*

*

Ads

Selasa, 29 Mei 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 171

Karena sihirnya itu datangnya dari Hay Hay, maka tentu saja nenek itu hanya mentaati kata-kata Hay Hay, dan mendengar ucapan Kui Hong, ia mengerutkan alisnya dan berkata dengan ketus.

"Ihh! Kau kira aku ini wanita macam apa yang mau begitu saja digendong seorang pria? Tidak, sampai matipun aku tidak sudi! Engkaulah yang harus menggendongku keluar dari tempat ini, Nona."

Kui Hong merasa geli mendengar ini. Sudah nenek-nenek tua renta masih banyak lagak, malu-malu seperti wanita muda saja. Akan tetapi ia mengerutkan alisnya. Nenek itu demikian kotor, dan kedua kakinya nampaknya lemas seperti tak bertulang saja. Ia merasa jijik. Lalu timbul gagasan yang dianggapnya amat baik.

"Hay Hay, pergunakan pengaruhmu untuk memaksa ia agar suka kau gendong!"

Akan tetapi Hay Hay tersenyum dan menggeleng kepala.
"Tidak bisa, Kui Hong. Yang bicara itu adalah naluri kewanitaannya dan itu amat kuat. Ia tidak mungkin dapat dipaksa. Gendonglah agar kita cepat dapat keluar dari sini."

Biar ia tahu rasa sedikit, pikir Hay Hay. Betapapun juga, ia mendongkol mendengar Kui Hong hendak memaksanya untuk menggendong wanita itu. Pula, di lubuk hatinya, dia masih belum percaya kepada wanita ini. Kalau dia yang menggendong, lalu wanita itu menyerangnya, akan berbahaya sekali bagi mereka berdua. Sebaliknya, kalau Kui Hong yang menggendong, dia dapat melindungi gadis itu dari marabahaya. Seorang nenek yang demikian kejamnya, yang tadi berusaha membunuh dia dan Kui Hong tanpa sebab, tidak boleh dipercaya begitu saja.

Kui Hong bersungut-sungut dan matanya yang jeli indah dan tajam itu menyambar seperti hendak menyerang pemuda itu. Akan tetapi ia mengalah dan terpaksa lalu berjongkok di depan nenek itu, membelakanginya.

"Baiklah, baiklah, memang aku yang sedang sial hari ini!"

Hay Hay ingin tertawa besar namun hanya ditahannya karena dia tidak mau membuat gadis itu menjadi semakin marah. Nenek itu meletakkan kedua tangannya merangkul pundak Kui Hong dan mengangkat tubuh bawah yang tidak berdaya itu ke atas punggung dan pinggul Kui Hong.

Gadis ini merasa geli sekali ketika merasa betapa dua batang kaki yang lumpuh itu bergantungan di kedua sisinya. Terpaksa ia menahan pantat nenek itu dengan tangan kirinya dan membentak Hay Hay.

“Mari kita berangkat!"

Akan tetapi Hay Hay menggeleng kepalanya.
"Aku tidak mengenal jalan itu, bagaimana mungkin dapat menjadi penunjuk jalan? Engkaulah yang berjalan di depan, Kui Hong dan Locianpwe ini yang menjadi penunjuk jalan, aku mengikuti dari belakang. Bukankah begitu, Locianpwe yang baik?"

Nenek itu mengangguk.
"Benar, engkaulah yang berjalan di depan, Nona, aku menjadi penunjuk jalan dan pemuda ini mengikuti dari belakang kita."

Kui Hong merasa semakin mendongkol. Sambil mengerling ke arah Hay Hay, sambil bersungut-sungut ia berkata,

“Seenak perutya sendiri saja!”

Dan kembali Hay Hay menahan ketawanya dan mengikuti di belakang Kui Hong. Nenek itu memberi petunjuk ketika mereka berjalan melalui lorong yang berbelak-belok, akan tetapi lorong terakhir berhenti pada jalan buntu. Di depan mereka terhalang oleh dinding karang. Lorong itu mati sampai disitu.

"Wah, jalan ini buntu, Nek!" Kui Hong berteriak penasaran. "Apakah engkau hendak mempermainkan kami?"

Nenek itu tertawa dan kembali Kui Hong mengkirik. Karena mulut nenek itu berada di dekat telinganya, maka suara ketawa itu terdengar mengerikan.

"Inilah rahasia jalan tembusan itu, hanya aku dan dialah yang mengetahuinya. Bawa aku ke ujung kiri sana itu!"

Kui Hong melangkah ke sudut kiri dan nenek itu menggerayangi dinding batu karang itu dengan kedua tangannya. Tiba-tiba terdengar suara berdetak, lalu diikuti suara bergerit yang nyaring dan terbukalah sebuah lubang di dinding itu, satu meter lebarnya dan dua meter tingginya, tepat untuk masuk satu orang.






Kui Hong merasa berdebar saking girangnya. Nenek ini tidak berbohong. Memang ada jalan keluar dan sebentar lagi ia akan bebas disana! Kegembiraan ini membuat ia melangkah lebar dan cepat memasuki lorong samping itu.

"Hati-hati, Nona. Jalan ini selain sempit, gelap, juga menanjak dan licin bukan main. Dibagian yang paling berbahaya dimana engkau harus merangkak atau meloncati lubang, akan kuberitahukan. Karena itu, jangan melangkah terlampau cepat, satu-satu saja."

Berkata demikian, nenek itu mengulur tangan ke kanan, meraba dinding, agaknya inilah caranya mengenal jalan itu.

Hay Hay sudah melepaskan pengaruh sihirnya karena dia berada di belakang nenek itu dan setiap saat dia dapat melindugi Kui Hong, dan kini dia dapat berkata dengan nada biasa.

"Locianpwe tadi sudah memperkenalkan nama suami Locianpwe yang bernama Hek-hiat-kwi Lauw Kin, akan tetapi belum memperkenalkan diri kepada kami."

Nenek itu mendengus dan menoleh ke belakang, sikapnya tidak lagi lunak dan menyerah seperti tadi, juga suaranya terdengar ketus.

"Hemm, orang muda. Sepatutnya kalian yang lebih dahulu memperkenalkan nama kalian walaupun aku sudah tahu dari cara kalian saling panggil nama."

Hay Hay tertawa.
"Kalau sudah tahu untuk apa bertanya lagi, Locianpwe? Namaku Hay Hay dan ia bernama Kui Hong."

"Namaku... Ma Kim Siu." kata nenek itu singkat dan Hay Hay juga tidak mendesak dengan pertanyaan lain karena nama itu asing baginya.

Tidak mengherankan, pikirnya. Nenek ini sudah berada di dalam jurang yang berguha itu selama dua puluh lima tahun, sebelum dia terlahir di dunia!

Jalan mulai menanjak dan sudah lima kali nenek memberi peringatan agar Kui Hong merangkak. Gadis itu menurut karena ia tahu bahwa kalau tidak mentaati perintah nenek itu, akan berbahaya sekali. Ketika ia merangkak, terasa betapa licinnya lantai yang menanjak. Tiga kali ia harus meloncati lubang yang lebarnya sekitar dua meter. Ia sudah merasa lelah dan hal ini menambah kedongkolan hatinya terhadap Hay Hay.

Akhirnya, setelah melakukan pendakian yang sulit selama kurang lebih setengah jam, di tempat yang gelap pekat lagi, tiba-tiba Kui Hong melihat betapa di depan sudah nampak terang. Jantungnya berdebar tegang dan gembira.

"Di depan terang!" teriaknya, dan ia melangkah lebar .

"Tenanglah, Kui Hong." kata nenek itu. "Dan jangan lari. Ada lubang yang cukup lebar di depan, sebelum kita tiba di bagian yang terang itu!"

Benar saja. Kui Hong kini berhadapan dengan lubang menganga yang lebarnya ada empat meter. Namun, ia yang memiliki gin-kang yang cukup tinggi tingkatnya, dengan mudah sambil menggendong tubuh yang ringan itu, dapat melompatinya dengan mudah, disusul oleh Hay Hay.

"Nah, kita sudah hampir sampai di permukaan bumi!" kata nenek itu, suaranya agak gemetar, tanda bahwa iapun merasa terharu dan gembira karena akhirnya, setelah dua puluh lima tahun hidup seperti dalam neraka di bawah tanah, ia berhasil pula tertolong dan keluar dari tempat itu!

Kini jalan menanjak seperti orang memanjat anak tangga saja, dan sinar matahari masuk menimpa mereka. Nenek itu memejamkan matanya dan berseru.

"Aih, terlalu menyilaukan!"

Selama berada di dalam guha, ia hanya melihat matahari setelah senja mendatang karena guha itu menghadap ke barat sehingga tak pernah ia tertimpa sinar matahari siang.

Ternyata jalan lorong itu menembus ke sebuah lubang seperti sumur, dan mereka berada di lereng sebuah bukit yang lain daripada bukit dimana Hay Hay dan Kui Hong jatuh ke dalam jurang!

Setelah mereka tiba di atas tanah di udara terbuka, hampir Kui Hong menangis saking gembiranya. Ia cepat mengusap kedua matanya dan mulutnya tersenyum, dengan penuh perasaan terima kasih ia memandang ke sekeliling. Demikian indahnya permukaan bumi ini, pikirnya dengan sinar mata berseri. Akan tetapi ia merasa lelah sekali, melakukan perjalanan seperti itu sambil menggendong tubuh Si Nenek Lumpuh yang bernama Ma Kim Siu itu.

"Kau turunlah dulu, Nek, aku ingin beristirahat." katanya kepada nenek itu.

Akan tetapi, tiba-tiba saja nenek itu mengubah sikapnya yang lunak dan dengan hati kaget Kui Hong merasa betapa nenek itu mencengkeram tengkuknya, di bagian yang amat berbahaya. Sekali saja nenek itu mengerahkan tenaganya, ia akan roboh dan tewas!

"Tidak! Awas, jangan membuat ulah macam-macam atau sekali cengkeram engkau akan mampus!" bentak nenek itu.

"Hayo, Hay Hay, sekarang engkau berjalan di depan, kita menuju ke tempat pertapaan Hek-hiat-kwi Lauw Kin!"

Hay Hay tersenyum dan diam-diam dia mengerahkan kekuatan ilmu sihirnya sambil menatap wajah nenek itu.

"Locianpwe Ma Kim Siu, tenanglah dan engkau sendiripun merasa lelah. Kita perlu beristirahat dan turunlah dari punggung Kui Hong." Dia mengerahkan kekuatan sihir untuk menalukkan sikap melawan nenek itu.

Akan tetapi, sekali ini dia dikejutkan oleh sikap nenek itu menghadapi permintaannya yang diucapkan dengan suara menggetar penuh wibawa tadi. Nenek itu terkekeh-kekeh!

"Simpanlah permainanmu itu untuk menakut-nakuti anak-anak, Hay Hay! Hihi-hik, jangan harap engkau akan dapat mempengaruhi aku dengan sihirmu. Nah, cepat engkau berjalan di depan, atau akan kucengkeram tengkuk gadis yang kau cinta ini!"

Hay Hay terkejut, bukan hanya oleh kenyataan bahwa nenek itu tidak terpengaruh oleh sihirnya, akan tetapi terutama sekali nenek itu demikian lancang dan lantang mengatakan bahwa Kui Hong adalah gadis yang dia cinta!

"Kalau begitu... tadi, di dalam lorong... engkau hanya pura-pura saja terpengaruh?" tanyanya, melongo.

"Tentu saja, setelah kalian berjanji akan membantuku. Akan tetapi mana mungkin aku mempercayai omongan cucu Pendekar Sadis dan sute dari keluarga Cin-ling-pai? Huh, Pendekar Sadis dan keluarga Cin-ling-pai adalah orang-orang sombong! Ketahuilah kalian, namaku memang Ma Kim Siu, dan julukanku adalah Kiu-bwe Tok-li, nama ini tentu dikenal baik oleh Pendekar Sadis dan keluarga Cin-ling-pai, heh-heh-heh!"

"Kiu-bwe Tok-li (Wanita Beracun Berekor Sembilan)?" Kui Hong berseru heran. "Pernah aku mendengar julukan Kiu-bwe Coa-li (Wanita Ular Berekor Sembilan…..")

"Nah, mendiang Kiu-bwe Coa-li adalah Enciku.”

"Ia... seorang diantara Cap-sha-kui (Tiga Belas Setan)!" kembali Kui Hong berseru, karena ia pernah mendengar penuturan ibunya tentang tokoh-tokoh sesat itu.

"Memang dan aku ini adiknya."

"Tapi, bagaimana engkau bisa tahu…?”

"Kui Hong, tentu ketika kita bicara di pohon itu, ia sudah lama mengintai dan mendengarkan. Pantas saja begitu muncul ia menyerang kita dengan kerikil-kerikilnya. Kemudian, karena kita mampu menghindarkan diri, ia menganggap kita cukup lihai untuk dipaksa membantunya menghadapi suaminya!" kata Hay Hay.

"Hi-hi-hik! Engkau memang cerdik sekali, orang muda. Cerdik dan lihai! Karena itulah, sejak dari dalam guha aku memilih digendong oleh Nona ini, padahal tentu saja aku akan merasa lebih hangat dan senang digendong seorang pemuda tampan dan muda macam engkau. Sekarang, kalau engkau memperlihatkan perlawanan sedikit saja, sekali menggerakkan tangan gadis kekasihmu ini akan mampus!"

"Nenek lancang mulut! Aku bukan kekasihnya!"

Kui Hong menjerit marah dan biarpun ia merasa betapa jari-jari tangan di tengkuknya itu mempererat cengkeramannya, ia tidak takut sedikitpun juga.

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar