*

*

Ads

Senin, 07 Mei 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 096

Dia tahu bahwa banyak sekali binatang kecil yang tak dapat dilihat oleh mata saking kecilnya, hidup di dalam dan di luar daun-daun dan sayur-sayuran sehingga makan sayur mentahpun tanpa disengaja membunuh banyak binatang tanpa disengaja! Ah, disinilah letak perbedaannya, pikir Hay Hay.

Kakek itu pantang membunuh, walaupun tadi mengancamnya akan membunuh kalau dia berani mengganggu binatang. Kakek itu pantang membunuh, apalagi membunuh untuk makan! Membunuh sengaja dan tanpa sengaja jelas berbeda. Membunuh binatang untuk makan dagingnya memupuk kekejaman dan memperbesar nafsu mengejar kesenangan melalui makanan. Agaknya inilah inti pelajaran yang tersembunyi di balik tingkah yang aneh dari kakek tadi.

Ah, peduli amat, perutnya lapar! Hay Hay menengok ke kanan kiri dan tidak nampak bayangan kakek tadi, juga tidak terdengar suara, maka dia merasa yakin bahwa kakek itu tentu telah jauh dari situ. Diapun mulai lagi mencari binatang buruan untuk dijadikan calon korbannya, calon mangsanya.

Tiba-tiba matanya tertarik oleh gerakan diatas pohon. Dia berhenti bergerak dan melihat adanya seekor ular yang merayap turun dari atas pohon melalui sebatang cabang yang menjulur ke bawah. Gerakan ular itu lambat sekali, tidak mengeluarkan suara, bahkan seperti tidak nampak bergerak namun tubuhnya semakin maju dan lidahnya bergerak keluar masuk monconganya dengan amat cepat seperti tusukan pedang di tangan seorang ahli.

Ketika Hay Hay memperhatikan ke bawah, dia melihat seekor tikus besar sedang makan bangkai ayam hutan. Demikian asyiknya tikus hitam itu makan daging bangkai ayam sehingga ia agaknya lupa akan segala. Biarpun matanya selalu bergerak kekanan kiri dengan waspada, namun ia tidak melihat benda bergerak yang hidup dan mengancam diatas kepalanya itu.

Seekor ular sedang mengintai dan merunduk calon korban dan mangsanya, pikir Hay Hay. Hatinya tertarik sekali dan diapun tidak berani bergerak, takut kalau akan mengejutkan pemburu diatas pohon dan buruannya yang berada didekat semak dibawah cabang pohon itu. sebagai seorang ahli silat, perasaannya peka sekali terhadap setiap gerakan dan dia seolah-olah dapat merasakan ketegangan dan kegembiraan penuh harapan dari ular itu, kegembiraan seorang pemburu mengintai dan mengejar calon korban!

Diam-diam Hay Hay yang mengikuti gerakan ular itu, ikut pula merasakan kegembiraan itu dan dia bahkan membuat ancang-ancang, seolah-olah dia yang hendak menerkam tikus itu. Dan ternyata perhitungannya tepat sekali. Ketika dia sudah merasakan bahwa saatnya tiba untuk menerkam melihat posisi ular yang sudah tiba didekat ujung cabang yang mulai melengkung karena bobot ular, binatang itupun menjatuhkan diri ke bawah!

Karena cabang pohon itu kehilangan beban berat, maka melenting ke atas dan daunnya mengeluarkan bunyi. Hal ini cukup membuat tikus yang berada dibawah menjadi ketakutan dan meloncat karena perasaan nalurinya membisikkan ancaman bahaya.

Akan tetapi, tubuh panjang ular itu memungkinkannya untuk menyambar dengan moncong terbuka ke arah meloncatnya tikus itu sehingga loncatan itu terhenti di udara karena tubuhnya sudah tertahan oleh gigitan ular yang tepat mengenai lehernya. Tikus itu meronta-ronta, mencakar dan mengeluarkan suara bercuitan menyedihkan.

Hay Hay memejamkan mata sejenak sampai suara itu terhenti. Ketika dia membuka mata lagi, nampak betapa ular itu mulai menelan tubuh tikus yang tak bernyawa lagi itu perlahan-lahan, sedikit demi sedikit karena perut tikus yang gendut itu lebih besar daripada lebar mulutnya. Sepasang mata ular itu meram melek dan kelihatan betapa menikmati santapannya!

Hay Hay menarik napas panjang. Betapa mengerikan, betapa kejamnya. Sejenak timbul keinginannya untuk membunuh ular itu. Akan tetapi dia teringat bahwa memang demikianlah cara ular mempertahankan hidupnya, yaitu membunuh dan memakan binatang lain yang lebih kecil atau juga lebih besar namun kalah kuat.

Ular takkan dapat hidup dari makan rumput, daun atau buah. Makananya adalah bangkai binatang lain! Tikus itupun tadi sedang makan bangkai ayam hutan yang mulai membusuk! Dia mulai melihat kebenaran tingkah dan sikap kakek gila tadi. Tidak, ular itu tidak kejam, tidak buas. Ular membunuh untuk mempertahankan hidupnya. Akan tetapi manusia?

Tiba-tiba terdengar suara lengkingan bening. Hay Hay segera meloncat kearah darimana datangnya suara itu. Suara rusa betina! Dia mengenal suara itu. Daging rusa amat enak, lebih lezat dan gurih daripada daging domba! Masa bodoh dengan peringatan kakek gila itu dan filsafatnya, masa bodoh dengan ular itu, yang penting dia lapar dan dia membutuhkan daging rusa yang enak!

Dengan ilmu lari cepat, sebentar saja Hay Hay melihat rusa betina yang mengeluarkan lengking tadi. Dia mengintai dari balik semak-semak. Di depan, didekat sebuah rawa kecil, nampak seekor rusa betina bersama seekor anaknya dan rusa betina itu nampak marah, bersikap melindungi anaknya dan siap menyerang seekor rusa jantan yang mendekatinya.






Sejenak mereka berdua itu mendengus-dengus, si jantan hendak mendekati, si betina marah dan menolak. Akhirnya rusa jantan itu kecewa, menggerakkan kepala ke atas lalu memutar tubuhnya, membalik dan berlari pergi.

Rusa betina itu agak kurus, maklum karena menyusui, dan anaknya masih terlalu kecil untuk dimakan dagingnya. Hay Hay sudah siap untuk meloncat dan menangkap rusa betina itu. Biarpun rusa itu gesit dan berlari cepat, dia yakin akan mampu menangkapnya. Apalagi rusa betina itu sedang menjaga anaknya, tentu tidak akan mau meninggalkan anaknya, melainkan mengajaknya melarikan diri dan rusa kecil itu belum begitu kuat untuk berlari secepat induknya.

Akan tetapi tiba-tiba timbul keraguan di hati Hay Hay. Apakah dia akan sama dengan ular tadi? Kalau dia membunuh induk rusa itu, lalu bagaimana dengan anaknya? Tentu akan mati karena tidak ada yang menyusuinya! Dan bagaimana pula kalau diketahui oleh kakek tadi? Berarti dia mencari musuh.

Sekaligus dia akan menukar beberapa potong daging rusa yang belum tentu enak melihat rusa itu kurus dengan tiga kerugian. Pertama, dia akan membayangkan bahwa dia tidak ada bedanya dengan ular tadi, kedua dia akan selalu teringat sebagai seorang yang kejam yang membunuh induk rusa dan membiarkan anak rusa mati kelaparan, dan ketiga, mungkin dia akan dibenci dan dimusuhi kakek gila yang sakti tadi.

Selagi dia hendak meninggalkan tempat itu karena nafsunya untuk makan daging kijang lenyap sama sekali, terdengar auman nyaring dan suara itu bergema diseluruh hutan, menggetarkan bumi.

Hay Hay melihat munculnya seekor harimau di balik semak-semak, tak jauh dari tepi rawa dimana induk rusa tadi berada. Anak rusa cepat mendekati induknya dan rusa betina menggigil, keempat kakinya gemetar, akan tetapi dengan gagah ia melindungi anaknya dan memasang kepalanya ke bawah, matanya melirik ke arah harimau itu, siap melindungi anaknya sampai saat terakhir!

Melihat ini, Hay Hay lupa segala. Dorongan batinnya untuk menolong yang lemah terancam membuat dia melompat bersama dengan lompatan harimau yang menerkam rusa. Dua tubuh itu bertemu di udara dan Hay Hay sudah menggerakkan tangan terbuka menghantam ke arah kepala harimau itu.

“Dukkk!”

Pukulan tangan miring itu amat kerasnya, mengenai belakang telinga kiri harimau. Tubuh harimau itu terbanting keras, mengaum tiga kali akan tetapi lalu berkelojotan lalu mati. Dari mulut, hidung dan telinganya mengalir darah. Induk dan anak rusa itu sudah berloncatan pergi entah kemana, entah muncul darimana pula, ditempat rusa itu telah berdiri kakek yang gila dan aneh tadi.

Tentu saja Hay Hay menjadi terkejut sekali. Cara kakek itu muncul dan kini berdiri memandangnya dengan mata lebar melotot, membuat dia mengerti bahwa kakek itu telah melihat segalanya dan kini marah karena dia telah membunuh harimau itu. Maka diapun cepat melangkah maju dan menjura dengan sikap hormat.

“Locianpwe (Orang Tua Gagah), harap maafkan. Bukan aku sengaja membunuh dan mengganggu binatang, akan tetapi ketika melihat betapa harimau itu hendak membunuh induk rusa, aku merasa kasihan kepada induk rusa dan anaknya, maka aku lupa diri dan membela mereka.”

“Huh! Kasihan kepada rusa dan anaknya, akan tetapi tidak kasihan kepada harimau itu! Entah sudah berapa hari dia kelaparan dan pada saat dia mendapatlan calon penyambung hidupnya, ada saja orang yang usil bahkan membunuhnya dalam keadaan kelaparan!”

Hay Hay terkejut. Tak disangkanya akan demikian jalan pikiran kakek aneh itu. Otomatis dia memandang ke arah bangkai harimau dan melihat binatang itu menggeletak mati dengan mulut, hidung dan telinga berdarah, dengan perut yang kempis, tiba-tiba saja dia merasa kasihan juga.

“Maaf, Locianpwe. Aku tidak pernah berpikir sampai sejauh itu. Yang kulakukan hanya apa yang timbul dalam perasaanku pada saat itu. Melihat rusa dan anaknya itu terancam ….”

“Perlukah harus membunuh harimau itu? Dengan kepandaianmu, mudah saja kalau engkau mengusir tanpa membunuh. Engkau membunuhnya untuk mendapatkan dagingnya sebagai ganti daging rusa itu bukan? Kejam, sungguh kejam!”

“Maaf, Locianpwe,” kata pula Hay Hay, khawatir kalau-kalau peristiwa itu akan menimbulkan kebencian dalam hati kakek itu terhadap dirinya sehingga mereka akan bermusuhan, hanya oleh sebab yang amat sepele itu.

“Huh, kalau aku tidak melihat engkau membunuhnya untuk melindungi rusa, apa kau kira aku akan tinggal diam saja? Engkau terlalu mengandalkan ilmu kepandaian, nah, sekarang aku ingin mencoba sampai dimana kelihaianmu itu. Bersiaplah!” tanpa memberi kesempatan kepada Hay Hay untuk membantah lagi, kakek itu sudah menerjang kalang kabut kepada pemuda itu!

Hay Hay terkejut bukan main. Kakek itu menyerang dengan gerakan yang aneh dan seperti ngawur saja, ada sifat gerakan segala macam binatang terkandung didalam semua serangannya, akan tetapi ternyata serangan-serangan itu dahsyat dan berbahaya bukan main.

Gerakan itu agaknya sepenuhnya berdasarkan naluri dan tidak terkendali oleh pikiran, sepeti yang dilakukan binatang kalau sedang berkelahi. Akan tetapi, kalau binatang memiliki kekuatan terbatas sesuai dengan sifat dan keadaan tubuh mereka, kakek ini memiliki tenaga terlatih yang tumbuh berkat latihan, dan memiliki tenaga sinkang yang luar biasa kuatnya.

Karena repot kalau harus mengelak terus ke sana-sini dan kemanapun tubuhnya mengelak selalu di bayangi kedua tangan kakek itu yang bergerak otomatis melanjutkan serangan yang gagal, terpaksa Hay Hay menggunakan lengan tangannya menangkis.

“Dukkk!!”

Keduanya terpental ke belakang. Hay Hay merasa betapa tubuhnya tergetar, sebaliknya kakek itu mengeluarkan suara menggereng karena diapun merasa betapa pertemuan tenaga itu membuat isi perutnya terguncang hebat.

“Eh, kau boleh juga!” kata kakek itu memuji dan kini dia menyerang lagi, lebih hebat dari tadi dan lebih aneh karena kini dia menyerang dengan jalan menyeruduk dengan kepala di depan seperti tingkah seekor binatang buas yang bertanduk kalau melakukan penyerangan.

Akan tetapi kakek itu tidak bertanduk, dan mempergunakan kepalanya yang gundul botak dan membendol besar dan karena memang tubuhnya agak bongkok melengkung, maka ketika dia menyeruduk seperti itu, tiada ubahnya seperti seekor kerbau yang menyerang lawan.

Akan tetapi kalau binatang bertanduk hanya mengandalkan tanduknya dalam serangan, kakek ini selain menggunakan kepalanya, juga di bantu oleh kedua tangan yang menyerang dari kanan kiri, bahkan kakinya siap untuk melakukan tendangan!

Hay Hay menjadi sibuk mengelak ke sana-sini, akan tetapi karena serangan kakek itu memang aneh bukan main, sukar di duga kemana perkembangan gerakan serangan itu, dan mengandung tenaga yang bukan main kuatnya, juga amat cepat, tetap saja Hay Hay terdorong oleh angin pukulan tangan kanan yang membuatnya terpelanting!

Namun pemuda yang sudah memiliki ilmu yang hebat itu cepat meloncat lagi begitu tubuhnya menyentuh tanah, dan diapun mulai menjadi marah. Kakek ini, gila ataupun tidak, sungguh keterlaluan, mendesaknya sedemikian rupa. Maka diapun mulai membalas! Melihat ini, kakek itu mengelak sambil mengibaskan lengan menangkis dan terkekeh.

“Heh-heh-heh, bagus, engkau mulai mempunyai nyali untuk menyerangku. Nah, orang muda kejam, jangan kira engkau akan dapat merobohkan aku seperti engkau merobohkan harimau tadi. Hayo keluarkan semua kepandaianmu!” katanya sambil berdiri tegak.

Setegak-tegaknya kaki itu berdiri terpentang, tetap saja dia seperti seekor monyet besar berdiri karena punggungnya yang bongkok. Matanya mencorong dan seperti ada api membara di dalamnya, mulutnya yang tersenyum menyeringai itu malah nampak seperti orang cemberut atau mengejek.

Aneh sekali, timbul perasaan iba di dalam Hay Hay melihat kakek ini. Kakek yang tua sekali, tidak seperti manusia lumrah, demikian buruk rupanya seperti monyet saja, terlantar tanpa baju tanpa sepatu, hanya bercawat, padahal memiliki ilmu kepandaian yang demikian tingginya! Timbul perasaan tidak tega untuk menyerang kakek ini, maka diam-diam dia mengerahkan tenaga batinnya, hendak menggunakan sihir untuk menundukkan kakek ini, dan membuat dia tidak marah dan tidak menyerangnya lagi.

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar