*

*

Ads

Kamis, 31 Mei 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 181

Kini Hay Hay terkejut dan ia harus mengakui bahwa lawannya amat tangguh, dan kalau dia hanya main elak dan tangkis saja, akhirnya dia akan terancam bahaya besar. Maka, setelah membiarkan lawannya mendesaknya sampai belasan jurus, barulah Hay Hay mulai membalas dan karena dia maklum bahwa menghadapi seorang lawan tangguh seperti itu dia tidak boleh main-main, begitu membalas dia sudah mengeluarkan ilmu simpanan Ciu-sian Cap-pek-ciang!

Ilmu ini adalah ciptaan Ciu-sian Lo-kai, sudah hebat bukan main walaupun hanya terdiri dari delapan belas jurus. Akan tetapi setelah Hay Hay digembleng oleh kakek aneh setengah gila Song Lo-jin, semua ilmunya, termasuk Ciu-sian Cap-pek-ciang, menjadi hebat bukan main!

Begitu Hay Hay mengelak dan menangkis lalu membalas dengan jurus ketiga belas, disertai pengerahan sin-kang, Ciang Su Kiat yang mencoba untuk menangkis, merasa seperti dilanda badai dan betapapun dia bertahan, tetap saja tubuhnya terlempar ke belakang seperti daun kering tertiup angin.

Dia terhuyung dan akhirnya terpaksa merobohkan dirinya dan bergulingan agar jangan sampai terbanting. Melihat betapa suaminya terlempar dan terhuyung kemudian bergulingan, Hui Lian meloncat ke depan dan menyerang Hay Hay dengan tamparannya.

"Engkau melukai suamiku…!" bentaknya marah.

Hay Hay terkejut, akan tetapi tidak mengelak dan menerima tamparan itu dengan pundaknya.

“Plakk!" Dan tubuh Hay Hay terpelanting!

“Sumoi, jangan…!” Ciang Su Kiat membentak.

"Aih, Suheng, engkau tidak apa-apa?"

Hui Lian membalik dan girang melihat suaminya sudah berada di belakangnya dan tidak kelihatan terluka parah.

"Aku tidak apa-apa. Kenapa engkau menyerang dia, Sumoi?"

"Kukira... kukira dia telah melukaimu, Suheng…" kata Hui Lian menyesal.

Su Kiat menghampiri Hay Hay yang sudah bangkit berdiri. Ada sedikit darah di bibir Hay Hay. Tamparan tadi memang hebat, akan tetapi dia sengaja menerimanya. Dia tidak terluka, namun guncangan karena tamparan itu membuat dia muntahkan sedikit darah.

"Saudara Hay Hay, engkau tidak apa-apa?" tanya Su Kiat, suaranya ramah dan pandang matanya penuh kagum. "Maafkan isteriku…”

Hay Hay tersenyum.
"Tidak mengapa, Toako. Aku tahu bahwa Enci Hui Lian memang galak dan tamparannya hebat sekali. Akan tetapi kini bertambah pengetahuanku bahwa ia amat mencintamu, Toako, dan tadi ia seperti seekor singa betina marah melihat jantannya diganggu!"

"Ah, Hay Hay, kau maafkan aku!" kata Hui Lian yang menghampiri dan dengan menyesal ia meletakkan tangannya di atas pundak Hay Hay, untuk memeriksa pundak yang ditamparnya tadi.

Su Kiat tersenyum melihat isterinya merangkul pundak pemuda itu, dan diapun merangkul Hay Hay.

"Sungguh, engkau seorang pemuda hebat, Hay Hay! Engkau memang patut mendapatkan perhatian dan kasih sayang setiap orang wanita. Engkau begini lihai, akan tetapi tidak mau mempergunakan ketampanan dan kelihaianmu untuk menghina wanita, bahkan engkau mengalah terhadap aku yang mencurigaimu. Maafkan aku."

Hay Hay tertawa gembira dan diapun merangkul kedua orang itu seperti dua orang sahabat baiknya. Dia menoleh ke kiri, kearah Hui Lian.

"Enci, pilihanmu yang terakhir ini sungguh tepat sekali. Engkau telah memperoleh seorang suami yang hebat, berkepandaian .tinggi, berwatak jujur dan terbuka, gagah perkasa. Sungguh, dan engkau juga, Ciang-toako, engkau telah memperoleh seorang isteri yang tiada keduanya di dunia ini. Aku harus mengucapkan kionghi (selamat) kepada kalian!"

Diapun melepaskan rangkulannya dan memberi hormat kepada mereka yang dibalas oleh suami isteri itu yang tersipu-sipu, akan tetapi juga gembira sekali.






“Nah, Hay Hay, mari kita lanjutkan percakapan kita dalam pertemuan yang tadi terganggu." kata Hui Lian sambil melirik ke arah suaminya yang juga tersenyum. "Engkau datang darimana dan hendak kemana?"

Hay Hay mengangkat tangan dan mengamangkan telunjuknya kepada Hui Lian seperti orang menegur.

"Ih, Enci Hui Lian, sudahlah jangan menyindir suamimu sendiri. Aku dalam perjalanan menuju ke Pegunungan Yunan…."

"Ahhh….! Apa sekiranya ada hubungannya dengan persekutuan orang-orang dunia hitam?" Hui Lian memotong.

"Benarkah engkau hendak menyelidiki persekutuan yang kabarnya dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo itu?" Ciang Su Kiat juga bertanya.

Kini Hay Hay memandang mereka dengan mata terbelalak.
"Wah, kalian ini bukan saja suami isteri yang lihai ilmu silatnya, akan tetapi agaknya juga pandai meramal dan membaca isi hati orang. Bagaimana kalian bisa menduga bahwa aku hendak menyelidiki persekutuan itu dan kalian tahu pula bahwa persekutuan itu dipimpin Lam-hai Giam-lo?"

"Tentu saja kami dapat menduga karena kami sendiripun sedang menuju kesana. Kami sudah mendengar akan persekutuan itu, akan tetapi kami tidak ada urusan dengan itu, yang penting aku harus mencari Lam-hai Giam-lo, musuh besar kami!" kata Ciang Su Kiat.

"Musuh besar kalian?"

"Dialah yang membuat kami berdua terjatuh ke dalam jurang sehingga kami berdua terpaksa hidup selama sepuluh tahun di dalam jurang itu sebelum kami berhasil naik ke dunia ramai. Sudah lama kami mencarinya dan beberapa kali kami hampir berhasil membunuhnya, akan tetapi dia selalu dapat menghindarkan diri dan akhirnya selama bertahun-tahun ini kami kehilangan jejak. Entah dimana dia bersembunyi." kata Hui Lian.

"Baru beberapa bulan yang lalu kami mendengar bahwa dia kini memimpin sebuah persekutuan antara tokoh-tokoh sesat yang hendak menyusun kekuatan di pegunungan atau dataran tinggi Yunan, kabarnya hendak mengadakan pemberontakan. Kami tidak peduli akan hal itu. Yang penting, kami harus mencari Lam-hai Giam-lo untuk membalas kejahatannya yang dilakukan kepada kami belasan tahun yang lalu,” sambung Su Kiat.

"Dan engkau sendiri, apa yang mendorongmu untuk melakukan penyelidikan tentang persekutuan tokoh-tokoh sesat itu, Hay Hay?" tanya Hui Lian.

Hay Hay lalu menceritakan tentang pertemuannya dengan Menteri Yang Ting Hoo di rumah Jaksa Kwan.

"Engkau tentu masih ingat, Enci Hui Lian, tentang mustika batu kemala milik Jaksa Kwan itu? Nah, aku pergi ke rumah Jaksa Kwan untuk mengembalikan batu mustika itu, akan tetapi Jaksa Kwan memberikan batu itu kepadaku dan disana aku bertemu dengan Menteri Yang Ting Hoo. Mereka berdua menceritakan tentang Lam-hai Giam-lo yang memimpin persekutuan para tokoh sesat yang lihai.”

“Diantara mereka terdapat banyak tokoh sesat yang berilmu tinggi seperti Lam-hai Siang-mo, suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan Min-san Mo-ko, Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi, bahkan para pendeta Pek-lian-kauw juga bergabung dengan mereka. Menteri Yang minta bantuanku agar membantu para pendekar untuk menghadapi para tokoh sesat, sedangkan pasukan kaum pemberontak akan dihancurkan pasukan pemerintah kalau saatnya tiba. Akupun lalu berangkat dan sampai disini, tertarik oleh keindahan telaga, aku lalu berhenti dengan maksud untuk menikmati keindahan telaga selama beberapa hari sebelum melanjutkan perjalanan."

"Hemm, kalau begitu, kamipun akan membantu para pendekar untuk menentang gerakan persekutuan itu!" kata Su Kiat penuh semangat.

"Kebetulan sekali engkau tertarik oleh telaga ini. Demikianpun kami, Hay Hay. Kami melihat telaga ini dari atas ketika akan memasuki kota Wei-ning dan kami juga tertarik dan singgah disini. Sungguh kebetulan sekali sehingga kita dapat saling jumpa. Kalau begitu, sebaiknya kalau kita pergi bersama ke dataran tinggi Yunan, bersama-sama melakukan penyelidikan terhadap persekutuan itu!” kata Hui Lian gembira.

Akan tetapi Hay Hay menggeleng kepalanya dan tersenyum Dia maklum bahwa biarpun Su Kiat kelihatan tersenyum dan sinar matanya tidak lagi membayangkan keraguan dan kemarahan, namun pendekar itu tetap saja merupakan seorang laki-laki biasa dan tentu akan timbul kembali cemburunya kalau dia melakukan perjalanan bersama mereka dan kemudian nampak hubungan yang amat akrab antara dia dan Hui Lian. Tidak, dia tidak akan mengganggu ketenteraman dan kedamaian hubungan suami isteri yang saling mencinta itu.

"Kurasa sebaiknya kalau kita melakukan tugas kita secara terpisah. Bukankah akan lebih mudah melakukan penyelidikan kalau kita berpencar? Kita tentu akan saling jumpa disana dan dapat saling membantu." katanya.

Su Kiat mengangguk-angguk.
“Apa yang dikatakan Hay Hay itu memang benar. Lam-hai Giam-lo sudah lihai, kalau dia dibantu oleh banyak tokoh sesat yang lihai, maka keadaan disana itu amat berbahaya. Kita harus berhati-hati dan melakukan penyelidikan beramai-ramai tentu akan lebih mudah diketahui pihak musuh."

Hui Lian nampak kecewa akan tetapi ia tidak mendesak karena naluri kewanitaannya yang halus juga memperingatkannya bahwa kebersamaannya dengan Hay Hay memang cukup berbahaya dan dapat menimbulkan salah sangka dan cemburu di pihak suaminya.

"Kami sudah berada disini tiga hari, hari ini kami harus melanjutkan perjalanan. Kami akan berangkat lebih dulu."

Kata pula Su Kiat. Mereka lalu berpamit dari Hay Hay yang masih ingin pesiar di telaga itu.

Hay Hay cepat menghapus ingatannya dari suami isteri itu dan kembali mendayung perahunya setelah suami isteri itu mengembalikan perahu yang mereka sewa. Akan tetapi sungguh mengherankan hati Hay Hay. Biarpun dia sudah berhasil mengusir bayangan suami isteri itu, terutama sekali bayangan Hui Lian, tetap saja dia sudah kehilangan kegembiraan dan kehilangan gairah. Dia merasa seolah-olah kesepian.

Akhirnya diapun mendayung perahunya ke tepi dan mengembalikan perahu sewaan itu, lalu dia menggendong buntalan pakaiannya dan berjalan-jalan di tepi telaga. Matahari telah naik tinggi dan sinarnya menyengat kulit. Hay Hay menjauhkan diri dari tempat ramai, berjalan-jalan di bagian tepi telaga, yang penuh dengan pohon-pohon rindang.

Disitu sunyi dan dia terlindung dari sinar matahari yang terik. Tidak ada seorang pun disitu, juga perahu-perahu itu berada jauh dari bagian itu, merupakan perahu-perahu yang nampak kecil dan memenuhi permukaan telaga di sebelah sana dan di tengah telaga.

Akan tetapi tidak sebanyak pagi tadi. Perahu-perahu yang tidak memakai bilik, yaitu perahu-perahu kecil yang terbuka, mulai berkurang. Tentu mereka yang mempergunakan perahu-perahu terbuka itu kepanasan dan sudah mulai meninggalkan telaga. Hanya perahu-perahu yang ada biliknya sajalah yang masih berseliweran, agaknya para penumpangnya asyik sendiri terutama mereka yang membawa gadis-gadis penghibur.

Hay Hay sama sekali tidak tahu bahwa sejak pertemuannya dengan para pendeta Pek-lian-kauw di malam itu, para pendeta itu tidak pernah melepaskannya dari pengamatan dan pengintaian. Bahkan ketika dia bertanding melawan Ciang Su Kiat, banyak mata menonton dari jarak aman.

Makin teganglah hati para pendeta Pek-lian-kauw melihat betapa pemuda yang mereka takuti itu menghadapi lawan Si Lengan Buntung yang demikian lihaipun masih mampu menang! Sebagian dari mereka sudah lama memberi laporan kepada Lam-hai Giam-lo tentang munculnya pemuda lihai itu. Dan Lam-hai Giam-lo tentu saja menjadi curiga dan penasaran lalu dia mengutus dua orang pembantunya yang paling dipercaya, yaitu Min-san Mo-ko dan Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi, untuk menyelidiki siapa pemuda itu dan kalau perlu membantu lima tokoh Pek-lian-kauw untuk menundukkan pemuda itu.

"Kalau dia benar selihai seperti yang dilaporkan, kalau mungkin bujuklah agar dia dapat bekerja sama dengan kita, membantu gerakan kita." Lam-hai Giam-lo memesan kepada dua orang pembantunya itu, "Kukira Tok-sim Mo-li cukup tahu bagaimana untuk menundukkan hati seorang pemuda. Kalau kiranya tidak mungkin, daripada dia menjadi ancaman bagi kita, bunuh saja dia."

Dengan penuh semangat, guru dan murid yang menjadi kekasih itu berangkat bersama pendeta Pek-lian-kauw yang melapor itu. Akan tetapi, ketika Min-san Mo-ko dan Ji Sun Bi melihat siapa adanya pemuda itu, tentu saja mereka terkejut bukan main.

"Hay Hay….!" desis Ji Sun Bi dari tempat ia mengintai.

"Pemuda setan itu!" kata pula Min-san Mo-ko dengan hati gentar.

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar