebagai puteranya! Ketika aku pergi, Hui Song berada dalam keadaan bimbang dan ragu. Aku katakan kepadanya bahwa aku dan Kui Hong akan pergi kesini. Kalau dia menikah lagi, dia tidak boleh menyusul kami disini, dan aku tidak akan kembali kesana sebelum dia datang menyusul."

Sui Cin lalu menceritakan peristiwa percekcokan yang terjadi di Cin-ling-pai itu, didengarkan oleh ayah dan ibunya yang menjadi lemas. Urusan itu terlalu pelik dan mereka tidak tahu harus berbuat apa.

Melihat ayah dan ibunya diam saja, Sui Cin merasa khawatir juga kalau-kalau mereka itu menyalahkannya, maka iapun bertanya,

"Bagaimana, Ayah dan Ibu? Apakah keliru tindakanku pulang kesini dan tidak menyetujui kalau Hui Song kawin lagi?"

Ayahnya menarik napas panjang.
"Sui Cin, bagaimanapun juga, ayah dan Ibumu tak mungkin dapat menyalahkan ayah mertuamu karena pendapat umum memang membuat setiap orang tua ingin mempunyai penyambung keturunan…."

"Tapi Ayah juga tidak mempunyai anak laki-laki!" Sui Cin memotong penasaran.

Ayahnya tersenyum dan ibunya yang menjawab,
"Jangan masukkan ayahmu, Sui Cin karena dia adalah lain daripada yang lain. Kami cukup puas walaupun tidak mempunyai anak laki-laki dan sebagai gantinya kami mempunyai seorang murid laki-laki yang amat baik, yaitu sutemu Ki Liong. Kami tak dapat menyalahkan ayah mertuamu seperti yang dikatakan ayahmu. Sekarang terserah kepada Hui Song karena dia yang harus mengambil keputusan."

"Kasihan Hui Song, dialah yang menanggung paling berat." kata Ceng Thian Sin. "Dia yang menjadi serba salah."

"Kalau menurut Ayah bagaimana? Jalan mana yang harus diambilnya? Mentaati ayahnya kehilangan isteri, ataukah menuruti isterinya dan kehilangan ayah? Harap Ayah jujur menjawabnya."

Pendekar itu menghela napas panjang. Dia mengenal benar watak puterinya yang amat keras, sekeras dia dan isterinya ketika masih muda. Dia dapat maklum bahwa seorang wanita dengan watak seperti Sui Cin tentu tidak mau dimadu dengan alasan apapun juga.

"Ah, aku tidak dapat memutuskan, Sui Cin, karena dalam hal ini, apa pun yang dilakukan Hui Song, dia bersalah! Kalau dia menuruti keinginanmu dan tidak menikah lagi sehingga kehilangan ayah, berarti dia tidak berbakti kepada ayahnya. Sebaliknya kalau dia mentaati ayahnya dan menikah lagi sehingga kehilangan isteri, berarti dia tidak mencinta isterinya! Sungguh celaka baginya, maju salah mundur salah, diam sajapun tidak mungkin."

Sui Cin mengerutkan alisnya.
"Tidak, aku tidak sudi mengalah. Kalau memang dia mau menikah lagi, biarlah, akan tetapi akupun tidak mau kembali kesana!"

Sementara itu Kui Hong berada di lian-bu-thia bersama Ki Liong. Biarpun pemuda itu termasuk paman gurunya, namun karena usia Ki Liong baru dua puluh tahun, Kui Hong merasa cocok dengannya, apalagi karena pemuda itu bersikap sopan dan ramah sekali. Juga pemuda itu rendah hati, biarpun sebagai susiok (paman guru) tidak akan salah kalau dia memanggilnya dengan namanya saja, namun Ki Liong menyebutnya Nona!

Hal ini menyenangkan hati Kui Hong, menghilangkan rasa penasaran dan tidak puasnya tadi harus menyebut susiok kepada orang yang masih begitu muda. Apalagi melihat Ki Liong melatih jurus-jurus Pat-hong Sin-kun yang memang sulit, diam-diam Kui Hong mentertawakannya. Ia merasa lebih unggul kalau bermain ilmu silat sakti Delapan Penjuru Angin itu. Tentu saja, karena ia digembleng ayah ibunya sejak berusia lima enam tahun, sudah sepuluh tahun lamanya ia berlatih ilmu silat keluarganya, sedangkan Ki Liong baru berlatih selama enam tahun saja.

Ketika Ki Liong bersilat sampai pada puncak ilmu itu, yaitu jurus Pat-hong-hong-i (Delapan Penjuru Angin Hujan), nampaknya pemuda itu agak bingung, terutama sekali pada pergerakan kaki. Pukulan ini memang sulit karena kedua tangan memukul bertubi-tubi ke arah delapan penjuru angin, membuat tubuh itu berpusing dan gerakan berpusing inilah yang membuat dia bingung bagaimana sebaiknya mengatur kedua kakinya. Setelah mengulang gerakan itu sampai empat kali belum juga berhasil, tiba-tiba Kui Hong yang sejak tadi nonton di pinggiran, tertawa.






"Kalau dilanjutkan engkau bisa jatuh terjegal kaki sendiri!"

Agaknya pemuda itu baru teringat bahwa disitu terdapat orang lain yang melihat dia berlatih, dan teringat bahwa yang nonton ini adalah puteri dari seorang ahli silat keluarga itu, yaitu sucinya.

"Ah, aku sampai lupa bahwa engkau tentu ahli dalam ilmu silat ini, Nona Kui Hong!" katanya menghentikan gerakannya. "Karena itu aku mengharapkan petunjukmu karena jurus ini terasa amat sulit bagiku. Aku lupa lagi bagaimana harus mengatur kaki walaupun tadi sudah dijelaskan dengan teliti oleh Suhu."

"Hi-hi-hik, mana ada seorang Paman Guru bertanya tentang ilmu silat kepada murid keponakannya? Tidak terbalikkah ini, Susiok? Sepatutnya aku yang minta petunjuk darimu." Gadis ini memang berwatak polos dan berandalan, seperti ibunya di waktu muda.

"Aih, Nona. Kita menjadi paman guru dan murid keponakan hanya karena kebetulan saja. Aku baru enam tahun berguru kepada kakek dan nenekmu, sedangkan engkau sejak kecil sampai sekarang telah dilatih ilmu silat keluargamu oleh ibumu. Tolonglah agar aku dapat melakukan gerakan ini dengan baik."

Melihat sikap pemuda itu yang selalu merendah, tidak malu-malu bertanya kepada murid keponakannya, Kui Hong menjadi girang.

"Baiklah, akan tetapi memang jurus Pat-hong-hong-i ini sukar sekali. Coba akan kulakukan, harap kau lihat baik-baik. Akan tetapi gerakanku juga belum begitu sempurna, Susiok."

Gadis itu lalu memainkan jurus itu, gerakannya lincah dan ketika tubuhnya berpusing, nampak indah dan cekatan seolah-olah ia sedang menari-nari saja. Diam-diam Ki Liong memperhatikan dan diapun segera dapat melihat kekeliruannya. Seharusnya dia menggunakan ujung jari-jari kaki untuk berdiri dan berpusing sehingga gerakan kakinya ringan dan mudah untuk berpusing.

Akan tetapi Ki Liong tetap saja tidak mampu melakukan gerakan itu dengan baik, bahkan kini tangannya nampak kaku. Kui Hong maju untuk memberi petunjuk, bahkan memegang tangan pemuda itu dan memperlihatkan bagaimana seharusnya gerakan itu, mengatur pula kedua kakinya. Makin kacau agaknya gerakan Ki Liong. Akan tetapi akhirnya, setelah diajak untuk melakukan gerakan itu bersama, barulah pemuda itu mulai dapat melakukan gerakan jurus Pat-hong-hong-i dengan benar.

"Nah, sekarang baru benar, tinggal mematangkan dalam latihan saja, Susiok."

Ki Liong kini menghadapi gadis itu dengan muka merah dan matanya mencorong aneh, lalu menjura dan tersenyum.

"Terima kasih, Nona Kui Hong. Engkau sungguh seorang murid keponakan yang lihai, baik hati dan... cantik jelita. Sungguh aku beruntung sekali mempunyai murid keponakan seperti engkau, Nona."

Mendengar dirinya dipuji cantik jelita, Kui Hong merasa aneh. Warna merah menjalar perlahan ke leher dan mukanya.

"Ihh, Susiok ini bisa saja memuji orang!" katanya.

Dan tiba-tiba saja timbul keinginannya untuk mengajak paman guru itu berpi-bu (mengadu ilmu). Ia memang mempunyai kesukaan ilmu silat dan suka sekali mencoba semua orang yang dijumpainya, apalagi melihat betapa orang muda ini adalah paman gurunya! Melihat gerakan-gerakan Ki Liong, ia merasa yakin akan dapat memenangkan paman gurunya itu dan betapa akan puas dan girangnya kalau dapat menang melawan orang yang dipanggil paman guru.

"Susiok, mari kita main-main sebentar!" katanya sambil memasang kuda-kuda di depan pemuda itu.

"Eh, main-main bagaimana maksudmu, Nona?"

"Apalagi-permainan orang-orang yang suka bersilat kecuali pi-bu?"

"Wah! Engkau mengajak aku untuk pi-bu? Mana aku berani, Nona?"

"Susiok, namanya saja pi-bu, akan tetapi diantara kita adalah orang-orang sendiri, maka yang kunamakan pi-bu itu sebetulnya hanyalah latihan bersama saja, bukan pertandingan. Mari kita berlatih bersama untuk menguji diri sendiri masing-masing sampai dimana kemajuan latihan-latihan yang kita lakukan. Tidakkah ini baik sekali?"

"Ah, begitukah?" Wajah yang tampan dan putih itu nampak berseri. "Kalau latihan bersama, tentu saja aku suka. Harap engkau suka banyak memberi petunjuk kalau gerakanku ada yang keliru, Nona."

"Baik, nah, awas, aku akan menyerangmu dengan Pat-hong-sin-kun yang kau latih tadi!"

Gadis remaja itu lalu bergerak, gesit dan cepat bukan main, menyerang dengan kedua tangannya. Ki Liong mengenal gerakan ini dan dia pun cepat mengelak, dan membalas dengan jurus lain dari ilmu silat Pat-hong-sin-kun. Kui Hong juga dapat mengelak dan membalas. Mereka segera serang-menyerang dalam ilmu silat itu dan Kui Hong mendapat kenyataan bahwa susioknya itu mampu mengelak dan menangkis semua serangannya dengan baik!

"Awas, aku menggunakan Thai-kek Sin-kun dan tenaga Thian-te Sin-ciang!" kata gadis itu dan menyerang lagi sambil mengubah permainan silatnya.

Dan kembali ia kagum. Pemuda itu dapat pula mengelak dengan baik, bahkan ketika menangkis pukulan tangannya yang mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang yang ampuh, ternyata pemuda itu memiliki tenaga yang amat kuat, bahkan demikian kuatnya sehingga pemuda itu mampu menggunakan tenaga Bian-ciang, yaitu tenaga sinkang yang membuat tangan pemuda itu lunak seperti kapas dan tenaga sinkang di tangan Kui Hong ketika beradu tangan seperti tenggelam ke dalam air saja!

Kui Hong terkejut dan teringat bahwa memang pemuda itu adalah murid neneknya dan menurut ibunya, neneknya memiliki ilmu mujijat yang disebut Bian-kun (Tangan Kapas). Agaknya itulah Bian-kun! Ia merasa kalah karena pemuda itu menguasai ilmu yang tidak dikuasainya karena memang belum pernah dipelajarinya. Ibunya sendiripun belum mempelajari ilmu itu yang menurut ibunya amat sulit dipelajari.

Memang sesungguhnya bahwa Ceng Sui Cin tidak mewarisi seluruh ilmu silat ayah ibunya. Bahkan ilmu-ilmu dari ayahnya, walaupun sudah hampir semua dipelajari, namun tidak dikuasainya dengan sempurna benar. Hal ini adalah karena ketika muda, Ceng Sui Cin menjadi murid mendiang Wu Yi Lojin, seorang diantara Delapan Dewa.

Berbeda dengan Ki Liong yang begitu terjun ke dalam dunia persilatan, dia digembleng oleh kakek dan nenek itu sehingga dia dapat mencurahkan seluruh perhatiannya untuk mematangkan ilmu-ilmu itu. dan diam-diam, dia yang memiliki bakat amat baiknya itu telah melatih diri dengan tekun, menggembleng diri siang malam untuk suatu tujuan yang dicita-citakan semenjak dia di bawa ke Pulau Teratai Merah!

Tadipun ketika dia berlatih Pat-hong-hong-i, dia lebih banyak berpura-pura kepada Kui Hong sehingga dipandang rendah oleh gadis ini. Padahal, dalam latihan-latihan ilmu silat, walaupun yang dikuasainya tidak sebanyak yang dikuasai Kui Hong, namun jelas lebih matang! Hebatnya, pemuda ini memang selalu merahasiakan kepandaiannya, dan dia pandai memilih jurus-jurus yang terampuh untuk dilatih sebaik mungkin sampai matang betul mendekati sempurna!

Karena Kui Hong tidak dapat mengalahkan pemuda itu dengan Thai-kek Sin-kun dengan tenaga Thian-te Sin-ciang, gadis ini menjadi penasaran. Dirobahnya lagi ilmu silatnya dengan San-in-kun-hoat yang amat lihai, namun pemuda itu telah menguasai pula ilmu silat ini dengan baik dan dapat mengimbanginya.

Kui Hong menggantinya lagi dengan Pek-in-ciang. Pukulan tangannya mengeluarkan semacam uap putih, akan tetapi ketika pemuda itu menangkisnya dengan ilmu yang sama, Kui Hong terkejut melihat betapa uap putih yang keluar dari telapak tangan pemuda itu lebih tebal yang menjadi bukti bahwa dalam hal sin-kang pengerahan tenaga pukulan ini, ia masih kalah!

Pada saat itu, muncullah Ceng Thian Sin, Toan Kim Hong, dan Ceng Sui Cin dari dalam rumah.

“Eh, apa yang kau lakukan itu, Kui Hong? Berhenti!” teriak Sui Cin melihat betapa puterinya menyerang Ki Liong kalang kabut, dan pemuda itu dengan tenangnya mengelak dan menangkis dengan baiknya.

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar