*

*

Ads

Rabu, 30 Mei 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 176

"Habis engkau ini suka main-main, berpura-pura tolol. Pura-pura tidak tahu tentang cinta, padahal engkau ini seorang laki-laki perayu besar, dan aku yakin engkau tentu laki-laki hidung belang, mata keranjang dan kurang ajar! Dan Ibuku selalu memperingatkan aku agar berhati-hati terhadap laki-laki perayu!"

"Wah-wah, banyaknya tuduhan itu! Kau bilang aku hidung belang." dia mengelus hidungnya yang mancung dan sama sekali tidak belang, "akan tetapi aku yakin hidungku tidak pernah belang, dan mata keranjang? Matakupun tidak sekeranjang, juga tidak selalu ditujukan ke ranjang saja. Tentang kurang ajar, mungkin aku kurang ajar karena sejak kecil tidak mengenal Ayah Ibu. Dan perayu? Wah, kapan aku pernah merayumu, Kui Hong?"

Kui Hong membanting kaki kanannya, lalu duduk lagi di atas rumput dan mengomel karena merasa kewalahan berdebat.

"Huh, dasar pokrol bambu! Engkau berkali-kali memujiku, yang cantiklah, yang manislah, yang apalah... apakah itu bukan merayu namanya?"

"Tidak, aku tidak pernah merayu! Aku hanya jujur dan apa salahnya orang bicara jujur dan apa adanya? Apakah aku harus menipu dan berbohong mengatakan bahwa wajahmu yang amat manis itu menjadi amat buruk? Coba lihat saja sendiri. Matamu itu! Begitu indah bentuknya, jeli dan tajam, dengan bulu mata lentik dan alis melengkung indah, kerling matamu demikian tajam menyayat!"

Wajah Kui Hong perlahan-lahan berubah kemerahan karena canggung dan malu, akan tetapi ia diam saja, hanya menundukkan mukanya, tidak berani menentang pandang mata pemuda itu.

"Dan hidungmu itu! Sungguh mati, belum pernah hidupku aku melihat hidung seindah itu. Kecil mancung dan ujungnya dapat bergerak-gerak lucu dan menarik sekali. Daun telingamu seperti gading terukir ahli yang amat pandai, kulit mukamu begitu halus sampai ke leher, putih mulus tanpa cacat "

Kui Hong memejamkan matanya dan merasa betapa hatinya seperti dielus-elus, terasa nikmat dan bahagia sekali.

"Orang tuamu sungguh pandai memilih nama dengan memasukkan Hong karena matamu seperti mata burung Hong. Dan mulutmu! Ah, tidak mudah melukiskan keindahan mulutmu, Kui Hong. Heran aku, bagaimana ada sepasang bibir seperti bibirmu, dalam keadaan bagaimanapun tetap indah menarik. Kalau diam begitu anggun dan manis, kalau tersenyum seperti bunga mawar mekar merekah, kalau tertawa seperti sinar matahari siang yang panas, kalau cemberut juga bertambah manis, seperti bulan redup. Dan rambutmu kacau tak tersisir akan tetapi di dalam kekacauan itu terdapat sesuatu yang amat indah dan sempurna, seolah-olah kalau dibereskan malah berkurang keindahannya. Anak rambut di dahimu itu, di pelipismu, di lehermu, aduhai…!"

Kui Hong menggigit bibirnya. Belum pernah selama hidupnya ia merasakan kenikmatan dan kebahagiaan batin seperti itu. Pujian-pujian seperti itu berbeda sama sekali dengan pujian kurang ajar dari beberapa orang pria yang pernah dihajarnya hanya karena mereka memujinya dengan maksud kurang ajar.

Akan tetapi pujian Hay Hay demikian jujur, demikian indah didengar, demikian mengelus hatinya, membuat ia seperti merasa mengantuk dan nyaman sekali. Ia menggigit bibir dan dengan mengeraskan hati ia berseru.

"Cukup….!!"

Bentakannya itu membuyarkan ayunan yang nikmat tadi dan ia menatap wajah Hay Hay dengan sepasang mata bersinar, penuh selidik. Akan tetapi ia tidak menemukan kekurang ajaran di dalam pandang mata pemuda itu.

"Nah, Kui Hong. Demikianlah kira-kira keadaan wajahmu, yang kugambarkan secara canggung sekali karena bagaimana mungkin menggambarkan keindahan seperti itu. Aku bukan seorang seniman yang pandai. Kalau saja aku pandai melukis! Apakah itu namanya rayuan? Aku hanya menggambarkan dengan jujur, bukan sembarang memuji, bukan merayu dengan pamrih. Kalau engkau cantik, mana mungkin aku mengatakan buruk? Laki-laki yang menyembunyikan kecantikan wanita, tidak jujur dan menyimpan saja dalam hati agar dianggap sopan, maka dia adalah seorang munafik!"

Sejenak keduanya diam dan Kui Hong merasa senang sekali walaupun ia merasa malu dan canggung, Akhirnya ia mengangkat muka dan kedua orang itu beradu pandang.

"Hay Hay, benar-benarkah engkau menganggap aku cantik?"

"Tentu saja. Kalau engkau buruk lalu kukatakan cantik, itu baru merayu namanya. Engkau seorang dara yang gagah perkasa, lihai, cantik dan lincah gembira, Kui Hong."

Kui Hong tidak cemberut kali ini, bahkan tersenyum manis, yakin akan kejujuran pemuda yang dianggapnya istimewa ini. Ia sudah banyak bertemu pria, akan tetapi belum pernah ada yang seperti Hay Hay, demikian pandai memuji dan menyenangkan hati dengan kata-kata yang indah seperti merayu, namun tidak memiliki pandang mata kurang ajar atau tidak sopan seperti pandang mata pria lain. Hatinya senang sekali.






"Dan engkaupun seorang pemuda yang tampan, sederhana namun memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, Hay Hay."

Hay Hay tertawa girang. Dia bangkit berdiri dan menjura dengan tubuh membungkuk sampai dalam.

"Terima kasih, Nona manis, terima kasih atas pujianmu. Ternyata engkau mudah sekali belajar menjadi manusia yang jujur!” Dia lalu memandang ke sekeliling. "Akan tetapi senja telah larut dan malam hampir tiba. Tidakkah sebaiknya kita melanjutkan perjalanan mencari dusun agar kita mendapatkan rumah untuk melewatkan malam?"

Kui Hong menggeleng kepalanya.
"Tidak, malam ini bulan muncul dan tempat inipun cukup menyenangkan. Aku masih lelah dan biar kita melewatkan malam disini saja. Akan tetapi, kalau engkau ingin mencari rumah penginapan di dusun, silakan pergi dan biarlah aku tinggal disini sediri!" Kalimat terakhir mengandung kekerasan.

"Ha-ha-ha, engkau sungguh seperti sebutir batu mulia, Kui Hong!"

"Hemm? Apa artinya engkau menyamakan aku dengan batu?"

"Batu bukan sembarang batu, Nona, melainkan batu mulia seperti intan dan kemala, indah, bernilai tinggi, akan tetapi keras seperti baja. Baiklah, kalau engkau menghendaki bermalam disini, akupun suka sekali. Kita dapat bercakap-cakap agar perkenalan antara kita lebih akrab. Yang kuketahui darimu hanyalah bahwa engkau bernama Cia Kui Hong, puteri Ketua Cin-ling-pai. Tentu saja aku ingin mengetahui lebih banyak."

"Engkau harus bercerita lebih dulu." kata Kui Hong sambil menjulurkan kedua kakinya dan duduk bersandar batang pohon yang tumbuh disitu.

Tempat itu memang enak sekali, rumputnya tebal dan bersih, ada pohon yang melindungi mereka dan agaknya tak jauh dari situ terdapat anak sungai karena terdengar suara gemericik air.

"Baiklah, akan tetapi karena memang tidak ada apa-apanya yang menarik tentang diriku, kau boleh bertanya apa saja dan aku akan menjawab."

"Hay Hay, tadi ketika engkau bertanding melawan Hek-hiat-kwi, engkau terdesak dan kemudian ternyata engkau bersiasat dan mengalah untuk menjebak nenek iblis. Andaikata engkau tidak mengalah, apakah engkau akan dapat mengalahkan Hek-hiat-kwi?"

"Locianpwe itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, ilmu silatnya aneh dan matang, tenaga saktinya juga amat kuat. Akan tetapi, aku yakin akan mampu mengatasinya kalau kami bertanding dengan sungguh-sungguh." jawab Hay Hay sejujurnya.

Gadis itu mengangguk-angguk tanpa melepaskan tatapan matanya kepada wajah pemuda itu dengan sinar mata kagum.

"Akupun menduga demikian Hay Hay, engkau begini lihai ilmu silatmu, jauh lebih tinggi daripada kepandaianku, bahkan engkau pandai ilmu sihir, dan engkau mengaku masih sute dari Toako (Kakak Besar) Cia Sun…"

"Eh? Engkau menyebut Toako kepada Suheng Cia Sun? Apa hubunganmu…."

"Nanti dulu. Ingat, kini giliran cerita tentang dirimu! Nah, siapakah gurumu yang membuat engkau demikian lihai?"

"Wah, Kui Hong, terus terang saja, selama ini aku tidak pernah menceritakan kepada siapapun tentang guru-guruku. Akan tetapi karena aku sudah berjanji untuk menjawab, biarlah aku memberi pengecualian kepadamu. Engkau seorang gadis yang hebat, pantas mendapatkan keistimewaan itu. Nah, guru-guruku banyak. Yang mengajar ilmu silat adalah dua orang dari Delapan Dewa, yaitu. Ciu-sian Sin-kai, majikan Pulau Hiu di Pohai, dan See-thian Lama atau Go-bi Sian-jin, yaitu guru suheng Cia Sun. Yang mematangkan ilmu-ilmuku adalah suhu Song Lojin (Kakek Song) dan Guruku dalam ilmu sihir adalah mendiang Pek Mau san-jin."

Kui Hong memandang penun kagum.
"Pantas engkau hebat. Kiranya yang menjadi guru-gurumu dalam ilmu silat adalah dua diantara Delapan Dewa. Aku pernah mendengar dari Kong-kong (Kakek) tentang kehebatan Delapan Dewa. Sekarang aku ingin tahu tentang keluargamu. Engkau tentu sudah beristeri…"

"Ah, jangan mengejek, Kui Hong! Siapa sudi kepada orang macam aku? Aku belum menikah, bertunanganpun belum, pacarpun tidak punya!"

"Hemm, benarkah? Engkau sudah begitu berpengalaman dan pandai menyenangkan hati wanita, dan usiamu juga tidak muda lagi."

"Aku baru berusia dua puluh satu, masih terlalu muda untuk memikirkan soal jodoh."

"Begitu pendapatmu? Dan siapa nama Ayah Ibumu? Dimana mereka tinggal?"

Sekali ini, lenyaplah seri wajah Hay Hay. Untung bahwa malam mulai tiba, sinar senja mulai terganti keremangan menjelang malam sehingga gadis itu tidak melihat perubahan mukanya yang diliputi mendung.

"Ayahku she Tang, aku tidak tahu siapa namanya. Aku tidak tahu siapa nama Ibuku. Akupun tidak pernah melihat Ayah Ibuku. Ibu meninggal dunia ketika aku masih kecil, dan Ayahku, aku tidak tahu dia berada dimana.”

"Ohhhh…!" Seruan Kui Hong mengandung kekagetan dan juga iba. "Kasihan engkau, Hay Hay…"

Keriangan watak Hay Hay pulih kembali.
"Tidak usah kasihan, Kui Hong, aku sendiripun tidak kasihan kepada diriku sendiri. Kenapa mesti kasihan kalau memang sudah semestinya begitu keadaan hidupku?"

"Tapi... tapi, bagaimana sampai engkau tidak tahu dan tidak mengenal Ayah Ibumu? Apa yang telah terjadi dengan mereka?"

Hay Hay merasa canggung sekali, akan tetapi karena sudah berjanji, dia terpaksa menceritakan sebagian dari riwayatnya tanpa harus menceritakan keadaan ayah kandungnya seperti yang didengarnya dari keluarga Pek.

"Aku sendiri tidak tahu apa yang terjadi. Ketika aku masih kecil sekali, agaknya Ibu mengajak aku bepergian dengan perahu. Perahu itu terguling, Ibu dan aku hanyut. Ibu tewas dan aku tertolong orang. Kemudian aku bertemu dengan kedua orang guruku dan menjadi murid mereka. Hanya begitulah. Nah, tidak ada yang menarik tentang diriku, bukan? Sekarang giliranmu, Kui Hong."

"Nanti dulu." bantah Kui Hong. "Engkau memiliki ilmu sihir, bahkan aku sendiripun pernah kau permainkan dengan sihirmu ketika kita memperebutkan kijang itu. Akan tetapi kenapa nenek itu tidak dapat kau pengaruhi dengan ilmu sihirmu?"

"Ah, hal itu hanya menunjukkan bahwa nenek itu pernah mempelajari sihir atau memiliki kekuatan batin yang amat kuat untuk melindungi dirinya. Sekarang aku ingin tahu tentang dirimu, Kui Hong. Biarpun aku sudah tahu bahwa Ayahmu adalah Ketua Cin-ling-pai yang terkenal, akan tetapi aku belum tahu siapa nama kedua orang tuamu."

"Ayah bernama Cia Hui Song, keturunan dari para Ketua Cin-ling-pai, adapun Ibuku bernama Ceng Sui Cin, puteri Pendekar Sadis…"

"Ahh! Pendekar sadis yang amat terkenal itu adalah Kong-kongmu?" kata Hay Hay penuh kagum. "Dan semua ilmu silatmu tentu kau dapat dari orang tuamu."

"Benar, akan tetapi selama tiga tahun terakhir ini aku tinggal di Pulau Teratai Merah dan menerima petunjuk dari Kakek dan Nenekku."

"Pantas! Ilmu silatmu demikian lihai, Kui Hong. Apalagi dalam hal gin-kang (ilmu meringankan tubuh), sungguh aku kagum dan takluk."

"Sudahlah, jangan terlalu banyak memuji. Buktinya aku tidaklah selihai engkau." kata Kui Hong yang tidak ingin bicara lebih banyak tentang orang tuanya karena tidak mungkin baginya untuk menceritakan tentang keretakan rumah tangga orang tuanya. "Sekarang engkau sedang hendak pergi kemanakah?"

Hay Hay lalu menceritakan tentang pertemuannya dengan Menteri Yang Ting Hoo yang bijaksana di rumah Jaksa Kwan, dan tentang permintaan tolong Menteri Yang Ting Hoo kepadanya agar suka melakukan penyelidikan terhadap persekutuan di Lembah Yangce.

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar