*

*

Ads

Minggu, 29 April 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 090

Pemuda itu berpakaian sederhana. Wajahnya tampan, dengan muka yang berbentuk bulat dan berkulit putih, sepasang alisnya hitam lebat dan nampak bagus sekali pada kulit muka yang putih itu. Sepasang matanya agak sipit, mengandung ketenangan dan penuh pengertian, namun kadang-kadang juga dapat mengeluarkan sinar mencorong yang aneh dan amat kuat wibawanya. Gerak-geriknya halus dan tenang seperti air telaga yang dalam. Pemuda yang berjalan seorang diri dengan langkah-langkah tenang ini tiba diluar perkampungan Pek-sim-pang di daerah Kong-goan.

Dia adalah Pek Han Siong, Si Bocah Ajaib atau Sin-tong yang kini telah menjadi seorang pemuda dewasa berusia dua puluh satu tahun. Seperti kita ketahui, Pek Han Siong beruntung sekali bertemu dengan suami isteri pendekar yang mewarisi ilmu-ilmu luar biasa dari dua orang diantara Delapan Dewa.

Mereka adalah Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu yang menjalani hukuman di dalam kuil Siauw-lim-pai. Setelah meninggalkan kuil, didalam perjalanannya pemuda ini bertemu dengan Ban Hok Lo-jin, seorang diantara Delapan Dewa yang masih hidup walaupun sudah tua renta. Kakek ini, ketika melihat bahwa Han Siong adalah Sin-tong, segera mengangkatnya menjadi murid dan mengajaknya kedalam guha untuk dilatih ilmu dengan tekun, terutama sekali ilmu sihir karena Ban Hok Lo-jin melihat betapa ilmu silat pemuda itu sudah cukup hebat.

Setahun lamanya Han Siong tekun mempelajari ilmu dari Ban Hok Lo-jin dan setelah dia dinyatakan berhasil oleh gurunya yang baru yang menyatakan bahwa sudah tiba waktunya bagi mereka untuk berpisah, Han Siong meninggalkan tempat itu setelah berlutut dan menghaturkan terima kasih kepada kakek itu dengan hati terharu.

"Dimana teecu dapat mencari Suhu kalau teecu merasa rindu?” Han Siong bertanya.

Kakek itu terkekeh-kekeh lalu bergelak-gelak.
"Hoa-ha-ha-ha! Kenapa mesti rindu, Han Siong? Kalau engkau merasa rindu, buang jauh-jauh perasaan itu, karena perasaan itu hanya memperkuat ikatan belaka! Engkau takkan dapat mencariku lagi. Usiaku sudah terlalu tua dan tak lama lagi aku harus kembali setelah beberapa lamanya memegang peranku di dunia ini. Demikian pula dengan engkau, dan semua orang yang pernah hidup. Masing-masing harus memegang dan menjalankan peran masing-masing yang sudah ditentukan sejak lahir. Apapun yang dipegang, peran itu harus dilaksanakan sebaik mungkin. Bukannya peran yang penting melainkan pelaksanaannya, seperti orang bermain sandiwara, bukan tokoh yang diperankan yang penting, melainkan bagaimana melaksanakannya sebaik mungkin. Nah, pergilah, muridku."

Han Siong meninggalkan gurunya yang duduk bersila di depan guha setelah memberi penghormatan terakhir dan setelah melakukan perjalanan yang cukup jauh, akhirnya pada senja hari itu tibalah dia di luar perkampungan Pek-sim-pang, tempat tinggal orang tuanya!

Berdebar jantung Han Siong, penuh kegembiraan, ketegangan dan harapan. Dia mencoba untuk mengingat-ingat bagaimana wajah ayah dan ibunya seperti yang pernah diceritakan kakeknya. Akan tetapi bagaimana dapat menggambarkan wajah orang tuanya hanya melalui penuturan kakeknya? Bahkan wajah kakeknyapun dia sudah lupa lagi. Kakek buyutnya itu, Kakek Pek Khun, telah tua sekali ketika menitipkan dia ke kuil Siauw-lim-pai dan pada waktu itu dia baru berusia tujuh tahun.

Semenjak masih bayi, dia dibawa pergi kakek buyutnya dan belum pernah bertemu dengan ayah ibunya. Dan kini dia akan berhadapan dengan ayah kandungnya. Dengan ibu kandungnya! Dan mereka berada di belakang tembok yang mengelilingi perkampungan di depan itu! Betapa dekatnya mereka. Ayah dan ibu kandung. Namun betapa jauhnya selama ini, karena dia belum pernah melihat mereka dan tidak akan mengenal wajah mereka. Sungguh aneh. Dan semua gara-gara dia dianggap sebagai Sin-tong, anak ajaib yang dijadikan perebutan. Demikian menurut penuturan Ceng Hok Hwesio Ketua Siauw-lim-pai itu.

Karena dia akan dirampas oleh para pendeta Lama Tibet yang hendak menjadikan dia calon Dalai Lama di Tibet, maka oleh keluarga Pek dia disingkirkan dan akhirnya disembunyikan di kuil Siauw-lim-si itu. Sungguh terlalu para pendeta Lama itu pikirnya.

Akan tetapi, menurut hwesio tua itu, bukan hanya para pendeta Lama yang memperebutkannya, juga banyak datuk sesat di dunia persilatan. Ada yang ingin memilikinya untuk dijadikan murid, ada pula yang ingin memilikinya untuk diserahkan kepada para pendeta Lama di Tibet dengan uang tebusan besar.

Dia mengepal tinju. Mereka itu orang-orang jahat. Orang tuanya menjadi menderita karena mereka itu yang ingin memperebutkan dia. Dapat dibayangkan betapa susah hati orang tuanya, terutama ibunya, yang harus berpisah dari anaknya yang masih bayi dan selama dua puluh satu tahun belum pernah bertemu dengan puteranya itu. Dia akan segera bertemu dengan ibu kandungnya! Teringat akan ini, membayangkan betapa ibunya akan merangkulnya sambil menangis, kedua mata Han Siong menjadi basah dan dia mengebut-ngebutkan pakaiannya agar bersih dari debu.

Tiba-tiba dia mendengar angin berdesir dan bayangan-bayangan orang berkelebat. Ketika dia yang tadi menunduk untuk melihat pakaiannya itu kini mengangkat muka, ternyata di depannya telah berdiri menghadang lima orang pendeta yang berjubah panjang, jubah kuning dan merah dan kepalanya mengenakan topi pendeta.






Mereka bukan seperti pendeta-pendeta dalam kuil Siauw-lim-si, pakaian mereka berbeda karena jubah mereka itu ada warna merahnya, juga model topi mereka berbeda. Bahkan wajah merekapun nampak asing. Terkejutlah dia ketika teringat bahwa mungkin mereka ini adalah para pendeta Lama dari Tibet!

Namun, segera Han Siong dapat menguasai diri dan dengan sikap tenang dia menghadapi lima orang pendeta itu. Mereka itu rata-rata berusia enam puluh tahun, tiga orang diantaranya memegang tongkat dari kayu hitam, yang dua orang lagi tidak memegang tongkat, akan tetapi tangan mereka memegang dan memainkan butir-butir tasbeh merah yang panjang.

Han Siong dapat menduga bahwa tasbeh itu bukan sekedar alat pembantu melakukan sembahyang, melainkan juga dapat dipergunakan sebagai senjata karena banyak pula hwesio Siauw-lim-si yang pandai menggunakan alat ini sebagai senjata ampuh.

Melihat betapa lima orang pendeta itu memenuhi jalan di depannya, seperti orang menghadang, dia lalu memberi hormat dan bersoja, mengangkat kedua tangan yang dirangkap di depan dada.

"Maaf Cu-wi Losuhu (Bapak Pendeta Sekalian), harap sudi membuka jalan agar saya dapat lewat," katanya penuh hormat.

Lima orang pendeta Lama itu mengerutkan alis dan memandang kepadanya dengan pandang mata penuh selidik. Kemudian, seorang diantara mereka yang matanya lebar sebelah, yang sebelah kiri jauh lebih kecil daripada yang sebelah kanan dan biji-biji tasbeh di tangannya itu lebih besar daripada orang kedua yang memegang tasbeh, tubuhnya tinggi kurus dengan kedua pipi cekung seperti tengkorak hidup, berkata, suaranya jelas membuktikan bahwa dia berlidah asing.

"Apakah engkau hendak pergi ke perkampungan Pek-sim-pang, orang muda?" Suaranya parau dan datar.

"Benar, Lo-suhu. Saya hendak pergi ke dalam perkampungan Pek-slm-pang."

"Hemm, ada keperluan apakah?”

Biarpun wajahnya tetap senyum dan hormat, namun didalam hatinya Pek Han Siong mencela sikap para pendeta ini. Siapakah mereka itu yang seolah-olah hendak mencampuri urusan orang lain, seolah-olah mereka itu berkuasa disitu dan berhak mengurus orang-orang yang berkunjung kepada perkumpulan Pek-sim-pang? Namun dengan sikap tenang dia menjawab.

"Saya hendak pergi menghadap keluarga Pek disana, Losuhu.”

"Hemm, siapakah namamu, orang muda?"

Han Siong sudah menduga bahwa mereka ini tentulah pendeta-pendeta Lama dari Tibet yang kabarnya mencari dia sebagai Sin-tong. Akan tetapi dia tidak merasa takut dan tidak mau menyembunyikan dirinya.

"Nama saya Pek Han Siong, Losuhu."

Benar saja dugaannya, lima orang itu nampak terkejut, bahkan mereka saling pandang dengan wajah pucat akan tetapi juga kelihatan girang sekali. Seorang diantara mereka, yang tubuhnya gendut bundar seperti bola, menggelinding ke belakangnya.

"Perlihatkan punggungmu!” bentak pendeta gendut itu dan Han Siong merasa betapa ada tangan menyambar ke arah punggungnya.

Dalam waktu sedetik itu diapun maklum bahwa mereka ingin melihat tanda merah di punggungnya, maka diapun tidak mengelak, hanya diam-diam mengerahkan tenaga melindungi tubuh belakang agar tidak terkena pukulan gelap.

“Brettt …..!”

Punggung baju Han Siong kena dicengkeram robek dan nampaklah kulit punggung yang putih bersih, dengan tanda merah jelas nampak di tengah punggung itu!

“Omltohud ……! Benar dia... Sin-tong...!”

Teriak Si Gendut yang segera menjatuhka diri berlutut di depan kaki Han Siong. Empat orang pendeta yang lain, dengan gerakan yang cepat dan ringan, telah berlompatan ke belakang Han Siong dan begitu melihat tanda merah itu, merekapun seperti Si Gendut tadi, menjatuhkan diri berlutut dengan sebelah kaki di depan Han Siong.

"Ampunkan saya……. yang telah berani bersikap kurang hormat kepada Sin-tong……!" kata pendeta gendut yang tadi merobek baju Han Siong di bagian punggung.

Han Siong berdiri dengan kikuk sekali, akan tetapi juga geli rasa hatinya melihat betapa lima orang pendeta yang usianya enam puluh tahun kini berlutut memberi hormat kepadanya. Apakah mereka ini sudah menjadi gila, pikirnya.

"Cu-wi Lo-suhu, harap jangan begini. Silakan bangkit dan bicaralah yang jelas, karena aku sungguh tidak mengerti apa artinya ini semua." katanya.

Pendeta yang tinggi kurus dan matanya sipit sebelah itu, yang agaknya menjadi pemimpin mereka, berkata dengan sikap hormat, dengan sebelah kaki masih berlutut dan kedua tangan menyembah di depan dada.

"Sin-tong yang mulia, pinceng mohon maaf karena tidak mengenal sebelumnya, pinceng berlima bersikap kurang hormat. Hendaknya diketahui bahwa kami berlima adalah para pendeta Lama dari Tibet yang bertugas disini menanti kedatangan Anda."

Han Siong pura-pura tidak mengerti.
"Menanti kedatanganku? Untuk apakah? Aku tidak pernah mengenal Cu-wi dan aku bukanlah Sin-tong, melainkan Pek Han Siong."

"Aih, Sin-tong. Dua puluh tahun lebih kami bersusah payah mencari Anda, bahkan sudah beberapa kali berganti orang, membuang banyak tenaga. Kami merupakan tenaga yang terakhir, yang baru hampir satu tahun menanti kembalimu ke perkampungan ini."

"Hemm, aku tidak mengerti. Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian. Sekarang, setelah bertemu, katakanlah apa kehendak kalian terhadap dlriku."

"Sin-tong, pimpinan kami sudah menanti-nanti kedatangan Anda. Marilah ikut bersama kami, menghadap para pimpinan kami yang akan memberitahukan selanjutnya kepada Anda apa yang harus dilakukan."

"Apa? Kalian mengajak aku pergi ke Tibet?"

"Benart Sin-tong."

"Tldak, aku datang untuk menghadap orang tuaku, menghadap Ayah dan Ibu kandungku."

"Keluarga Pek bukanlah keluarga Anda, hanya kebetulan saja mereka dipakai untuk menjadi perantara Anda turun ke bumi. Anda telah ditakdirkan turun ke bumi melalui keluarga Pek untuk membimbing kami para Lama dan seluruh umat di dunia. Marilah, Sin-tong."

"Tidakt aku harus bertemu dengan orang tuaku.”

"Boleh bertemu sebentar dengan keluarga Pek, akan tetapi setelah itu harus ikut bersama kami ke Tibet.”

"Harus? Kalian memaksaku?”

“Ah, mana pinceng berani kurang ajar terhadap Sin-tong. Akan tetapi, kami telah menerima tugas sebagai utusan para pimpinan kami di Tibet. Bagaimanapun juga, kami harus pulang membawa Sln-tong karena kalau tidak, dosa kami akan besar sekali."

"Kalau aku tidak mau?"

"Apa boleh buat, bukan kami lancang dan berani kurang ajar melainkan kami harus mentaati perintah pimpinan kami.” kata pimpinan Lama ini dan tiba-tiba sepasang mata yang besar sebelah itu mengeluarkan sinar mencorong, bibirnya berkemak-kemik dan terdengarlah seruan dari mulutnya, suaranya lantang dan menggetar penuh wibawa yang kuat, "Engkau harus mentaati kami!"

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar