*

*

Ads

Senin, 21 Mei 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 139

Untuk memperkuat kedudukannya dan memperluas pengaruhnya. Lam-hai Giam-lo mengutus para pembantunya untuk mempengaruhi kaum sesat di daerah selatan, mengajak mereka untuk bergabung di bawah pimpinan Lam-hai Giam-lo dan untuk keperluan itu, Lam-hai Giam-lo tidak sayang untuk menyebarkan uang secara royal sekali.

Suami isteri itu kini berada di Kui-yang juga dalam rangka membujuk Ciok Cun yang dianggap sebagai kepala jagoan di kota itu untuk mengumpulkan kawan-kawannya dan bergabung di bawah pimpinan Lam-hai Giam-lo.

“Nah, bagaimana, Nona?” kata Ma Kim Li sambil tersnyum dingin. “Engkau memilih selamat dan menunjukkan kepada kami dimana adanya kakakmu, atau engkau ingin melolong-lolong seperti anjing itu dalam keadaan hidup tidak matipun tidak?”

“Hemm, nenek yang berhati kejam! Kau kira aku seorang gila yang tak dapat memilih mana yang menguntungkan? Tentu saja aku memilih yang pertama. Akan tetapi sebelum kita bicara, aku ingin dibebaskan dari totokan ini, dan ingin mengenal siapa adanya kalian berdua.”

Girang sekali hati suami isteri itu mendengar kesanggupan ini. Kalau mereka dapat menguasai Sin-tong dan menyerahkannya kepada Lam-hai Giam-lo, tentu mereka akan berjasa besar. Pemuda yang dulu diperebutkan itu tentu masih berharga sekali bagi para pendeta Lama di Tibet yang tentu akan suka menukarnya dengan emas permata yang banyak terdapat di negeri penuh rahasia itu.

Siangkoan Leng tentu saja tidak merasa khawatir gadis itu akan melarikan diri. Dibawah pengamatan dia dan isterinya, gadis itu tidak akan mampu melarikan diri. Maka diapun melangkah maju dan dengan beberapa kali totokan pada pundak, dia sudah membebaskan Pek Eng. Gadis itu bangkit berdiri dan memijit-mijit pundaknya yang terasa nyeri dan kaku, kemudian memandang suami isteri itu sambil tersenyum.

“Terima kasih, kalian sungguh merupakan kakek dan nenek yang amat lihai dan membuat aku merasa kagum. Siapakah sebenarnya kalian?”

“Namaku Siangkoan Leng dan ini isteriku Ma Kim Li. Kami berdua di dunia kang-ouw di kenal sebagai Lam-hai Siang-mo,” kata Siangkoan Leng, diam-diam diapun kagum karena gadis itu, biarpun masih muda dan berada dalam kekuasaan atau tawanan mereka masih saja bersikap demikian tenangnya dan sedikitpun tidak memperlihatkan kekhawatiran.

“Sekarang katakanlah dimana kakakmu itu!” Ma Kim Li kembali mendesak.

Sejak tadi Pek Eng sudah memutar otak mencari akal untuk menjawab desakan ini dan ia lalu memandang ke kanan kiri seperti orang yang merasa rikuh untuk bicara. Ia lalu memandang wajah nenek itu dan berkata dengan suara lirih.

“Sudah tepatkah kalau kita bicara tentang itu di depan banyak orang?”

Suami isteri itu sadar bahwa mereka maish berada di antara Ciok Cun dan anak buahnya. Ma Kim Li lalu memegang tangan Pek Eng dan berkata kepada suaminya.

“Mari kita berangkat!”

Dengan diantar oleh Ciok Cun sampai ke depan pintu gerbang, suami isteri itu keluar dan ternyata kini beberapa orang anak buah Ciok Cun telah mengeluarkan sebuah kereta berkuda dua yang tadinya di simpan di sebelah rumah, dan Ma Kim Li lalu mengajak Pek Eng masuk ke dalam kereta.

Siangkoan Leng duduk di depan dan menjadi kusir. Kereta bergerak meninggalkan rumah itu, bahkan segera keluar dari pintu gerbang kota Kui-yang sebelah selatan.

Kereta berhenti di tempat sunyi di luar kota itu dan kembali suami isteri itu mendesak kepada Pek eng.

“Hayo, katakan sekarang dimana adanya kakakmu Pek Han Siong itu!”

Pek Eng tersenyum memandang kepada mereka.
“Kalian ini adalah dua orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga melihat usia kalian tentu telah memiliki banyak pengalaman, akan tetapi bagaimana dapat mengajukan pertanyaan yang demikian bodoh?”

“Apa kau bilang?”

Siangkoan Leng membentak, heran melihat keberanian anak perempuan itu yang dalam keadaan tertawan bahkan berani mengatakan mereka bodoh!

“Hati-hati dengan mulutmu atau jarumku akan menyiksamu!” nenek itupun mengancam.






Akan tetapi Pek Eng yang cerdik itu hanya tersenyum menghadapi kemarahan mereka. Ia sudah memperhitungkan benar semua sikap dan kata-katanya. Ia maklum bahwa dua orang ini merupakan orang-orang yang dahulu memperebutkan kakaknya sebagai Sin-tong, seperti yang sering di dengar dari orang tuanya. Mereka ingin sekali menemukan kakaknya, mereka hanya mengenal kakaknya dari namanya saja dan tidak tahu dimana kakaknya berada.

“Lam-hai Siang-mo,” katanya dengan sikap seperti bicara dengan orang-orang yang setingkat saja. “Aku tidak bermaksud menghina kalian, akan tetapi kalian sendiri melihat bahwa aku datang ke persilatan Macan Terbang itu untuk menanyakan mereka kalau-kalau mereka melihat kakakku Pek Han Siong. Jelas bahwa aku datang untuk mencari Kakakku, dan sekarang kalian memaksa aku mengaku dimana adanya Kakakku itu. Bukankah itu pertanyaan yang amat bodoh? Kalau aku mencari-cari Kakakku, jelas bahwa aku tidak tahu dimana saat ini dia berada.”

Kakek dan nenek itu saling pandang sejenak.
“Hemm, ceritakan bagaimana engkau berpisah dari Kakakmu itu agar kami dapat membantumu mencarinya!” kata Siangkoan Leng.

Pek Eng memang sudah mempersiapkan diri sejak tadi.
“Aku dan Kakakku itu sedang melakukan perjalanan pesiar ke selatan. Ketika kami tiba di luar kota Kui-yang, muncul tiga orang pendeta berkepala gundul yang hendak menangkap Kakakku. Karena tiga orang pendeta itu lihai sekali, Kakakku menyuruh aku menyingkir. Mereka lalu berkelahi dengan seru dan berkejar-kejaran. Ketika aku mengejar, ternyata aku tertinggal jauh dan mereka semua telah menghilang. Aku lalu mencari-cari sampai ke kota Kui-yang dan bertanya di Hui-houw Bu-koan.” Ia berhenti sebentar kemudian bertanya. “Apakah kalian mengenal Kakakku itu? Apa perlunya kalian hendak bertemu dengan dia?”

Suami isteri itu saling pandang.
“Apakah tiga orang pendeta berkepala gundul itu mengenakan jubah mantel lebar berwarna merah dan kotak-kotak?” tanya Siangkoan Leng.

“Benar sekali!” jawab Pek Eng yang teringat akan para pendeta Lama yang pernah menyerbu rumah keluarganya.

Kembali suami isteri itu saling pandang.
“Mereka adalah para pendeta Lama dari Tibet!” kata Ma Kim Li dengan hati khawatir, takut kalau-kalau ia dan suaminya kalah dulu oleh para pendeta itu. “Apakah Kakakmu itu kalah lalu ditangkap dan di bawa pergi?”

“Tidak mungkin Kakakku kalah!” Pek Eng berteriak seperti orang marah. “Tiga orang pendeta itu yang lari dan dikejar-kejar Kakakku. Sayang ginkang mereka terlampau tinggi sehingga aku tertinggal jauh, dan kehilangan mereka.” Ketika dua orang itu saling pandang, ia melanjutkan. “Akan tetapi aku yakin bahwa Kakakku tentu akan mengalahkan mereka dan dia akan mencari aku sampai dapat.”

“Lihai sekalikah Pek Han Siong itu?” Ma Kim Li bertanya.

“Kakakku? Wah, ilmu kepandaiannya seperti dewa! Karena itu, kalau kalian mengenalnya, harap jangan mengganggu aku agar dia tidak menjadi marah.”

“Kami tidak mengganggumu,” kata Siangkoan Leng sambil tersenyum mengejek. “Sudah lama kami ingin bertemu dengan Kakakmu, ada urusan penting yang ingin kami bicarakan dengan dia.”

“Wah kalau begitu, biarlah aku yang akan memberitahukan dia kalau kami sudah saling bertemu. Katakan saja kemana dia harus pergi mencari kalian, bukankah itu mudah sekali?”

Berkata demikian Pek Eng tersenyum manis sekali kepada mereka. Ia sengaja tersenyum untuk membuat dua orang itu lengah karena pada saat itu, ia mendengar derap kaki kuda menuju ke arah kereta yang dihentikan di tepi jalan itu. Siapapun adanya para pemunggang kuda itu, ia akan mempergunakan kesempatan ini untuk melarikan diri dengan harapan para penunggang kuda itu akan membantunya kalau melihat seorang gadis diserang dan dikejar kakek dan nenek itu.

Pek Eng sama sekali tidak tahu bahwa sepasang iblis itu bukan tidak mendengar derap kaki kuda, bahkan mereka dapat menduga siapa adanya para penunggang kuda itu tanpa menengok. Tempat ini memang menjadi tempat yang sudah menjanjikan untuk menanti datangnya dua orang kawan mereka!

Ketika dua orang penunggang kuda sudah tiga dekat dengan kereta itu, dan sepasang suami isteri itu nampaknya masih termenung mendengar perkataan Pek Eng tadi, tiba-tiba gadis itu meloncat ke luar dari dalam kereta! Ia melihat bahwa dua orang penunggang kuda itu berpakaian hitam-hitam dan ia bermaksud untuk merampas seekor kuda mereka agar ia dapat melarikan diri menunggang kuda. Dengan beberapa kali lompatan saja ia telah tiba dekat dengan dua orang penunggang kuda iru.

“Tangkap gadis itu!” terdengar suara Siangkoan Leng berseru di belakangnya.

Mendengar ini dua orang yang berpakaian serba hitam itu meloncat turun dari kudanya. Pek Eng melihat bahwa mereka adalah dua orang kakek dan nenek juga, akan tetapi keadaan mereka membuat ia merasa terkejut dan ngeri. Kakek berpakaian hitam itu tinggi kurus dan biarpun mukanya nampak tampan akan tetapi muka itu seperti kedok mati saja. Juga nenek berpakaian hitam yang cantik itu mukanya seperti mayat. Pakaian hitam mereka membuat kepucatan wajah mereka semakin nyata dan Pek Eng merasa bulu tengkuknya meremang.

Akan tetapi, karena ia tahu bahwa melawan dua orang kakek nenek yang berada di kereta ia takkan menang, maka ia lalu nekat dan cepat ia menubruk ke depan dan menerjang nenek pakaian hitam itu. Kalau ia dapat merampas seekor kuda, ia akan melarikan diri, pikirnya dan diantara kakek dan nenek berpakaian hitam itu, ia memilih Si Nenek. Serangannya cepat sekali dan ia mengerahkan kedua tangannya ke arah dada nenek itu.

Pek Eng tidak mengenal kedua orang itu dan kalau ia mengenal mereka tentu ia tidak akan nekat menyerang nenek itu. Kakek dan nenek itu bukan lain adalah suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan! Dalam hal ilmu kepandaian silat, sepasang iblis ini tidak kalah lihainya dibandingkan Lam-hai Siang-mo!

Melihat serangan gadis itu dan mendengar teriakan Siangkoan Leng, nenek yang bukan lain adalah Tong Ci Ki itu cepat menyambutnya. Iapun menangkis dengan dorongan kedua tangannya dengan gerakan memutar dan akibatnya, tubuh Pek Eng terpelanting dan terpaksa ia mundur kembali sambil terhuyung karena ia harus mempertahankan diri agar tidak sampai jatuh!

Kagetlah Pek Eng dan dengan mata terbalalak ia memandang kepada kakek dan nenek yang berdiri di depannya itu, Kwee Siong, kakek berpakaian hitam itu, mengeluarkan suara mendengus akan tetapi wajahnya sama sekali tidak bergerak.

Pek Eng membalikkan tubuhnya dan ia melihat Lam-hai Siang-mo sudah keluar dari kereta dan kini juga berdiri menghadangnya. Ia telah di kepung dua pasang kakek dan nenek yang amat lihai itu! Pikirannya bekerja cepat dan iapun tersenyum menghadapi Siangkoan Leng dan Ma Kim Li.

“Apalagi perlunya kalian menahan aku? Sudah kuceritakan dengan terus terang bahwa aku tidak tahu dimana adanya Kakakku Pek Han Siong, akan tetapi aku akan mencarinya dan akan kusampaikan kepadanya bahwa kalian mencarinya karena urusan penting. Kenapa kalian masih belum mau melepaskan aku, dan siapa pula kakek dan nenek ini yang juga menghalangi aku pergi?”

Mendengar disebutnya nama Pek Han Siong, suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan itu terkejut, dan juga girang sekali.

“Ah, Nona kecil. Kakakkmu bernama Pek Han Siong, apakah Sin-tong putera Ketua Pek-sim-pang?” tanya Kwee Siong.

Diam-diam Pek Eng merasa semakin heran. Agaknya dua orang yang baru datang inipun tertarik sekali mendengar nama kakaknya! Apakah mereka juga termasuk orang yang dahulu pernah memperebutkan Sin-tong, kakaknya yang dianggap anak ajaib oleh para pendeta Lama di Tibet itu?

Ia membalikkan tubuhnya dan menghadapi Kwee Siong dan Tong Ci Ki.
“Benar.” Katanya, “Apakah kalian juga ingin bertemu dengan Kakak Pek Han Siong?”

“Orang she Kwee!” terdengar Siangkoan Leng berseru. “Ingat, ia adalah tawanan kami!”

Mendengar ucapan itu, Pek Eng mendapat akal dan iapun melangkah maju mendekati kakek dan nenek yang baru datang.

“Bohong! Aku bukan tawanannya, buktinya sekarang aku bebas, dan akulah yang menentukan dengan siapa Kakakku dapat bertemu. Kakakku adalah seorang gagah perkasa yang sakti, oleh karena itu tidak dapat bertemu dengan orang sembarangan. Siapa diantara kalian yang lebih lihai, barulah pantas kupertemukan dengan Kakakku!”

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar