*

*

Ads

Minggu, 20 Mei 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 134

Sementara itu, dimalam yang hanya diterangi bintang-bintang di langit itu, Ciang Su Kiat berjalan bersama Kok Hui Lian, menuruni Pegunungan Cin-ling-san. Mereka tidak bicara sejak meninggalkan perkampungan Cin-ling-pai, dan setelah tiba di kaki gunung, barulah Su Kiat mengajak sumoinya memasuki sebuah kuil tua yang tidak dipergunakan lagi.

Malam tadi pun dia bermalam di kuil itu. Mereka membuat api unggun dan baru sekarang mereka berkesempatan untuk saling pandang dibawah sinar penerangan api unggun. Sejenak mereka saling pandang dan akhirnya Su Kiat menarik napas panjang. Hatinya yang penuh kerinduan terhadap sumoinya itu terobatilah setelah melihat sumoinya dalam keadaan sehat selamat.

“Sumoi, aku girang melihat engkau dalam keadaan sehat dan selamat,” katanya, sederhana.

“Suheng, engkaupun kelihatan sehat. Sungguh tak kusangka akan dapat bertemu denganmu di tempat ini, Suheng.”

“Sumoi, kenapa engkau menyerbu Cin-ling-pai….?”

Wanita itu menatap wajah suhengnya dengan pandang mata penuh selidik, akan tetapi tidak nampak kemarahan pada wajah suhengnya itu.

“Suheng, harap maafkan aku…”

“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Sumoi, akan tetapi aku sungguh ingin sekali mengetahui mengapa engkau pergi ke Cin-ling-pai dan dengan nekat melakukan penyerangan terhadap bekas Guruku?”

Sejenak mereka saling tatap di bawah sinar api unggun, kemudian Hui Lian menunduk.
“Suheng, salahkah aku? sudah sejak dahulu, setiap kali aku memandang lengan kirimu, hatiku seperti ditusuk rasanya dan terdapat perasaan dendam yang makin menebal terhadap orang yang menyebabkan lenganmu buntung. Karena itu, sejak dahulu aku sudah mempunyai niat untuk pada suatu hari mencari ketua Cin-ling-pai dan membalaskan dendam atas penderitaanmu.”

Su Kiat tersenyum.
“Sumoi, kita harus dapat menerima segala peristiwa dengan hati terbuka karena di dalam setiap peristiwa terdapat hikmatnya yang amat besar. Kalau saja tidak terjadi peristiwa di Cin-ling-pai itu, kalau saja lenganku tidak buntung, sekarang aku tentu masih menjadi seorang murid Cin-ling-pai. Aku tidak akan mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi, dan yang lebih dari segalanya, aku tentu tidak akan bertemu dengan engkau, Sumoi.”

“Dan aku mungkin mati di tangan penjahat itu ketika pendekar Cia Hui Song dikeroyok,” sambung Hui Lian.

“Nah, karena itu, tidak ada gunanya kita mendendam, apalagi bekas Guruku nampaknya sudah demikian menyesal dan menderita batin. Akan tetapi, yang membuat aku penasaran, kenapa engkau…. engkau begini nekat dan bersusah payah, menempuh bahaya pula, hendak membelaku, Sumoi?”

Kembali mereka saling pandang dengan sinar mata tajam penuh selidik, kemudian Hui Lian menarik napas panjang.

“Karena… aku merasa berhutang budi kepadamu, Suheng, aku…. aku tidak mampu membalasnya dan aku ingin melakukan sesuatu yang besar untuk sekedar membalas budimu yang bertumpuk.”

“Hemm, aku tidak merasa melepas budi, Sumoi.Aku…. sudah girang sekali melihat engkau selamat, aku…. aku selalu ingin melihat engkau dalam keadaan sehat dan berbahagia, Sumoi.”

Mereka diam, kehabisan bahan percakapan. Entah mengapa, sebelum bertemu, mereka saling merasa rindu sekali, akan tetapi begitu bertemu, mereka merasa canggung dan salah tingkah. Karena keduanya diam, suasana menjadi hening sekali dan keduanya merenung sambil memandangi api unggun yang menari-nari.

Kemudian, Hui Lian melirik dan memperhatikan wajah suhengnya dari samping, dan nampak olehnya betapa kurusnya wajah itu, dengan garis-garis muka yang membayangkan penderitaan batin. Ia merasa kasihan sekali.

“Suheng, engkau… engkau kenapakah?”

Su Kiat menoleh dan mereka berpandangan.
“Mengapa? Tidak apa-apa, Sumoi.”






“Tidak sakitkah, sehat sajakah engkau Suheng?”

“Tidak, aku tidak sakit dan sehat-sehat saja.”

“Akan tetapi, engkau begini kurus, Suheng. Sungguh baru nampak sekarang olehku betapa kurusnya engkau, dan pandang matamu begitu sayu seperti orang bersedih.”

Su Kiat memandang wajah sumoinya dengan alis berkerut, terjadi perang di dalam batinnya antara mengaku atau tidak. Akhirnya dia menggigit bibirnya dan memberanikan hatinya karena dia tahu bahwa saatnya sekarang adalah sekarang mengaku atau selamanya tidak akan ada kesempatan lagi!

“Sumoi, terus terang saja, memang ada kesedihan di dalam hatiku. Aku merasa kesepian sekali, Sumoi, sejak engkau pergi… bukan, bahkan sejak engkau menikah untuk pertama kalinya itu. Aku kesepian dan kehilangan, akan tetapi semua itu masih dapat kuhibur dengan membayangkan engkau hidup berbahagia bersama suamimu. Akan tetapi sungguh celaka, kenyataannya tidak demikian. Engkau menderita, engkau gagal, bahkan dua kali pernikahanmu berakhir dengan kegagalan. Melihat engkau tidak berbahagia, melihat engkau menderita, aku merasa betapa hancur hatiku, Sumoi.Aku berduka, aku bersedih, mungkin lebih sedih daripada perasaanmu sendiri. Aku ingin melihat engkau berbahagia selalu, Sumoi, aku…. aku……”

Sejak tadi, Hui Lian memandang dengan mata terbelalak, kemudian perlahan-lahan ada air menetes turun, dibiarkannya saja, wajahnya menjadi pucat.

“Tapi…. tapi kenapa, Suheng….? Kenapa engkau begitu memprihatinkan keadaanku….? Mengapa…..?” tanyanya, suaranya menggetar dalam bisikan bercampur isak tertahan.

“Karena…. karena….. demi Tuhan, biar aku berterus terang! Karena aku cinta padamu, Sumoi, sejak dahulu, sejak kita berada di dalam jurang….”

“Suheng…..!”

Hui Lian menjerit dan menubruk kaki suhengnya menangis dengan mengguguk seperti anak kecil, merangkul kaki suhengnya.

Su Kiat terkejut sekali. Dirangkulnya Hui Lian, ditariknya supaya jangan berlutut merangkul kakinya, dan gadis itu lalu menubruknya dan menangis di atas dadanya! Tidak ada kata-kata yang keluar, karena setiap kali membuka mulut, yang keluar hanyalah

“Suheng…” dan isak tangis.

“Sumoi… maafkan aku, ah, aku lancang mulut, tidak sepatutnya aku menyinggung perasaan hatimu, Sumoi…”

“Suheng, diam….!”

Tiba-tiba wanita muda itu membentak sehingga mengejutkan suhengnya. Kini Hui Lian dapat menekan perasaannya dan iapun kini mengangkat muka, memandang kepada suhengnya melalui genangan air mata.

“Kenapa Suheng begitu rendah hati? Aih, Suheng…. Suheng…. kenapa tidak dari dulu engkau katakan itu? sudah sejak dahulu aku menanti-nanti keluarnya ucapan itu dari mulutmu!”

“Sumoi….?” Su Kiat berseru, kaget dan heran.

“Suheng, engkaulah satu-satunya orang yang kumiliki. Engkau menjadi pengganti orang tuaku, Guruku, saudaraku, sahabatku…. engkaulah segala-galanya bagiku. Tentu saja aku tidak berani mengharapkan yang lebih daripada semua budi yang telah kau limpahkan kepadaku. Kemudian engkau minta aku menikah. Aku mencoba untuk membantah, akan tetapi engkau mendesak sehingga aku tidak berani lagi menolak. Aku mengira engkau tidak cinta kepadaku, Suheng. Dan aku… ah, aku bodoh… baru-baru ini saja aku tahu benar bahwa di dunia ini tidak mungkin ada orang lain yang akan kucinta lebih daripada perasaan cintaku padamu….”

“Sumoi….!” Mereka berangkulan dan kembali Hui Lian menangis di dada suhengnya. “Sumoi, mana aku berani?Aku jauh lebih tua darimu, dan aku seorang laki-laki yang cacat, buntung lenganku. Aku merasa rendah diri, dan baru sekarang… setelah engkau menjadi janda dua kali, setelah aku melihat pembelaanmu di Cin-ling-pai, aku memberanikan diri mengaku cintaku….”

“Suheng… ah, peluklah aku, Suheng, peluklah aku yang kuat, dan jangan kau lepaskan aku lagi… tanpa engkau, aku tidak berani hidup di dunia yang kejam ini….”

“Tidak, Sumoi, demi Tuhan, mulai sekarang aku tidak akan melepaskanmu lagi. Engkau milikku dan aku milikmu, aku akan mempertahankan engkau dengan taruhan nyawaku. Engkau calon isteriku…”

“Dan engkau suamiku… sampai aku mati, Suheng…”

Sungguh mesra dan mengharukan pertemuan antara dua hati yang sesungguhnya sudah saling cinta sejak dahulu. Kini segalanya terbuka bagi mereka, dan mereka merasa seolah-olah baru bangkit dari kematian untuk menyongsong sinar matahari pagi yang cerah dan penuh kebahagiaan.

Mereka bercakap-cakap dengan mesra, seperti sepasang pengantin baru, membicarakan masa depan mereka dan rencana mereka. Mereka akan mencari pendeta dalam kuil yang mau menikahkan mereka, kemudian mereka akan hidup sebagai suami isteri dengan lembaran baru, di tempat yang jauh dari segala pertikaian dunia, membentuk rumah tangga, kalau mungkin melahirkan anak-anak. Alangkah indahnya semua itu!

Rumah tangga atau keluarga yang dibentuk oleh seorang pria dan seorang wanita yang menjadi suami isteri bukanlah hal yang remeh, bahkan amatlah rumit. Laki-laki dan wanita condong untuk saling tertarik atau yang diistilahkan sebagai “jatuh cinta” karena tertarik oleh keindahan wajah dan tubuh.

Modal wajah tampan dan cantik, tubuh yang menarik sama sekali tidak dapat menjamin keutuhan dan keakraban antara suami isteri. Ketampanan dan kecantikan hanyalah merupakan warna bagian luar saja, dan dapat membosankan.

Sebaliknya, untuk dapat hidup bersama selama puluhan tahun, bahkan sampai mati, antara seorang wanita dan seorang pria, modal yang utama adalah kecocokan dan keserasian watak. Dengan kecocokan watak ini maka perasaan yang dinamakan cinta itu makin terpupuk dan tersiram, tumbuh dengan sehat dan segarnya. Akan tetapi kalau watak dan selera bertentangan, akan tak tampak lagi ketampanan dan kecantikan, dan yang nampak hanyalah bagian-bagian yang buruk saja.

Pernikahan Hui Lian dengan suaminya yang pertama, yaitu Tee Sun, terjadi atas anjuran Ciang Su Kiat dan Hui Lian mau menjadi isteri Tee Sun hanya untuk mentaati permintaan suhengnya. Ternyata kemudian terdapat ketidak cocokan antara suami isteri ini, karena Tee Sun amat pencemburu dan memang tidak ada rasa cinta dalam hati Hui Lian terhadap suami pertama itu.

Kemudian terjadi perceraian dan pernikahannya yang kedua, dengan Su Ta Touw, terjadi karena Hui Lian silau oleh bujuk rayu dari suami ke dua itu yang memang seorang perayu dan penakluk wanita. Pernikahan kedua hanya terdorong oleh nafsu ini tidak bertahan lama, karena setelah Su Ta Touw merasa bosan, nampaklah belangnya dan kembali terjadi perceraian.

Kemudian Hui Lian merana dan barulah terasa benar olehnya betapa sesungguhnya dia memuja dan mencinta Su Kiat, suhengnya sendiri! Dan mereka berdua ini, yang sudah hidup bersama mengalami segala macam kesengsaraan berdua, mengalami suka duka berdua bahkan menghadapi maut yang mengerikan, memliki cinta yang didasari persamaan selera dan watak. Maka ketika dua hati itu bertemu, lengkaplah sudah pertemuan cinta antara mereka dan dengan penuh bahagia mereka menyongsong hari depan yang nampak cerah!

**** 134 ****
Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar