*

*

Ads

Minggu, 13 Mei 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 113

Siapakah pemuda bercaping lebar yang pernah bertemu dengan Hui Lian ketika gadis ini menolong penggembala dari serangan empat orang manusia iblis itu? Dia bukan lain adalah Hay Hay! Seperti telah diceritakan dibagian depan, dalam perantauannya Hay Hay bertemu dengan seorang kakek yang mengaku bernama Song Lojin dan Hay Hay lalu menjadi murid dari pencinta alam dan pencinta binatang itu. Tidak lama kakek itu melatih Hay Hay, hanya kurang lebih satu bulan, akan tetapi gemblengan yang diberikan itu benar-benar membuat Hay Hay menjadi seorang yang matang ilmu-ilmunya!

Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, tentu saja Hay Hay kagum bukan main ketika dia melihat perkelahian antara Hui Lian dan empat orang manusia iblis itu. Apalagi ketika dia mengenal siapa adanya empat orang pengeroyok itu! Dia tahu betul akan kelihaian Lam-hai Siang-mo dan juga suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan. Akan tetapi, pemuda tampan yang dikeroyok empat orang datuk sesat yang lihai itu nampak demikian lincah, gerakannya demikian ringan dan nampak tidak sungguh-sungguh ketika menghadapi pengeroyokan mereka!

Namun, tetap saja empat orang ilbis itu menjadi jerih dan melarikan diri. Tadinya Hay Hay sudah siap untuk membantu pemuda itu, akan tetapi setelah dia merasa yakin bahwa pemuda itu tidak akan kalah, dia lalu mengajak anak penggembala untuk meninggalkan tempat berbahaya itu, menggiring pergi domba-dombanya.

Walaupun dia tidak mengerti sepatah kata bahasa Miao, namun dengan gerakan tangan dia mampu meyakinkan anak penggembala untuk cepat-cepat pergi dan Hay Hay lalu menemaninya pergi dari tempat pertempuran. Dia mengajak penggembala itu pergi, pertama untuk menyelamatkan anak itu bersama domba-dombanya, dan kedua karena dia merasa segan untuk bertemu muka dengan mereka terutama Lam-hai Siang-mo yang pernah menjadi ayah ibunya selama hampir tujuh tahun, sejak dia bayi sampai berusia tujuh tahun.

Ketika Hui Lian mengejar mereka dan dia berkesempatan bicara dengan Hui Lian, dia merasa amat kagum dan tertarik. Belum pernah dia bertemu dengan seorang pemuda yang demikian lihai dan juga tampan seperti pemuda itu, hanya sayang sedikit, pikirnya, pemuda perkasa itu agak galak dan agak kewanitaan sikapnya, terutama sekali bau harum yang keluar dari tubuhnya. Seorang pemuda yang suka memakai minyak wangi, sungguh tidak menyenangkan hatinya karena hal itu amat kewanitaan.

Ketika mereka berpisah, Hay Hay sudah melupakan Hui Lian dan penggembala domba itu. Akan tetapi ketika dia melanjutkan perjalanan, dia lewat dekat sebuah dusun dan mendengar percakapan orang tentang keramaian yang akan diadakan oleh suku bangsa Miao pada besok hari, yaitu keramaian adu kepandaian dan ketangkasan!

Sebagai seorang pemuda, apalagi yang suka akan ilmu ketangkasan, Hay Hay tertarik sekali, maka pada keesokan harinya, setelah malam itu dia bermalam di sebuah padang rumput yang indah bersih, pagi-pagi sekali dia lalu pergi menuju ke perkampungan orang Miao untuk nonton keramaian adu ketangkasan!

Ketika dia tiba di perkampungan itu, disana sudah berkumpul banyak orang, baik suku bangsa itu sendiri maupun penduduk dusun-dusun disekitar daerah itu yang berdatangan untuk nonton keramaian yang menarik itu. Dan di sebuah lapangan telah dipersiapkan alat-alat untuk ujian saringan bagi para peserta sayembara.

Ketika Hay Hay tiba disitu, dia melihat di sudut lapangan itu didirikan sebuah panggung, dan dibawah panggung terdapat sebuah batu hitam yang besarnya seperti perut kerbau dan nampak berat. Ketika itu, terdapat seorang laki-laki tinggi besar yang pakaiannya indah, dengan banyak gelang dan kalung menghias tubuhnya, dengan bulu burung indah menghias sorbannya dan keadaan pakaian yang berbeda dari para pria lainnya dari suku bangsa Miao itu menunjukkan bahwa dla adalah kepala suku.

Laki-laki tinggi besar ini lalu membuat pidato pendek yang isinya memberitahukan tentang syarat-syarat dan macamnya perlumbaan, juga pengumuman bahwa pemenangnya akan berhak untuk menjadi mantunya, menikah dengan Nian Ci.

Akan tetapi, biarpun dia mendengarkan, Hay Hay hanya melongo saja, sedikitpun tidak mengerti apa yang dikatakan oleh kepala suku itu. Tentu saja hal ini membuat dia merasa kesal dan dia lega bahwa pidato itu hanya pendek saja. Ketika para penonton mundur dan memberi tempat disekitar panggung itu agar cukup luas, diapun mendekat, maklum bahwa di panggung itulah akan diadakan pertunjukan pertama.

Ada belasan orang pemuda yang sudah siap di tempat itu, pemuda-pemuda suku bangsa Miao, ada juga yang peranakan dan yang agaknya berbangsa Han karena kulitnya putih kuning. Yang amat menarik hati Hay Hay yang berdiri diantara para penonton adalah ketika dia melihat hadirnya seorang pemuda bertubuh ramping yang amat tampan diantara para pemuda lainnya itu karena dia mengenal pemuda ini sebagai pemuda lihai yang kemarin pernah dikeroyok dua pasang suami isteri iblis dan mengalahkan mereka.

Heran sekali, pikirnya. Seorang pemuda dengan ilmu kepandaian yang demikian tingginya hadir disitu dan ikut pula memasuki sayembara mengadu ketangkasan? Hampir dia tertawa karena dia dapat memastikan bahwa semua saingan itu tentu akan kalah jauh dibanding pemuda yang lihai itu.






Peserta pertama, seorang pemuda bangsa Miao yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam, melangkah maju setelah namanya dipanggil oleh seorang petugas perlumbaan. Dia menghampiri batu hitam itu, membungkuk dan memeluk batu, setiap gerakannya dlikuti pandang mata semua penonton. Kedua lengannya yang besar dan karena lengan bajunya disingsingkan nampak lengan itu penuh otot melingkar-lingkar, memeluk batu hitam dan sekali dia mengeluarkan bentakan, batu itu diangkatnya keatas kepala.

Terdengar para penonton menyambut dengan tepuk tangan. Hay Hay yang ikut gembira juga ikut pula bertepuk tangan memuji pertunjukan tenaga otot yang kuat itu.

Pemuda bermuka hitam itu lalu mengambil ancang-ancang dan lari meloncat ke atas panggung, akan tetapi loncatannya kurang dan tidak mencapai panggung. Terpaksa dia turun lagi dan melepaskan batu hitam yang jatuh berdebuk di atas tanah.

Terdengar keluhan para penonton yang ikut menyayangkan dan pemuda muka hitam itupun memberi hormat ke arah kepala suku yang duduk di belakang panggung, kemudian mengundurkan diri. Dia telah gagal dalam ujjan saringan dan tidak diperkenankan ikut sayembara.

Seorang demi seorang maju untuk melalui ujian saringan ini. Ada yang berhasil membawa baru itu meloncat ke atas panggung, disambut sorak-sorai dan tepuk tangan para penonton. Akan tetapi banyak yang tidak berhasil. Semua pengikut berhasil mengangkat batu itu ke atas, akan tetapi hanya sedikit yang mampu membawanya ke atas panggung. Bahkan ada seorang yang ketika meloncat, terjatuh kembali dan dia terlambat melepaskan batu sehingga batu itu menimpa kakinya dan kakinya menjadi patah. Terpaksa dia digotong kawan-kawannya keluar dari tempat itu untuk diobati.

Melihat betapa banyaknya orang yang tidak lulus, Kiao Yi yang ikut menonton di pinggir, dengan tubuh masih lemah dan muka masih pucat, berkali-kali memberi isyarat kepada Hui Lian agar membatalkan saja niat hatinya. Namun, "pemuda" itu hanya tersenyum tenang.

Ketika tiba giliran Hui Lian yang dipanggil namanya, semua orang memandang dengan sikap mencemooh. Ada yang tersenyum mengejek. Sebagian besar diantara para penonton adalah orang Miao, tentu saja mereka tidak menghendaki kalau pemenang sayembara ini seorang Han sehingga puteri kepala suku mereka akan menjadi isteri orang Han!

Apalagi melihat pemuda Han yang bertubuh kecil ramping dibandingkan dengan para peserta lain, semua orang memandang rendah, kecuali Hay Hay. Dia merasa yakin benar bahwa pemuda itu akan dengan mudah membawa batu itu meloncat ke atas panggung.

Yang paling tegang diantara mereka semua adalah Kiao Yi, tentu saja. Dia belum tahu sampai dimana kelihaian penolongnya itu, dan mengingat bahwa ia adalah seorang wanita, mengangkat batu seberat itu dan membawanya loncat, sungguh ngeri dia membayangkan. Bagaimana kalau sampai penolongnya itu celaka? Hampir Kiao Yi tidak berani membuka mata dan dia menundukkan mukanya ketika Hui Lian sudah menghampiri batu itu.

Tepuk tangan yang riuh-rendah membuat Kiao Yi cepat mengangkat mukanya dan muka itu segera berseri dengan cerah, matanya bersinar dan mulutnya tersenyum, penuh kekaguman juga keheranan. Hampir dia tidak dapat mempercayai pandang matanya sendiri melihat betapa Hui Lian telah mengangkat batu besar itu di atas kepala, hanya dengan tangan kanan saja! Dengan sebelah tangan!

Teringatlah dia akan pengakuan Hui Lian bahwa ia adalah seorang pendekar wanita dan kini timbullah harapan yang membuat Kiao Yi bertepuk tangan lebih keras daripada yang lain! Juga anak penggembala yang kemarin itu berjingkrak-jingkrak dan bersorak-sorak amat gembiranya. Anak itu merasa bangga karena dialah yang mula-mula "menemukan” peserta sayembara yang amat hebat itu!

Sambutan orang-orang ini membuat Hay Hay yang tadinya ikut bertepuk tangan, menjadi cemberut dan agak iri hati. Huh, yang begitu saja dipamerkan, pikirnya. Apanya sih yang harus dikagumi kalau hanya mengangkat batu seperti itu?

Kini dengan langkah tenang Hui Lian yang mengangkat batu dengan tangan kanan ke atas kepala itu menghampiri panggung, kemudian tanpa ancang-ancang lagi tubuhnya meloncat ke atas dan berhasil tiba di atas panggung. Demikian mudah dan enaknya sehingga mengagumkan semua orang. Paling hebatlah sambutan penonton kali ini, dibandingkan dengan sambutan peserta yang juga berhasil tadi. Hanya lima orang yang berhasil membawa batu itu loncat naik ke atas panggung setelah peserta terakhir gagal.

Akan tetapi tiba-tiba, tanpa dipanggil namanya, ada peserta seorang lagi, juga seorang pemuda bangsa Han yang pakaiannya serba putih, menghampiri batu itu lalu mengangkat batu dengan tangan kiri ke atas!

Tentu saja semua orang menjadi terkejut dan sejenak tidak ada yang bersuara saking heran dan kagumnya, apalagi ketika pemuda baju putih itu melemparkan batu ke atas dan menerimanya dengan kepala!

Pecahlah sorak-sorai dan tepuk tangan menyambut kehebatan pemuda baru ini. Dengan batu di atas kepala, Hay Hay meloncat ke atas panggung! Batu itu seperti menempel di kepalanya, sedikitpun tidak pernah bergoyang dan dia masih membawa batu itu diatas kepalanya ketika dia memberi hormat kepada kepala suku yang duduk bersama para pembantu dan keluarganya di panggung kehormatan sambil berkata nyaring.

"Saya ingin ikut meramaikan pesta ini, harap diperkenankan!"

Kepala suku itu ternyata dapat pula berbahasa Han. Tadi dia sudah hampir marah melihat orang luar yang tidak didaftar namanya ikut pula memasuki ujian saringan, akan tetapi melihat kehebatan orang ini, apalagi mendengar kata-kata Si Baju Putih yang katanya ingin ikut meramaikan pesta, kepala suku tertawa senang dan sambil berdiri diapun berkata.

"Boleh, boleh sekali!"

Tentu saja ucapan kepala suku ini merupakan ijin bagi Hay Hay untuk ikut bersama para pemenang yang lain berlumba untuk menentukan siapa yang menjadi juara! Dengan gerakan ringan diapun meloncat turun kembali sambil membawa batu besar itu dan ketika menurunkan batu besar, dia menggerakkan kepalanya sehingga batu tertempar ke atas, disambut dengan tangan kirinya dan diletakkan kembali ke atas tanah perlahan-lahan tanpa menimbulkan suara apapun.

Semua orang kembali bersorak-sorai. Pemuda Han pertama yang kecil ramping tadi kini memperoleh lawan, pikir mereka. Akan ramailah perlumbaan ini!

Hui Lian mengerutkan alisnya melihat ulah Hay Hay. Diam-diam iapun terkejut bukan main. Tak disangkanya sama sekali bahwa pemuda bercaping itu ikut dalam sayembara dan ternyata memiliki kepandaian yang demikian hebat! Ia tidak merasa gentar atau heran karena dianggapnya perbuatan Hay Hay tadi tidak ada artinya. Ia sendiripun sanggup melakukan hal itu. Pemuda bercaping itu hanya pamer saja! Akan tetapi iapun tahu bahwa selanjutnya pemuda itulah yang akan menjadi lawan utamanya. Ia harus menang, demi kebahagiaan Kiao Yi dan Nian Ci!

Hanya enam orang termasuk Hui Lian dan Hay Hay yang lulus dalam ujian saringan. Sayembara pertama adalah menunggang kuda dan memperlihatkan keahlian memanah sasaran yang telah ditentukan.

Sambil menunggang kuda meloncati rintangan-rintangan, lalu memanah lingkaran yang digantungkan di atas pohon. Para peserta suku bangsa Miao yang ahli menunggang kuda dan juga sebagai pemburu ahli mempergunakan anak panah, keempatnya lulus semua dengan baik. Kuda mereka melompati rintangan-rintangan tanpa pernah gagal, dan dengan berbagai gaya mereka memanah lingkaran dengan tepat sekali.

Tiba giliran Hui Lian sebagai peserta ke lima. Gadis ini bukan ahli menunggang kuda, akan tetapi karena ia memiliki ilmu ginkang yang amat hebat sehingga kuda yang ditunggangi seolah-olah tidak merasa ada beban di punggungnya, biarpun dengan cara sederhana saja, kudanya juga dapat melompati semua rintangan dan tidak pernah gagal.

Ketika tiba saatnya ia harus melepaskan anak panah, Hui Lian mempergunakan ginkangnya. Kalau empat peserta yang lain tadi melepas anak panah sambil duduk dengan berbagai gaya, kini Hui Lian meloncat dan berdiri di atas kudanya, lalu membidikkan anak panahnya dan tepat mengenai sasaran!

Tentu saja cara memanah sambil berdiri di atas punggung kuda ini lebih sukar, sehingga Hui Lian kembali memperoleh pujian dan sambutan tepuk sorak yang gemuruh.

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar