*

*

Ads

Sabtu, 26 Mei 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 160

"Betapa janggalnya. Engkau, seorang pemuda bangsawan tinggi yang kaya raya, menyebut aku Nona Bhe. Padahal, orang lain menyebut namaku Siauw Cin seperti nama boneka saja. Ya, orang lain menganggap aku tidak lain hanya sebagai boneka. Aku memang dikenal di kota ini, Kongcu, terutama oleh para pria yang suka mengejar kesenangan. Aku seorang gadis penyanyi, gadis penghibur ."

"Ahhh….. !"

Sun Hok benar-benar terkejut karena tidak menyangka sama sekali. Dia sendiri belum pernah keluyuran ke rumah-rumah hiburan, belum pernah bergaul dengan gadis penyanyi, gadis penghibur atau pelacur, akan tetapi dia tahu betapa rendah dan hinanya martabat seorang gadis penghibur. Hampir dia tidak dapat percaya bahwa gadis seperti ini adalah seorang gadis penghibur yang boleh menghibur setiap pria yang mampu dan suka membayarnya!

Siauw Cin menundukkan mukanya untuk menyembunyikan kepahitan yang membayang di wajahnya.

"Engkau... engkau mulai kecewa dan menyesal telah mengundangku ke rumah ini, Kongcu?" tanyanya sambil menundukkan muka, suaranya lirih sekali.

"Sama sekali tidak! Aku tadi berseru hanya karena terkejut dan tidak percaya sama sekali! Engkau seorang gadis penyanyi, gadis penghibur? Aku tidak percaya, Nona Bhe!"

Siauw Cin mengangkat mukanya dan tersenyum manis sekali.
"Ya Tuhan, baru sekarang inilah ada ucapan yang demikian menggirangkan hatiku, akan tetapi juga mendatangkan duka dan penyesalan. Baiklah, aku akan menceritakan riwayatku kepadamu, Kongcu. Belum pernah aku menceritakan riwayat hidupku kepada siapapun juga dan engkaulah orang pertama dan satu-satunya yang akan mendengar riwayatku."

Siauw Cin lalu bercerita. Ia sejak kecil telah dijual oleh orang tuanya yang tidak mampu kepada keluarga bangsawan di kota raja. Karena sejak kecil ia nampak mungil dan cantik, maka Iapun oleh keluarga itu dididik sehingga pandai baca tulis, pandai melakukan pekerjaan kerajinan, masak dan lain-lain bahkan dilatih pula untuk memainkan alat musik, menari dan menyanyi. Pendeknya, ia dilatih untuk menjadi seorang dayang yang baik.

Ketika ia berusia enam belas tahun, majikannya sendiri, seorang bangsawan tua di kota raja, tergila-gila kepadanya dan menggaulinya. Karena sebagai dayang ia tiada bedanya dengan seekor anjing atau kucing peliharaan, atau sebuah benda mahal di rumah itu yang sepenuhnya dikuasai majikannya, Siauw Cin hanya mampu menangis ketika menyerahkan diri.

Hal ini diketahui oleh isteri majikannya dan iapun dijual! Ia dijual ke sebuah rumah hiburan yang besar di kota raja, dengan harga cukup tinggi mengingat ia masih muda, belum banyak terjamah pria, pandai bermain musik, menari dan menyanyi.

Sebentar saja nama Siauw Cin terkenal dikalangan para hartawan dan bangsawan yang suka berkeluyuran di rumah-rumah hiburan. Ia menjadi kembang baru yang mahal harganya. Dengan kedudukannya yang amat menguntungkan pemilik rumah hiburan. Siauw Cin dapat menjual mahal. Ia tidak sudi melayani segala macam orang, tidak mau menyerahkan diri secara sembarangan saja, melainkan iapun berhak memilih.

Demikianlah gadis penghibur yang menjadi rebutan. Ia nampak hidup bergelimang kemewahan dan kesenangan, namun sesungguhnya, seringkali kalau ia rebah seorang diri di dalam kamarnya, ia menangis menyesali nasib dirinya dan masa depannya yang suram.. Betapa pedih hatinya kalau ia secara terpaksa harus menyerahkan dirinya dipermainkan sesuka hatinya oleh seorang pria yang sama sekali tidak dicintanya!

Tak mungkin ia menolak mereka semua, karena hal itu tentu akan membuat pemilik rumah hiburan menjadi marah, dan ia bisa disiksa kalau terus-menerus menolak. Biarpun jarang, ia harus sekali waktu mau menerima langganan yang royal. Betapa memuakkan membiarkan diri digeluti seorang laki-laki tua botak yang gendut perutnya dan terengah-engah napasnya. Ingin rasanya mati saja!

"Kemudian, entah mengapa aku sendiri tidak tahu, Kongcu. Pagi tadi aku dijual kepada lima orang yang datang itu. Aku dipaksa ikut bersama mereka, naik perahu itu dan katanya aku telah dibeli oleh bengcu mereka yang berjuluk Lam-hai Giam-lo. Dapat kubayangkan betapa rasa takutku, karena baru mendengar namanya saja aku sudah merasa ngeri. Apalagi lima orang itu bersikap kasar kepadaku. Kemudian, muncullah engkau, Kongcu."

Sejak tadi Sun Hok mendengarkan dengan bermacam perasaan mengaduk batinnya. Tak disangkanya bahwa gadis ini adalah seorang gadis penghibur, bukan seorang dara yang bersih tanpa noda, melainkan seorang wanita yang biarpun masih amat muda, sudah berulang kali terjatuh ke tangan bermacam pria! Sungguh sukar untuk dapat dipercaya! Gadis yang begini halus, sopan, lembut!






“Karena itu, ketika engkau bertanya tentang tempat tinggalku, aku menjadi bingung, Kongcu. Aku telah dijual, berarti telah bebas dari rumah hiburan itu dan sampai matipun aku tidak sudi kembali ke sana! Lebih baik aku mati saja!”

Dan baru sekarang Siauw Cin tak dapat menahan lagi airmatanya yang bercucuran membasahi kedua pipinya. Cepat ia mengusap air mata dengan saputangan sambil menundukkan mukanya. Tangis yang wajar, bukan tangis buatan, dan Sun Hok dapat merasakan kebingungan hati wanita ini.

"Sungguh engkau seorang gadis yang bernasib malang sekali, Nona. Lalu, sekarang kalau engkau tidak sudi kembali kepada induk semangmu itu, apa rencanamu selanjutnya untuk melanjutkan perjalanan hidupmu yang penuh liku-liku itu?"

Cepat saja Siauw Cin dapat menghentikan tangisnya. Sudah terlampau banyak ia menangis, sudah pandai ia menekan perasaan duka di hatinya. Ia menghapus sisa air matanya dan dengan sepasang mata kemerahan ia memandang kepada pemuda itu.

"Kongcu, sudah terlampau lama saya hidup dengan batin tersiksa, bahkan ketika berjumpa denganmu, Kongcu, semakin nampak jelas sekali betapa kotor kehidupanku yang sudah lampau. Aku berjanji dalam hatiku, ketika kita sama-sama makan ikan di tepi sungai itu, Kongcu, bahwa saya akan meninggalkan kehidupan lama. Lebih baik mati daripada aku harus kembali menjadi gadis penghibur! Aku akan mencari pekerjaan, menjadi pelayan, menjadi tukang masak, apa saja, bahkan kalau perlu mengemis, daripada menjadi wanita penghibur. Itulah tekadku, Kongcu. Besok pagi-pagi aku akan pergi dan mencari pekerjaan, dari rumah ke rumah. Mustahil tidak akan ada yang suka menerima aku sebagai tukang cuci atau tukang masak atau pengasuh anak kecil….."

"Kalau begitu, engkau tidak perlu pergi, Nona. Biarlah engkau kuterima bekerja disini saja, menjadi tukang masak." Cepat Sun Hok berkata sambil menatap wajah yang cantik halus kemerahan itu.

Siauw Cin mengangkat mukanya dan kembali dua sinar mata bertaut sampai lama. Akan tetapi sekali ini Siauw Cin menundukkan mukanya dan dengan suara lirih ia berkata.

"Can-kongcu, aku... aku tidak tega untuk menodai namamu yang bersih….”

"Eh, apa maksudmu?"

"Semua orang tahu siapa diiriku, dan kalau mereka mendengar bahwa aku sekarang disini, tentu nama Kongcu akan terseret dan ternoda….."

"Peduli amat dengan pendapat orang lain! Bukankah engkau disini kuterima sebagai tukang masak?"

"Takkan ada yang mau percaya, Kongcu. Engkau seorang Kongcu yang hidup membujang, belum berkeluarga, tentu mereka akan menyangka yang bukan-bukan, apalagi kalau mendengar bahwa Kongcu yang telah merampasku dari tangan lima orang penjahat itu."

"Nona….."

"Kongcu ingin menerimaku sebagai seorang tukang masak, seorang pelayan, akan tetapi masih menyebutku Nona. Bukankah ini saja sudah janggal sekali?"

"Baiklah, Siauw Cin, aku bermaksud menolongmu. Aku kasihan kepadamu dan aku girang sekali engkau hendak meninggalkan cara hidupmu yang lama. Engkau tinggallah saja disini, memasak untukku dan takkan ada orang yang berani mengganggu selembarpun rambutmu."

Kembali mereka saling pandang dan perlahan-lahan kedua mata gadis itu kembali menjadi basah tanpa ia ketahui. Pandang mata pria ini! Belum pernah ia bertemu dengan pandang mata seperti itu! Biasanya, ia sudah terbiasa oleh pandang mata pria kalau ditujukan kepadanya. Pandang mata pria itu tentu akan menjelajahi seluruh tubuhnya, dari rambut turun sampai ke kaki, seperti pandang mata seorang pedagang sapi yang sedang menaksir seekor sapi yang akan dibelinya, atau seperti pandang mata seorang yang sedang memilih sebuah benda indah yang hendak dibelinya. Pandang mata pria itu lalu penuh dengan kagum yang penuh nafsu berahi.

Akan tetapi, pandang mata Can-kongcu ini sama sekali tidak seperti itu! Memang ada rasa kagum dalam sinar mata yang kadang mencorong menakutkan itu, akan tetapi, rasa kagum yang membayangkan iba yang mendalam!

"Bagaimana, Siauw Cin? Maukah engkau menjadi tukang masakku di rumah ini? Kalau engkau tidak mau, tentu saja aku tidak akan memaksamu."

"Aku? Tidak mau? Aih, Can-kongcu, bagaimana mungkin aku tidak mau menerima dengan tangan dan hati terbuka? Bahkan inilah kesempatan bagiku untuk membalas budi Kongcu, walaupun hanya merupakan setetes air di samudera. Kalau tadi saya meragukan, hanya karena saya hendak menjaga nama baik Kongcu sendiri. Tentu saja saya mau dan mau sekali, Kongcu!"

Sun Hok tersenyum, lega hatinya. Akan tetapi, Siauw Cin lalu bangkit berdiri dan mundur.

"Eh, apalagi ini? Engkau belum selesai bicara denganku."

Siauw Cin membungkuk.
"Kongcu, lupakah Kongcu bahwa mulai saat ini saya menjadi pelayan Kongcu, khususnya tukang masak? Sungguh tidak pantas seorang pelayan bercakap-cakap dengan majikannya. Saya sekarang bukan tamu lagi, hal ini harap Kongcu ingat baik-baik, kalau Kongcu tidak menginginkan orang lain mencemooh Kongcu. Dan saya akan menjaga agar Kongcu tidak dicemooh orang. Selamat malam, Kongcu, saya harus memberitahukan kepada kedua kakek dan nenek. Atau, barangkali Kongcu masih hendak memerintah sesuatu kepada saya?"

Sun Hok tersenyum, meragu, lalu menggeleng kepala.
"Baiklah, selamat tidur, Siauw Cin. Aku... aku sungguh girang sekali engkau menerima permintaanku, tinggal di rumah ini."

Dia mengikuti langkah gadis itu dengan pandang matanya sampai bayangan gadis itu menghilang di balik pintu yang menuju ke ruangan belakang.

**** 160 ****
Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar