*

*

Ads

Kamis, 17 Mei 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 125

"Aku bicara sejujurnya, Enci ...."

"Tidak, engkau mata keranjang. Seorang laki-laki mata keranjang selalu melihat wanita dari segi keindahannya saja, sehingga setiap orang wanita muda akan nampak secantik bidadari baginya. Engkau perayu wanita yang berbahaya karena wanita-wanita mudah runtuh pertahanan dirinya kalau menghadapi rayuan laki-laki. Jangan-jangan kelak engkau akan menjadi penakluk wanita!"

"Tidak, Enci Lian. Engkau memang cantik jelita dan ...."

"Cukup, Hay-te, jangan memuji lagi."

"Dan aku heran sekali, justeru karena engkau begini cantik, kenapa ergkau berkeliaran sendiri saja di dunia kang-ouw? Padahal sepatutnya, seorang wanita secantik engkau ini tentu sudah menjadi seorang isteri, bahkan mungkin seorang ibu yang baik, yang hidup penuh dengan kasih sayang dan kemuliaan, dalam sebuah rumah tangga yang berbahagia ...."

"Hay-te...... jangan teruskan...."

Hui Lian yang duduk bersandar dinding guha, menutupi muka dengan kedua tangannya dan wanita yang gagah perkasa ini, wanita yang keras hati dan galak, sekali ini menangis! Kedua pundaknya terguncang dan walaupun ia menahan diri sehingga tidak mengeluarkan suara, namun ia sesenggukan dan air matanya mengalir melalui celah-celah jari kedua tangannya.

Hay Hay terbelalak, sama sekali tidak mengira bahwa seorang wanita seperti Hui Lian itu dapat juga menangis, menjadi seorang wanita biasa yang lemah dan mudah mencucurkan air mata. Dia tidak tahu betapa semua kedukaan semenjak kegagalan pernikahannya yang sudah dua kali itu selama ini ditahan-tahan oleh Hui Lian, dan ucapan Hay Hay itu sebagai pembuka bendungan sehingga kini tercurahlah semua kedukaan yang menumpuk di dalam batinnya melalui tangis.

Melihat gadis itu demikian nelangsa, Hay Hay merasa kasihan sekali. Dia dapat menduga bahwa tentu masa lalu gadis ini amat suram dan menyedihkan, maka diapun mendekat dan menyentuh pundak gadis itu.

"Enci Lian, kau maafkanlah aku, Enci. Aku tidak sengaja hendak menyakiti hatimu, akan tetapi kalau kata-kataku tadi menyinggung perasaanmu, sungguh, engkau boleh memukulku lagi, Enci. Akan tetapi jangan menangis, hatiku terasa pilu dan ikut sakit melihat engkau menangis begini sedih....."

Merasakan sentuhan tangan Hay Hay yang lembut dan hangat di pundaknya, mendengar ucapan itu, bukannya terhibur hati Hui Lian, bahkan ia menangis semakin sedih. Ia merasa nelangsa, merasa betapa dirinya sebatang kara dan bernasib buruk, disakiti hatinya dan dikecewakan dalam dua kali pernikahan, dan betapa hidupnya terasa kosong dan kesepian.

"Adik Hay... uuhuuhuu.... Adik Hay .....!"

Ia mengguguk dan merangkul pemuda itu, menjatuhkan mukanya di atas dada Hay Hay. Pemuda ini merangkulnya, dan mengusap-usap rambut kepala hitam halus itu untuk menghiburnya.

"Tenanglah, Enci Lian, kuatkan hatimu. Tidak ada masalah yang tidak dapat diatasi di dunia ini." Kata Hay Hay, sungguh-sungguh, nadanya menghibur.

Dia merasa betapa air mata membasahi bajunya dan menembus baju, membasahi dadanya. Dan jantungnya berdegup keras, seolah-olah menjadi segar terkena pula siraman air mata itu. Tubuh yang dipeluknya itu demikian lunak dan lembut, dan keharuman yang halus keluar dari tubuh Hui Lian, memabokkan dan menggairahkan.

"Aih, Hay-te... engkau tidak tahu, aku... aku adalah wanita yang paling sengsara di dunia ini... sebatang kara, tidak mempunyai siapa pun...."

Hay Hay mempererat pelukannya dengan sikap menghibur.
"Enci Lian, mengapa engkau berkata demikian? Ada aku disini, bukan? Engkau memiliki aku, jangan merasa kesepian, Enci....."

Ucapan Hay Hay itu hanya untuk menghibur dan setengah berkelakar, akan tetapi sama sekali tidak disangkanya bahwa ucapannya itu membangkitkan keharuan dan gairah dalam hati Hui Lian. Sambil tersedu Hui Lian merangkul leher Hay Hay dan mencium mulut yang mengucapkan kata-kata demikian manisnya sebagai ucapan terima kasih.






Perbuatan Hui Lian ini sebetulnya hanya terdorong luapan perasaan saja, akan tetapi begitu ia mencium Hay Hay, gairahnya berkobar tanpa dapat ditahannya lagi. Sambil setengah menangis dan merintih Hui Lian menciumi Hay Hay, mencurahkan seluruh kerinduan dalam hatinya, seluruh kehausan akan kemesraan seorang pria yang selama ini ditahannya, demikian bernafsunya sehingga Hay Hay jatuh telentang dan tertindih oleh Hui Lian!

Hay Hay adalah seorang manusia biasa, dari darah daging, bahkan seorang pemuda yang mulai dewasa, bertubuh sehat, bahkan mempunyai watak romantis sekali, suka akan keindahan bahkan pemuja keindahan.

Oleh karena itu, kini dia digeluti seorang wanita seperti Hui Lian, yang dirangsang berahi, yang haus akan kasih sayang, penuh kerinduan akan belaian dan kemesraan seorang pria, seorang wanita yang bagaimanapun juga sudah berpengalaman karena sudah dua kali menjanda, tidak mengherankan kalau Hay Hay juga menjadi kebakaran oleh nafsu berahinya sendiri. Bau keringat yang sedap harum seperti bunga dari tubuh Hui Lian, menambah rangsangan dan diapun balas merangkul, balas mencium, balas membelai sampai Hui Lian terengah-engah dan mengeluarkan rintihan-rintihan kecil.

Belaian dan ciuman itu menambah berkobarnya api nafsu berahi masing-masing sehingga mereka lupa diri, lupa keadaan dan yang ada hanyalah pasrah, siap menyerahkan dirinya lahir batin demi untuk pemuasan hasrat nafsu, terseret oleh gelombang badani yang memabokkan.

Akan tetapi, pada saat mereka telah bergulingan sampai ke tepi jurang, hampir mencapai puncak pemuasan gairah mereka, ketika Hui Lian yang memejamkan mata terengah-engah dan berbisik-bisik lirih, ketika Hay Hay membalikkan tubuh wanita itu sehingga kini dia yang menindihnya, dia membuka mata dan melihat wajah Hui Lian yang berkeringat, matanya yang hampir terpejam, mulutnya yang ditarik seperti orang yang sedang menderita nyeri hebat, tiba-tiba saja Hay Hay sadar!

"Aihhh ......!"

Dia melepaskan rangkulannya, dengan lembut melepaskan kedua lengan Hui Lian yang
merangkul lehernya, dan diapun menjauhkan diri, menatap wajah Hui Lian yang kini juga membuka matanya yang sayu. Hui Lian mengembangkan kedua lengannya, dengan sikap mengajak, hendak merangkul kembali.

"Hay Hay aku... aku... ahhh, aku..."

"Tidak, Enci Lian!"

Tiba-tiba Hay Hay berseru dengan keras dan di dalam seruannya ini dia mengerahkan tenaga batinnya. Seruan ini dapat mengusir semua kekuasaan sihir, dan amat berwibawa sehingga dapat pula menyadarkan Hui Lian yang sedang mabok oleh gairah nafsu berahi itu. Gadis itu bangkit duduk, matanya terbelalak dan mukanya pucat memandang Hay Hay.

Hay Hay merasa kepalanya pening dan seperti ada suara berbisik-bisik di belakangnya, "Bodoh kau... ia begitu cantik manis, begitu hangat tubuhnya, ia begitu menantang, begitu mesra dan penuh api nafsu ciumannya. Ia ingin cintamu, bodoh. Lekas peluk dan cium ia, tidak ada orang melihatnya disini... lekas, tolol .....!"

Sejak tadi bisikan-bisikan ini memenuhi kepalanya, bisikan iblis yang seolah-olah berada di belakangnya.

"Keparat!" Hay Hay melayangkan tangannya ke belakang sambil mengerahkan tenaganya.

"Prakk!" Sebuah batu menonjol di dinding guha itu remuk oleh tamparannya.

"Hay-te... engkau... engkau kenapakah .....?"

Hui Lian bertanya, masih merah sekali wajahnya, membuat sepasang bibir itu merah basah dan matanya sayu sekali seperti mata orang mengantuk.

Tiba-tiba Hay Hay berlutut di depan Hui Lian,
"Enci Lian, ampunkan aku, Enci ....! Ah, aku layak dipukul mampus, aku benar-benar telah menjadi hamba iblis. Enci, marilah kita berdua sadar. Perbuatan kita ini tidak boleh dilanjutkan. Enci Lian, bereskanlah pakaianmu dan kita bicara yang benar."

Dia sendiri lalu mengancingkan kembali kancing-kancing baju yang tadi sudah hampir terlepas semua.

Kini sepasang mata Hui Lian terbuka lebar dan iapun baru sekarang melihat keadaan mereka. Setelah ia dapat menguasai batin sendiri sepenuhnya, ia melihat betapa ia telah melakukan hal yang amat memalukan. Dengan tubuh menggigil ia bangkit duduk dan jari-jari tangannya gemetar ketika membereskan pakaiannya, kemudian tiba-tiba ia menampar muka sendiri dengan tangan kirinya.

"Plakk!" ujung bibir sebelah kiri pecah dan berdarah ketika menampar, dan iapun menggerakkan tangan kanan untuk menampar lagi mukanya yang sebelah kanan.

Akan tetapi dengan cepat Hay Hay menangkap pergelangan tangan kanan itu dan suaranya menggetar penuh keharuan ketika dia berkata.

"Enci Lian... jangan lakukan itu! Kalau engkau mau menampar, tamparlah aku, Enci....!"

Hui Lian merenggut lepas tangannya dan iapun kini meloncat berdiri, mukanya masih merah sekali, akan tetapi sekali ini bukan merah oleh gairah nafsu berahi, melainkan merah karena merasa malu dan marah. Matanya tidak sayu seperti mata yang mengantuk lagi, melainkan terbuka lebar dan memancarkan sinar berkilat. Tangannya bergerak dan tahu-tahu ia telah menyambar pedangnya yang berada di atas buntalan pakaian dan dihunusnya pedang itu. Pedang Kiok-hwa-kiam mengeluarkan sinar berkilat tertimpa cahaya api unggun.

"Bangkitlah ......!" katanya dengan suara menggetar pula, "bangkitlah dan mari lawan aku. Seorang diantara kita harus mati disini!"

"Enci Lian....!" Hay Hay berseru, terkejut sekali.

"Hal yang memalukan telah terjadi, satu diantara kita harus mencucinya, satu diantara nyawa kita harus menebusnya!" kata pula Hui Lian.

"Tidak, Enci Lian! Aku tidak mau membunuhmu, engkau tidak bersalah, akupun tidak bersalah. Kita berdua telah menjadi korban bisikan iblis......"

"Kalau begitu, engkau harus mati!" Dan Hui Lian sudah menyerang dengan hebatnya.

Hay Hay terkejut dan cepat mengelak. Namun wanita itu sudah melanjutkan serangannya dan melihat ini, Hay Hay cepat mempergunakan ilmunya Jiau-pou-poan-soan, yaitu langkah ajaib yang berputar-putaran untuk selalu mengelak dan menghindarkan diri dari sambaran pedang Kiok-hwa-kiam.

Akan tetapi, betapa hebatnya langkah-langkah ajaib itu, kini yang dihadapinya adalah serangan Ilmu Pedang Inliong-kiam-sut (llmu Pedang Naga Awan) yang amat hebat maka maklumlah Hay Hay bahwa tidak mungkin dia akan dapat menyelamatkan diri kalau hanya mengelak terus. Dia pun cepat mengeluarkan sulingnya dan kini menggunakan benda itu untuk kadang-kadang menangkis, dan terpaksa juga membalas dengan serangan untuk membendung gelombang serangan yang dilakukan
Hui Lian.

Terjadilah perkelahian yang amat seru dan hebat di dalam guha itu! Sekali ini Hui Lian yang sudah dikuasai kemarahan dan kenekatan saking malunya, menyerang dengan sepenuh tenaga dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Ilmu pedang In-Iiong-kiam-sut amatlah hebatnya, peninggalan dari mendiang In Liong Nio-nio, seorang diantara Delapan Dewa.

Pedang Kiok-hwa-kiam lenyap bentuknya dan berubah menjadi gulungan sinar yang amat luas, dan dari dalam gulungan sinar ini mencuat sinar-sinar berkelebatan yang menghujankan serangan-serangan maut ke arah tubuh Hay Hay!

Menghadapi ilmu yang hebat ini, diam-diam Hay Hay merasa terkejut dan kagum bukan main. Agaknya kini Hui Lian benar-benar marah, dan baru sekarang dia melihat Hui Lian mengeluarkan kemampuannva yang dahsyat. Hanya dengan mengerahkan sinkang dan memainkan suling seperti yang pernah dipelajarinya dari Ciu-sian Lo-kai, dibarengi gerakan kaki dalam langkah ajaib yang dipelajarinya dari See-thian Lama, Hay Hay mampu menandingi kehebatan ilmu pedang Hui Lian.

Disamping kekagumannya, Hay Hay juga merasa berduka sekali. Sungguh menyedihkan betapa baru saja mereka saling mencurahkan kasih sayang dan kemesraan, bahkan hampir saja terjadi hubungan yang lebih mendalam antara mereka, kini mereka telah saling serang dan agaknya berusaha sungguh-sungguh untuk saling membunuh!

"Enci Lian, engkau tidak adil... hentikanlah seranganmu .....!" berkali-kali Hay Hay memohon, akan tetapi Hui Lian tidak mempedulikan semua ucapannya, bahkan memperhebat serangannya.

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar