*

*

Ads

Selasa, 08 Mei 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 103

"Kalian memang tikus-tikus pengecut yang beraninya main keroyok!"

Dan tiba-tiba saja, enam orang yang sudah menyerang dengan golok menjadi terkejut dan bingung karena tubuh gadis yang dikepung mereka itu lenyap, berubah menjadi bayangan yang berkelebatan ke sana-sini dan merekapun satu demi satu mengeluarkan teriakan dan roboh.

Golok di tangan mereka beterbangan ke sana-sini! Mereka sendiri tidak tahu bagaimana mereka dapat roboh, hanya merasa ada bagian tubuh yang kena tendangan atau tamparan tanpa melihat lawan yang melakukannya!

Hui Lian berdiri tegak, bertolak pinggang memandangi delapan orang yang kini saling bantu dan merangkak bangun sambil mengerang kesakitan itu.

"Nonamu masih mengampuni nyawa anjing kalian! Hayo lekas pergi dari sini dan jangan berani mengganggu orang lagi.”

Si Raksasa muka hitam hanya dapat mendelik, lalu bersama tujuh orang kawannya dia pergi dari situ, terpincang-pincang, diikuti senyum lebar para penonton yang masih juga belum berani bersorak. Setelah delapan orang itu pergi, para penonton berduyun datang mengelilingi Su Kiat dan Hui Lian. Seorang diantara mereka, yang usianya sudah lima puluh tahun lebih mendekati Su Kiat.

“Sebaiknya kalau Ji-wi cepat pergi meninggalkan tempat ini, bahkan meninggalkan kota ini. Ji-wi tidak tahu, Hek-houw Bu-koan merupakan perguruan silat paling besar dan berkuasa disini. Banyak putera bangsawan dan hartawan menjadi muridnya, dan Hek-houw Bu-koan mempunyai banyak sekali tukang-tukang pukul! Ji-wi telah menghajar delapan orang murid rendahan saja, kalau sampai murid-murid utama atau bahkan pimpnan mereka datang kesini, Ji-wi bisa celaka!”

Su Kiat memandang kepada orang itu dan tersenyum tenang.
“Terima kasih atas peringatan itu, Saudara yang baik. Akan tetapi kita tinggal di dunia yang sopan dan ada hukumnya, bukan di rimba raya dimana kekuatan dan kekerasan merajalela. Kami berdua tidak bersalah, dan siapa saja yang mengganggu kami, akan kami hadapi. Nah, Saudara sekalian siapa yang hendak mendaftarkan diri menjadi murid perguruan silat Cia-ling?”

Hui Lian sudah memungut lagi kertas dan alat tulis yang tadi berserakan, siap untuk mencatat nama-nama dari mereka yang ingin belajar silat. Beberapa orang pemuda maju mendaftarkan diri sambil membayar uang pangkal. Ada pula yang bertanya.

“Apakah kalau sudah menjadi murid Cia-ling Bu-koan, kamipun akan mendapatkan kepandaian sehebat Nona ini yang dapat mengalahkan orang-orang Hek-houw Bu-koan?”

Su Kiat tersenyum dan mengangkat tangan minta perhatian semua orang. Suasana menjadi hening sehingga terdengarlah suara Su Kiat dengan jelas.

“Harap Anda sekalian mengetahui bahwa ilmu silat bukanlah alat untuk berkelahi atau bermusuhan. Ilmu silat adalah suatu olahraga yang menyehatkan lahir batin, juga merupakan seni tari yang indah dan menyehatkan, selain itu merupakan pula ilmu bela diri, semacam perisai untuk melindungi diri kita dari ancaman marabahaya. Cu-wi tadi melihatnya. Sumoi bukan menggunakan ilmu silat untuk bermusuhan atau berkelahi, melainkan untuk membela diri dari ancaman orang-orang kasar tadi. Kalau sumoi mempergunakan untuk bermusuhan, tentu delapan orang tadi tidak akan dapat bangun kembali.”

Semua orang mengangguk dan merasa kagum sekali. Makin banyaklah yang mendaftarkan diri. Untuk tahap pertama, karena pertama kali membuka perguruan silat, tentu saja Su Kiat dan Hui Lian tidak mungkin dapat mengadakan pemilihan atau ujian, melainkan menerima saja mereka semua.

Tentu saja kelak, kalau keadaan mereka sudah baik, tidak mungkin menerima segala orang untuk menjadi murid. Harus lebih dulu diuji mentalnya, dinilai wataknya, dan dilihat pula bakatnya dan kesehatan tubuhnya.

“Semua orang harap mundur dan biarkan kami bicara dengan guru silat liar itu!”

Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan semua orang cepat menengok. Orang yang tadi memberi peringatan kepada Su Kiat, ketika melihat munculnya dua orang itu, segera berbisik kepada Su Kiat.

“Celaka, dua orang pelatih mereka datang sendiri! Mereka adalah orang-orang kedua dalam perguruan itu, wakil dari ketuanya yang bertugas melatih ilmu silat. Kepandaiannya tinggi sekali!”

Setelah berkata demikian, seperti juga dengan orang-orang lain, diapun cepat menjauhkan diri. Kini Su Kiat dan Hui Lian berdiri memandang dua orang laki-laki yang melangkah menghampiri mereka dengan langkah lambat-lambat, sedangkan pandang mata mereka ditujukan kepada Hui Lian dengan tajam dan alis berkerut, mulut mereka cemberut, sikap yang tidak ramah atau bersahabat sama sekali.






Diam-diam Su Kiat memperhatikan mereka. Dua orang itu adalah laki-laki yang berusia empat puluh tahun dan gerak-gerik mereka saja mudah diketahui bahwa mereka adalah orang-orang yang bertubuh kuat dan pandai ilmu silat. Keduanya bertubuh tegap dan kokoh kuat seperti batu karang.

Yang seorang memelihara kumis dan jenggot pendek, kulit mukanya menghitam sedangkan orang kedua bermuka bersih tanpa kumis dan jenggot, juga kulit mukanya kuning. Namun keduanya nampak marah sekali.

Su Kiat dan Hui Lian bersikap tenang saja menghadapi mereka dengan senyum mengejek. Dan orang itu agak tertegun melihat seorang gadis cantik manis menghadapi mereka dengan sikap demikian berani.

Padahal, biasanya orang merasa takut dan sungkan kepada mereka yang terkenal sebagai jagoan di Kong-goan. Karena tidak ingin berurusan dengan seorang gadis muda, Si Jenggot muka hitam lalu memandang kepada Ciang Su Kiat dan membentak dengan suaranya yang parau dan bengis.

“Engkaukah guru silat baru yang tidak tahu aturan dan telah berani memukul murid-murid kami dari Hek-houw Bu-koan itu?” tanya yang bermuka hitam dan yang bernama Cu Kat.

Orang kedua itu bernama Cu Hoat, adiknya. Kedua orang kakak beradik ini terkenal di Kong-goan sebagai Kong-goan Siang-houw (Sepasang Harimau Kong-goan) dan ditakuti orang karena mereka adalah murid-murid kepala dan pelatih para murid perguruan silat Harimau Hitam itu.

Sebelum Su Kiat menjawab, Hui Lian sudah mendahuluinya.
“Memang Suheng Ciang Su Kiat dan aku Kok Hui Lian yang hendak membuka perguruan silat Cia-ling Bu-koan di dusun Hek-bun! Yang menghajar delapan orang kurang ajar tadi aku, bukan Suheng. Kalian mau apa? Apakah kalian hendak membela murid-murid kalian yang tidak tahu aturan dan kurang ajar tadi?”

Sepasnag Harimau Kong-goan itu saling pandang, agak terkejut dan hampir tak dapat percaya bahwa delapan orang murid mereka tadi dikalahkan oleh seorang gadis muda seperti ini. Dan gadis ini bersama suhengnya hanyalah orang-orang yang hendak membuka perguruan silat di dusun Hek-bun, dusun kecil itu! Padahal orang sedusun itu sudah mengenal belaka akan nama mereka berdua, apalagi nama perguruan silat Harimau Hitam.

“Nona, bukan murid-murid kami yang kurang ajar, melainkan kalian yang tidak tahu aturan. Setiap orang yang membuka perguruan silat di daerah Kong-goan ini, setidaknya harus melapor dulu kepada perguruan kami yang merupakan perguruan paling besar di Kong-goan. Tanpa memberitahu kami, berarti memandang rendah dan menghina kami!” kata pula Si Muka Hitam.

“Kami hendak membuka perguruan silat, apa hubungannya dengan kalian? Dan kami tidak memandang rendah, apalagi menghina, siapa juga. Bagaimana kami dapat menghina kalian yang tak pernah kami kenal? Kami hanya ingin mencari sesuap nasi secara halal, mengapa kalian dari Hel-houw Bu-koan hendak menggangu dan menghalangi?” Hui Lian membantah dengan suara yang marah dan penasaran.

“Bukan menghalangi, melainkan segala sesuatu harus menurut peraturan, dan kalian sudah melanggar peraturan dan sopan santun!” kini Si Muka Kuning berkata.

Bagaimanapun juga, mereka berdua adalah murid-murid kepala bahkan pelatih, maka mereka tidak bersikap ugal-ugalan dan main keras seperti murid-murid mereka tadi.

“Boleh saja kalian menganggap demikian, habis kalian mau apa sekarang?” tanya Hui Lian dengan sikap menantang.

Su Kiat membiarkan saja karena dia pun merasa penasaran melihat sikap orang-orang itu. Dia sendiri sudah lama berkecimpung di dunia kang-ouw dan tahu akan aturan-aturan di dunia kang-ouw ketika dia masih menjadi murid Cin-ling-pai dahulu, akan tetapi orang-orang Hek-Houw Bu-koan ini sungguh congkak. Mudah dibayangkan bagaimana sikap mereka terhadap rakyat yang lemah.

“Hemm, kalian adalah dua orang baru yang sombong!” kata Si Muka Hitam. “Baiklah, kalau kalian hendak menggunakan aturan sendiri, lebih dahulu kalian harus berani menentang kami dan mengalahkan kami berdua dan guru kami!”

Hui Lian menjebikan bibirnya yang merah dan memandang tajam.
“Aku sama sekali tidak takut kepada kalian, akan tetapi akupun datang ke kota ini untuk bekerja, bukan untuk bermusuhan dengan kalian. Asal saja kalian tidak mengganggu, kami juga tidak akan peduli dengan kalian!”

“Kami tantang kalian sekarang juga datang ke perguruan kami, agar Suhu kami melihat apakah kalian cukup berharga untuk menjadi guru penduduk Kong-goan dan wilayahnya,” kata pula Si Muka Hitam dengan hati-hati.

Dia bukan seorang yang ceroboh. Melihat betapa gadis semuda ini dapat mengalahkan pengeroyokan delapan orang muridnya, dia dapat menduga bahwa gadis ini lihai sekali. Kalau gadis ini sudah lihai, apalagi suhengnya. Dia sudah memperoleh ilmu silat yang cukup matang untuk tidak memandang rendah kepada seorang yang buntung sebelah lengannya.

Gurunya yang bernama Bouw Kwa Teng, pendiri perguruan silat Harimau Hitam, pernah memperingatkan dia agar berhati-hati kalau menghadapi lawan yang kelihatan lemah, seperti orang cacat, wanita, orang tua, pendeta dan orang-orang yang nampaknya saja lemah. Orang lemah yang sudah berani menghadapi lawan, tentu memiliki sesuatu yang diandalkannya dan orang seperti itu dapat menjadi lawan yang amat berbahaya.

Hui Lian hendak menolak dan membentak, akan tetapi Su Kiat yang merasa tidak enak kalau menolak terus, apalagi dia memang tahu akan peraturan seperti itu di dunia kang-ouw, lalu melangkah maju.

“Baiklah, sobat. Kami akan datang menemui guru kalian dan pemimpin Hek-houw Bu-koan sekarang juga.”

“Suheng …!”

“Biarlah, Sumoi. Biar cepat selesai urusan ini sehingga tidak mengganggu pekerjaan kita.”

Hui Lan tidak membantah lagi dan mereka lalu mengikuti dua orang jagoan itu menuju ke Hek-houw Bu-koan yang ternyata merupakan bangunan besar dengan kebun yang luas untuk dipakai sebagai tempat berlatih silat.

Ketika mereka memasuki pintu gerbang, Su Kiat dan Hui Lian melihat papan nama Hek-houw Bu-koan dengan tulisan yang besar dan gagah. Kemudian, begitu memasuki pekarangan depan, mereka melihat sedikitnya tiga puluh orang laki-laki sedang berlatih silat dengan gerakan yang berbareng, dipimpin oleh seorang laki-laki kurus yang memberi aba-aba.

Melihat sepintas saja, Sui Kiat mengenal dasar ilmu silat Siauw-lim-pai, akan tetapi gerakan tangan itu mirip dengan ilmu silat Bu-tong-pai. Memang tidak keliru pandangannya yang tajam, karena sesungguhnya pemimpin Bu-koan (Perguruan Silat) itu, Bouw Kwa Teng adalah seorang ahli silat yang ilmu silatnya bersumber pada dua aliran silat, yaitu Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai. Pengetahuannya dalam kedua ilmu silat ini digabung dan muncullah ilmu silat yang diajarkan di Hek-houw Bu-koan.

Kong-goan Siang-houw dua orang jagoan itu, diam-diam merasa kagum dan makin tidak berani memandang rendah pria buntung dan gadis muda itu. Kalau mereka sudah berani memenuhi undangannya, memasuki Hek-houw Bu-koan dengan sikap demikian tenangnya, jelas bahwa mereka berdua itu pasti memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sehingga demikian percaya kepada diri sendiri.

Sementara itu, ketika para murid Hek-houw Bu-koan melihat masuknya dua orang tamu ini bersama dua orang toa-suheng mereka, seketika latihan itupun menjadi kacau dan terhenti. Semua orang sudah mendengar belaka akan jatuhnya delapan orang murid Hek-houw Bu-koan oleh guru silat baru yang terdiri dari seorang pria berlengan sebelah dan seorang gadis muda yang cantik manis.

Akan tetapi, dengan muka bengis Cu Kat menghardik.
"Lanjutkan latihan kalian!"

Sutenya yang kurus, yang tadi memimpin latihan, menjadi ketakutan dan cepat meneriakkan aba-aba lagi dan latihan itupun dilanjutkan. Pukulan-pukulan dan tangkisan-tangkisan yang mantap, gerakan kaki yang kokoh, dan peluh membasahi tubuh-tubuh bagian atas yang telanjang dan rata-rata tegap berotot itu.

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar