*

*

Ads

Sabtu, 26 Mei 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 159

Setelah tanah liat itu nampak kemerahan, gadis itu mengetuk-ngetuknya dengan sepasang sumpit ranting dan berkata girang.

"Sekarang sudah matang, siap untuk dimakan setelah agak dingin."

Iapun mengambil dua batang ikan itu dengan sumpitnya, dikeluarkannya dari api unggun yang dibiarkan hidup terus untuk menerangi tempat itu, juga untuk mengusir nyamuk. Malam mulai masuk dan cuaca mulai menjadi gelap.

Dengan gerakan yang lincah dan cekatan, gadis itu memukul-mukulkan batu sehingga tanah liat yang sudah kering itu menjadi pecah dan nampaklah daging ikan yang putih kemerahan karena sisik-sisik ikan itu melekat pada tanah liat. Dan terciumlah bau yang sedap dan membuat Sun Hok tiba-tiba merasa lapar! Dia menggunakan dua batang kayu sebagai sumpit, mengambil daging ikan dan memakannya. Bukan main enaknya! Begitu gurih, sedap dan benar saja, sedikitpun tidak ada bau asap atau gosong!

"Wah, lezat sekali!" Dia memuji dan gadis itu tersenyum girang.

"Sayang bumbunya kurang lengkap, kalau lengkap lebih enak lagi. Biarlah lain kali kalau ada kesempatan, kalau ada bumbu-bumbu lengkap, akan kubuatkan engkau masakan-masakan yang lebih enak lagi, Kongcu "

Tiba-tiba ia menghentikan kata-katanya, seperti teringat akan sesuatu, matanya terbelalak dan iapun berseru.

"Ah, apa yang aku katakan tadi? Aku telah lupa diri, lupa akan keadaanku dan lupa bahwa baru saja engkau telah menyelamatkan aku, dan... dan aku tidak tahu siapa Kongcu, engkaupun tidak tahu siapa aku…."

Melihat kegugupan gadis itu, Sun Hok tersenyum. Dia tidak merasa seperti itu. Dia merasa seolah-olah dia telah mengenal gadis ini selama bertahun-tahun, seolah-olah mereka adalah sepasang sahabat yang akrab dan tidak asing.

"Tenanglah, Nona. Ikan sudah dipanggang matang. Mari kita makan dulu, baru kita bicara tentang hal lain. Belum terlambat, bukan?"

Melihat sikap pemuda itu, gadis tadi dapat menguasai dirinya kembali. Ia tersenyum, mengangguk dan mulai pula menyumpit daging ikan. Mereka berdua makan tanpa bicara, hanya kadang-kadang saling pandang melalui sinar api unggun yang selalu ditambah kayu bakarnya oleh Sun Hok.

Bagi kedua orang itu, belum pernah mereka merasakan suasana yang demikian santai, damai dan juga makan demikian enaknya, walaupun tidak ada nasi dan hanya makan daging ikan saja. Tanpa malu-malu keduanya makan sampai dua ekor ikan itu tinggal tulangnya saja. Barulah Sun Hok mengeluarkan seguci anggur dari dalam buntalannya.

"Aku... aku tidak suka minum arak, takut mabok…..!" kata gadis itu.

Sun Hok menggeleng kepalanya.
"Bukan arak yang keras, Nona, melainkan anggur yang halus dan enak. Engkau takkan mabok biar habis sepuluh cawan sekalipun. Hanya sayang, aku tidak biasa membawa cawan. Maklum biasa aku minum sendirian, cukup meneguk dari guci. Nah, silakan, Nona. Engkau perlu minum setelah makan daging ikan."

Sun Hok menyerahkan guci anggurnya kepada nona itu sambil membuka sumbatnya. Tercium bau yang harum dan sama sekali tidak keras seperti bau arak.

Kedua pipi gadis itu menjadi merah sekali. Biarpun sinar api unggun itu sudah membuat wajahnya nampak merah, akan tetapi kini menjadi semakin merah dan mudah dilihat oleh Sun Hok. Dengan kedua tangannya nona itu menolak dan berkata,

"Aih, Kongcu. Bagaimana aku berani? Engkau sendiri belum minum, bagaimana aku berani minum lebih dulu dan mengotori mulut guci?"

Sun Hok tertawa.
"Ha-ha, engkau lucu, Nona. Bagaimana mulut guci ini bisa kotor kalau engkau menenggak isinya? Mungkin terbalik, mulut guci inilah yang akan mengotori bibirmu, Nona. Akan tetapi jangan khawatir, guci ini selalu kucuci sampai bersih sebelum diisi anggur. Nah, minumlah, Nona."

Akan tetapi gadis itu tetap menolak.
"Tidak Kongcu. Aku tidak berani. Sepantasnya... engkau yang minum lebih dulu, baru... baru aku akan mencobanya."

"Eh, kenapa begitu?"






"Pertama, karena engkaulah pemilik guci itu, dan kedua, karena engkaulah tuan rumahnya, dan ketiga karena... engkau pria dan aku wanita."

Sun Hok melebarkan matanya dan tersenyum lagi. Heran, belum pernah dia merasa segembira itu, belum pernah dia sebanyak itu tertawa dan tersenyum dalam waktu demikian singkat!

"Baiklah, aku akan minum lebih dulu, baru engkau!"

Dan diapun meneguk beberapa teguk anggur dari dalam guci. Enak bukan main, lebih enak daripada yang sudah-sudah. Setelah merasa cukup, dia menyerahkan guci itu kepada gadis yang sejak tadi memandangnya penuh kagum.

Sekali ini, gadis itu tidak menolak. Dengan hati-hati ditempelkannya bibir guci ke bibirnya yang merah basah itu dan iapun meneguk anggur dari dalam guci. Apa yang dikhawatlrkan tidak terjadi. Ia tidak tersedak, dan ternyata isi guci itu sama sekali tidak keras. Anggur yang manis, ada asamnya sedikit, sedap dan harum. Enak sekali!

"Wah, terima kasih, Kongcu. Anggur ini memang enak sekali dan segar!" katanya memuji.

Kini mereka duduk berhadapan, terhalang api unggun.
"Sekarang bagaimana, Nona. Apakah aku harus mengantarmu pulang?"

"Pulang …….?" Dan tiba-tiba gadis itu kelihatan gelisah dan ketakutan. "Pulang kemana? Ah, Kongcu, aku... aku tidak mempunyai tempat tinggal lagi…… "

"Ehh?" Sun Hok terkejut dan heran. "Engkau, seorang gadis seperti engkau ini tidak mempunyai tempat tinggal? Habis bagaimana dengan keluargamu? Orang tuamu atau….. suamimu barangkali?"

Gadis itu menggeleng kepalanya.
"Aku tidak punya siapa-siapa lagi, aku tidak mempunyai orang tua, aku tidak mempunyai suami atau saudara……"

"Tapi... tapi bagaimana mungkin itu? Dan engkau tadi tertangkap oleh lima orang jahat. Apakah yang telah terjadi. Nona?"

Gadis itu menarik napas panjang,
"Cerita tentang diriku amat panjang, Kongcu. Setelah aku berhutang budi dan nyawa, aku tidak ingin membikin susah Kongcu lebih lanjut lagi. Biarlah aku pergi, Kongcu, membawa nasib diriku yang malang. Dan sekali lagi terima kasih, semoga Thian yang membalas semua budi kebaikan Kongcu kepadaku." Gadis itu lalu bangkit dan melangkah hendak pergi meninggalkan Sun Hok.

Pemuda itu terkejut dan sekali melompat dia telah menghadang di depan gadis itu.
"Nona! Kau mengatakan tidak mempunyai tempat tinggal, akan tetapi engkau akan pergi begitu saja? Lalu kemana engkau hendak pergi?"

"Kemana saja. Mungkin masih ada bekas kenalan yang sudi menampung diriku yang tidak berharga ini."

" Ah, Nona. Bukankah kita sudah berkenalan, bahkan... eh, kita sudah makan bersama seperti sahabat? Kalau begitu, marilah menjadi tamu di rumahku, Nona. Jangan khawatir, aku menjamin bahwa Nona akan aman berada di dalam rumahku."

"Aku hanya mengganggu dan menyusahkanniu saja, Kongcu.”

"Tidak sama sekali! Marilah, mari, Nona. Aku mengundangmu menjadi tamuku yang terhormat dan di rumah nanti kita bicara."

Gadis itu hanya dapat mengangguk dan pergilah mereka meninggalkan tepi sungai itu setelah Sun Hok memadamkan api unggun. Untung bahwa langit penuh bintang sehingga perjalanan menuju ke kota Siang-tan itu tidaklah begitu gelap. Sun Hok terpaksa berjalan seenaknya, santai dan tidak mempergunakan ilmu berlari cepat seperti biasanya karena dia harus mengiringi seorang gadis yang lemah lembut.

Ketika mereka tiba di istana kuno itu, Si Gadis terbelalak dan menahan langkahnya di depan pintu gerbang.

"Aih, kiranya engkau seorang bangsawan besar, mendiami sebuah istana, Kongcu! Mana aku…. berani…. Mengganggumu?”

"Ih, jangan berlebihan, Nona. Aku tinggal seorang diri disini. Memang istana ini peninggalan mendiang orang tuaku. Akupun sebatang kara, yatim piatu dan tinggal disini hanya dengan tiga orang pelayan tua. Mari, masuklah dan jangan khawatir."

Seorang kakek tukang kebun, seorang kakek dan nenek penjaga rumah dan merangkap tukang masak, menyambut kedatangan kongcu mereka. Biarpun mereka merasa heran melihat majikan mereka pulang bersama seorang gadis muda yang cantik, namun mereka tidak berani bertanya sesuatu. Sun Hok berkata kepada nenek yang menjadi pengurus rumah tangga di rumahnya.

"Nek, harap antarkan Nona ini ke dalam kamar tamu dan layani ia baik-baik. Kemudian, persiapkan makan malam untuk kami berdua di ruangan makan." Kepada gadis itu Sun Hok berkata, "Nona, silakan Nona mengikuti nenek ini ke kamar Nona, dan Nona dapat mandi dan beristirahat sebelum kita makan malam."

Gadis itu berkata.
"Aku akan membantu Nenek masak."

Ketika makan malam telah dihidangkan di ruangan makan, Sun Hok melihat gadis itu sama sekali bukan sebagai tamu, melainkan sebagai pelayan karena nona inilah yang membantu nenek masak dan menghidangkan semua masakan di atas meja. Nenek itupun dengan gembira berkata,

"Kongcu, Nona inilah yang memasak semuanya. Ia pandai masak! Dan ia yang memaksa diri untuk membantu mempersiapkan makanan ini."

Sun Hok memandang dengan senang. Nona itu agaknya telah mandi, akan tetapi pakaiannya lucu, mengenakan pakaian bersih yang biasa dipakai nenek itu, agaknya terlalu besar dan sederhana sekali, pakaian pelayan!

"Ia memaksa meminjam pakaian saya, Kongcu," kata Si Nenek, takut kalau disalahkan.

"Untuk sementara saja, Nek." Kata gadis itu. "Pakaianku terbawa orang jahat, biar besok aku akan membeli beberapa potong karena aku masih mempunyai simpanan uang sedikit."

Mereka kini duduk makan nasi dan masakan. Berdua saja karena para pelayan dengan penuh pengertian meninggalkan mereka. Para pelayan itu sudah tua, dan biarpun mereka tidak tahu hubungan apa yang terdapat antara dua orang muda itu, namun mereka tidak suka .menjadi pengganggu.

Setelah makan malam dan mereka duduk berdua di serambi depan, barulah mereka memperoleh kesempatan untuk berkenalan! Di bawah sinar lampu yang cukup terang, mereka bercakap-cakap.

"Nona, kiranya sekarang sudah tepat kalau aku mengetahui siapa dirimu dan apa yang telah terjadi denganmu sehingga engkau tertawan lima orang jahat itu. Ketahuilah, aku bernama Can Sun Hok, yatim piatu dan tinggal disini bersama tiga orang pelayan tadi. Tidak ada apa-apa yang aneh tentang diriku untuk diceritakan dan kuharap engkau menceritakan segala yang telah terjadi denganmu, tentu saja kalau engkau percaya padaku."

Gadis itu menarik napas panjang dan wajahnya yang lembut dan cantik manis itu kini seperti tertutup awan tipis, nampak agak muram. Akan tetapi ia tidak menangis, bahkan mencoba untuk tersenyum, senyum pahit.

Sun Hok dapat menduga bahwa semua ini, gadis itu tentu telah mengalami banyak penderitaan batin yang tersembunyi di balik wajah yang demikian cantik menariknya. Gadis yang halus lembut, penuh kewanitaan, bukan seperti Cia Kui Hong dan ibunya, Ceng Sui Cin, yang merupakan wanita-wanita perkasa. Gadis seperti ini membutuhkan perlindungan dan dia akan merasa senang untuk dapat menjadi pelindungnya.

“Namaku Bhe Siauw Cin, Can-kongcu."

Ia berhenti seperti hendak melihat tanggapan pemuda itu, apakah pernah mendengar nama itu ataukah belum.

"Nama yang bagus." kata Sun Hok yang melihat gadis itu menghentikan pembicaraannya.

Kembali gadis itu, Siauw Cin, menghela napas panjang.

"Engkau belum pernah mendengar namaku, hal ini saja menunjukkan bahwa engkau seorang pemuda bangsawan yang lain daripada semua pemuda di Siang-tan ini, Kongcu. Semua pemuda lain, kalau belum pernah melihatku, setidaknya tentu pernah mendengar namaku."

"Begitu terkenalkah engkau, Nona Bhe?"

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar