*

*

Ads

Rabu, 23 Mei 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 150

Mendengar kata-kata yang demikian halus penuh menghibur, Bi Lian kembali menangis.

“Guruku…. Kedua Guruku…. Mereka telah meninggal dunia…”

“Hal itu tidak dapat diperbaiki lagi, Nona. Marilah, bangkitlah dan biarkan aku membimbingmu…” kata pula Kulana dengan sikap lembut dan Bi Lian merasa betapa tangannya digandeng dengan halus oleh tangan pria itu.

Mendadak iapun teringat bahwa kematian kedua orang gurunya adalah gara-gara pinangan orang ini, maka teringat pulalah ia bahwa orang ini pandai menggunakan sihir. Iapun meronta dan melepaskan tangannya, melompat menjauh.

“Tidak, jangan sentuh aku!” teriaknya.

Di dalam hatinya, memang Bi Lian tidak pernah dekat atau suka kepada kaum sesat, bahkan sering kali ia menyesal melihat betapa dua orang gurunya adalah datuk-datuk sesat. Selama ini, biarpun ia bersikap keras dan ganas, namun belum pernah ia melakukan kejahatan, dan julukannya sebagai Tiat-sim Sina-li (Dewi Berhati Besi) bukan karena kejahatannya melainkan karena kekerasan hatinya menghadapi lawan yang biasanya terdiri dari orang-orang jahat.

Kalau ia masih mau diajak bergaul dengan dunia hitam, hanyalah karena terpaksa oleh adanya dua orang gurunya. Kini, setelah kedua orang gurunya meninggal dunia, ia merasa terlepas sama sekali dari golongan hitam dan begitu ia meloncat, ia kini berdiri dengan sikap menentang semua orang yang kini memandangnya.

“Nona Cu,” kata Kulana sambil mengerahkan kekuatan sihirnya, suaranya lemah lembut dan sikapnya ramah. “Kedua orang Gurumu menerima aku sebagai calon suamimu, karena itu aku bukanlah orang lain bagimu. Akulah yang akan mengurus jenazah kedua orang Gurumu, dan akulah yang akan melindungimu, membahagiakanmu…”

“Cukup!” Bi Lian membentak sambil mengerahkan kekuatan khi-kangnya untuk melawan pengaruh suara halus itu. “Justeru karena ulahmu itu, justeru karena pinanganmu, kedua Guruku saling serang sampai keduanya tewas. Engkaulah yang telah membunuh meraka! Untuk itu, engkau harus menebusnya dengan nyawamu!”

Berkata demikian, Bi Lian udah meloncat ke depan dan menyerang Kulana dengan hebatnya. Kedua tangaan gadis itu mengeluarkan uap putih dan karena ia mengerahkan tenaga sin-kang luar biasa, kedua tangan yang amat berbahaya itu menjadi semakin menggiriskan karena dapat mulur panjang.

Hampir saja pelipis kiri Kulana terkena cengkeraman jari tangannya kalau saja orang Birma itu sambil berjungkir balik dan pada saat itu Lam-hai Giam-lo sudah meloncat ke depan menghadapi Bi Lian. Wajahnya nampak tidak senang dan alisnya berkerut.

“Sumoi, sikapmu ini sungguh tidak patut! Saudara Kulana bermaksud baik, kenapa engkau malah menyerangnya? Apakah engkau ingin membikin aku malu? Ingat, setelah kedua orang Susiok meninggal dunia, akulah yang menjadi pengganti mereka, sebagai pelindungmu dan aku yang berhak mengurusmu. Hentikan sikapmu itu dan berksikaplah yang baik terhadap Saudara Kulana!”

Akan tetapi, sepasang mata Bi Lian mencorong marah karena ia dapat menduga bahwa tentu usul orang inilah yang membuat kedua orang gurunya menerima pinangan Kulana. Juga, kedua orang gurunya bahkan melarang ia membunuh dua pasang suami isteri yang sejak dahulu dianggap sebagai biang keladi kematian ayah ibunya. Sambil bertolak pinggang Bi Lian menghadapi Lam-hai Giam-lo dan berkata, suaranya lantang karena ia masih mengerahkan kekuatan ho-kang yang dipelajarinya dari mendiang Tung Hek Kwi untuk menolak pengaruh sihir Kulana. Suaranya melengking nyaring.

“Lam-hai Giam-lo! Sejak dahulu, tidak ada hubungan apapun diantara kita! Kalau aku mau menerimamu sebagai Suheng, hal itu adalah karena permintaan kedua orang Guruku. Akan tetapi, mereka kini telah tewas disini, gara-gara ulah orang bernama Kulana ini, jangan engkau mencampuri, karena kau bukanlah bawahanmu, dan engkaupun bukan pemimpinku!”

“Bocah sombong! Aku adalah Bengcu!” bentak Lam-hai Gam-lo, marah sekali karena merasa dipandang rendah.

“Sudahlah, Bengcu, biar aku yang mengurus calon isteriku ini!” kata Kulana dan orang inipun segera meloncat ke depan untuk menangkap Bi Lian.

Gadis ini mengelak dan membalas dengan tendangan yang dapat pula dielakkan Kulana. Mereka sudah saling serang dengan serunya. Bi Lian berusaha merobohkan, akan tetapi Kulana berusaha menangkapnya. Melihat betapa lincah dan gesitnya gerakan Bi Lian, Lam-hai Giam-lo meloncat dan membantu.

“Akan kubantu engkau menangkap calon mempelaimu, Saudara Kulana!” katanya.






Dikeroyok oleh dua orang yang amat lihai itu, Bi Lian menjadi repot juga. Baru tingkat kepandaian Kulana seorang saja, kiranya tidak mudah baginya untuk mengalahkannya karena orang Birma itu memperkuat ilmu silatnya denga kekuatan sihir. Apalagi tingkat kepandaian Lam-hai Giam-lo sudah amat tinggi, setingkat dengan gurunya, sehingga melawan Lam-hai Giam-lo saja ia takkan menang.

Kini dua orang lihai itu mengeroyoknya, biarpun tidak bermaksud merobohkannya melainkan hanya ingin menangkapnya, tentu saja Bi Lian menjadi repot dan kewalahan. Namun, dengan semangat membaja gadis ini pantang mundur dan melawan terus, mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua ilmu kepandaiannya.

Para anak buah Lam-hai Giam-lo dan juga suami isteri Lam-hai Siang-mo menonton perkelahian itu dengan penuh kagum. Mereka hanya melihat tiga bayangan berkelebatan cepat sekali, bagaikan tiga ekor burung raksasa sedang berkelahi dan mereka itu sama sekali tidak dapat mengikuti gerakan mereka, tidak tahu siapa yang mendesak dan siapa terdesak. Merekapun tidak berani membantu karena bukankah yang turun tangan sekarang adalah bengcu sendiri yang membantu Kulana?

“Cu Bi Lian, engkau masih belum juga mau menyerah?” tiba-tiba Lam-hai Giam-lo membentak dan tubuh kakek ini sekarang berputar seperti gasing.

Memang hebat ilmu kepandaian Lam-hai Giam-lo ini. Begitu dia membuat gerakan berpusing, Bi Lian merasa seolah-olah tubuhnya tersedot dan terseret oleh arus air berpusing dan iapun terhuyung, sukar untuk mempertahankan diri lagi. Pada saat itu, tangan Kulana berhasil menangkap pundaknya.

“Heiiiittt….!”

Bi Lian memekik dan meronta sambil melempar tubuh ke atas tanah terus bergulingan. Ia berhasil melepaskan diri akan tetapi dua orang itu berloncatan mengejarnya dan tentu ia akan tertawan kalau saja pada saat itu berseru halus.

“Dua orang laki-laki menghina seorang gadis, sungguh tidak tahu malu!”

Dan tiba-tiba saja muncul seorang pemuda yang menghadang dua orang yang mengejar Bi Lian yang bergulingan itu. Begitu pemuda itu mengembangkan kedua lengannya dan membuat gerakan seperti mencegah dengan mendorong ke depan, gerakan Lam-hai Giam-lo dan Kulana terhenti seperti ada tenaga raksasa yang menghadang mereka! Mereka terkejut dan cepat memandang penuh perhatian.

Pemuda itu berusia kurang lebih dua puluh satu tahun. Tubuhnya sedang saja dan pakaiannya amat sederhana, seperti pakaian seorang petani saja. Mukanya berkulit putih, agak bulat dengan alis yang hitam lebat, matanya agak sipit dan bersinar lembut, sikapnya tenang sekali dan dibawah jubahnya yang panjang seperti jubah pendeta itu nampak ujung sarung sebatang pedang.

Melihat ada seorang pemuda yang asing dan berani membela Bi Lian menghadapi mereka, tentu saja Lam-hai Giam-lo dan Kulana marah bukan main. Terutama sekali Lam-hai Giam-lo yang merasa betapa kekuasaanya disitu ditentang orang asing, seorang yang masih muda dan tidak terkenal lagi.

“Keparat, apakah matamu buta maka berani engkau mencampuri urusan kami?” bentaknya sambil melangkah maju menghampiri pemuda itu.

Pemuda itu bersikap tenang, akan tetapi mata yang lembut itu kini mencorong ketika dia berkata,

“Lam-hai Giam-lo, aku tidak buta dan dapat melihat betapa engkau dan orang ini tanpa malu-malu mengeroyok seorang gadis!”

Kulana juga marah sekali karena ada orang yang berani menghalangi niatnya menangkap calon isterinya. Diam-diam dia mengerahkan ilmu silatnya dan sambil memandang wajah pemuda itu, tiba-tiba dia maju dan membentak.

“Orang muda, aku adalah junjunganmu! Berlututlah engkau!”

Seruan ini berwibawa sekali mengandung kekuatan sihir yang amat kuat, bahkan Bi Lian sendiri merasa betapa kedua kakinya gemetar.

Akan tetapi, pemuda ini sama sekali tidak menjatuhkan diri berlutut seperti yang diperintahkan Kulana, sebaliknya dia malah tersenyum dan menghampiri Bi Lian yang kedua kakinya masih gemetar.

“Nona, sebaiknya kalau kita pergi saja dari tempat kotor diantara orang-orang busuk ini.”

Suara itu demikian lembut dan biarpun Bi Lian belum mengenal siapa adanya pemuda ini, ia telah menyerahkan seluruh kepercayaan hatinya. Ia mengangguk dan menghampiri pemuda itu. Lalu bersama pemuda itu melangkah pergi meninggalkan tempat itu!

Untuk beberapa detik lamanya, Kulana, Lam-hai Giam-lo, Lam-hai Siang-mo dan belasan orang anak buah itu bengong melihat dua orang muda itu membalikkan tubuh dan pergi, seolah-olah tidak percaya. Kemudian Kulana dan Lam-hai Giam-lo sadar dan keduanya bergerak hendak mengejar.

“Jangan pergi….!” Lam-hai Giam-lo berteriak.

“Berhenti!” Kualana juga membentak.

Pemuda itu membalikkan tubuhnya, diturut oleh Bi Lian yang siap menghadapai seranga mereka. Akan tetapi sambil membalik, pemuda itu tiba-tiba menghadapkan kedua tangannya kearah mereka yang mengejar dan mulutnya mengeluarkan seruan yang menggeledek.

“Diam kalian!”

Luar biasa sekali kekuatan yang terkandung dalam bentakan ini. Dua orang sakti itu seketika terhenti dan diam seperti patung, bahkan terbelalak seperti orang kaget. Juga Lam-hai Siang-mo dan belasan orang anak buah itupun diam tak bergerak seperti menjadi patung.

Bi Lian sendiri merasa seolah-olah darah yang mengalir di tubuhnya terhenti dan iapun tidak mampu bergerak akan tetapi pemuda itu memegang tangannya dan menariknya.

“Nona, mari kita pergi!”

Dan iapun dapat menggerakkan kaki dan mereka lalu melarikan diri dari tempat itu. Baru setelah mereka jauh menuruni lereng, terdengar ribut-ribut di belakang mereka, tanda bahwa semua orang itu telah sadar dan agaknya melakukan pengejaran.

Pemuda itu maklum betapa bahayanya kalau sampai mereka dapat dikejar oleh Lam-hai Giam-lo dan kawan-kawannya. Dia tahu bahwa tempat itu terdapat banyak sekali orang pandai, maka diapun lalu mengajak gadis itu melanjutkan pelarian mereka memasuki hutan yang liar dan gelap diatas sebuah bukit.

Setelah tidak lagi terdengar suara orang mengejar, barulah mereka berhenti berlari dan mereka berhenti di bawah sebatang pohon besar.

Karena tadi mereka terus berlarian, apalagi karena Bi Lian baru saja berkelahi melawan dua orang lawan tangguh, gadis itu merasa lelah dan iapun menjatuhkan diri di atas rumput tebal, lalu duduk bersila mengatur pernapasan dan memulihkan tenaga.

Pemuda itupun tidak mengganggu, melainkan duduk agak jauh, diatas batu dan hanya memandang dengan kagum. Latihan pernapasan gadis itu adalah latihan ilmu yang biasa dilakukan golongan hitam, namun diam-diam dia kagum karena dari cara gadis itu berlatih pernapasan, dia tahu bahwa gadis itu telah memiliki tingkat kepandaian yang tinggi.

Akhirnya Bi Lian membuka matanya dan begitu ia sadar akan keadaan dirinya, pandang matanya mencari-cari dan iapun melihat pemuda itu duduk agak jauh diatas batu dan memperhatikannya. Iapun cepat meloncat berdiri dan teringatlah ia betapa pemuda sederhana itu telah menyelamatkannya secara aneh sekali. Ia masih bingung memikirkan bagaimana pemuda itu dapat membawanya lolos dari tangan orang-orang yang demikian lihainya seperti Lam-hai Giam-lo, Kulana dan anak buah mereka.

Melihat gadis itu menghampirinya, pemuda itu tetap duduk dan tersenyum lembut.

“Engkau siapakah? Dan bagaimana engkau dapat meloloskan aku dari cengkeraman mereka?” tanya Bi Lian.

“Duduklah, Nona dan mari kita bicara.”

Jawab pemuda itu. Bi Lian lalu duduk diatas batu di dekat pemuda itu. Tempat itu terlindung pohon besar dan sekeliling mereka penuh dengan pohon dan semak belukar. Mereka berada didalam sebuah hutan yang amat lebat dan liar.

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar