*

*

Ads

Kamis, 17 Mei 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 124

"Semoga racunnya sudah keluar, Enci. Kini tinggal memberi obat luka."

Dia mengambil obat luka berupa bubukan putih yang dibuatnya dari kulit pohon yang dikeringkan dan menaburkan bubukan itu pada luka di pinggul, lalu memijit-mijitnya sehingga bubukan putih memasuki lubang dan menutupnya.

"Nah, selesailah sudah, Enci Lian." katanya.

Ketika dia hendak membantu menaikkan celana itu, Hui Lian merenggutnya dan menaikannya sendiri, lalu mengikatkan kembali tali celana. Ia lalu bangkit duduk dan tiba-tiba saja tangannya menampar muka Hay Hay sampai tiga kali.

"Plak! Plak! Plak!"

Dua kali tangan kanan menampar pipi kiri dan satu kali tangan kirinya menampar pipi kanan pemuda itu. Demikian tiba-tiba dan keras sehingga terdengar suara nyaring dan tubuh Hay Hay terguncang ke kanan kiri, kemudian roboh!

Hui Lian yang merasa malu dan marah, melihat wajah pemuda itu dan diapun terkejut sekali. Pemuda ini seperti orang pingsan, atau setengah pingsan, nampak lemah sekali dan mukanya menjadi kehitaman, juga kedua ujung bibirnya berdarah.

"Hay-te…..!"

Hui Lian berseru memanggil dan mengguncang-guncang pundak pemuda itu, namun Hay Hay kelihatan semakin lemah. Hui Lian semakin terkejut dan gelisah. Apakah tamparannya tadi demikian kuatnya? Kalau bibir pemuda itu berdarah, hal ini tidak aneh, akan tetapi mengapa Hay Hay sampai pingsan?

"Hay-te, maafkan aku... ah, engkau sadarlah ….!" katanya lagi dan kini ia cepat melakukan pemeriksaan.

Denyut nadi pemuda itu lemah sekali, dan napasnya juga memburu! Ah, ingatlah dia bahwa pemuda inipun terluka parah. Cepat Hui Lian merobek baju di bagian dada pemuda itu, dan nampak betapa di dada sebelah kanan terdapat luka yang cukup lebar dan luka itu melepuh, membengkak dan kehitaman!

Racun yang jahat telah membuat luka itu menjadi parah dan berbahaya sekali! Ia harus cepat menolongnya. Dengan cekatan, jari-jari tangan Hui Lian membuka kancing-kancing baju itu, dengan maksud membuka baju agar lebih mudah ia berusaha mengobati. Ketika ia hendak menanggalkan baju itu, tiba-tiba ada sebuah benda terjatuh keluar dari saku baju dan kebetulan sekali benda itu terjatuh ke atas dada Hay Hay, tepat di atas luka di dadanya.

Hui Lian hendak mengambil benda itu dan ia mengeluarkan seruan kaget, menahan tangannya. Benda itu adalah sebuah batu giok berwarna belang-belang merah dan hijau dan kini benda yang berkilauan terkena sinar api unggun itut perlahan-lahan berubah menjadi menghitam, dan warna hitam pada luka di dada itu perlahan-lahan menghilang!

Teringatlah Hui Lian akan mustika batu giok milik Jaksa Kwan yang dirampas penjahat dan agaknya Hay Hay telah dapat merampasnya kembali dan iapun teringat akan kata-kata jaksa tinggi itu bahwa mustika itu merupakan benda langka penawar racun!

Dengan hati girang Hui Lian memegang benda itu dan kini sengaja menggosok-gosokkan perlahan-lahan ke atas luka dan tepat seperti yang diduganya, makin digosokkan, benda itu berubah makin menghitam dan luka itupun dengan cepat sekali mengempis dan kehilangan warna hitamnya.

Hay Hay bergerak dan mengeluh.
"Wah, apa dingin-dingin sekali di atas dadaku itu, Enci Lian?"

Melihat keadaan Hay Hay telah sembuh secara cepat itu, Hui Lian merasa lega bukan main dan iapun tersenyum. Hay Hay sampai melongo melihat Hui Lian tersenyum. Bukan main cantiknya gadis ini kalau tersenyum, senyum wajar pertama kali yang dilihatnya.

"Enci Lian, engkau... cantik sekali kalau tersenyum." kata Hay Hay dan kembali berkerut alis Hui Lian.

Bocah ini sungguh perayu benar, baru saja sadar dari pingsan, pertama kali yang dilakukan adalah memuji kecantikannya!

"Hay-te, engkau membawa mustika batu giok ini yang dengan mudah menyedot semua racun dari dadamu, kenapa tidak kau pergunakan ketika engkau menolong aku?"






Hay Hay bangkit duduk, memeriksa dadanya sendiri dan dia menjadi kagum. Dilihatnya batu giok itu yang kini sudah diletakkan di atas lantai guha oleh Hui Lian dan perlahan-lahan dari batu giok itu menetes cairan hitam, dan perlahan-lahan batu giok itu memperoleh kembali cahaya dan warnanya merah hijau, warna hitam makin lenyap bersama cairan yang keluar. Benar-benar benda mustika yang langka dan mujijat!

"Ah, sungguh... aku lupa sama sekali tentang batu giok ini, Enci Lian. Aku... ahhh....." Tiba-tiba Hay Hay memegang kepala dengan kedua tangannya karena kepala itu terasa pening dan bumi seperti terputar, akan tetapi dia memaksa diri melanjutkan,

"Aku terlalu khawatir setelah memeriksa pinggulmu... eh, pinggulmu itu indah sekali dan membengkak merah kehitaman... dan keringatmu harum sekali, Enci...."

"Gila......!"

Hampir saja Hui Lian menampar muka Hay Hay, akan tetapi tiba-tiba saja ia melihat pemuda itu terkulai dan roboh pingsan! Tentu saja Hui Lian menjadi terkejut.

"Hay-te, ada apakah ........?"

Ia mendekat dan lebih kaget lagi ketika ia menyentuh dahi pemuda itu terasa panas. Kiranya racun dari pedang Min-san Mo-ko amatlah jahatnya sehingga tadi telah menimbulkan hawa beracun dalam tubuh Hay Hay sehingga walaupun racunnya sudah tersedot oleh batu giok, namun kini meninggalkan demam yang cukup hebat pada diri Hay Hay. Hal ini adalah karena tadi Hay Hay mengerahkan khikang ketika menyedot racun dan jarum dari pinggul Hui Lian sehingga pengerahan khikang ini membuat hawa beracun terdorong semakin dalam ke dadanya.

Maklum bahwa Hay Hay terserang demam, Hui Lian lalu menempelkan kedua telapak tangannya ke dada Hay Hay dan dengan pengerahan hawa sakti dari tubuhnya, ia membantu pemuda itu mengusir hawa beracun itu. Lambat laun, terjadi perubahan pada diri Hay Hay. Napasnya normal kembali, mukanya menjadi merah biasa dan panasnya menurun.

Hui Lian melepaskan tangannya dan membiarkan pemuda itu tertidur. Sampai lama ia mengamati wajah pemuda itu dan hatinya semakin tertarik. Terngiang di telinganya kata-kata Hay Hay yang memuji-mujinya, memuji betapa cantiknya kalau ia tersenyum, bahkan sebelum pingsan tadi memuji bahwa pinggulnya indah dan keringatnya harum!

Teringat hal ini, Hui Lian tersenyum. Bocah kurang ajar, pikirnya sambil tersenyum memandang wajah itu. Wajah yang masih kekanak-kanakan, namun sungguh amat menarik hatinya. Jantungnya berdebar dan bergeloralah gairahnya terhadap Hay Hay. Seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa, pandai merayu dan menarik hati walaupun sikapnya agak nakal dan kurang ajar.

Tanpa disadarinya lagi, tangan kirinya bergerak menyentuh dan meraba wajah pemuda itu, mengusap dagunya, bibirnya yang tadi tanpa ragu-ragu menyedot luka beracun di pinggulnya, mulut yang tadi sampai berdarah karena ditamparnya. Ia telah menamparnya dengan keras setelah pemuda itu menyelamatkan nyawanya dan setelah pemuda itu tanpa rasa jijik sedikitpun menyedot luka beracun di pinggulnya. Ia merasa terharu dan kedua matanya basah.

"Hay Hay, kau maafkan aku ...." bisiknya.

Hay Hay membuka matanya, berkejap lalu bangkit duduk setelah melihat bahwa dia rebah di atas lantai guha dan gadis itu duduk bersimpuh di dekatnya.

"Enci Lian, apakah aku tertidur? Aku seperti dalam mimpi mendengar engkau bicara padaku, seperti maaf-maaf begitu. Apa sih yang kau katakan, Enci Lian?"

Hui Lian tersenyum. Kadang-kadang Hay Hay bersikap kekanak-kanakan dan ia merasa seperti bicara dengan adiknya sendiri, apalagi mendengar pemuda itu menyebutnya "Enci Lian" secara demikian akrabnya.

"Tidak apa-apa, Hay-te. Tidurlah, biar aku menjagamu.....!"

"Tidak, Enci Lian. Aku tidur enak-enakan dan engkau yang berjaga kalau ada musuh datang? Wah, itu terbalik namanya, Enci. Engkau seorang perempuan dan aku seorang laki-laki. Engkaulah yang tidur dan aku yang berjaga."

"Akan tetapi engkau baru saja pingsan dan demam, juga biarpun perempuan aku lebih tua, engkau kanak-kanak."

Hay Hay yang sudah pulih kembali kesehatannya memandang wajah Hui Lian sambil tersenyum.

"Enci yang baik, jangan katakan aku kanak-kanak, aku sudah cukup dewasa untuk berpacaran sekalipun!"

"Ih, engkau memang ceriwis, mata keranjang, tak senonoh kata-katamu!"

Hay Hay membelalakkan matanya.
"Wah, seenaknya engkau memaki aku, Enci Lian. Di bagian mana kata-kataku yang tidak senonoh?" Dia mengingat-ingat, alisnya berkerut. "Belum banyak aku bicara padamu, hemm... tadi, aku memuji bahwa engkau cantik, dan keringatmu berbau harum dan... dan pinggulmu indah...."

"Nah, itulah! Tutup mulutmu, Hay Hay, engkau sungguh lancang dan tak tahu malu!"

"Eihhh? Kenapa, Enci? Apa salahnya kalau aku memuji sesuatu yang memang indah dan pantas dipuji? Bukankah pujian itu menunjukkan kejujuranku dan tidak pura-pura? Memang mataku melihat sesuatu yang indah, mulutku langsung memuji, salahkah itu?"

"Tapi bukan... eh, pinggul! Tidak sopan itu menyebut-nyebutnya juga sudah tidak sopan dan harus malu!"

Hay Hay menggaruk-garuk belakang telinganya.
"Lhoh! Kenapa tidak sopan? Apa salahnya kalau aku menyebut pinggul, pinggul, pinggul! Bukankah memang kita manusia ini semua berpinggul? Apa bedanya kukatakan pinggulmu indah, dengan matamu indah, tanganmu indah dan sebagainya?"

"Cukup! Jangan membikin marah padaku! Engkau masih kanak-kanak, aku lebih tua darimu dan tidak pantas kalau engkau merayuku dengan kata-kata manis dan pujian-pujian muluk dan kotor!"

"Aku semakin penasaran, Enci. Maafkan, aku bukan bermaksud menghinamu. Engkau memang lebih tua, akan tetapi hanya satu dua tahun saja dan itu sama sekali tidak ada artinya. Dan aku bukan kanak-kanak! Usiaku sudah dua puluh satu tahun dan banyak pria berusia dua puluh satu sudah mempunyai dua tiga orang anak! Aku sudah cukup dewasa untuk berpacaran. Dan aku memujimu dengan jujur, sama sekali bukan merayu, aku hanya mengatakan apa adanya saja menurut penglihatanku!"

Melihat pemuda itu berkata keras penuh rasa penasaran, Hui Lian berbalik menjadi geli.
"Hemm, kalau menurut penglihatanmu bagaimana?" tanyanya, tertarik juga karena pemuda ini jelas tidak bermaksud kurang ajar kepadanya.

Dengan sepasang matanya yang tajam mencorong itu Hay Hay memandang seluruh bagian tubuh Hui Lian dari kepala sampai ke kaki, kemudian memandang wajah gadis itu dan berkata ragu,

"Kalau aku bicara terus terang, apakah engkau tidak akan marah lagi, Enci Lian?"

Gadis itu menggeleng kepala tanpa menjawab.

"Baiklah, aku bicara menurut hasil penglihatanku. Engkau seorang gadis yang sudah matang, beberapa tahun lebih tua dariku, jiwamu sederhana dan engkau suka akan kebersihan, wajahmu cantik menarik dan manis, dengan sepasang matamu yang indah, jeli dah tajam, hidungmu yang kecil mancung dan mulutmu yang menggairahkan, dengan bibir merah basah, barisan gigi putih rapi, dagu meruncing manis, rambutmu hitam panjang dan berombak, lehermu berkulit putih mulus dan panjang, tubuhmu padat dan memiliki lekuk lengkung yang sempurna, dengan pinggang ramping, dada membusung dan pinggul penuh, kedua lenganmu bulat penuh dan jari-jari tanganmu panjang kecil lembut, kakimu kecil mungil dengan paha dan betis panjang. Engkau cantik manis, jiwamu gagah perkasa biarpun ada suatu kedinginan dan kegalakan tersembunyi di balik gerak bibirmu, dan yang amat mengagumkan adalah keringatmu yang berbau harum, engkau seperti setangkai bunga yang indah, semerbak harum....."

"Sudah... sudah cukup ....! Wah, Hay-te, sungguh engkau seorang perayu besar! Kalau kau lanjutkan jangan-jangan kepalaku akan menjadi besar kemasukan angin dan tubuhku akan dibawa melambung ke udara, kemudian meletus di atas sana!"

Hui Lian berseru sambil mengangkat kedua tangan menutupi kedua telinganya dan tertawa. Baru sekarang gadis itu mampu tertawa gembira, terbawa oleh kegelian hati mendengar pujian yang dihujankan oleh pemuda itu kepadanya.

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar