*

*

Ads

Senin, 07 Mei 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 098

Hay Hay menahan ketawanya. Tentu saja baginya amat mudah menghafal kalimat itu, apalagi karena dari See-thian Lama dia sudah banyak diajar tentang Agama Budha, sedangkan dari Ciu-sian Sin-kai dia banyak mendengar tentang filsafat Agama To.

“Baik, Suhu. Ada datang dari Tiada, maka segala yang Ada akan kembali ke Tiada.”

“Bagus, engkau pintar,” kata kakek itu memuji karena memang Hay Hay membaca kalimat itu dengan suara indah setengah dinyanyikan, sudah banyak dia membaca sajak dan pandai berdeklamasi. “Sekarang berikan bungkusanmu kepadaku, juga tanggalkan semua pakaianmu dan mari ikut bersamaku.”

Hay Hay tertegun, memandang kepada gurunya dengan bengong. Dia disuruh telanjang dan pakaiannya dibawa oleh kakek ini? Akan tetapi teringat akan janjinya, dan mengingat bahwa di tempat itu sunyi dan tidak ada orang lain kecuali mereka berdua, Hay Hay tidak membantah. Ditanggalkannya semua pakaiannya, lalu pakaian itu dimasukkan dalam buntalan pakaiannya, diserahkan kepada kakek itu yang memandang sambil menyeringai.

“Kau tidak khawatir kalau aku melarikan diri membawa semua pakaianmu?”

Hay Hay menggeleng kepala.
“Tidak mungkin, karena Suhu tidak suka berpakaian.”

“Nah, mari ikuti aku!”

Kakek itu berlari cepat. Hay Hay mengikutinya dan pemuda ini harus mengerahkan Ilmu Yang-cu Coan-in (Burung Walet Membungkus Awan) untuk dapat mengimbangi cepatnya langkah kedua kaki kakek itu. Ternyata kakek ini membawanya kembali ke hutan pertama dimana dia untuk pertama kalinya bertemu kakek yang mengaku bernama Kakek Song ini. Setibanya di tepi sebuah anak sungai, diantara pohon-pohon yang besar, kakek itu berhenti.

“Nah, sekarang engkau masuklah ke dalam air dan berendam sampai setinggi leher sambil duduk bersila. Apapun yang terjadi, jangan engkau tinggalkan tempat ini sampai aku datang menyuruhmu keluar.”

Hay Hay bergidik ngeri. Berendam di dalam air anak sungai itu? Sampai kapan? Dan perutnya amat lapar, hawa amat dingin. Akan tetapi dia tidak berani membantah, hanya bertanya.

“Bagaimana kalau perut saya lapar, Suhu?” dan dia memancing, “Bolehkah saya menangkap ikan yang berenang dekat dan memakannya kalau perut saya sudah lapar sekali?”

Pancingannya berhasil. Kakek itu mencak-mencak dan matanya melotot, bahkan menjadi kemerahan.

“Apa kau bilang? Mau menangkap ikan yang tak berdosa dan makan bangkai ikan? Akan kubenamkan kepalamu ke dalam air sampai putus napasmu kalau begitu!”

“Habis, bagaimana kalau saya lapar?”

“Apakah engkau akan mampus kelaparan kalau tidak makan bangkai? Lihat disekelilingmu, begitu banyak makanan lezat dan segar, lihat ke atasmu. Akan tetapi awas, sebelum engkau kusuruh keluar, engkau tidak boleh meninggalkan tempat latihan itu, dan seluruh perhatianmu harus kau curahkan kepada kalimat yang kau hafal tadi. Mengerti?”

“Mengerti, Suhu.”

“Kalau begitu, lekas kau laukan!”

Hay Hay tidak mengerti apa manfaat latihan gila ini, akan tetapi karena sudah berjanji dan karena dia yakin akan kesaktian kakek itu, diapun menurut saja, memasuki air yang amat dingin, lalu memilih tempat di tengah, dimana dia dapat duduk di atas batu yang bundar dan rata ketika dia duduk bersila, ternyata air sampai diatas dadanya dekat leher.

“Bagus, dan ingat, jangan mengira setelah aku pergi, engkau dapat meninggalkan tempat bertapa itu tanpa kuketahui. Kalau engkau melanggar, berarti pelajaran gagal dan engkau boleh pergi sebelum aku datang membunuhmu!” Setelah berkata demikian, kakek itu berkelebat dan lenyap bersama buntalan pakaian Hay Hay.

Pemuda itu celingukan memandang ke kanan kiri, merasa seperti telah menjadi seekor kura-kura di tengah sungai, kesepian dan ditinggalkan, merasa seperti menjadi bulan-bulan permainan dan olok-olok. Mengapa dia menurut saja? Apa yang dilakukan dengan bertelanjang bulat di tengah sungai seperti ini? Tidak boleh meninggalkan tempat itu, padahal perutnya lapar?






Dia memandang ke atas dan mengertilah dia akan maksud gurunya yang baru itu. Kiranya tempat itu penuh dengan pohon-pohon yang mengandung buah-buah yang lezat dan segar. Bahkan dikanan kiri anak sungai itu nampak bergantung buah apel merah dan besar-besar! Akan tetapi bagaimana dia dapat mengambilnya? Dia tidak boleh meninggalkan tempat itu!

Perut yang lapar membuat dia memutar otak mencari akal. Lalu diambilnya batu-batu kecil dari dasar sungai. Disambitnya appel yang bergantung di depannya. Dua buah butir appel runtuh ke atas air dan terbawa arus sungai itu menghampirinya karena dia diharuskan duduk melawan atau menghadapi arus air.

Dengan gembira dimakannya buah itu dan ternyata rasanya manis dan segar bukan main. Setelah menghabiskan tujuh butir appel besar, perutnya menjadi tenang dan mulailah dia memperhatikan latihan yang diberikan oleh gurunya yang aneh itu. Dia duduk dengan tenang, dan karena dia bersamadhi, mudah saja baginya untuk mengheningkan cipta, dan yang teringat hanyalah kalimat itu saja yang dibacanya berulang-ulang di dalam hatinya.

Kadang-kadang bibirnya ikut bergerak dan seluruh perhatiannya dicurahkan kepada kalimat itu. Kesadarannya bekerja bersama pengamatannya karena dia mengamati isi atau arti dari kalimat itu. Agama To pernah mengajarkan bahwa sebelum ada sesuatu, yang ada hanyalah Kosong, dan kosong sama dengan Tiada. Disebut Tiada atau Kosong karena keadaan itu tidak dapat diselami oleh pikiran manusia yang berisi, isi yang terbentuk dari ingatan-ingatan tentang pengalaman masa lalu, yang hanya dapat dicatat oleh pikiran berupa ingatan. Akan tetapi, jauh sebelum itu, otak tak mampu mencatatnya.

Segala sesuatu yang ada, segala sesuatu yang terjadi, sudah pasti mempunyai sebab. Segala sesuatu hanya merupakan akibat belaka dari sebab-sebab tertentu. Dan selama ingatan masih mampu mencatat, selama pikiran masih mampu meraba, orang dapat melihat sebab-sebabnya.

Akan tetapi sebab dan akibat itu berkait-kaitan, tiada putusnya dan ingatan tidak mungkin dapat menelusuri sampai pada bagian yang tanpa batas. Dan kalau sudah begini, maka manusia tidak tahu lagi dan tidak dapat melihat sebab-sebab yang tidak dilihatnya, tidak dimengertinya. Karena itulah, otak yang kehilangan akal dan kehilangan ukuran lalu melahirkan kata Nasib, menyerahkan Kehendak Tuhan, atau bahkan tidak mau tahu karena tidak melihat sebabnya, hanya mementingkan akibatnya dan mencari kesalahan kepada siapa saja secara membabi-buta!

Ketika malam tiba, hawanya dingin bukan main, rasanya sampai menusuk tulang. Terpaksa Hay Hay harus mengerahkan tenaga sinkangnya untuk melawan hawa dingin ini. Semalam suntuk dia berjuang seperti melawan musuh yang tidak nampak, musuh yang berupa hawa dingin dan yang lebih daripada itu, perasaan ngeri.

Gerakan air yang menggoyang tubuhnya, suara air, penglihatan remang-remang, mendatangkan bayang-bayang yang mengerikan dan menyeramkan, mengingatkan dia akan segala macam dongeng tentang setan dan iblis. Juga dia harus berjuag melawan rasa kantuk. Tidak mungkin membiarkan diri terseret hanyut oleh tidur dalam keadaan bersila didalam air yang tingginya hanya dibawah dagu itu!

Semalam suntuk Hay Hay merasa tersiksa, namun dengan gagah dia melawan semua itu sampai matahari pagi menimbulkan kabut dipermukaan air anak sungai itu, dan burung-burung berkicau menyambut sinar pertama matahari pagi.

Akan tetapi, sampai matahari naik tinggi, kakek itu belum juga muncul! Padahal Hay Hay mengharapkan pagi ini kakek itu akan menghentikan siksaan atas dirinya. Makin siang, makin kecewa hatinya dan diam-diam ketika dia merenung kembali kalimat yang harus selalu diingatnya itu, dia memperoleh kenyataan baru dalam hidup, sehubungan dengan kesibukan pikirannya.

Dia mendapat kenyataan bahwa kekecewaan timbul karena adanya harapan. Mengharapkan untuk memperoleh sesuatu menjadi biang kekecewaan, yaitu kalau harapan itu tidak terpenuhi seperti yang dilakukannya sejak semalam. Dia mengharapkan kakek itu akan mengakhiri penderitannya pada keesokan harinya, dan kini dia merasa kecewa bukan main karena kenyataannya kakek itu tidak muncul! Andaikata dia tidak mengharapkan, agaknya tidak akan muncul rasa kecewa itu.

Ketika perasaan kecewa itu hampir membuat dia tidak kuat menahan lagi, mendorongnya untuk meloncat kedarat, dia cepat memejamkan kedua matanya dan seluruh perhatiannya dicurahkan kepada kalimat itu, bahkan bibirnya ikut bergerak seperti membaca mantera.

“Ada datang dari Tiada, maka segala yang Ada akan kembali ke dalam Tiada.”

Demikian berkali-kali dia membaca kalimat itu. Memang segalanya akan kembali ke Tiada. Juga dirinya.

Setelah matahari condong ke barat, perutnya menagih lagi. Kembali dia meruntuhkan buah-buahan yang berada di depannya, dan buah-buahan itu terbawa hanyut oleh air menghampirinya. Dia makan buah-buahan itu sampai kenyang, lalu duduk tepekur pula.

Hatinya tenang setelah dia mengulang kalimat itu dan setelah perutnya kenyang sehingga dia tidak lagi memikirkan hal yang bukan-bukan, tidak lagi ada rasa kecewa setelahnya hening dan kosong. Dia kini tenggelam ke dalam keheningan dan terus memasuki keheningan itu dalam keadaan sadar sepenuhnya, namun tidak merasakan apa-apa lagi, tidak mendengarkan apa-apa lagi, tidak melihat apa-apa lagi.

Yang hidup hanyalah kesadarannya yang masuk kedalam dirinya sendiri, tidak terpengaruh oleh keadaan di luar dirinya. Dan rasanya seperti melayang-layang kedalam dunia yang amat luas, dengan beraneka macam warna, beraneka macam suara dan penglihatan yang tembus pandang namun tidak dapat diingat lagi bagaimana bentuk yang sesungguhnya. Sudah matikah dia? Tidak, dia masih hidup, hal ini diketahuinya benar melalui kesadarannya. Namun, dia merasa seperti berada di dunia lain!

Tiba-tiba terdengar suara menggelegar yang amat keras dibarengi cahaya yang menyilaukan mata. Hay Hay terseret ke dalam alam kenyataan dan diapun membuka mata, terbelalak heran karena ternyata telah turun hujan dan suara menggelegar dibarengi cahaya tadi adalah suara kilat menyambar.

Hujan sudah turun agak lama kiranya melihat dari rambut kepalanya yang sudah basah kuyup. Dan cuaca remang-remang, agaknya sudah senja atau karena sinar matahari terhalang mendung dan hujan. Tak disangkanya akan turun hujan karena seingatnya sebelum dia tenggelam ke dalam alam samadhi tadi, hari amat cerah.

Dia lalu merenungkan kembali kalimat yang harus diingatnya selalu, matanya memandang permukaan air sungai yang selama ini tak pernah berhenti bergerak, dan kini ditambah pula rintik air hujan yang menetes-netes tiada hentinya, membuat permukaan air seperti tertimpa ribuan batu-batu kecil.

Hidup seperti air sungai mengalir, renungnya. Dan setiap gerakan air, setiap tetes air bergerak karena ada sebabnya, ada pendorong dibelakangnya. Juga air hujan yang berjatuhan dari angkasa itupun ada penyebabnya. Juga guntur dan kilat itu.

Hidup bagaikan air sungai mengalir, tak pernah berhenti dan tidak pernah sama, selalu berubah. Biarpun nampaknya sama, namun setiap detik ada perubahan pada permukaan air sungai, tak pernah sama keadaannya karena bukan benda mati. Karena itu, mempelajari hidup harus membiarkan diri hanyut oleh hidup itu sendiri, detik demi detik. Tak mungkin mempelajari hidup sambil tiduran, karena kehidupan akan lewat dan jauh meninggalkan si pelajar.

Malampun tiba dan malam itu gelap sekali. Hujan sudah berhenti, dan air naik tinggi. Hay Hay terus mengambil batu lagi untuk mengganjal pantatnya, sehingga dia dapat duduk lebih tinggi dan tidak sampai tenggelam. Timbul kekhawatiran didalam hatinya. Bagaimana kalau muncul ular air, atau buaya atau binatang lain? Akan tetapi dia dapat melenyapkan rasa takut. Dia sudah pasrah dan bertekad untuk terus melakukan tapa itu sampai Kakek Song datang menyuruhnya keluar. Apapun yang akan terjadi akan dihadapinya dengan tabah.

Hay Hay pernah mempelajari tentang perbintangan dan setelah menjelang tengah malam, angkasa penuh dengan bintang sejuta. Indah bukan main. Kalimat yang harus diingatnya itu membuatnya sadar bahwa segala bintang diangkasa itupun terjadi dan tercipta bukan tanpa sebab.

Alangkah banyaknya rahasia di alam mayapada ini, dan betapa besar kekuasaan Sang Pencipta. Penuh rahasia gaib yang tak mungkin dibuka oleh pikiran manusia yang sesungguhnya amatlah dangkal, rapuh, dan penuh sesak sehingga membuatnya menjadi kotor.

Ketika dia melihat jutaan bintang itu, nampak olehnya keindahan yang selama ini belum pernah dilihatnya, merasakan kebahagiaan yang belum pernah menyentuh batinnya. Betapa indahnya malam ini, dan betapa bahagianya manusia dapat melihat, mendengar, mencium, meraba dan merasakan semua keindahan yang seolah-olah dilimpahkan untuk manusia.

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar