*

*

Ads

Selasa, 22 Mei 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 141

Sungai Yang-ce merupakan sungai ke dua sesudah Huang-go yang mengalir jauh dari barat ke timur, melalui puluhan ribu li dan makin lama menjadi semakin lebar. Air sungai Yang-ce membuat lembah Yang-ce, apalagi di bagian timur, menjadi daerah yang subur sekali. Akan tetapi air sungai itu pula yang kadang-kadang mengamuk dengan hebat, membanjiri sawah ladang dan perkampungan merenggut banyak nyawa manusia dan menghancurkan banyak pertanian.

Di dataran tinggi Yunan, diantara bukit-bukit yang tak terhitung banyaknya, Sungai Yang-ce mengalir dengan tenang dan indahnya. Airnya masih belum begitu keruh, juga belum terlalu banyak, melalui celah-celah antara bukit, kadang-kadang melalui jurang-jurang yang amat curam.

Di lereng sebuah bukit di Lembah Yang-ce inilah tinggal Lam-hai Giam-lo yang terkenal sebagai seorang diantara datuk-datuk besar kaum sesat. Seperti telah kita ketahui dibagian depan kisah ini. Lam-hai Giam-lo pernah terpaksa harus melarikan diri dan bersembunyi, menyamar sebagai seorang hwesio di dalam kuil Siauw-lim-si karena dia dikejar-kejar dua orang musuhnya yang amat ditakuti, yaitu Ciang Su Kiat Si Pendekar Buntung lengan kirinya dan Kok Hui Lian.

Kedua orang yang pernah nyaris dibunuhnya itu kemudian muncul dengan kepandaian yang mengejutkan dan beberapa kali hampir saja Lam-hai Giam-lo tewas di tangan mereka. Namun, penyamarannya di kuil itu ketahuan oleh sepasang pendekar Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu sehingga terpaksa dia melarikan diri lagi.

Lam-hai Giam-lo adalah seorang datuk sesat yang banyak pengalamannya di dunia kang-ouw, dan memiliki banyak sahabat di dunia golongan hitam. Maka diapun cepat dapat berhubungan bahkan menarik kaum sesat untuk bersekutu dengan dia. Setelah mengumpulkan banyak harta dari hasi pencurian-pencurian yang dilakukannya sendiri di dalam gedung-gedung para bangsawan di kota raja, Lam-hai Giam-lo lalu tinggal di lembah Yang-ce-kiang ini, dimana dia membangun sebuah rumah besar dan hidup sebagai seorang hartawan dan juga pimpinan golongan hitam.

Banyak sudah orang-orang golongan sesat yang berkepandaian tinggi bergabung dengannya, bahkan menjadi pembantu-pembantunya. Diantara mereka itu terdapat suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan, suami isteri Lam-hai Siang-mo, bahkan juga Min-san Mo-ko dan Ji Sun Bi yang amat lihai telah menjadi pembantunya pula. Kemudian bahkan Sim Ki Liong yang pernah menyelundup menjadi murid Pendekar Sadis, dibawa oleh Ji Sun Bi dan menggabungkan diri dengan Lam-hai Giam-lo, menjadi tangan kanannya yang dipercaya!

Belum lagi datuk-datuk lain, termasuk tokoh-tokoh perkumpulan Pek-lian-kauw. Pengaruh Lam-hai Giam-lo semakin luas bahkan dia mulai mempengaruhi para pembesar di daerah selatan karena setelah menjadi seorang yang menuntut disebut “bengcu” (pemimpin rakyat), kakek ini bercita-cita untuk menentang kekuasaan kerajaan!

Keinginan manusia untuk memperbesar dirinya menambah semua kemuliaan dan kesenangan dirinya, merupakan penyakit yang tak pernah sembuh sampai manusia mati. Keinginan untuk menjadi lebih daripada keadaan sekarang, merupakan nafsu yang menghanyutkan, makin dituruti semakin membesar dan semakin tamak.

Seperti orang kehausan minum-minuman yang terlampau manis, makin banyak minum menjadi semakin haus. Sekali membiarkan nafsu mencengkeram batin, nafsu keinginan memperoleh segala yang belum dimilikinya, maka penyakit itu akan mendarah daging dan terus mencengkeramnya sampai akhir hayat! Kecuali kalau ada kesadaran yang timbul dari pengamatan waspada sehingga kita melihat akan kenyataan diri sendiri, dan kesadaran ini akan secara seketika membuang jauh-jauh nafsu keinginan atau penyakit itu.

Bukan berarti kita lalu menjadi mati semangat atau lumpuh, bukan berarti menjadi bosan hidup dan seperti patung atau seperti pohon saja, menerima segala sesuatu tanpa ikhtiar. Ikhtiar untuk memelihara diri adalah wajib, menjaga diri, menempatkan diri, sebaiknya, mencari kebutuhan hidup ini, sandang pangan sewajarnya. Menikmati kesenangan hidup adalah hak kita, karena kita diperlengkapi alat-alat yang sempurna untuk menikmati hidup melalui panca indrya kita. Akan tetapi, ini bukan berarti kita mengejar kesenangan itu, bukan berarti kita dicengkeram penyakit nafsu keinginan mengejar segala keadaan yang belum kita miliki.

Nafsu keinginan mengejar kesenangan ini dapat saja bersembunyi di balik kata-kata yang muluk dan indah, misalnya gagasan-gagasan, cita-cita, harapan-harapan yang dapat saja kita pulas sehingga warnanya menjadi putih dan menamakannya cita-cita mulia, ide-ide sempurna, dan sebagainya.

Namun, kesemuanya itu tidak ada bedanya dengan ambisi, keinginan untuk mencapai suatu keadaan atau memperoleh sesuatu yang kita anggap akan lebih menyenangkan daripada yang ada sekarang ini! Penyakit ini, yaitu nafsu keinginan mengejar sesuatu, dapat saja menimbulkan penyelewengan-penyelewengan. Kalau yang dikejar itu kesenangan melalui uang, maka dapat menimbulkan pencurian, penipuan, kecurangan, korupsi dan sebagainya lagi. Kalau yang dikejar itu pahala batiniah, maka akan muncul kemunafikan, kepura-puraan. Kalau yang dikejar itu kedudukan, akan timbul persaingan. Kalau yang di kejar itu kesenangan melalui sex, akan timbul pelacuran, perkosaan, perjinaan dan sebagainya.






Gejala yang nampak pada orang yang dihinggapi penyakit itu adalah kekecewaan yang terus menerus karena dia tidak akan pernah merasa puas. Kepuasan yang dirasakannya hanyalah sekelumit, selewatnya seperti angin lalu saja karena kepuasan sekelumit itu segera sirna lagi di buru penyakit yang ingin mengejar lebih lagi.

Orang yang berpenyakit seperti ini akan selalu mengejar yang tidak ada, sehingga tidak akan mampu menikmati apa yang ada. Pandang mata batinnya tak pernah ditujukan untuk mengamati keindahan apa yang ada, melainkan menerawang selalu ke arah bayangan apa yang dinginkannya, yang selalu membesar, membengkak, dan menjauh. Berbahagialah orang yang bebas dari penyakit ini, dan hidup di saat ini, menikmati apa yang ada dengan segala kewajarannya.

Lam-hai Giam-lo, murid mendiang Lam-kwi-ong, seorang diantara datuk yang terkenal dengan sebutan Empat Setan, kini bercita-cita untuk menjadi pimpinan golongan sesat, membangun dunia hitam kembali seperti yang pernah dilakukan Cap-sha-kwi (Tiga Belas Setan) yang kemudian kekuasaannya di rebut oleh Raja Iblis dan Ratu Iblis (baca Asmara Berdarah). Dia ingin mengikuti jejak Empat Setan, yaitu empat orang datuk sesat di empat penjuru, dan dengan kekuatan baru dari kaum sesat ini dia bercita-cita untuk bersekutu dengan para pemberontak, menjatuhkan kaisar dan cita-citanya yang paling muluk adalah mengangkat dirinya sebagai kaisar baru

Untuk memperluas kekuasaan dan pengaruhnya, Lam-hai Giam-lo mengutus para datuk yang menjadi pembantunya untuk membujuk tokoh-tokoh dunia kang-ouw agar suka datang menggabungkan diri atau setidaknya mengakui kepemimpinannya. Dia tidak sayang menghamburkan uang untuk menarik hati para tokoh itu, seperti yang dilakukan oleh dua pasang suami isteri iblis dari selatan dengan hasil baik.

Para utusan lainnya belum kembali ketika Sepasang Iblis Laut Selatan dan suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan tiba bersama Pek Eng di tempat tinggal Lam-hai Giam-lo. Pek Eng diam-diam memperhatikan keadaan rumah besar itu dan sekelilingnya. Rumah itu berdiri di lereng bukit, di tepi Sungai Yang-ce-kiang dengan aman karena berada jauh diatas sungai itu sehingga tidak khawatir dilanda banjir.

Rumah besar itu berdiri sendiri tanpa tetangga, di tengah hutan dan pemandangan di daerah itu sungguh indah. Ketika dengan halus namun memerintah para penawannya menyuruh ia turun dan mengikuti mereka memasuki beranda rumah, Pek Eng melihat betapa rumah itu dilengkapi dengan perabot-perabot rumah yang serba mewah, dan ketika mereka memasuki pintu gerbang depan tadi, ia melihat belasan orang penjaga yang nampaknya galak dan kuat, akan tetapi yang segera memberi hormat ketika dua pasang suami isteri iblis itu masuk.

Kini, di beranda depan mereka disambut oleh lima orang gadis pelayan yang muda-muda dan cantik-cantik. Dian-diam Pek Eng merasa kagum dan heran. Melihat para penjaga itu, perabot rumah yang mewah, dan para pelayan ini, sepantasnya orang yang berjuluk Lam-hai Giam-lo adalah seorang bangsawan tinggi, seorang pembesar tinggi atau seorang yang kaya raya!

“Ngo-wi, (Anda Berlima) diminta untuk menanti Bengcu di kamar tunggu.”

Kata seorang diantara lima gadis pelayan itu. Lam-hai Giam-lo memang cerdik. Dia menyuruh semua pelayan dan anak buahnya untuk menyebut bengcu (pemimpin rakyat) kepadanya agar sebutan ini melekat pada dirinya dan siappun akan menganggap dia seorang pemimpin besar rakyat yang kelak tentu saja pantas kalau menjadi kaisar apabila gerakannya berhasil.

Dua pasang suami isteri iblis itu tidak merasa heran mendengar ucapan gadis pelayan itu, akan tetapi Pek Eng merasa kagum. Hebat juga orang yang menjadi pimpinan itu, lebih dahulu sudah mengetahui akan kedatangan mereka berlima. Ia tidak tahu bahwa memang Lam-hai Giam-lo memasang banyak sekali mata-mata dan penyelidik sehingga begitu memasuki daerah itu, mereka berlima telah diketahui orang dan telah dilaporkan kepada Lam-hai Giam-lo bahwa dua pasang suami isteri iblis yang menjadi pembantu-pembantunya itu datang berkunjung bersama seorang gadis yang tidak dikenal.

Ruangan tamu itu luas sekali. Terdapat banyak kursi disitu, mepet di dinding yang dihiasi lukisan-lukisan dan tulisan-tulisan indah. Di sudut ruangan itu terdapat pot-pot tanaman yang menyegarkan. Ruangan tamu itu tentu akan dapat menampung ratusan orang tamu.

Dua orang pelayan wanita keluar membawa arak dan air teh, dihidangkan di atas meja depan lima orang tamu yang menunggu itu. Dari gerakan mereka yang cekatan dan gesit, Pek Eng dapat menduga bahwa para pelayan itu tentu memiliki ilmu silat yang cukup baik. Mereka menghidangkan minuman tanpa kata, lalu pergi lagi meninggalkan ruangan yang kembali menjadi sunyi. Tak lama kemudian, muncul seorang pelayan lain di pintu tembusan dan berseru dengan suaranya yang halus.

“Bengcu datang!”

Dan dengan sikap hormat pelayan itu berdiri di samping sambil membungkuk. Dua pasang suami isteri bengkit berdiri dan melihat ini tanpa disuruh lagi Pek Eng juga bangkit berdiri. Bukan sekedar ikut menghormat, akan tetapi terutama sekali untuk dapat melihat dengan jelas bagaimana keadaan orang yang agaknya amat penting dan berkuasa itu.

Ketika Lam-hai Giam-lo muncul di pintu tembusan itu, Pek Eng memandang penuh perhatian dan ia tidak dapat menahan ketawanya karena hatinya merasa geli sekali, seperti digelitik. Orang yang disebut Malaikat Elmaut Laut Selatan itu, yang demikian ditakuti dan dihormati oleh orang-orang sakti seperti dua pasang suami isteri iblis ini, yang memiliki rumah besar seperti istana pembesar tinggi, ternyata hanyalah seorang kakek yang lucu sekali.

Usianya tentu kurang lebih enam puluh tahun, mukanya lucu seperti muka kuda, dan matanya sipit seperti terpejam telinganya berdaun lebar dan tubuhnya tinggi kurus, ditambah lagi ketika melangkah, kakinya agak terpincang! Melihat bentuk wajah dan tubuhnya orang ini lebih pantas menjadi seorang pengemis yang cacat tubuhnya. Akan tetapi pakaiannya mewah sekali, berkembang-kembang, dan kepalanya yang rambut hanya sedikit itu memaki sebuah topi sutera yang berhias bulu burung amat indahnya.

Melihat gadis yang tidak dikenalnya itu tertawa walaupun ditahannya, Lam hai Giam-lo yang sudah berjalan menghampiri itu tiba-tiba menggerakkan tangan kanannya dan… lengan itu mulur dan sekali jari tangannya bergerak, dia sudah menangkap leher baju Pek Eng di bagian tengkuk dan gadis itu tiba-tiba merasa betapa tubuhnya terangkat ke atas!

Pek Eng yang tadinya tertawa geli itu terkejut bukan main. Orang yang wajahnya seperti kuda itu dapat menangkapnya semudah itu, hanya ibu jari dan jari telunjuk menjepit leher bajunya di tengkuk dan mengangkatnya, padahal orang itu berdiri dalam jarak dua meter darinya. Lengan itu dapat mulur panjang!

“Mengapa engkau tertawa?”

Terdengar suara Lam-hai Giam-lo dan Pek Eng yang sudah terkejut itu menjadi semakin ngeri mendengar suara kakek ini seperti ringkik kuda, pecah dan parau!

Pek Eng memang cerdik. Walaupun ia terkejut bukan main dan merasa ngeri ketika tubuhnya yang diangkat itu kini didekatkan sehingga ia dapat memandang wajah aneh itu dari jarak dekat, namun ia dapat menekan rasa takutnya dan ia malah tesenyum.

“Kakek yang baik, engkaukah bengcu yang dijuluki Lam-hai Giam-lo? Ketika dua pasang suami isteri iblis itu membawaku kesini dan mendengar namamu, aku merasa takut setengah mati, mengira bahwa sesuai dengan julukanmu, engkau tentulah seorang kakek yang bertubuh raksasa dan berwajah menakutkan dan kejam sekali. Akan tetapi, apa yang kulihat? Engkau sama sekali tidak menakutkan, tidak kelihatan kejam, bahkan kelihatan berhati baik walaupun berbeda dengan orang-orang biasa, aku tertawa karena hatiku lega.”

Mendegar ini Lam-hai Giam-lo tersenyum dan lenyaplah sinar mencorong dari matanya. Kalau saja Pek Eng keliru bicara sedikit saja, tentu sekali banting gadis itu akan tewas seketika! Lengan itu mulur kembali dan Pek Eng mendapatkan dirinya diturunkan di tempat tadi, diantara dua pasang suami istri yang masih berdiri dengan sikap hormat itu.

“Siapa yang membawa gadis ini kesini dan siapa ia?” Suaranya yang parau dan pecah itu pendek-pendek saja namun mengandung wibawa menakutkan.

Kini Siangkoan Leng yang menjawab dan sungguh aneh sekali terdengar oleh Pek Eng karena suara kakek yang amat lihai ini terdengar agak gemetar dan sikapnya seperti orang yang ketakutan.

“Kami berdua yang membawanya kesini. Harap Bengcu ketahui bahwa gadis ini adalah adik dari Pek Han Siong, dan ia bernama Pek Eng….”

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar