*

*

Ads

Jumat, 18 Mei 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 128

Di puncak sebuah diantara bukit-bukit Pegunungan Cin-ling-pai berdiri megah bangunan-bangunan yang dikenal sebagai pusat perkumpulan Cin-ling-pai. Seperti telah kita ketahui, terjadi perubahan besar dalam keluarga Cia, yaitu keluarga yang menjadi pimpinan perkumpulan Cin-ling-pai.

Di dunia persilatan, perkumpulan Cin-ling-pai amat terkenal sejak puluhan tahun yang lalu, maka tidak aneh kalau perkembangan dan perubahan dalam perkumpulan ini diikuti orang-orang kang-ouw dan merupakan berita yang menarik bagi mereka.

Walaupun tidak ada orang yang dapat mengetahui sebabnya, namun dunia kang-ouw mendengar bahwa mantu dari Ketua Cin-ling-pai, yaitu pendekar wanita Ceng Sui Cin puteri dari Pendekar Sadis, telah meninggalkan Cin-ling-pai, meninggalkan keluarga suaminya dan pergi bersama puterinya, anak tunggalnya, yaitu Cia Kui Hong.

Sejak itu, tidak ada lagi yang mendengar berita tentang ibu dan anak ini, akan tetapi keadaan keluarga Ketua Cin-ling-pai selalu diperhatikan orang. Tahulah dunia kangouw
bahwa Cia Hui Song, putera tunggal Ketua Cin-ling-pai, kini menikah lagi dengan seorang gadis berusia delapan belas tahun yang bernama Siok Bi Nio, seorang gadis biasa, dan isteri baru ini setahun kemudian melahirkan seorang anak laki-laki bernama Cia Kui Bu.

Dan sejak isteri barunya melahirkan seorang putera, Ketua Cin-ling-pai yang bernama Cia Kong Liang menyerahkan kedudukan ketua perkumpulan itu kepada puteranya, pendekar Cia Hui Song.

Pendekar Cia Hui Song berusia empat puluh dua tahun ketika dia diserahi tugas sebagai Ketua Cinling-pai oleh ayahnya. Biarpun di perguruan silat atau perkumpulan silat itu terdapat peraturan bahwa yang berhak menjadi ketua haruslah tokoh terlihai dari Cin-ling-pai, namun ketika Cia Kong Liang mengundurkan diri dan mengumumkan bahwa Cia Hui Song menjadi ketua baru, tidak ada yang berani maju untuk menguji kepandaian Cia Hui Song.

Semua tokoh dan murid Cin-ling-pai tahu belaka siapa adanya Cia Hui Song. Dalam ilmu silat, pendekar ini bahkan jauh melampaui kelihaian ayahnya, maka siapakah yang berani mengujinya? Selain mewarisi semua ilmu silat Cin-ling-pai dengan baiknya, juga pendekar ini mewarisi banyak ilmu kesaktian dari mendiang Siang-kiang Lojin, seorang
diantara tokoh atau datuk sakti yang terkenal sebagai Delapan Dewa!

Maka, pengangkatan Cia Hui Song sebagai Ketua Cin-ling-pai disambut gembira oleh para murid, karena tentu ketua baru ini akan mengajarkan pula ilmu-ilmu silatnya yang tinggi demi kemajuan perkumpulan dan kemajuan para murid pula.

Pada waktu isterinya yang amat dicintanya, Ceng Sui Cin, pergi meninggalkan Cin-ling-san bersama puteri tunggal mereka, pendekar Cia Hui Song tenggelam dalam penyesalan dan kedukaan yang hebat, yang membuatnya jatuh sakit sampai lebih dari satu bulan lamanya. Namun, sebagai seorang anak tunggal yang berbakti, dia mentaati kehendak ayahnya dan diapun tidak membantah ketika dinikahkan dengan Siok Bi Nio, seorang gadis muda yang usianya separuh usianya sendiri.

Duka dan penyesalan, seperti semua perasaah timbul dari pikiran dan apa yang timbul dari pikiran tidaklah bertahan lama. Sang Waktu akan melahapnya, akan menenggelamkannya.

Demikianlah dengan kedukaan yang meliputi hati Cia Hui Song ketika dia ditinggal pergi oleh isterinya dan puterinya. Selama berbulan-bulan dia memang selalu nampak melamun dalam duka, akan tetapi lambat laun, apalagi setelah isteri barunya melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat, luka di hatinya oleh kepergian Ceng Sui Cin dan Cia Kui Hong menipis, mongering dan sembuh.

Bahkan kini hanya kadang-kadang saja dia teringat kepada isteri dan anaknya itu, yang dia tahu tentu kembali ke Pulau Teratai Merah, dan kalau teringat dia nampak melamun. Akan tetapi, lebih sering dia kelihatan tenang. Satu-satunya perubahannya diketahui oleh orang yang mengenal sejak muda, yaitu bahwa kini dia kehilangan wataknya yang lincah gembira dan amat ramah, juga agak ugal-ugalan.

Betapapun juga, kedukaannya lenyap dan yang tinggal hanyalah garis-garis diantara kedua alisnya, di tepi matanya dan di kanan kiri ujung bibirnya. Duka selalu ditimbulkan oleh ikatan batin. Ikatan batin dengan keluarga, dengan orang yang dicinta, dengan harta benda, dengan kedudukan, dengan ketenaran, dengan kepandaian, dan dengan apa saja.

Ikatan menimbulkan rasa takut pula, takut akan kehilangan dan setelah tiba saatnya ketika kehilangan sesuatu yang mengikat batin kita, timbullah duka. Tentu saja kita yang hidup di dalam masyarakat, tidak mungkin bebas sama sekali daripada segala macam kewajiban dengan keluarga, dengan masyarakat dan sarana-sarana hidup bermasyarakat. Namun, semua itu hanyalah urusan lahiriah, oleh karena itu ikatannya pun seharusnya lahiriah, bukan batiniah.

Pada lahirnya, memang kita berkeluarga dan kita mempunyai keluarga, bekerja untuk kepentingan keluarga, membinanya, mendidik anak-anak dan sebagainya lagi. Akan tetapi, sekali batin kita terikat, maka timbullah rasa takut, takut akan masa depan keluarga, takut akan kehilangan dan takut akan masa depan, takut tidak akan memenuhi kebutuhan keluarga. Dan kalau semua yang kita takutkan itu terjadi, timbullah duka karena kehilangan.






Ini bukan berarti bahwa kita harus acuh terhadap keluarga atau segala hal yang kita punyai, sama sekali tidak! Cinta kasih bukan berarti harus ada ikatan batin! Lahiriah kita boleh mempunyai apa saja, namun batin seharusnya bebas, batin tidak memiliki apa-apa! Mempunyai namun tidak memiliki! Lahiriah mempunyai, batiniah tidak memiliki atau bebas. Cinta kasih yang menimbulkan semua perbuatan seperti memelihara, membimbing dan sebagainya, bukan ikatan!

Kalau batin terikat oleh sesuatu, maka yang sesuatu itu melekat dan berakar di dalam hati, tentu saja sekali waktu tiba saatnya harus berpisah, sesuatu itu seperti dicaput dan akarnya akan membuat hati berdarah dan terluka! Sekali lagi, bukan berarti acuh dan masa bodoh, bukan berarti tidak mencinta kalau tidak ada ikatan. Sebaliknya malah, cinta kasih tidak membutuhkan ikatan. Yang membutuhkan ikatan hanyalah si Aku, hanyalah nafsu, dan si-aku akan merasa takut dan kosong kalau tidak memiliki sesuatu. Memiliki sesuatu ini menambah "isi" dan arti dari si-aku, membesarkan si-aku

Kini Cia Hui Song, Ketua Cin-ling-pai, hidup bersama isteri barunya dan puteranya yang baru berusia dua tahun, nampaknya hidup dengan tenteram dan Cin-ling-pai menjadi semakin maju setelah dia menjadi ketuanya.

Ayahnya Cia Kong Liang, yang usianya sudah mendekati tujuh puluh tahun, kini tidak mau mencampuri urusan dunia lagi melainkan setiap hari tekun bersamadhi di dalam sebuah kamar yang sunyi di belakang. Ketika masih dipegang ayahnya, Cin-ling-pai dikenal orang sebagai perkumpulan yang keras dan tanpa mengenal ampun terhadap kejahatan. Dan para murid Cin-ling-pai sendiri merasakan kekerasan yang menjadi sikap ketua mereka.

Cia Kong Liang keras hati dan memegang teguh peraturan tanpa mengenal kebijaksanaan dan pertimbangan lagi, juga agak tinggi hati, terlalu mengangkat tinggi nama sendiri dan nama Cin-ling-pai. Akan tetapi kini, di bawah pimpinan Cia Hui Song, terjadi perubahan besar pada perkumpulan itu.

Cia Hui Song bersikap bijaksana, dapat lembut dan dapat pula tegas, mudah memaafkan dan menghargai pendapat orang lain. Dan seperti yang diharapkan oleh para murid Cin-ling-pai, Hui Song mulai mengajarkan ilmu-ilmu yang dianggapnya praktis untuk menambah ketangguhan para murid Cin-ling-pai.

Pada pagi hari itu, Cia Hui Song sedang duduk di beranda rumahnya ketika seorang murid dating menghadap dan memberitahukan bahwa di luar pintu gerbang yang mengelilingi perkampungan Cinling-pai muncul seorang wanita yang menyatakan ingin bertemu dengan Ketua Cin-ling-pai.

Untuk beberapa detik lamanya jantung dalam dada Hui Song berdebar tegang. Seorang wanita? Ceng Sui Cin, isterinya yang pertamakah yang datang? Ataukah Cia Kui Hong, puterinya? Akan tetapi tidak mungkin. Kalau seorang diantara mereka yang datang, tentu murid ini mengenal mereka. Dia lalu menyerahkan Cia Kui Bu yang tadinya dipangkunya, kepada ibu anak itu.

"Siapa namanya dan ada keperluan apakah ia hendak bertemu dengan aku?" tanyanya.

"Ia tidak mau memperkenalkan namanya dan keperluannya, hanya berkeras mengatakan bahwa ia ingin bertemu dengan Ketua Cin-ling-pai." murid itu menerangkan.

Cia Hui Song mengerutkan alisnya dan hatinya tertarik sekali, akan tetapi, diapun merasakan sesuatu yang tidak enak. Mudah diduga bahwa tentu ada urusan pribadi antara wanita itu dan dia, dan sukarlah menduga siapa orangnya, karena banyak sekali pengalaman sudah dilalui dalam hidupnya.

Sebagai seorang pendekar yang selalu menentang kejahatan, diapun tahu bahwa banyak sekali terdapat orang dari golongan hitam yang menaruh dendam kepadanya, oleh karena itu, dia harus selalu siap siaga menghadapi segala bentuk ancaman. Akan tetapi, pengunjungnya adalah seorang wanita, dan sebagai seorang yang sopan dia harus menyambutnya dengan hormat.

"Baiklah, persilakan ia masuk dan menanti di ruang tamu."

"Aku sudah berada disini, harap Pangcu (Ketua) suka keluar!" tiba-tiba terdengar suara nyaring dari luar beranda.

Hui Song terkejut ketika mengangkat muka dan melihat seorang wanita cantik sudah berdiri di pekarangan. Empat orang murid Cin-ling-pai datang berlari-lari ke pekarangan itu.

"Heiii! Engkau tidak boleh masuk begitu saja!" teriak mereka dengan sikap marah.

Cia Hui Song memberi tanda kepada isterinya agar masuk. Siok Bi Nio, wanita muda yang menjadi isterinya itu, sambil menggendong anaknya, berjalan masuk. Hui Song lalu melangkah lebar keluar beranda, menghadapi wanita itu.

"Apa yang terjadi?" tanyanya kepada empat orang murid yang nampak hormat ketika melihat ketua mereka.

"Pangcu, wanita ini kami suruh menunggu karena belum ada keputusan Pangcu, akan tetapi tiba-tiba ia melompati pintu gerbang dan berlari masuk. Kami mengejarnya dan......"

"Sudahlah, kalian kembali ke pintu gerbang dan berjaga baik-baik." kata Hui Song kepada para muridnya dan ketika mereka semua sudah pergi, dia menghadapi wanita itu, mengamati penuh perhatian.

Seorang wanita yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun, berwajah cantik, dengan
sepasang pipi kemerahan dan mulut indah yang membayangkan kemarahan, sepasang mata yang berkilat mengamatinya pula.

"Aku ingin bertemu dengan Ketua Cin-ling-pai!" Wanita itu berkata, suaranya tegas dan galak.

Hui Song tersenyum sabar dan menjiura.
"Akulah Ketua Cin-ling-pai. Silakan masuk dan kita bicara di dalam."

Wanita itu terbelalak. Ia adalah Kok Hui Lian dan kini iapun teringat. Seperti kilat menyambar ingatannya membayangkan peristiwa yang terjadi kurang lebih dua puluh tahun yang lalu. Ia baru berusia sepuluh tahun ketika gedung ayahnya, yaitu Kok Taijin yang menjadi gubernur kota San-haikoan diserbu pemberontak.

Orang tuanya terbunuh, gedungnya dibakar dan ia sendiri tentu telah tewas kalau tidak ditolong oleh seorang pendekar yang gagah perkasa. Ia digendong keluar dari keributan itu oleh penolongnya, kemudian penolongnya dikeroyok oleh musuh sehingga terpaksa ia dilepaskan. Kemudian ia ditangkap penjahat dan disaat itulah muncul suhengnya, Ciang Su Kiat yang kemudian menjadi gurunya, juga suhengnya, juga pengganti orang tuanya. Dan pendekar yang gagah perkasa itu bukan lain adalah pria yang kini berdiri di depannya dan mengaku sebagai Ketua Cin-lingpai!

"Tidak, bukan engkau... aku ingin bertemu dengan Ketua Cin-ling-pai yang tua, yang bernama Cia Kong Liang."

"Ah, kiranya engkau ingin bertemu dengan Ayahku. Sayang, sudah sejak dua tahun lebih Ayah tidak lagi mencampuri urusan dunia, dan selalu bertapa. Kalau ada urusan, harap sampaikan saja kepadaku, karena akulah yang berkewajiban untuk menanganinya."

"Tidak, aku tidak ada urusan dengan engkau, aku hanya mau bertemu dan bicara dengan Cia Kong Liang!"

Hui Song menggeleng kepala, masih tersenyum ramah walaupun sinar matanya berkilat.

"Tidak mungkin, Nyonya. Dia sedang bertapa dan tidak boleh diganggu siapapun. Kalau ada urusan dengan Ayahku, biarlah aku yang akan membereskan semua perhitungan. Silakan."

"Tidak..... tidak......!"

Hui Lian tentu saja tidak mau berurusan dengan orang yang pernah menyelamatkannya ini dan iapun membalikkan tubuh dan dengan beberapa loncatan saja tubuhnya melayang ke atas pagar tembok dan lenyap.

Diam-diam Hui Song terkejut bukan main melihat kecepatan gerakan wanita itu. Jelaslah bahwa wanita muda itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali, terutama memiliki ilmu ginkang (meringankan diri) yang hebat. Dia mengingat-ingat, akan tetapi tidak pernah mengenal wanita itu. Dia merasa khawatir, dan memerintahkan para murid untuk melakukan penjagaan yang lebih ketat.

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar