*

*

Ads

Selasa, 22 Mei 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 142

“Aku tidak mengenai dan tidak peduli akan nama-nama itu!”

Lam-hai Giam-lo memotong singkat dan ketus. Memang, beberapa tahun yang lalu dia adalah seorang laki-laki yang memiliki kelemahan terhadap wania muda dan cantik, akan tetapi sekarang, setelah dia memiliki ambisi yang lebih tinggi dan setiap hari dikelilingi para pelayan wanita yang muda dan cantik dan setiap saat siap untuk melayani dan menyenangkan hatinya, dia tidak tertarik kepada Pek Eng walaupun gadis ini cukup muda dan cukup cantik manis.

Mendenganr ucapan ini dan melihat sikap pemimpin mereka yang nampak kurang senang, Siangkoan Leng menjadi semakin gelisah. Isterinya, Ma Kim Li lalu menyambung untuk membantu suaminya.

“Bengcu, tadinya kami juga hendak membunuh gadis ini, akan tetapi kami dicegah oleh suami isteri Guha Iblis, dan mereka menganjurkan agar gadis ini kami haturkan kepada Bengcu.”

Dengan matanya yang sipit akan tetapi kadang-kadang dari garis yang sempit itu keluar sinar mencorong seperti mata kucing di kegelapan, Lam-hai Giam-lo kini memandang kepada suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan. Tanpa bertanyapun sikapnya sudah jelas, minta penjelasan dari meraka.

Tong Ci Ki mewakili suaminya berkata,
“Harap Bengcu tidak mendengarkan ucapan Ma Kim Li yang hendak menimpakan kesalahan kepada kami. Adalah menjadi keinginan kami berempat bahwa gadis ini dihadapkan kepada Bengcu, gadis ini dihadapkan kepada Bengcu, walaupun yang menangkapnya adalah Lam-hai Siang-mo. Kami mengira bahwa Bengcu tentu akan tertarik, mengingat bahwa gadis ini adalah adik dari Pek Han Siong yang terkenal sebagai Sintong yang pernah diperebutkan, bahkan dicari oleh para pendeta Lama di Tibet.”

Lam-hai Giam-lo mengerukan alisnya dan sepasang matanya agak melebar sehingga makin nampak biji mata yang mengeluarkan sinar kehijauan itu,

“Kita bukan anak-anak kecil yang mempercayai ketahyulan para pendeta Lama. Kita memiliki cita-cita yang lebih tinggi! Aku tidak peduli dengan segala macam Sintong!”

“Bagus sekali!” Tiba-tiba Pek Eng berseru sambil mengangkat kedua tangan ke atas. “Sudah kuduga bahwa Bengcu adalah seorang yang bijaksana, pandai dan tidak tahyul atau bodoh seperti dua pasang suami isteri iblis ini! Kakakku Pek Han Siong adalah orang biasa, bagaimana disebut Sin-tong? Sin-tong atau orang-orang besar lainnya adalah orang-orang yang diciptakan Tuhan untuk menjadi lain daripada orang biasa, maka tentu juga memiliki kelainan dalam bentuknya. Akan tetapi Kakakku orang biasa saja pemuda biasa yang tida bedanya dengan orang lain. Berbeda dengan Bengcu misalnya Bengcu telah diciptakan oleh Tuhan dalam bentuk yang lain dari pada manusia umumnya, oleh karena itu dapat menjadi Bengcu, bahkan pantas untuk menjadi kaisar sekalipun!”

Gadis ini memang asal bicara saja untuk menyenangkan hati pemimpin kaum sesat yang mengerikan itu, juga agar kakek itu tidak tertarik kepada kakaknya. Iapun kagum sekali akan kepandaian Lam-hai Giam-lo yang luar biasa. Walaupun belum melihat seluruh kepandaiannya, baru melihat cara kakek itu tadi menangkapnya saja sudah membuktikan bahwa kakek itu memang sakti bukan main. Juga sikap empat orang datuk itu membuktikan bahwa Bengcu itu amat ditakuti, maka dapat dibayangkan betapa hebat kepandaiannya. Mendadak saja timbul suatu keinginan di hati Pek Eng. Kalau saja ia dapat menjadi murid kakek sakti ini!

Ucapan yang hanya ngawur itu ternyata amat mengena di hati Lam-hai Giam-lo. Dia amat terkesan ketika mendengar bahwa gadis itu menganggap dia seorang manusia luar biasa, yang secara istimewa diciptakan Tuhan untuk menjadi kaisar!

“Nona kecil, siapakah namamu tadi?”

Tiba-tiba Bengcu itu bertanya, suaranya terdengar ramah sehingga dua pasang suami isteri itu terkejut, heran dan juga merasa lega. Suara itu menunjukkan bahwa pemimpin mereka itu tidak marah lagi.

“Bengcu, namaku adalah Pek Eng.”

Pek Eng, keberanianmu menyenangkan hatiku. Sekarang engkau telah berada disini, sebelum engkau kubebaskan dan boleh pergi, engkau dapat mengajukan sebuah permintaan kepadaku, tentu akan kupenuhi.”

Mendengar ini, dua pasang suami isteri itu terkejut dan heran. Mereka memang merasa lega, akan tetapi terheran-heran karena belum pernah mereka melihat Lam-hai Giam-lo begini ramah dan pemurah terhadap seorang yang sama sekali asing, kecuali terhadap para pembantunya.






Pertanyaan yang tidak diduga-duga oleh Pek Eng itu membuat gadis ini merasa terkejut dan heran pula. Akan tetapi tanpa ragu-ragu lagi iapun lalu menjawab,

“Bengcu, aku percaya sepenuh hatiku bahwa seorang yang hebat seperti engkau ini, seorang Bengcu yang berkedudukan tinggi….”

“…… juga seorang calon kaisar …..” kata bengcu itu dengan gembira.

Tanpa memperlihatkan keheranannya karena ia kini mengerti bahwa kebaikan sikap bengcu itu adalah karena kata-katanya tadi, maka iapun melanjutkan,

“…..ya, sebagai seorang calon kaisar, tentu engkau akan memegang teguh kata-kata yang sudah dikeluarkan. Bengcu, ada sebuah permintaanku yang kuajukan kepadamu, yaitu, aku minta agar engkau menerima aku menjadi muridmu!”

Kembali dua pasang suami isteri iblis itu terkejut melihat keberanian anak perempuan itu. Sudah diberi kebebasan sudah untung sekali anak ini, pikir mereka. Masa masih minta lagi agar diterima sebagai murid? Mereka tahu bahwa bengcu itu tidak pernah menerima murid.

Kini sepasang mata yang sipit itu membuka dan mulut yang bentuknya maju ke depan seperti mulut kuda itupun mengeluarkan suara ketawa yang mirip bunyi ringkik seekor kuda.

“Heih-he-he! Engkau memang anak yang pintar sekali, Eng Eng! Mulai sekarang, engkau adalah muridku dan engkau tidak akan kecewa karena akan kuturunkan ilmu-ilmu pilihan untuk kau pelajari, bahkan engkau kuanggap sebagai puteriku sendiri!”

“Teriam kasih atas kebaikan hati Bengcu!” kata Pek Eng dan iapun cepat memberi hormat.

“Ha-ha-ha, peruntungan bagus sekali, Nona!” kata Siangkoan Leng, gembira juga karena pemimpin itu tidak jadi marah kepadanya.

“Engkau membuat kami merasa iri, Nona.” Kata pula Kwee Sing. “Akan tetapi kenapa engkau tidak menyebut Suhu atau Ayah kepada Bengcu?”

Dengan sikap bersungguh-sungguh Pek Eng berkata,
“Bengcu akan merasa lebih senang kalau dipanggil Bengcu, karena memang dia seorang pimimpin besar rakyat yang kelak akan menjadi kaisar. Kalau kupanggil Ayah, aku sendiri masih mempunyai seorang Ayah kandung, jadi seolah-olah membandingkan dia sederajat dengan orang lain. Kalau Suhu, kiranya tidak patut seorang calon kaisar disebut Suhu! Bukankah begitu, Bengcu?”

Lam-hai Giam-lo mengangguk-angguk dan kembali dia berkata kepada dua pasang suami isteri itu.

“Kalian berempat boleh memberi laporan sekarang. Dan engkau, Eng Eng, engkau duduk disini di samping Ayah!”

Dua pasang suami isteri iblis itu lalu memberi laporan tentang hasil tugas mereka dan Lam-hai Giam-lo mengangguk-angguk gembira ketika mendengar betapa meraka berhasil membujuk orang-orang kang-ouw untuk mengakuinya sebagai bengcu. Setelah mereka selesai dengan laporan mereka, diapun berkata,

“Kalian tunggu disini. Yang lain-lain belum pulang dari tugas, dan pada pertengahan bulan nanti, di waktu bulan purnama, akan berkunjung orang-orang penting. Buatlah persiapan untuk sebuah pesta besar dan kalau mereka datang semua, sedikitnya akan hadir lima belas orang. Mari, Eng Eng, mari ikut aku ke kebun belakang, aku sudah ingin sekali menguji kepandaianmu agar aku tahu sampai dimana tingkatmu.”

Gadis itu mengikuti kakek itu dengan hati girang. Tak disangkanya bahwa nasibnya berubah demikian baiknya. Setelah menjadi tawanan Lam-hai Siang-mo yang nyaris membunuhnya dan dibawa kepada datuk besar pemimpin para tokoh sesat yang amat lihai, ia tidak diganggu, tidak dibunuh bahkan diangkat menjadi murid dan anak angkat!

Kebun itu luas sekali, ditanami pohon-pohon buah, sayur-sayuran, dan juga sebagian dijadikan taman bunga. Di tengah kebun itu terdapat petak rumput yang luas dan memang enak sekali dipakai untuk berlatih silat. Setelah tiba disitu, Lam-hai Giam-lo duduk bersila di atas batu hitam yang bentuknya seperti piring, dan berkata,

“Nah, sekarang perlihatkan kepandaianmu!”

“Bengcu, aku hanya mempelajari ilmu silat yang dangkal saja, harap jangan diketawai dan suka memberi petunjuk!” kata Pek Eng, sikapnya tetap lincah namun menghormat tidak berlebihan, nampak sikapnya itu akrab seolah-olah memang sudah bertahun-tahun ia menjadi murid dan anak angkat iblis itu.

Pek Eng lalu bersilat dan ia mengeluarkan semua kepandaiannya, mengerahkan tenaganya sehingga tubuhnya berkelebatan cepat sekali, pukulan dan tendangan kakinya mengeluarkan suara angin menyambar-nyambar. Setelah ia selesai bersilat tangan kosong, lalu ia mengambil ranting dan mempergunakannya sebagai pedang, bersilat pedang.

Lam-hai Giam-lo mengangguk-angguk,
”Hemm, ilmu silatmu sudah lumayan, akan tetapi masih jauh kalau dibandingkan dengan tingkat para pembantuku. Aku akan menurunkan beberapa ilmu silat pilihanku saja dan kalau engkau sudah menguasai ilmu-ilmu itu, kiranya para pembantuku sendiri akan sukar untuk mengalahkanmu.”

“Bengcu, menghadapi seorang diantara dua pasang suami isteri itu saja aku tidak mampu berbuat banyak!”

“Heh-heh, tentu saja dalam keadaanmu sekarang. Akan tetapi, tunggu paling lama setahun saja engkau sudah akan mampu mengalahkan seorang diantara mereka. Eng Eng, sekarang ceritakan, megapa engkau meninggalkan rumah orang tuamu sampai engkau tertawan oleh Lam-hai Siang-mo?”

Ditanya demikian secara tiba-tiba Pek Eng terkejut. Akan tetapi ia tidak mejadi gugup, bahkan tiba-tiba saja ia mampu memaksa perasaanya sehingga kedua matanya menjadi basah denga air mata! Tidak sukar baginya untuk membuat hatinya berduka. Begitu ia mengingat akan keputusan orang tuanya bahwa ia dijodohkan dengan Song Bu Hok, hatinya seperti ditusuk dan air matapun amat mudah keluar membasahi matanya.

“Eh engkau menangis?” tanya Lam-hai Giam-lo.

Pertanyaan ini mendorong keluar air mata Pek Eng semakin banyak lagi dan sekali ini ia benar-benar menangis, bukan bersandiwara lagi karena ia teringat betapa usahanya mencari Pek Han Siong dan juga Hay Hay mengalami kegagalan dan ia teringat akan pertunangan yang tidak disetujuinya itu sehingga ia tidak ingin kembali ke rumah orang tuanya.

“Bengcu,” katanya setelah ia dapat menahan tangisnya, memandang kepada kakek itu dengan mata agak kemerahan dan kedua pipi basah.

Kini, setelah ia merasa menjadi murid kakek itu, wajah yang bentuknya aneh menakutkan itu tidak lagi kelihatan menyeramkan.

“Sesungguhnya, aku meninggalkan rumah orang tuaku tanpa pamit.”

Kakek itu tertawa, agaknya senang mendengar ulah muridnya. Bagi dia, sikap ugal-ugalan itu malah menarik dan menyenangkan!

“Kenapa engkau minggat?”

“Aku dipaksa untuk dijodohkan dengan seorang pemuda yang tidak kusukai, orang tuaku telah menerima lamaran keluarga Song. Aku lalu lari meninggalkan rumah untuk mencari Kakak kandungku yang bernama Pek Han Siong.”

“Dimana adanya Kakamu itu?”

Pek Eng sudah merasa menyesal menyebut nama kakanya. Kalau sampai gurunya ini tertarik pula kepada Sintong, jangan-jangan kakaknya akan terancam bahaya.

“Aku tidak tahu, Bengcu. Aku mencarinya dengan ngawur saja. Akan tetapi….” Ia teringat akan suatu kesempatan yang baik dan juga untuk mengalihkan percakapan, “….maukah Bengcu mendatangi keluarga Song itu dan membatalkan perjodohan itu? Sebagai guru dan Ayah angkatku, tentu Bengcu berhak mengurus diriku dan membatalkan ikatan jodoh itu!”

“Dimana tinggalnya keluarga Song itu?”

“Ayah pemuda itu adalah Ketua Kan-jiu-pang di Cin-an, bernama Song Un Tek dan pemuda itu bernama Song Bu Hok. Bengcu, marilah kita kesana dan kau batalkan ikatan jodoh itu!”

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar