*

*

Ads

Senin, 28 Mei 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 170

Melihat betapa dua orang muda itu memandang ke arah kedua kakinya, nenek itu berkata.

"Kalian tidak mengira bahwa kedua buah kakiku lumpuh? Ya, aku lumpuh, aku tidak berdaya, aku... aku wanita yang menderita hebat penuh kesengsaraan! Dan semua ini gara-gara dia!"

Tiba-tiba nenek itu kelihatan beringas, wajahnya yang cantik itu berubah menjadi kejam dan sepasang matanya seperti mengeluarkan api. Pedang di tangannya lalu dimainkan, menyambar-nyambar ganas.

"Karena itu, aku harus menghajarnya, akan kuserang dia mati-matian!"

Pedang itu menyambar-nyambar dan kedua orang muda itu terkejut karena mereka mengenal gerakan ilmu pedang yang dahsyat sekali. Pedang itu berubah menjadi sinar putih bergulung-g:ulung dan mengeluarkan suara berdesing dan mengiang, lalu sinar itu mencuat ke arah sebongkah batu.

"Crakkk!" nampak bunga api berpijar dan batu itupun terbelah menjadi dua! Beberapa kali pedang itu menyambar ke arah batu.

"Seperti inilah dia akan kucincang….!”

Nenek itu berteriak-teriak dan batu besar itu kini menjadi puluhan potong! Tiba-tiba seperti permulaannya tadi, ia menghentikan permainan pedangnya, memandang ke arah batu itu, kemudian kepada pedangnya dan iapun menangis kembali, agaknya merasa menyesal bahwa yang dipotong-potong itu bukan tubuh musuhnya, melainkan hanya sepotong batu besar!

"Uhu-hu-huuu... aku memang wanita malang, menderita dan sengsara…" dan tiba-tiba, pedang itu ditekuknya dengan kedua tangannya dan ia sudah memaki marah lagi. "Keparat, akan kupatahkan tulang lehernya seperti ini!"

"Krekkk!" Pedang yang ditekuknya itu patah menjadi dua potong.

"Dan kucampakkan tubuhnya ke jurang seperti ini!"

Dilemparkan dua potongan pedang itu keluar guha, dan dua batang benda itu meluncur ke dalam jurang yang amat curam itu. Dua orang muda itu saling pandang, terkejut dan juga kagum karena mereka melihat betapa pedang itu dengan mudahnya dapat membelah batu, tanda bahwa pedang itu terbuat dari baja yang amat baik. Akan tetapi dengan amat mudahnya, nenek itu mematahkan pedang tadi dengan kedua tangannya! Inipun membuktikan betapa kuat jari-jari tangan nenek itu.

"Nenek yang baik, siapakah orang jahat yang membuatmu hidup sengsara itu? Kami tentu akan suka membantumu, asal saja engkau dapat menunjukkan jalan keluar bagi kami." kata Kui Hong agak terharu juga melihat keadaan nenek itu.

Jelas seorang nenek yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi karena kedua kakinya lumpuh, tentu saja ia menjadi tak berdaya menghadapi musuhnya.

"Apakah dia yang membuat kakimu menjadi lumpuh? Apakah dia yang membuat engkau hidup merana seorang diri di dalam guha ini?"

Ditanya demikian, kembali nenek itu menangis, sesenggukan dan air matanya bercucuran. Kui Hong dan Hay Hay mendiamkannya saja, hanya memandang dengan hati iba, akan tetapi tidak berani terlalu dekat dengan nenek yang aneh itu.

Setelah menangis beberapa lamanya, nenek itu menghentikan tangisnya dan berkata, seperti menjawab pertanyaan-pertanyaan Kui Hong tadi.

"Jalan keluar satu-satunya dari jurang ini adalah melalui guha ini, akan tetapi jalan itu merupakan rahasia, yang mengetahuinya hanya aku dan dia saja! Tanpa petunjukku, biar kalian sudah berada di dalam guha ini, sampai matipun kalian takkan dapat menemukan jalan rahasia itu!

Memang setan itulah yang telah melumpuhkan kakiku, dan dia mencampakkan aku ke dalam tempat ini. Sudah dua puluh lima tahun lamanya! Dengar, dua puluh lima tahun lamanya aku hidup di tempat ini, dalam keadaan lumpuh, seorang diri pula. Aihhh... betapa malang nasibku... dan baru hari ini aku bertemu dengan manusia lain, yaitu kalian inilah…"

"Tapi, Locianpwe (sebutan orang tua yang gagah perkasa)." kata Hay Hay. "Aku melihat bahwa engkau amat lihai, memiliki ilmu kepandaian tinggi, dan kalau mengenal jalan rahasia itu, kenapa tidak keluar selama ini?"

“Ah, dasar nasibku yang buruk. Apakah engkau lupa bahwa sebelum mencampakkan aku ke dalam tempat ini, setan itu lebih dahulu membuat kedua kakiku lumpuh? Dalam keadaan lumpuh seperti ini, betapapun tinggi ilmu silatku, mana mungkin aku dapat keluar melalui jalan rahasia itu? Jalan itu menanjak, licin dan amat sukar. Orang yang tidak cacat sekalipun, kalau dia tidak memiliki ilmu kepandaian tinggi, jangan harap dapat keluar. Sudah berkali-kali kucoba, akan tetapi aku terjatuh lagi kesini."






“Akan tetapi, Nek, siapakah orang itu, dan siapa namanya?" tanya Kui Hong penasaran dan ia tidak mau menyebut locianpwe seperti yang dilakukan Hay Hay, mengingat bahwa tadi nenek ini hendak membunuh mereka berdua ketika masih berada di atas pohon.

"Setan itu bernama Lauw Kin, berjuluk Hek-hiat-kwi (Setan Berdarah Hitam) dan dia masih suamiku sendiri."

"Ahhhh !" Hampir berbareng Hay Hay dan Kui Hong berseru kaget dan heran. "Suamimu sendiri? Akan tetapi, kenapa seorang suami berbuat seperti ini terhadap isterinya?" tanya Kui Hong, semakin penasaran dan sebagai seorang wanita tentu saja segera ia merasa terpanggil untuk berpihak kepada nenek itu, menentang suami nenek itu yang demikian kejam dan jahatnya.

Nenek itu mengerling ke arah Hay Hay, lalu menarik napas panjang dan dengan sikap sedih ia menundukkan mukanya.

"Laki-laki mana yang dapat dipercaya di dunia ini? Sebelum didapatkannya seorang wanita, dia merayu dengan kata-kata manis, semanis madu. Akan tetapi setelah wanita berhasil dipikatnya dan menjadi isterinya, dia akan merasa bosan dan mencari lain wanita! Dan aku sebagai isterinya, tentu saja merasa sakit hati dan cemburu, lalu aku hendak membunuh wanita itu. Akan tetapi dia membela wanita itu, dan dia amat lihai. Aku kalah, kedua kakiku dilumpuhkan dan dia melempar aku ke tempat ini!"

"Jahanam keparat laki-laki itu!”

Kui Hong berseru sambil mengepal tinju dan hatinya sudah merasa panas sekali. Akan tetapi Hay Hay tetap tenang-tenang saja dan dia bertanya.

"Locianpwe, tadi engkau mengatakan bahwa sudah dua puluh lima tahun Locianpwe hidup di tempat ini. Akan tetapi, dalam keadaan lumpuh pula... bagaimana Locianpwe dapat bertahan untuk hidup?"

"Guha ini luas sekali, memiliki banyak terowongan, bahkan ada beberapa diantaranya yang menembus ke dinding tebing, menjadi guha kecil lain, di suatu guha kecil-kecil itu terdapat banyak sekali burung-burung walet dan sarang mereka. Aku dapat makan telur dan daging burung walet, juga liur mereka yang ditinggalkan di sarang merupakan makanan lezat dan penguat tubuh. Kadang-kadang ada pula ular memasuki guha-guha kecil itu dan daging ular lezat sekali. Dan di dalam terowongan terdapat banyak akar pohon yang dapat dimakan, bahkan ada tanaman di muka guha kecil yang mengeluarkan buah yang manis. Ada pula air jernih mengucur di tepi terowongan. Aku dapat makan minum setiap hari, tidak khawatir kelaparan. Hanya pakaian aku tidak punya, kecuali beberapa stel yang dahulu oleh iblis itu dilempar pula kesini. Akan tetapi kini sudah habis, tinggal yang kupakai ini."

"Dan Locianpwe masih punya waktu untuk memintal tali itu dan berlatih menggunakan batu kerikil untuk senjata rahasia dengan meniupnya?"

"Heh-heh, engkau memang cerdik, orang muda. Memang, banyak waktu luang selama ini, dan aku dapat menambah ilmuku untuk melengkapi kekuranganku karena lumpuh, dengan setiap hari belajar melempar dan meniup kerikil yang kupecahkan dari batu-batu besar. Juga beberapa pukulan. Dan mengenai tali itu, memang kupilih dari semacan rumput yang tumbuh di terowongan. Tadinya aku bermaksud untuk menggunakan tali itu keluar dari sini, akan tetapi selalu gagal."

"Nenek yang malang." kata Kui Hong. "Sudah dua puluh lima tahun hidup seorang diri di tempat sunyi ini, akan tetapi engkau masih lancar bicara."

Gadis ini juga amat cerdik dan perkataannya itu memancing, menyembunyikan kecurigaannya karena memang aneh melihat seseorang yang hidup menyendiri selama dua puluh lima tahun masih mampu bicara sedemikian lancarnya.

Nenek itu tersenyum menyeringai dan kini melihat mulut tanpa gigi itu dari dekat, mendatangkan kesan aneh, seolah-olah melihat seorang bayi yang sudah besar sekali.

"Heh-heh, tidak aneh sama sekali, Nona manis, karena aku selalu mengajak semua benda, baik yang hidup seperti burung atau ular, maupun yang mati seperti batu, jamur dan pohon…"

"Jamur dan pohon itu hidup, Nek, bahkan batupun mungkin hidup, siapa tahu?"

Hay Hay berkelakar. Setelah terbebas dari ancaman maut di pohon itu, pemuda ini sudah memperoleh kembali kejenakaanya.

"Hemm, maksudku yang tidak bergerak, orang muda. Aku selalu mengajak mereka semua itu bicara, setiap hari sehingga aku tidak lupa akan bahasa kita ini. Nah, sekarang aku menagih janji. Kalian sudah kuselamatkan di tempat ini, bahkan hanya aku yang akan mampu mengantar kalian keluar dari sini. Sekarang aku minta kepada kalian untuk membantuku menghadapi laki-laki jahanam yang telah menyiksaku lahir batin seperti ini."

"Aku siap, Nek! Katakan dimana laki-laki jahanam itu dan aku akan menghajarnya!" kata Kui Hong lantang.

"Akan tetapi yang penting bagiku adalah janji pemuda ini. Suamiku itu lihai bukan main dan karena aku tadi sudah menyaksikan kemampuan pemuda ini, kiranya hanya dialah yang akan mampu menghadapi dan mengatasinya."

"Hay Hay, engkau tentu juga sanggup membantu Nenek ini, bukan?"

Kui Hong segera bertanya kepada Hay Hay. Pemuda itu tersenyum, sejenak memandang kepada gadis itu, kemudian menoleh kepada nenek yang bermata tajam dan agaknya biarpun lumpuh, amat cerdik dan juga lihai ini.

Karena dia sendiri maklum bahwa sekali berjanji, maka janji itu harus ditepatinya, maka Hay Hay mengambil cara lain. Diam-diam dia mengerahkan kekuatan sihirnya sambil menatap nenek itu diantara kedua matanya, lalu berkata sambil tersenyum namun suaranya berbeda dari biasanya, mengandung getaran yang amat berwibawa.

"Lociapwe percaya penuh kepadaku. Bawalah kami keluar dari sini, dan ke tempat tinggal laki-laki itu sekarang juga."

Nenek itu mengangguk-angguk, mulutnya berkata lirih,
"Baik... aku percaya padamu dan kalian akan kuantar keluar, menemui laki-laki itu…!”

Kemudian ia menundukkan muka dan nampaknya bingung. Melihat ini, Kui Hong mengerutkan alisnya, menatap tajam wajah Hay Hay.

"Hay Hay, permainan apa yang kau lakukan ini?"

Ia merasa tidak senang karena ia dapat menduga bahwa pemuda itu agaknya telah mempengaruhi nenek yang malang itu dengan sihirnya!

Hay Hay tersenyum.
"Kui Hong, aku tidak main-main." Lalu dia menoleh kepada nenek itu dan berkata. "Engkau tahu aku tidak main-main Locianpwe dan marilah kita berangkat sekarang juga keluar dari sini."

Nenek itu mengangkat mukanya perlahan dan menjawab.
"Aku tahu engkau tidak main-main dan mari kita berangkat sekarang juga keluar dari sini.”

Ia seperti seekor burung kakatua yang pandai bicara dan menirukan semua kata-kata yang diucapkan Hay Hay.

Kui Hong tidak mengerti, permainan apa yang sedang dilakukan Hay Hay dengan menyihir nenek yang telah menolong mereka itu. Namun, iapun girang mendengar bahwa mereka akan keluar dari tempat itu.

"Marilah kita berangkat!" katanya gembira dan menggandeng tangan nenek itu.

"Aku... kakiku... tidak dapat berjalan…." kata nenek itu.

Agaknya baru Hay Hay dan Kui Hong sadar akan keadaan nenek itu. Mereka merasa diri bodoh sekali. Kalau nenek itu mampu berjalan seperti orang biasa, pasti ia tidak akan sampai dua puluh lima tahun tinggal di dalam guha itu! Kui Hong tersenyum.

"Aih, betapa bodohku, sampai lupa akan keadaanmu, Nek!" katanya.

Hay Hay juga tersenyum dan Kui Hong melanjutkan kata-katanya,
"Hay Hay, sebaiknya kalau engkau menggendongnya. Nenek yang baik, biarlah dia menggendongmu!"

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar