*

*

Ads

Sabtu, 26 Mei 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 157

Yang disinggung dalam percakapan antara Hay Hay dan kedua orang pejabat tinggi itu bukan lain adalah Can Sun Hok, pendekar muda yang pernah kita kenal ketika terjadi keributan di telaga Tung-ting. Dialah pemuda yang suka berperahu seorang diri, memainkan suling dan yang-kim. Kemudian dia bertemu dengan pendekar wanita Ceng Sui Cin dan puterinya, Cia Kui Hong bahkan kemudian ibu dan anaknya bentrok dengan Nenek Wa Wa Lobo yang menjadi pengasuh dan guru Can Sun Hok sampai Nenek Wa Wa Lobo meninggal dunia.

Dua puluh tahun lebih yang lalu, nama Gui Siang Hwa yang berjuluk Siang-tok Sian-li (Dewi Racun Harum) amat terkenal di dunia sesat karena ia adalah murid tunggal dari Raja dan Ratu Iblis! Ilmu kepandaiannya amat tinggi dan wataknya juga amat kejam dan jahat walaupun wajahnya cantik jelita dan menarik. Wanita itu adalah seorang ahli silat dan ahli mempergunakan segala macam racun. Akan tetapi wataknya cabul dan sudah banyak sekali pria yang terjatuh ke dalam tangannya, dibunuhnya setelah ia puas mempermainkannya.

Di dalam petualangannya itulah, Gui Siang Hwa bertemu dengan Can Koan Ti, seorang pangeran. Can Koan Ti ini putera seorang pangeran istana bernama Pangeran Can Seng Ong yang menjadi gubernur di Ning-po. Terjadilah hubungan antara pangeran yang kaya raya dan tinggi kedudukannya ini dengan Gui Siang Hwa. Dan terlahirlah Can Sun Hok.

Akan tetapi wanita seperti Gui Siang Hwa bukankah wanita yang suka terikat menjadi seorang ibu rumah tangga. Ia seorang petualang dan akhirnya iapun berpisah dari Pangeran Can Koan Ti.

Ketika Can Sun Hok masih belum dewasa, ayahnya, Pangeran Can Koan Ti meninggal dunia karena sakit. Ibunya, Siang-tok Sian-li Gui Siang Hwa tidak suka repot-repot mengurus puteranya, bahkan iapun melanjutkan petualangannya sampai akhirnya ia tewas.dalam pertempuran ketika ia membantu gerakan para pemberontak. Kematian Siang Hwa adalah ketika ia bertanding melawan Ceng Sui Cin, roboh terluka dan tubuhnya hancur oleh pengeroyokan para perajurit.

Puteranya, Can Sun Hok, sudah dititipkannya kepada seorang pelayan, yaitu bekas pelayan Raja dan Ratu Iblis, guru-guru Gui Siang Hwa. Nenek ini, Wa Wa Lobo, tidak ikut dalam gerakan pemberontakan para majikannya, melainkan pergi menyelamatkan Can Sun Hok yang dirawatnya seperti cucu sendiri dan digemblengnya dengan ilmu-ilmu yang pernah diperolehnya dari Raja dan Ratu Iblis.

Nenek Wa wa Lobo ini lihai bukan main, juga ahli dalam hal racun, walaupun kelihaiannya tidak sampai setingkat dengan kelihaian mendiang Gui Siang Hwa yang langsung menjadi murid terkasih Raja dan Ratu Iblis. Dan akhirnya, seperti telah diceritakan di bagian depan, Nenek Wa Wa Lobo ini dapat berhadapan muka dengan Ceng Sui Cin, yang dianggap musuh besar dan pembunuh Gui Siang Hwa.

Setelah Wa Wa Lobo tewas karena kalah oleh Ceng Sui Cin kemudian membunuh diri. Can Sun Hok menangisi mayat nenek itu yang dianggapnya sebagai pengganti ayah ibu, nenek dan juga pengasuh dan gurunya. Akan tetapi, agaknya darah yang jahat dari Gui Siang Hwa tidak mengalir ke dalam tubuh Can Sun Hok. Dia menjadi dewasa dengan watak yang gagah, walaupun kadang-kadang dia dapat bersikap keras dan dingin. Namun, sikap ini sama sekali bukan mencerminkan watak yang kejam dan jahat. Dia tidak suka mengganggu siapapun juga asalkan dia tidak diganggu. Dia tidak pernah pula memamerkan kepandaiannya, bahkan suka menyembunyikan kenyataan bahwa dia pandai ilmu silat.

Karena ketika dilarikan oleh Wa Wa Lobo, nenek itu, membawa pula bekal harta benda yang amat banyak berupa emas permata dari ayahnya, maka kini Can Sun Hok menjadi seorang pemuda yang kaya raya dan tinggal di gedung besar di Siang-tan yang pernah menjadi tempat tinggal ayahnya. Setelah nenek Wa Wa Lobo meninggal, dia tinggal sendirian saja di dalam rumah itu, dengan hanya beberapa orang pelayan. Dia lebih suka merantau, membawa suling dan yang-kim, dua alat musik yang amat disukanya. Memang dia berbakat sekali dengan pemainan musik ini.

Can Sun Hok kini telah menjadi seorang pemuda yang usianya kurang lebih dua puluh tiga tahun. Sudah tiga tahun nenek Wa Wa Lobo tewas membunuh diri ketika kalah bertanding melawan pendekar wanita Ceng Sui Cin dan selama tiga tahun ini, Can Sun Hok juga memperdalam ilmunya dengan tekun berlatih.

Ada dua buah kitab peninggalan Raja dan Ratu Iblis yang disimpan neneknya, dan akhirnya, dengan bantuan seorang kakek ahli sastra kuno, diapun dapat mengerti arti dari pelajaran itu dan dia berlatih diri dengan tekun. Maka, diapun kini memperoleh kemajuan yang amat pesat

Biarpun dia kaya raya, namun hidupnya sederhana, wajahnya tampan, tubuhnya tegap dan sepasang matanya mencorong, wajahnya cerah akan tetapi ada bayangan dingin dan keras pada mata dan dagunya.

Beberapa bulan yang lalu, Jaksa Kwan yang dulu pernah mengenal ayahnya, datang berkunjung. Jaksa ini bukan orang asing bagi can Sun Hok, walaupun dia jarang mengadakan hubungan.

Tentu saja kunjungan itu mengejutkan hati Sun Hok, apalagi ketika jaksa jtu dengan terus terang mengharapkan bantuannya untuk ikut bersama para pendekar melakukan penyelidikan tentang gerakan para tokoh sesat yang kabarnya menghimpun tenaga untuk memperkuat diri dan membangun pasukan dengan maksud memberontak terhadap pemerintah.






"Kami tahu bahwa Can Kongcu (Tuan Muda Can) adalah seorang pemuda gagah perkasa yang berkepandaian tinggi. Oleh karena itu, mengingat bahwa mendiang Ayahmu adalah seorang pangeran, bahkan mendiang Kakekmu pernah menjadi seorang gubernur di Ning-po, maka kami mengharapkan bantuan Kongcu untuk berbakti kepada nusa dan bangsa."

Mendengar uluran tangan ini, Can Sun Hok mengerutkan alisnya. Selama ini dia tidak pernah mencampuri urusan orang lain, apalagi urusan pemerintah. Tentu saja penduduk Siang-tan, termasuk jaksanya ini, tahu bahwa dia pandai ilmu silat karena sudah sering kali dia menghajar orang-orang jahat yang hendak menjagoi di kota itu dan malang melintang dengan perbuatan mereka yang sewenang-wenang.

Bahkan pernah dia seorang diri menghajar kocar-kacir dan membasmi sebuah perkumpulan orang jahat yang dipimpin oleh seorang perampok yang amat lihai. Akan tetapi dia tidak pernah minta.

Diakui sebagai jagoan atau pendekar, bahkan tidak ingin bicara dengan orang lain tentang apa yang telah dilakukannya. Dan kini, karena sudah mendengar akan kepandaiannya itu Jaksa Kwan ini agaknya datang membujuknya untuk membantu pemerintah dalam menghadapi para tokoh sesat yang hendak memberontak!

"Kwan-taijin." katanya dengan sikap hormat karena diapun sudah mengenal siapa ini Kwan-taijin, seorang jaksa yang amat adil dan bijaksana, dicinta rakyat jelata karena dia berani menentang para penjahat dan melindungi keamanan rakyat dalam kedudukannya sebagai jaksa. “Tidak saya sangkal bahwa saya pernah belajar ilmu silat. Akan tetapi apakah artinya tenaga seorang seperti saya kalau menghadapi para tokoh sesat yang bersekutu dan bergabung hendak melakukan pemberontakan? Kirim saja pasukan besar di bawah pimpinan panglima yang pandai dan persekutuan itu dapat ditumpas habis."

Kwan-taijin tersenyum.
"Apa yang kau ucapkan itu memang tepat, Can Kongcu. Akan tetapi, ketahuilah bahwa pasukan pemerintah hanya dilatih untuk berjuang dalam pertempuran melawan pasukan lain. Kalau sudah terjadi pemberontakan bersenjata, tentu pasukan pemerintah yang akan menanggulanginya. Akan tetapi keadaannya sekarang lain lagi. Para datuk kaum sesat, yang kabarnya dikepalai oleh seorang manusia iblis berjuluk Lam-hai Giam-lo, mengadakan persekutuan, mengumpulkan para datuk persilatan yang sesat untuk membangun kekuatan. Mereka bersarang di Lembah Yang-ce di Pegunungan Yunan. Dan ini berbahaya sekali. Kami tahu bahwa hanya para pendekar saja yang akan mampu menentang orang-orang seperti itu, maka saya sengaja datang mengharapkan bantuan Kongcu."

Can Sun Hok tersenyum, sebentar saja, senyum sinis.
"Mungkin para pendekar, akan tetapi saya bukan pendekar, Taijin."

"Ah, tidak perlu merendahkan diri, Kongcu. Siapapun di siang-tan ini tahu belaka siapa adanya Kongcu. Kongcu memiliki ilmu silat yang amat lihai, juga sudah terlalu sering mengulurkan tangan membela kebenaran dan menentang para penjahat yang keji dan berbahaya. Sekali ini, terdapat pekerjaan yang lebih penting dan mulia, saya harap Kongcu dapat mempertimbangkan permintaan kami ini, atas nama pemerintah dan atas nama rakyat.”

Jaksa Kwan akhirnya pulang setelah meninggalkan pesan dan permintaannya dan pemuda ini menjawab hendak berpikir-pikir tentang hal itu.

"Harap Taijin suka bersabar dan memberi waktu kepada saya untuk mengambil keputusan. Percayalah, Taijin, pada dasarnya saya suka sekali membantu karena memang sudah menjadi kewajiban saya untuk menentang kejahatan, akan tetapi saya belum pernah bekerja secara berkelompok, dan bekerja sama dengan para pendekar itu sungguh membuat saya berkecil hati dan malu."

Jaksa Kwan adalah seorang yang amat cerdik. Beberapa hari kemudian, dia menguji sikap dan watak Can Sun Hok, ingin melihat apakah benar pemuda itu berjiwa pendekar seperti yang diduganya. Didatangkannya seorang gadis cantik manis dari kota raja.

Gadis ini sebenarnya adalah seorang dayang keluarga pangeran. Karena cantiknya, dia digauli oleh majikannya. Akan tetapi hal ini tidak disetujui isteri pangeran yang merasa cemburu karena gadis itu terlalu cantik sehingga terpaksa gadis itu dijual keluar.

Karena kepandaiannya bermain musik, menari dan menyanyi, gadis itu lalu terkenal sebagai seorang gadis penari dan penyanyi yang amat disuka oleh para pembesar. Didalam pergaulan dan pekerjaan seperti itu, tak dapat dihindarkan lagi bahwa gadis itu kadang-kadang tak dapat menahan diri lagi menjual diri dengan bayaran yang luar biasa tingginya, dari para pembesar yang mata keranjang dan yang uangnya sudah berlebihan.

Dengan bantuan para rekannya yang berada di kota raja, Jaksa Kwan dapat menugaskan gadis ini untuk niatnya “memancing keluar harimau dari sarangnya" yaitu menguji sikap dan watak Can Sun Hok sebagai seorang pendekar.

Demikianlah, beberapa pekan semenjak Jaksa Kwan datang berkunjung, pada suatu senja yang cerah, Sun Hok pergi seorang diri ke tepi Sungai Yang-ce yang sunyi. Dia duduk di atas batu besar di tepi sungai itu, sunyi sepi tempat itu karena jauh dari dusun. Dia membawa sebatang tangkai pancing karena sore itu dia merasa iseng ingin menangkap ikan dengan pancingnya.

Pada waktu itu sedang musim ikan lee moncong putih yang banyak terdapat di dalam air di sekitar tempat itu dan daging ikan ini lezat bukan main. Dia duduk memegangi tangkai pancingnya, seperti telah berubah menjadi arca, bersatu dengan batu yang didudukinya dan seluruh perhatiannya berpusat pada tali yang ujungnya dipasangi pancing dan umpannya.

Tali itu terbawa air dan agak bergoyang-goyang, akan tetapi bukan bergoyang karena disambar ikan. Kalau saatnya tiba, kalau umpannya itu disambar ikan, akan terasa oleh tangannya. Penantian sambaran ikan yang tidak nampak inilah yang mengasyikkan bagi seorang pengail, disitu terdapat suatu kejutan yang menggembirakan, disusul perjuangan untuk berhasil menaikkan ikan yang sudah berani menyambar umpan di pancingnya.

Akan tetapi Sun Hok bukanlah seorang ahli pengail ikan yang pandai. Kalau dia ahli tentu bukan di waktu senja itu dia mengail, melainkan malam nanti atau besok pagi-pagi. Pada waktu senja seperti itu, di waktu sinar matahari senja yang merah menimpa permukaan air menyilaukan mata, agaknya ikan-ikan bersembunyi di sarang masing-masing, atau masih merasa malas untuk mencari makan. Sudah sejam lebih dia duduk, namun tak seekorpun ikan mencium umpan di pancingnya.

Sun Hok menancapkan gagang tangkai pancingnya di atas tanah, lalu dia mencabut suling yang selalu berada di ikat pinggangnya. Sekali ini, dia tidak membawa alat musik yang-kim karena terlalu berabe, apalagi memang kepergiannya adalah untuk mengail ikan.

Untuk menghilangkan kekesalan hatinya karena sejak tadi tak pernah berhasil, diapun kini menempelkan lubang suling pada mulutnya dan tak lama kemudian terdengarlah bunyi lagu merdu keluar dari sulingnya. Suara yang merdu itu mengalun naik turun, lirih saja karena dia tidak mau mengejutkan ikan-ikan, bahkan seolah-olah hendak mengundang ikan-ikan agar datang dan makan umpan di pancingnya dengan lagu yang ditiup dengan sulingnya.

"Tolooonggg…….!"

Tiba-tiba dia mendengar jerit seorang wanita. Seketika Sun Hok menghentikan tiupan sulingnya, lalu memandang ke depan. Sebuah perahu meluncur lewat di tengah, dan ada seorang wanita muda dipegangi kedua tangannya oleh beberapa orang laki-laki secara kasar.

Ada lima orang laki-laki di perahu itu. Tiba-tiba tali pancingnya bergerak. Sun Hok menyambar tangkai pancingnya, menarik dengan kejutan dan seekor ikan lee moncong putih sebesar lengannya tergantung di ujung tali pancingnya! Kalau saja tidak ada perahu dimana dia melihat seorang gadis agaknya ditawan oleh lima orang laki-laki itu, tentu saja Sun Hok akan merasa gembira sekali dengan hasil tangkapannya.

Akan tetapi kini ada gangguan dan diapun melepaskan pancing dan ikan itu menggelepar di atas tanah, kemudian dia berjalan mengikuti arah perahu sambil memperhatikan keadaan perahu itu. Ketika dia melihat sebuah perahu nelayan kecil, ditumpangi seorang nelayan tua, dia cepat memanggilnya.

"Paman Tua tukang perahu, boleh aku menyewa perahumu sebentar? Akan kuberi engkau uang ini!" katanya sambil mengacungkan sepotong perak yang beratnya satu tail.

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar