*

*

Ads

Jumat, 11 Mei 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 110

Isteri Kwee Siong, Tong Ci Ki, menjadi marah. Iapun melempar dombanya dan begitu kedua tangannya bergerak, nampak sinar hitam kecil-kecil beterbangan menyambar ke arah tubuh Hui Lian.

Gadis yang menyamar sebagai seorang pemuda ini maklum bahwa ia diserang jarum-jarum halus yang mungkin sekali mengandung racun. Namun, sebagai seorang ahli silat yang berilmu tinggi, Hui Lian tidak menjadi gugup dengan datangnya serangan dengan senjata gelap ini. Sekali berkelebat, tubuhnya sudah lenyap dari depan empat orang lawan karena tubuh itu dengan ginkang yang luar biasa, telah mencelat ke atas sehingga jarum-jarum itu lewat di bawah kakinya. Hui Lian tidak hanya mengelak, akan tetapi ketika tubuhnya turun, tubuh itu menyambar ke arah Tong Ci Ki yang tadi menyerangnya dengan jarum.

Tentu saja Tong Ci Ki yang berjuluk Si Jarum Sakti, terkejut sekali melihat lawan yang diserang jarum-jarum halus itu secara tiba-tiba lenyap, dan ia menjadi semakin kaget ketika tiba-tiba ada angin menyambar dari atas dan ketika ia menengadah, ia melihat lawannya tadi telah meluncur turun dan menyerangnya dengan cengkeraman ke arah ubun-ubun kepalanya!

Datangnya serangan ini demikian tiba-tiba dan cepat sehingga satu-satunya jalan bagi nenek iblis itu untuk menyelamatkan diri hanyalah dengan cara membuang tubuhnya kesamping, kearah yang berlawanan dengan datangnya serangan, terus menjatuhkan diri ke bawah.

Akan tetapi, gerakannya masih belum cukup cepat karena pita rambut bersama sebagian rambut, segumpal rambut bercampur uban, telah kena dicengkeram dan rontok dari kepalanya!

Tong Ci Ki bergulingan dan melompat bangun dengan muka yang sudah pucat itu menjadi kehijauan, dan tengkuk meremang saking ngerinya. Nyaris ia tewas dalam segebrakan saja!

Dua pasang suami isteri yang terkenal sebagai tokoh-tokoh sesat yang memiliki ilmu kepandaian tinggi itu hampir tidak dapat mempercayai mata mereka sendiri melihat betapa ada seorang pemuda yang sama sekali tidak terkenal, dengan beberapa gebrakan saja membuat suami isteri iblis dari Guha Pantai Selatan itu hampir roboh!

Siangkoan Leng dan isterinya tahu bahwa mereka berhadapan dengan seorang pendekar yang lihai, maka tanpa banyak cakap lagi merekapun melempar domba yang mereka tangkap tadi dan keduanya sudah menerjang maju membantu kawan-kawan mereka. Siangkoan Leng meloncat ke atas dan menubruk dengan kedua tangannya membentuk cakar, seperti serangan seekor singa kelaparan.

Hui Lian menghindar dengan kecepatan kilat ke samping lalu kakinya bergerak menendang ke arah lambung penyerangnya. Siangkoan Leng menangkis tendangan itu dengan tangannya, bermaksud menangkap kaki lawan, akan tetapi akibatnya, lengannya tertendang dan diapun terhuyung!

Pada saat itu, Ma Kim Li sudah menubruk dengan serangan kilat, memukul ke arah dada, disusul dengan serangan yang dilakukan oleh Tong Ci Ki dan Kwee Siong. Karena mereka bertiga memiliki ilmu silat yang tinggi, maka dapat dibayangkan betapa dahsyatnya serangan mereka bertiga yang dilakukan hampir berbareng itu.

Namun, Hui Lian juga maklum bahwa para lawannya bukanlah orang lemah, dan melihat cara mereka menyerang itu mudah diduga bahwa mereka adalah orang-orang dari golongan hitam, cepat mengandalkan kecepatan gerakan tubuhnya dan tubuh itu pun berkelebatan ke sana-sini, diantara tangan dan kaki lawan yang menyerang.

Hui Lian di kepung dan dikeroyok dari empat penjuru, namun tubuhnya lenyap berubah menjadi bayangan putih yang sukar sekali disentuh, apalagi dipukul. Lebih mudah menangkap seekor burung walet daripada menyentuh bayangan putih yang berkelebatan dengan amat cepatnya itu.

Empat orang tokoh sesat itu menjadi semakin terkejut. Tak mereka sangka bahwa didaerah sunyi ini mereka akan bertemu dengan seorang lawan yang sakti, padahal lawan itu masih demikian muda dan tidak terkenal sama sekali!

Hui Lian tahu bahwa empat orang ini bukan orang baik-baik, tentu golongan hitam yang suka bertindak sewenang-wenang. Akan tetapi karena ia tidak mengenal mereka dan tidak bermusuhan dengan mereka, sedangkan kesalahan mereka hanyalah mencuri domba-domba, maka iapun tidak bermaksud untuk membunuh mereka.

Kalau hal itu dikehendakinya, biarpun tidak begitu mudah karena dikeroyok empat, ia tentu akan dapat merobohkan mereka satu demi satu. Kini ia membalas dengan kecepatan gerak tangan dan kakinya, dan biarpun empat orang lawan inipun dapat menghindarkan diri dengan saling bantu, namun permainan silat mereka menjadi kacau saking cepatnya gerakan Hui Lian, dan merekapun merasa jerih. Mereka sedang melaksanakan tugas, tidak menguntungkan kalau melibatkan diri dalam perkelahian melawan orang yang amat lihai ini, apalagi hanya untuk urusan yang sepele.

Siangkoan Leng memberi isyarat kepada tiga orang lainnya untuk melarikan diri sedangkan dia mendahului menarik tangan isterinya diajak meloncat ke luar kalangan perkelahian. Suami isteri dari Guha Iblis Pantai Selatan juga berloncatan menjauh, kemudian tanpa menoleh lagi keempatnya sudah melarikan diri secepatnya meninggalkan lereng itu.






Hui Lian tidak mengejarnya, karena ia mengenal bahayanya melakukan pengejaran terhadap orang-orang golongan sesat yang suka mempergunakan segala macam kecurangan. Apalagi memang tidak ada apa-apa antara mereka dan dirinya.

Ketika dia menoleh dan mencari, ternyata sekumpulan domba itu telah lenyap dari situ dan ketika ia mencari-cari dengan pandang matanya, domba-domba itu telah jauh berada di kaki bukit, digembala oleh anak tadi yang kini berjalan bersama seorang dewasa yang tidak dikenalnya, seorang laki-laki yang mengenakan sebuah caping lebar yang menutupi seluruh kepala dan mukanya. Caping seperti itu memang dapat dipergunakan untuk melindungi tubuh, baik dari panas maupun dari curahan air hujan.

Hui Lian tersenyum. Anak itu terlepas dari bahaya tanpa mengucapkan terima kasih sedikipun kepadanya. Hal ini tidak mengapa, apalagi anak itu tidak dikenalnya dan secara kebetulan saja mereka bertemu, juga anak itu tidak minta tolong kepadanya.

Akan tetapi betapa melihat anak itu kini berjalan bersama seorang dewasa, hatinya merasa tidak enak dan ia menjadi curiga. Siapa tahu kalau orang bercaping lebar itu juga seorang penjahat yang menipu anak itu dan hendak merampas domba-dombanya! Maka, iapun cepat berlari turun dari lereng itu melakukan pengejaran.

Ketika ia sudah dapat menyusul, Hui Lian mencoba untuk memperhatikan muka orang dewasa yang berjalan bersama dengan anak itu. Mereka berjalan berdampingan, akan tetapi agaknya tidak pernah bicara. Anak itupun melihatnya, dan nampaknya bingung dan juga khawatir, akan tetapi tidak mengeluarkan kata-kata, hanya berjalan lebih merapat kepada orang dewaasa itu.

Ketika Hui Lian mendahului untuk dapat melihat wajah orang, orang itu agak menundukkan mukanya sehingga caping lebar itu kini menutupi mukanya sama sekali dari arah samping dan depan! Hui Lian yang melirik tidak melihat apa-apa kecuali sebuah caping yang dicat kuning itu. Orang itu mengenakan pakaian berwarna biru muda dengan garis-garis di pinggirnya.

Beberapa kali Hui Lian berjalan di dekat mereka, baik dari belakang maupun dari depan. Sambil melirik. Namun selalu hanya caping yang dilihatnya karena dari manapun ia memandang, muka itu selalu terlindung caping. Ia menjadi penasaran dan semakin curiga. Jangan-jangan orang ini memang sengaja menyembunyikan mukanya, pikirnya mendongkol, merasa di permainkan. Karena itu, dengan langkah lebar iapun menghampiri mereka.

“Hei, berhenti dulu!” kata Hui Lian dengan suara gemas, menggunakan bahasa Miao sedapatnya.

Anak itu berhenti menahan langkahnya dan orang bercaping itupun ikut pula berhenti. Akan tetapi kalau anak itupun mengangkat muka memandang kepada wajah Hui Lian dengan sikap takut, orang bercaping itu berhenti dan berdiri sambil menundukkan muka sehingga kembali Hui Lian hanya melihat caping saja!

“Angkat mukamu dan perlihatkan kepadaku!”

Hui Lian yang sudah tidak sabar lagi membentak. Ia masih mempergunakan bahasa campuran dengan bahasa Miao. Orang itu baru sekarang mengangkat mukanya, caping itu kini berada di belakang kepalanya dan wajahnya nampak jelas ketika sepasang mata Hui Lian bertemu dengan sepasang mata lain yang membuat ia terkejut bukan main. Wajah itu adalah wajah seorang pemuda yang tampan, hidungnya mancung, mulutnya dihias senyum ramah dan sepasang matanya seperti mata naga, mencorong dan berpengaruh!

“Eh, siapa kau?” tanyanya dalam bahasa Miao , akan tetapi pemuda yang usianya dua puluh tahun lebih sedikit itu hanya memandang kepadanya sambil tersenyum bodoh.

Hui Lian mengerutkan alisnya dan bertanya kepada anak penggembala yang juga memandang kepadanya.

“Siapakah dia ini?”

Penggembala itu menoleh dan memandang kepada Si Caping Lebar, lalu menggeleng dan menjawab.

“Aku tidak tahu.”

Hui Lian menjadi semakin curiga. Wah, benar dugaannya, pikirnya. Penggembala itu tidak mengenal orang ini, berarti penggembala ini tertipu.

“Tanya siapa dia!” katanya lagi dalam bahasa Miao sambil menatap wajah orang bercaping yang masih senyum-senyum akan tetapi agaknya tidak mengerti apa yang dipertanyakan itu.

Anak itu kini menghadapi Si Caping Lebar, dan menggerak-gerakkan kedua tangan dan jari-jari tangannya, berusaha memberi isyarat dengan tangan menanyakan namanya sambil menuding-nuding ke arah dada orang itu.

Melihat ini, Hui Lian menjadi semakin heran dan terkejut, juga jengkel karena agaknya melalui bahasa isyarat tangan, orang bercaping yang berwajah tampan itu juga belum dapat mengerti maksud pertanyaannya melalui anak penggembala itu.

“Sialan,” gerutunya dalam bahasanya sendiri. “Dia gagu pula….”

Akan tetapi pemuda tampan itu terkekeh geli sambil memandang kepadanya.
“Sobat yang baik, aku tidaklah gagu seperti yang kau kira.”

Hui Lian terkejut. Kiranya orang bercaping ini tidak gagu sama sekali. Ia menjadi semakin jengkel karena merasa dipermainkan.

“Kalau tidak gagu, kenapa sejak tadi engkau tidak mau menjawab pertanyaanku dan anak ini mengajakmu bicara dengan isyarat tangan?” bentaknya.

“Aih, bagaimana aku tahu bahwa engkau mengajakku bicara sobat? Apa yang kau bicarakan bersama adik ini tadi, aku sama sekali tidak mengerti sebuah katapun.”

Hui Lian kini menahan ketawanya. Barulah ia mengerti. Kiranya orang ini tidak pandai bahasa Miao, maka tentu saja tidak menjawab ketika ia bertanya karena memang tidak mengerti. Dan ia menyuruh anak penggembala itu bertanya kepadanya, tentu saja merekapun tidak dapat saling bicara dan anak itu agaknya sudah tahu bahwa orang ini tidak pandai bahasa Miao maka mencoba dengan isyarat tangan. Hui Lian tersenyum dan orang itu agaknya girang bukan main melihat senyumnya.

“Wah, dugaanku benar sekali, ha-ha-ha!”

Hui Lian mengerutkan alisnya kembali. Ia melihat pemuda itu tertawa dan wajahnya yang tampan menjadi semakin menarik.

“Engkau mentertawakan apa!” bentaknya.

Pemuda yang sedang celangap tertawa itu tiba-tiba menghentikan ketawanya dan hal ini nampak demikian lucu sehingga anak penggembala itu tidak dapat menahan ketawanya. Memang lucu sekali melihat wajah yang tadinya tertawa gembira, tiba-tiba menghentikan suara ketawa itu dan berubah menjadi demikian serius.

Pemuda itu menoleh, memandang kepada anak penggembala dan melihat anak itu tertawa-tawa, diapun tertawa lagi. Keduanya tertawa dan Hui Lian yang tidak mengerti apa yang mereka ketawakan, mengerutkan alisnya lebih dalam lagi.

“Diam! Mengapa kalian tertawa-tawa seperti orang gila!” bentaknya dan biarpun anak itu tidak mengerti ucapannya, namun agaknya dia mengerti bahwa orang berpakaian serba putih itu marah-marah, maka diapun berhenti tertawa seperti juga Si Pemuda bercaping lebar yang sudah menghentikan lagi suara ketawanya dengan tiba-tiba.

“Nah, apa yang kau ketawakan? Kau mentertawakan aku, ya?” Hui Lian kini menghardik Si Caping Lebar.

Caping lebar itu bergerak-gerak lucu ketika kepala yang ditungganginya menggeleng.
“Bukan mentertawakan, melainkan tertawa karena girang bahwa dugaanku benar. Tadi aku menduga bahwa engkau adalan seorang yang amat tampan dan ganteng, juga berhati baik sekali. Ketika engkau menegur aku dan marah-marah, aku merasa kecelik. Orang marah mana bisa nampak tampan? Akan tetapi ketika engkau tidak marah lagi dan tersenyum tadi, barulah aku yakin bahwa dugaanku benar. Engkau seorang pria yang tampan dan ganteng, juga berhati baik sekali. Atau…. barangkali dugaanku tetap keliru?”

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar