*

*

Ads

Jumat, 11 Mei 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 107

"Dia? Ah, Sumoi, sudah kau pikir baik-baikkah kalau engkau menerima pinangan Su Ta Touw? Ingatlah bahwa dia yang menjadi gara-gara sehingga rusak rumah tanggamu, sehingga engkau bercerai dari suamimu! Apakah kelak engkau tidak akan menyesal? Kulihat Su Ta Touw tidaklah lebih baik daripada Tee Sun, karena dia demikian kasar dan terlalu pandai bermanis muka."

"Tidak, Suheng. Justru karena aku bercerai karena dia, maka sebaiknya kalau kini aku menjadi isterinya. Tidak kepalang tanggung. .Dulu, aku tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Su Ta Touw, kecuali teman berburu, akan tetapi aku disangka berpacaran dengan dia. Karena itu, melihat kesungguhan hatinya, biarlah aku menerima pinangannya untuk menghentikan desas-desus orang, dan pula sekali ini aku percaya bahwa dia sungguh-sungguh mencintaku, Suheng."

Su Kiat hanya menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang.
“Aih, engkau tahu apa tentang cinta, Sumoi?"

Akan tetapi dia tidak membantah atau mencegah sumoinya menikah lagi, sekali ini dengan Su Ta Touw. Karena suaminya yang baru ini tinggal di sebuah dusun di sebelah selatan Kong-goan, kurang lebih tiga puluh li jauhnya dari Hek-bun, maka Hui Lian mengikuti suaminya dan kini tempat tinggalnya agak jauh dari tempat tinggal suhengnya.

Pada bulan-bulan pertama, Hui Lian merasa berbahagia karena suaminya yang baru ini selalu berusaha menyenangkan hatinya dan agaknya memang benar mencintanya. Akan tetapi setelah setahun mereka menjadi suami isteri, nampaklah perubahan pada sikap Su Ta Touw! Baru nampak belangnya sekarang.

Kiranya Su Ta Touw termasuk seorang hamba nafsu dan kalau dia dahulu begitu merendahkan diri, menangis dan merayu, adalah karena tergoda oleh nafsu berahi yang membadai. Kini, setelah Hui Lian menjadi isterinya, maka muncullah kembali sifatnya yang asli, yaitu pembosan!

Laki-laki macam ini tak pernah dapat sungguh-sungguh mencinta wanita. Nampaknya saja mencinta mati-matian kalau belum terdapat, akan tetapi mudah merasa bosan. Mulailah berubah sikap Su Ta Touw dan mulailah nampak oleh Hui Lian betapa suaminya ini seorang laki-Iaki hidung belang yang selalu mengejar wanita muda dan cantik.

Hui Lian merasa hatinya seperti disayat-sayat. Ia mempertahankan kedudukannya karena merasa malu kalau harus bercerai lagi. Terutama sekali malu terhadap suhengnya. Betapa tepat peringatan suhengnya dahulu. Akan tetapi, segalanya telah terlanjur. Ia berusaha memperbaiki rumah tangganya, memperingatkan Su Ta Touw. Namun Su Ta Touw hanya nampak menurut dan jinak kalau berada di dekatnya, karena takut. Kalau sudah berada di luar rumah, suaminya itu berubah menjadi binal dan bermain-main dengan wanita lain, tak terhitung banyaknya

Hui Lian mempertahankan rumah tangganya sampai setahun lagi. Sudah dua tahun ia menjadi isteri Su Ta Touw dan ketika ia mendengar bahwa suaminya itu main gila dengan seorang wanita tetangganya lagi, dan wanita yang sudah mempunyai tiga orang anak!

Ketegangan memuncak ketika ia mendengar keributan antara suami isteri tetangga itu, dimana sang suaminya marah-marah, menuduh bahwa isterinya yang sedang mengandung lagi itu telah berjina dengan Su Ta Touw, karena suaminya sudah berbulan-bulan tidak mendekatinya. Suami itu menuduh bahwa isterinya mengandung sebagai hasil perjinaannya dengan Su Ta Touw!

"Benarkah semua keributan di sebelah itu." Ia bertanya kepada suaminya. Su Ta Touw bersumpah-sumpah menyangkal.

Seperti juga dahulu ketika merayunya, dia bersumpah-sumpah.
"Biar selama hidupku aku menderita susah dan sukar mencari makan, biar aku mampus disambar geledek kalau aku melakukan hal itu!" katanya.

Karena suaminya bersumpah seberat itu, Hui Lian diam saja. Akan tetapi diam-diam ia memperhatikan gerak-gerik suaminya, bahkan membayangi di luar tahu suaminya.

Pada suatu malam, diwaktu hujan, ia membayangi suaminya yang pergi berkunjung ke tetangga sebelah, memasuki kamar nyonya tetangga itu melalui jendela yang dibuka dari dalam!

Hampir meledak rasa hati Hui Lian saking panasnya melihat kelakuan suaminya itu. Ia membiarkan sampai beberapa lama, kemudian secara tiba-tiba ia membuka daun jendela dari luar dan melompat ke dalam kamar.

"Jahanam busuk!" bentaknya dan bergidik ia menyaksikan perbuatan suaminya dan nyonya tetangga itu.

Su Ta Touw terkejut dan ketakutan, mengenakan pakaian dengan tergesa-gesa kemudian hendak berlari keluar. Akan tetapi sekali menggerakkan kakinya, Hui Lian sudah menendangnya, sedemikian keras tendangan itu sehingga tubuh suaminya terlempar keluar jendela! Hui Lian mengejar keluar, dan menyeret rambut suaminya, ditariknya kembali ke rumah mereka, tidak peduli akan hujan yang turun mengguyur tubuh mereka.






" Ampun…. ampunkan aku... ah, ampunkann……"

Su Ta Touw menggigil ketakutan ketika isterinya melempar tubuhnya ke atas tanah di pekarangan depan rumah mereka.

"Bangunlah dan pertahankan dirimu, karena kalau tidak, demi Tuhan, aku akan membunuhmu begitu saja!"

"Tidak... tidak... ah, ampunkan aku….."

Su Ta Touw yang ditantang isterinya itu berlutut dan menyembah-nyembah sambil menangis. Tentu saja dia tidak berani melawan Hui Uan, maklum bahwa tingkat kepandaian silatnya masih jauh sekali di bawah sehingga dalam segebrakan saja isterinya akan mampu merobohkannya, bahkan membunuhnya.

"Desss!"

Kembali sebuah tendangan membuat tubuh Su Ta Touw terjengkang dan bergulingan. Dia mengaduh-aduh, bangkit dan berlutut lagi. Mulutnya berdarah dan seluruh tubuhnya basah oleh lumpur.

"Ampunkan aku... aku bersumpan tidak akan berani lagi... aku bersumpah... ah, ampunkan aku."

"Jahanam keparat! Sumpah yang keluar dari mulutmu hina dan busuk!"

Kembali kaki Hui Lian menendang dan tubuh itupun terpelanting keras. Ia menendang untuk melampiaskan kemarahannya, hanya mempergunakan tenaga otot biasa. Kalau ia menendang dengan pengerahan sinkang, satu kali saja tentu akan putus nyawa laki-laki itu.

“Tidak, sekali ini aku taubat benar-benar, aku bersumpah….. demi nenek moyangku, demi…. nama dan kehormatanku…. aku….”

“Cukup!” Hui Lian membentak marah. “Bangkitlah dan lawan aku sebagai seorang laki-laki! Pertahankanlah nyawamu!”

Melihat kemarahan isterinya yang amat ditakuti itu, Su Ta Touw menjadi semakin ketakutan dan dia menangis tanpa bangkit dari atas tanah dimana dia merlutut!

Melihat ini, Hui Lian menjadi semakin marah,
“Kalau begitu, bersiaplah untuk mampus!” bentaknya dan ia sudah melangkah maju untuk mengirim tendangan maut.

“Sumoi, tahan…..!”

Tiba-tiba terdengar suara orang. Hui Lian terkejut, membalikkan tubuhnya dan melihat bahwa seorang laki-laki yang buntung lengan kirinya sudah berdiri disitu.

“Sumoi, apalagi yang kau lakukan ini?” kembali laki-laki menegurnya dengan suara keras penuh teguran.

“Suheng….!”

Hui Lian berlari menghampiri dan menubruk laki-laki itu, menangis sejadi-jadinya di pundak Su Kiat, Su Kiat menarik napas panjang dan mendengarkan dengan sabar ketika Hui Lian menceritakan dengan suara terisak-isak akan semua perbuatan suaminya yang sudah semenjak setahun yang lalu berubah sikapnya, menjadi laki-laki hidung belang.

Kemudian diceritakannya pula peristiwa perjinaan suaminya dengan nyonya tetangga yang sudah bersuami dan beranak tiga, bahkan perjinaan itu kini menumbuhkan kandungan dalam perut nyonya itu.

Su Kiat menggeleng-gelengkan kepala, memandang kepada Su Ta Touw yang masih berlutut di atas tanah yang becek. Bagaimana seorang laki-laki dapat terperosok sedemikian dalamnya, melakukan hal yang amat memalukan hanya karena terdorong nafsu berahi?

“Suheng, sebelum engkau datang, aku tadinya hendak membunuhnya sebelum aku bunuh diri. Malu aku hidup di dunia ramai ini…..”

Su Kiat terkejut. Dia maklum akan kekerasan hati sumoinya, dan dia khawatir kalau-kalau sumoinya akan benar-benar membunuh diri. “Sumoi, pikiranmu itu keliru. Agaknya memang sudah menjadi nasibmu, dua kali menikah dengan laki-laki yang tidak benar. Akan tetapi, membunuhnya lalu membunuh diri bukan merupakan jalan keluar yang baik. Bunuh diri hanya dapat dilakukan oleh pengecut yang sudah tidak berani menghadapi kenyataan hidup. Mari kita selesaikan urusan ini sebaiknya, Sumoi. Engkau bercerai saja lagi dari keparat ini, kemudian mari kembali membantuku, membina Cia-ling Bu-koan kita. Bukankah sebelum semua ini terjadi, kita hidup cukup bahagia?”

Diam-diam Hui Lian menyalahkan suhengnya yang dulu membujuknya agar menikah, akan tetapi tidak ada suara keluar dari mulutnya. Suhengnya demikian baik, dan siapa lagi orang di dunia ini kecuali suhengnya yang dapat ditangisinya di waktu ia menghadapi masalah yang demikian menyedihkan hatinya?

“Mari kita pulang ke Hek-bun, dan besok aku yang akan membereskan urusan perceraianmu dengan jahanam ini, menemui orang tuanya.”

Tanpa pamit lagi, Hui Lian dan Su Kiat mempergunakan ilmu lari cepat meninggalkan tempat itu setelah Hui Lian membawa pakaian dan barang-barangnya yang dianggap perlu.

Pada keesokan harinya, Su Kiat menjumpai Su Ta Touw dan orang tuanya. Su Ta Touw tidak berani banyak cakap lagi karena dia memang merasa bersalah. Juga ayah ibunya tidak berani banyak cakap, maklum akan watak putera mereka yang gila perempuan dan tidak bertanggung jawab itu.

Demikianlah, untuk kedua kalinya, dalam waktu lima tahun, Hui Lian kembali menjadi janda. Ia merasa malu sekali tinggal di Hek-bun. Seluruh penduduk Hek-bun tahu belaka bahwa ia adalah wanita yang dalam waktu beberapa tahun saja sudah menjanda sampai dua kali! Karena itu, biarpun tidak ada orang berani mengejeknya atau bicara tentang dirinya, Hui Lian merasa malu sendiri dan iapun berpamit kepada suhengnya.

“Suheng, perkenankanlah aku pergi dari dusun ini,” katanya pada suatu senja.

Su Kiat terkejut bukan main mendengar ucapan ini dan melihat betapa sumoinya telah mengenakan pakaian pria yang agaknya sudah lama dipersiapkannya. Juga sumoinya itu mengatur rambutnya seperti seorang pria, menyamar sebagai pria. Sudah berbulan-bulan sumoinya tinggal lagi disitu bersama dia setelah bercerai dari Su Ta Touw dan baru terasa olehnya perubahan yang terjadi dalam kehidupannya.

Sebelum sumoinya menikah untuk pertama kali, dia merasa hidupnya berbahagia bersama sumoinya. Ketika sumoinya menikah dengan Tee Sun dan pindah, dia merasa kesepian, bahkan berduka. Namun, perasaan ini dilawannnya dengan keyakinan bahwa sumoinya pergi untuk menempuh hidup baru yang berbahagia dan sepatutnya kalau dia merasa ikut berbahagia pula.

Kemudian, sumoinya bercerai dan menikah lagi. Kini, setelah sumoinya bercerai untuk kedua kalinya dan tinggal lagi bersamanya dalam satu rumah, membantunya, baik untuk melatih para murid maupun untuk urusan rumah tangga, dia merasa seolah-olah matahari bertambah cerah dan kicau burung bertambah merdu. Kehidupan menjadi amat berbahagia baginya, seolah-oleh dia menemukan kembali dirinya dan kebahagiaan yang tadinya sedikit demi sedikit menghilang bersama dengan perginya Hui Lian dari sampingnya. Karena itu, mendengar sumoinya berpamit, dia terkejut bukan main sampai berubah air mukanya.

“Kau…. kau hendak pergi kemanakah, Sumoi?” tanyanya gagap.

“Aku… aku hendak pergi merantau, kemana saja, Suheng.”

“Ah, apa artinya ini, Sumoi? Kenapa engkau sekarang tidak suka tinggal bersamaku, membantuku? Apakah kita…. tidak dapat kembali hidup seperti dulu, Sumoi, dimana kita mengalami segala hal berdua, pahit maupun manis? Kenapa engkau tiba-tiba hendak meninggalkan aku? Dan aku khawatir sekali karena engkau pergi tanpa tujuan.”

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar