*

*

Ads

Kamis, 24 Mei 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 152

Bi Lian memperkenalkan diri,
“Namaku Cu Bi Lian dan aku menjadi tamu dari Lam-hai Giam-lo, akan tetapi karena Kulana meminangku untuk mejadi isterinya dan aku menolak, maka terjadi bentrokan.”

Ia tidak menceritakan lebih jauh lagi karena ia sendiri tentu saja masih meragukan apakah saudara kembar dari Kulanan ini benar-benar tidak akan membantu saudaranya.

“Aku dikeroyok dan mendapat bantuan Saudara Pek Han Siong ini, dan kami berhasil melarian diri sampai bertemu denganmu, Saudara Mulana. Kiranya tidak ada lagi yang dapat kuceritakan.”

“Apa yang diceritakan Nona Cu memang benar, Saudara Mualana. Akupun sedang mencari seorang adik kandungku yang jejaknya menuju ke tempat tinggal Lam-hai Giam-lo dan kebetulan aku melihat Nona Cu dikeroyok oleh Kulana dan Lam-hai Giam-lo, maka aku turun tangan membantunya dan kami melarikan diri ke dalam hutan itu.”

Mulana mengangguk-angguk.
“Kalian adalah dua orang muda yang luar biasa sekali dan aku senang dapat menjamu kalian sebagai tamu-tamu agung. Dua orang semuda kalian sudah berani bertentangan dengan Kulana dan Lam-hai Giam-lo, sungguh luar biasa sekali! Nah, kita sudah berkenalan, sekarang kita mulai berpesta dan sebaiknya kalau kuperkenalkan kepada isteriku yagn tercinta!”

Setelah berkata demikian, Mulana mengambil sebuah benda dari saku jubahnya dan ternyata itu adalah sebuah terompet kecil yang segera ditiupnya. Berbeda dengan suara tiupan ketika dia memberitahukan akan kedatangannya kepada para pengawalnya, kini benda itu mengeluarkan suara seperti seekor binatang yang mengeluh penuh duka, suaranya berat dan lirih, akan tetapi bergaung sampai jauh.

Semua pelayan yang sedang sibuk diruangan itu, begitu mendengar suara ini, kelihatan kikuk sekali dan merakapun banyak yang terdiam. Tak lama kemudian, nampak ada orang muncul dari pintu dalam, diiringkan oleh lima orang gadis pelayan. Ketika Bi Lian dan Han Siong mengangkat muka memandang keduanya terpesona, bahkan Bi Lian sampai terbelalak memandang wanita yang demikian cantik jelitanya, yang keluar dari dalam dengan langkah halus seperti seorang bidadari melayang –layang saja, diikuti oleh lima orang pelayan.

Wanita itu berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, akan tetapi memiliki kecantikan yang amat hebat. Wajahnya demikian halus dengan raut yang demikian sempurna, cantik dan agung walaupun wajah itu terlalu pucat dan coba ditutupi dengan bedak tipis. Wajah itu pantasnya menjadi wajah seorang puteri agung di istana kaisar.

Pakaiannya, gelung rambutnya, gerak-geriknya, semua menunjukkan dengan jelas bahwa ia bukan seorang wanita biasa, melainkan seorang wanita bangsawan agung yang memiliki gerak-gerik yang serba teratur. Kedua kaki yang tertutup gaun panjang itu tidak nampak melangkah sehingga kelihatannya ia melayang ketika menghampiri meja perjamuan itu dengan sikap agung, tidak menengok ke kanan kiri, dengan dada terangkat dan kepala tegak, menuju ke arah kursi di samping Mulana yang kosong.

Diam-diam Han Siong merasakan sesuatu yang aneh. Wanita itu memang cantik sekali, terlalu cantik di tempat yang seperti itu, akan tetapi ada sesuatu pada pandang mata itu yang tidak wajar, seperti mata seorang yang tidak bersemangat lagi, seperti mata seorang yang berada dibawah pengaruh sihir! Juga dia melihat sinar duka yang teramat mendalam pada pandang mata itu sehingga diam-diam Han Siong mencurahkan perhatiannya dan timbul keinginan tahunya untuk menyelidiki, rahasia aneh apa yang ada pada wanita itu.

Sambutan Mulana kepada isterinya itupun luar biasa. Ketika wanita itu tiba dekat, diapun bangkit dari tempat duduknya dan dengan senyum lebar dia menyongsong kedatangannya, membungkuk sambil berkata dalam bahasa yang dimengerti oleh dua orang tamunya.

“Selamat malam, isteriku yang cantik jelita. Malam ini engkau semakin cantik saja. Silakan duduk dan mari kuperkenalkan kepada dua orang tamu kita yang terhormat.”

Sikap Mulana itu seperti dibuat-buat dan Han Siong melihat pancaran yang mencorong aneh dan kejam dari pandang mata tuan rumah itu, yang membuatnya heran sekali. Wanita itupun menekuk sebelah kakinya dengan sikap yang manis dan lembut sekali ketika diperkenalkan kepada Bi Lian. Kemudian ia mengambil tempat duduk di ata kursi sebelah suaminya dan ketika sinar api lampu dan lilin beraneka warna menimpa mukanya, dian-diam Bi Lian menahan napas saking kagumnya.

Wanita ini memang hebat, cantik jelita dan pakaiannya, dari setiap untaian rambut hitam yang dilingkar-lingkar sampai kepada hiasan kuku dari emas, setiap lipatan pakaiannya yang indah, semua memperlihatkan keindahan dan keayuan seorang wanita yang lembut.






Kini para pelayan sibuk mengeluarkan hidangan. Bagaikan sekelompok kupu-kupu saja, gadis-gadis pelayan yang manis-manis itu seperit menari-nari, pergi datang membawa baki terisi masakan-masakan yang masih mengepulkan uap dan terciumlah bau yang sedap, yang membuat perut Bi Lian dan Han Siong yang memang sudah lapar itu mengeluarkan bunyi!

Wajah itu selain cantik juga agung, dengan bentuk wajah yang bulat telur dan kulit mukanya demikian halus dan biapun nampak pucat, namun kehalusannya sungguh jarang dimiliki wanita lain. Rambutnya hitam dan panjang tebal, digelung dengan model gelung puteri bangsawan, mengkilap karena bersih dan diminyaki, dengan anak rambut melingkar-lingkar di sekitar dahi dan pelipis. Alisnya hitam panjang melengkung seperti gambar, melindungi sepasang mata yang bentuknya indah, lebar dan jeli akan tetapi sinarnya redup seperti bulan terhalang awan tipis. Hidungnya mancung dengan cuping yang tipis dan hidup, mulutnya mengandung tantangan berahi yang panas, kedua pipinya kemerahan oleh bedak dan yanci sedangkan kulit lehernya demikian tipis dan halus mulus.

Setelah hidangan lengkap dikeluarkan diatas meja, tiba-tiba Mulana bertepuk tangan dan berkata halus kepada seorang pengawal.

“Ambilkan cawan kehormatan dari Tuan Puteri!”

Mendengar ucapan ini, sepasang mata itu terbelalak dan Bi Lian, juga Han Siong, melihat betapa wanita cantik itu dengan kaget menoleh kepada suaminya, memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak, bibir gemetar dan kedua mata itu tiba-tiba menjadi agak basah, lalu terdengar suaranya.

“Perlukah….?”

Akan tetapi lalu disambung dengan bisikan-bisikan dalam bahasa Birma yang tidak dimengerti oleh dua orang tamu itu. Akan tetapi, dari sikap dan nada suaranya, Han Siong dapat menduga bahwa Sang Puteri itu mengajukan protes. Namun anehnya, Mulana sama sekali tidak menghiraukannya, bahkan memperkuat perintahnya dengan gerakan tangan sehingga kepala pengawal yang tadinya nampak ragu-ragu itu lalu melangkah cepat memasuki ruanga lain yang bersambung dengan ruangan itu.

Bi Lian dan Han Siong saling pandang dan mereka merasa betapa jantung mereka berdebar tegang. Keluarga tuan rumah ini memang aneh dan penuh rahasia yang menegangkan.

Ketika kepala pengawal itu muncul kembali, mereka memandang dan keduanya harus mengerahkan sinkang untuk menekan perasaan mereka ketika kepala pengawal itu membawa sebuah benda yang membuat mereka terbelalak. kepala pengawal itu meletakkan benda itu di atas meja, di sebelah kiri Sang Puteri yang memandang benda itu dengan mata sayu dan basah.

Benda itu adalah sebuah tengkorak! Kepala manusia yang tinggal tulangnya saja, akan tetapi terawat baik, bahkan lubang kedua mata dan hidung ditutup denga emas, dan hanya tinggal rongga mulut saja yang terbuka ternganga dan agaknya tengkorak itu kini dipergunakan sebagai sebuah cawan! Cawan yang mengerikan sekali!

“Isi cawan dengan anggur harum untuk menghormati tamu!”

Tiba-tiba Mulana berkata dan suaranya terkandung nada gembira sekali seolah-olah dia menikmati perintahnya itu.

Para gadis pelayan lalu membawa guci anggur yang terbuat dari perak dan emas, yang dengan gerak tubuh yang lemah gemulai mereka lalu mengisi cawan arak di depan Bi Lian, Han Siong dan Mulana.

Mulana sendiri mengambil guci arak dari tangan pelayannya dan menuangkan anggur ke dalam cawan tengkorak dekat isterinya, melalui mulut tengkorak yang ternganga itu! Kemudian Mulana mengangkat cawan araknya sampai bangkit berdiri.

“Isteriku, mari kita memberi selamat kepada Tuan Pek Han Siong dan Nona Cu Bi Lian yang menjadi tamu agung kita, dengan minum anggur ini! Ji-wi, selamat datang di rumah kami!”

Bi Lian dan Han Siong melongo, memandang kepada nyonya rumah yang juga bangkit berdiri dan nyonya yang cantik itu mengangkat tengkorak itu dengan kedua tangan, diikuti pandang mata suaminya, ia lalu bersama suaminya, minum anggur dari… mulut tengkorak.

Bi Lian bergidik ngeri. Nyonya cantik itu kelihatannya seperti berciuman dengan tengkorak itu, beradu mulut, dan penglihatan ini sungguh amat menegangkan dan mengerikan hatinya. Juga Han Siong tergetar perasaanya dan jantungnya masih berdebar ketika mereka berempat duduk kembali. Nyonya itu dengan hati-hati meletakkan tengkorak yang sudah kosong itu ke depannya.

“Mari, mari kita menikmati hidangan, Ji-wi. Isteriku, temanilah dua orang tamu kita makan minum!” dengan sikap gembira sekali Mulana lalu mengajak isterinya dan dua orang tamunya makan hidangan yang serba mewah itu.

Isterinya, dengan sikap lembut, pandang mata tak pernah ditujukan kepada tamunya ataupun suaminya, seperti seorang dalam mimpi, makan denga cara yang sopan sekali.

“Ha, makan minum baru enak kalau diselingi cerita menarik. Pek-taihiap dan Cu-lihiap, bagaimana kalau aku menceritakan sebuah dongeng dari negeriku, dongeng yang amat indah dan menarik kepada Ji-wi?”

Bi Lian dan Han Siong saling pandang. Tuan rumah ini tiba-tiba saja menyebut merekaTai-hiap (Pendekar Besar) dan Li-hiap (Pendekar Wanita), dan hendak mendongeng. Sebagai tamu, tentu daja mereka hanya dapat menyetujui dan mengangguk.

Biarpun tempat itu indah dan hidangan yang disuguhkan serba mewah dan lezat, namun pengalaman melihat nyonya rumah minum anggur dari cawan tengkorak itu membuat mereka ingin cepat-cepat menyelesaikan makan malam itu agar mereka dapat segera mengundurkan diri, bahkan mereka mengambil keputusan di dalam hati masing-masing untuk segera pergi meninggalkan tempat itu pada keesokan harinya.

“Di negara kami, di Birma, terdapat seorang puteri yang teramat cantik.”

Mulana mulai dengan dongengnya.
“Demikian cantiknya puteri itu sehingga banyak pria tergila-gila, diantaranya seorang pria bangsawan tergila-gila dan mengorbankan segalanya untuk dapat mempersunting puteri jelita itu. Diantara banyak sekali saingan, pria itu berhasil dan dapat dibayangkan betapa berbahagia rasa hatinya ketika akhirnya dia berhasil memperisteri puteri jelita itu.”

Mulana berhenti sebentar dan menarik napas panjang. Lalu menengadah, seolah-olah dia membayangkan peristiwa yang didongengkannya itu. Bi Lian dan Han Siong mendengarkan dengan penuh perhatian, dan ketika Bi Lian melirik ke arah nyonya rumah, wanita itu seperti acuh saja, masih melanjutkan makan dengan mempergunakan sumpitnya, mengambil potongan daging kecil-kecil dan memasukkannya dengan sopan ke dalam mulutnya yang kecil, mengunyahnya perlahan tanpa membuka bibir.

“Semua pria di negeri Birma merasa iri dan cemburu, bahkan Sang Raja sendiripun merasa iri hati. Akan tetapi puteri jelita itu memilih pria yang berbahagia itu dan tak perlu diceritakan lagi betapa besar perasaan cinta kasih pria itu kepada isterinya. Dia mau mengorbankan apa saja, dia siap utuk mencium bekas kaki isterinya, menyembah segala benda yang pernah dijamah isterinya itu. Dan melayani sendiri isterinya seperti budak yang paling hina. Dia setiap minum mempergunakan sandal isterinya itu, setiap hari menulis sajak pujian untuknya, menghujaninya dengan segala kemesraan, dengan segala pernyataan cinta yang mungkin dilakukan seorang pria terhadap wanita. Pria itu memujanya, mencintanya, bahkan siap mengorbankan nyawa setiap saat kalau dibutuhkan oleh wanita itu.”

Kembali Mulana berhenti dan dua orang tamunya kini memandangnya penuh perhatian, mulai tertarik sekali. Memang Mulana pandai bercerita dan dia memiliki daya tarik yang mempesona.

“Akan tetapi, ah, sungguh kasihan sekalai pria itu! Betapapun besar cintanya, segala pengorbanan yang diberikan, bahkan dia telah mengusir semua selirnya, tak pernah lagi mau melirik wanita lain, menyerahkan seluruh kedudukannya, hartanya, kesehatannya, segala-galanya. Namun… isteri tercinta itu tetap saja dingin terhadapnya.”

Bi Lian menundukkan mukanya dan kedua pipinya menjadi agak merah. Diam-diam ia marah. Tuan rumah ini sungguh tidak mengenal batas, mengapa menceritakan hal seperti itu kepadanya? Kalau dilanjutkan cerita yang tidak sepantasnya, tentu ia akan menegurnya!

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar