*

*

Ads

Minggu, 29 April 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 089

“Suhu dan Subo, teecu telah berbuat dosa besar sekali terhadap Nona Hong. Teecu sungguh tidak tahu diri karena tadi teecu telah mengaku cinta kepadanya sehingga ia menjadi marah dan menyerang teecu.”

Hampir saja Ceng Thian Sin tertawa. Hanya mengaku cinta! Bagaimana dia dapat menyalahkan pemuda muridnya itu kalau melihat betapa cantik manisnya cucunya itu? Mengaku cinta terhadap seorang gadis remaja seperti Kui Hong yang bagaikan setangkai bunga yang sedang mekar semerbak mengharum, bukanlah perbuatan aneh, apalagi bagi Ki Liong yang belum berpengalaman sehingga desakan hati mencinta itu langsung saja diutarakan, tanpa disimpan-simpannya lagi. Akan tetapi, demi menjaga perasaan puterinya dan cucunya, Ceng Thian Sin mengambil sikap marah.

“Hemmm, bagaimana engkau berani menyatakan cinta kepada murid keponakanmu sendiri? Sungguh perbuatan itu lancang sekali, Ki Liong. Apa yang mendorongmu mengaku cinta seperti itu?”

“Ampun, Suhu. Teecu…. teecu…. jatuh hati begitu melihat Nona Hong…., dan teecu berterus terang kepadanya…. kebetulan kami berdua malam ini disini, tanpa disengaja dan keadaan yang indah ini, malam yang permai dengan hawa udara yang sejuk segar, membuat teecu lupa diri… dan… dan…. teecu mengaku salah dan siap menghadapi hukuman apapun dari Suhu dan Subo.”

“Kui Hong,” kini nenek itu berkata kepada cucunya. “Selain pengakuan cintanya dan memuji-muji kecantikanmu, apalagi yang dilakukan oleh Ki Liong kepadamu?”

Ditanya demikian oleh neneknya, Kui Hong menjadii bingung. Apalagi yang dilakukan Ki Liong kepadanya? Pemuda itu bahkan tidak pernah melakukan apa-apa, hanya memuji-mujinya dan mengaku tergila-gila kepadanya.

“Dia tidak melakukan apa-apa lagi, Nek, akan tetapi pengakuannya yang lancang itu membuat aku merasa malu dan marah, merasa terhina maka aku menyerangnya!” katanya nekat.

Sui Cin merasa betapa Kui Hong memang agak keterlaluan. Kalau pemuda itu hanya mengaku cinta, mengapa harus diserang sampai mati-matian? Kalau puterinya itu tidak setuju, cukup mengatakan saja, atau meninggalkan pergi.

“Kui Hong, engkau seharusnya tidak boleh menyerang begitu saja. Kalau engkau tidak suka, katakan saja kepadanya atau tinggalkan dia pergi, tidak perlu harus marah-marah dan memukulnya.”

Kui Hong diam saja, hanya menunduk dengan muka merah dan mulut cemberut. Melihat ini, Ceng Thian Sin merasa kasihan kepada cucunya dan dia merasa perlu menegur Ki Liong yang dianggapnya lancang dan bodoh.

“Ki Liong, perbuatanmu tadi lancang dan mnyinggung hati cucu kami. Kuharap engkau dapat melihat kebodohanmu itu dan lain kali engkau tidak boleh melakukan hal yang amat memalukan itu. apakah engkau tidak merasa malu?”

Tiba-tiba saja air mata jatuh menetes-netes dari mata pemuda itu dan membasahi kedua pipinya!

“Teecu sudah merasa menyesal sekali, Suhu. Teecu siap untuk menerima hukuman atas kelancangan dan kebodohan teecu.”

Ceng Thian Sin menarik napas panjang. Muridnya itu biasanya tenang sekali, akan tetapi kenapa sekarang begitu mudah menitikkan air mata?

“Sudahlah, penyesalan tak perlu dibuktikan dengan air mata, melainkan dengan perbuatan. Nah, kembalilah ke kamarmu.”

Ki Liong memberi hormat kepada suhu dan subonya, bahkan setelah bangkit berdiri, dia menjura dengan hormat kepada Sui Cin dan berkata,

“Suci, aku mohon maaf sebesarnya, dan Nona Hong, maafkanlah aku.”

Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban, pemuda itupun pergi meninggalkan taman untuk kembali ke dalam kamarnya

“Kui Hong, engkau juga kembali saja ke kamarmu,” kata Sui Cin, merasa tidak enak juga kepada ayah dan ibunya.

Baru saja ia pulang bersama puterinya, membawa berita yang amat buruk tentang hubungannya dengan suaminya, hal itu tentu sudah membuat ayah dan ibunya ikut merasa pusing, dan sekarang, baru setengah malam berada disitu, puterinya sudah menjadi sebab terjadinya hal lain yang mendatangkan perasaan tidak enak. Sungguh ia merasa sebagai beban saja kepada dua orang tuanya yang tentu sebelum ia datang hidup dalam keadaan aman tenteram dan kini menjadi kacau begitu ia pulang!






“Ah, Kui Hong menjadi seorang anak yang terlalu manja. Menghadapi urusan begitu saja ia marah-marah dan turun tangan. Sungguh tidak baik sekali,” katanya sambil menarik napas duka. Kalau saja disitu ada suaminya, tentu suaminya itu dapat mengambil tindakan yang tepat.

Toan Kim Hong merangkul puterinya.
“Tidak mengapa, tak perlu khawatir. Ia memang agak keras hati dan gadis remaja seperti Kui Hong itu memang biasanya agak angkuh dalam soal cinta, dan biasanya mengambil sikap jual mahal. Akan tetapi, Ki Liong juga terlalu lancang sehingga mengejutkan Kui Hong, membuatnya merasa malu dan canggung sehingga bangkitlah kemarahannya karena ia merasa dihina dengan pernyataan cinta itu. Aih, engkau tentu tahu akan gilanya orang-orang muda dengan cinta mereka.”

“Yang membuat aku merasa bingung dan heran adalah Ki Liong,” kata Ceng Thian Sin. “Biasanya dia hampir tidak pernah bergaul terlalu dekat dengan wanita, dan dia terkenal sebagai seorang pemuda yang alim. Akan tetapi kenapa begitu bertemu Kui Hong, wataknya tiba-tiba saja berubah?”

“Seperti kukatakan tadi, orang muda dengan cinta mereka memang suka melakukan tingkah yang aneh-aneh. Akan tetapi, sudahlah. Tidak baik kalau kita terlalu menyalahkan dan mendesaknya. Kesalahannya tidaklah terlalu besar untuk dilebih-lebihkan. Dia jatuh cinta dan mengaku cintanya kepada Kui Hong. Apakah hal itu merupakan dosa tak berampun? Kalau terlalu ditekan, dia akan menjadi rendah dan pemalu.”

Mendengar ucapan ibunya, Sui Cin membenarkan.
“Biarlah kita lupakan saja urusan itu dan aku akan menasihati Kui Hong agar ia melupakan urusan itu.”

Diam-diam kakek dan nenek itu merasa sayang karena melihat usia mereka, memang sebetulnya Ki Liong dapat menjadi calon jodoh Kui Hong yang baik sekali! Kalau saja kedua orang muda itu saling mencinta dan setuju, mereka akan merasa gembira sekali kalau keduanya dapat berjodoh. Tentang hubungan perguruan, hal itu tidak menjadi halangan. Akan tetapi tentu saja mereka tidak berani menyatakan hal ini kepada Sui Cin.

Mereka semua kembali ke kamar masing-masing dan karena urusan yang timbul tadi memang tdiak berapa peting, mereka pun dapat tidur nyenak. Dapat dibayangkan kaget hati Ceng Thian Sin dan Toan Kim Hong ketika keesokan harinya, mereka mendapat kenyataan bahwa Ciang Ki Liong telah pergi dari pulau itu tanpa pamit!

Pemuda itu pergi, mungkin malam tadi atau menjelang pagi, menggunakan perahu kecil dan tak seorang pun penghuni pulau itu yang melihat dia keluar dari pulau. Dan yang lebih mengejutkan hati suami isteri itu adalah ketika mereka mendapat kenyataan bahwa beberapa buah benda berharga berikut pedang pusaka Gin-hwa-kiam milik Pendekar Sadis lenyap pula dari gudang pusaka! Siapa lagi yang mengambilnya kalau bukan Ki Liong? Tidak ada orang lain kecuali mereka bertiga yang dapat memasuki gudang pusaka itu!

”Ah, apa artinya ini? Apakah dalam waktu semalam saja telah terjadi perubahan yang demikian besar atas diri Ciang Ki Liong? Apakah setan telah memasuki batinnya sehingga berturut-turut dia melakukan hal-hal yang demikian buruk?” kata Ceng Thian Sin sambil mengepal tinju. “Aku akan mengejar dan menghajarnya kalau memang ada tanda-tanda bahwa dia melakukan penyelewengan dan menjadi sesat!”

“Sabarlah,” kata Toan Kim Hong. “Mungkin urusannya dengan Kui Hong semalam telah membuat dia merasa malu sehingga dia tidak berani lagi berhadapan dengan kita sekeluarga. Karena itu, boleh jadi dia lalu mengambil keputusan untuk minggat dari sini tanpa pamit. Adapun benda-benda itu, mungkin sebagai orang yang belum pernah meninggalkan pulau, belum berpengalaman, dia merasa khawatir maka dia mengambil benda itu untuk menjaga diri dan bekal dalam perjalanan. Kita tunggu saja, siapa tahu dia akan merasa menyesal dan kembali. Dan andaikata tidak, kita dengarkan saja bagaimana sepak terjangnya. Kalau benar dia melakukan penyelewengan dan kejahatan sehingga menodai nama kita, kita akan keluar pulau mencarinya dan memberi hukuman yang setimpal.”

Pendekar Sadis Ceng Thian Sin menarik napas panjang dan menekan perasaan marahnya. Dia tahu betapa besar rasa cinta isterinya kepada muridnya yang dianggap sebagai putera sendiri itu. dan walaupun murid itu telah meninggalkan pulau tanpa pamit, bahkan membawa benda-benda berharga dari gudang pusaka, bahkan juga Gin-hwa-kiam yang merupakan senjata pusakanya, namun belum ada bukti bahwa murid itu telah menjadi orang jahat dan siapa tahu dugaan isterinya benar.

“Aahh, sudahlah, kita lihat saja nanti. Hanya sungguh aku khawatir sekali kalau sampai dia berubah watak dan menyeleweng, karena pada saat ini dia telah memiliki ilmu silat yang cukup tinggi. Dia berbakat baik sekali dan mungkin sekarang tingkatnya sudah sukar ditundukkan lawan.”

Mendengar ini, Sui Cin mengerutkan alisnya.
“Benarkah dia demikian hebat, Ayah? Ketika tadi melawan Kui Hong…..”

“Ah, engkau tidak tahu, Sui Cin!” kata Toan Kim Hong. “Anak itu, seperti dikatakan Ayahmu tadi, memiliki bakat yang amat besar, bahkan lebih besar daripada bakat yang ada padamu! Apalagi Kui Hong, bahkan engkau sendiri pada waktu ini mungkin sudah kalah olehnya, Sui Cin.”

Sui Cin terkejut bukan main. Ia tahu bahwa ibunya itu selalu bersikap jujur maka iapun tidak merasa sakit hati mendengar bahwa ia kalah oleh sutenya yang masih muda itu.

“Ah, kalau begitu, sungguh berbahaya kalau dia sampai melakukan penyelewengan dan menjadi penjahat,” katanya lirih.

“Akan tetapi kulihat Kui Hong juga memiliki bakat yang baik. Biarlah selama berada disini kami berdua akan menggemblengnya dan mengajarkan kunci-kunci pemunah ilmu-ilmu berbahaya yang dikuasai Ki Liong. Dengan demikian, kelak ia akan mampu menandinginya.”

Mendengar ini, Sui Cin menjadi girang sekali dan mulai hari itu, kakek dan nenek penghuni Pulau Teratai Merah itu menggembleng cucu perempuan mereka dengan penuh ketekunan dan Kui Hong yang memang suka belajar ilmu silat, tentu saja berlatih dengan giat.

Kakek dan neneknya mengajarkan ilmu-ilmu simpanan mereka, bahkan Pendekar Sadis Ceng Thian Sin mengajarkan ilmu-ilmu Bu-bed Hud-couw, yaitu Hok-liang Sin-ciang yang hanya delapan jurus, Hok-te Sin-kun yang merupakan permainan silat yang selalu mendekati tanah, dan juga cara bersamadhi berjungkir balik untuk menghimpun tenaga sakti yang kuat dan aneh. Dari latihan samadhi secara ini, Kui Hong memperoleh kekuatan batin yang dapat dipergunakan untuk menolak serangan ilmu sihir dan sebagainya.

Diam-diam Kui Hong marah kepada Ki Liong. Walaupun pemuda itu tampan dan pandai, bahkan masih terhitung paman gurunya sendiri, namun ia gemas kalau mengingat betapa pemuda itu berniat kurang ajar kepadanya. Apalagi mendengar batapa pemuda itu minggat dari Pulau Teratai Merah sambil mencuri benda-benda pusaka kakek dan neneknya, diam-diam ia semakin merasa gemas dan marah. Kalau sudah tamat belajar, kelak ia akan pergi mencari pemuda itu, selain merampas kembali benda-benda pusaka yang dilarikannya, juga akan menghajar murid murtad itu!

Selain pemuda itu yang menjadi keinginannya terbesar adalah Cin-ling-pai. Ia ingin mengunjungi Cin-ling-pai dan membalas sakit hati ibunya! Dengan adanya cita-cita ini, Kui Hong belajar semakin giat dan rajin sekali, hampir tidak ada waktu lowong yang tidak diisinya dengan berlatih silat sehingga melihat ini, kakek dan neneknya menjadi semakin gembira melatihnya.

**** 089 ****
Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar