*

*

Ads

Jumat, 01 Juni 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 188

Hanya sedikit orang yang lewat, dan kalaupun ada, mereka itu adalah orang-orang suku bangsa Hui dan Miao. Dua suku bangsa ini mudah saja dikenalnya dari pakaian mereka. Orang suku bangsa Hui, pikirnya, selalu memakai sorban putih yang dibelit-belitkan di kepala. Mereka adalah orang-orang beragama Islam. Orang-orang suku bangsa Hui ini terkenal sebagai peternak-peternak, terutama kambing, pejagal dan juga pandai masak sehingga banyak diantara mereka membuka rumah makan di kota-kota.

Orang-orang Hui sesungguhnya adalah orang-orang Han juga, perbedaannya antara mereka adalah bahwa orang Hui beragama Islam sedangkan orang Han memiliki banyak macam agama, terutama sekali mereka adalah penganut Agama Buddha, Tao, dan Khong-hucu, walaupun ada pula orang Han dalam jumlah kecil yang menjadi pengikut Agama Islam atau Kristen.

Adapun suku bangsa Miao sudah dikenal dari pakaian mereka yang serba hitam, orang-orangnya pendiam dan kasar. Wanitanya mengenakan anting-anting yang khas, seperti gelang yang besar sehingga daun telinga mereka tertarik ke bawah dan memanjang. Suku bangsa Miao yang terdesak oleh orang-orang Han itu kini banyak hidup di pegunungan bagian selatan, bercocok tanam dan juga berternak, dan mereka pun terkenal sebagai pemburu yang pandai.

Dengan langkah seenaknya tanpa tergesa-gesa, Hay Hay dan Ling Ling berjalan terus keluar dari pintu gerbang menuju ke arah pemuda yang telah berdiri menanti mereka itu. Diam-diam Hay Hay mengerling ke arah belakang sambil menengok ke kanan seolah-olah bicara dengan Ling Ling dan dia melihat betapa tujuh orang itu telah tiba di pintu gerbang pula, kemudian mereka menyelinap ke kiri dan lenyap di dalam hutan kecil.

Ki Liong menyambut mereka dengan senyum ramah.
"Terima kasih, ternyata Ji-wi memenuhi janji dengan cepatnya. Marilah, Ji-wi. Kita memasuki hutan ini agar tidak terganggu percakapan kita, karena di jalan ini ada saja orang lewat."

Tanpa menanti jawaban, Ki Liong melangkah memasuki hutan, diikuti oleh Hay Hay dan Ling Ling yang masih mengerutkan alisnya karena bagaimanapun juga, gadis ini sama sekali tidak percaya akan kebaikan iktikad pemuda kenalan baru itu.

Akhirnya Ki Liong berhenti di bawah sebatang pohon besar. Tempat itu memang enak untuk bercakap-cakap. Tempatnya teduh, terlindung dari terik matahari siang, dan di atas tanah terhampar permadani hijau dari rumput tebal yang segar. Akar-akar pohon yang menonjol keluar dari permukaan tanah menjadi bangku-bangku yang enak diduduki. Mereka bertiga duduk di atas akar pohon, saling berhadapan.

"Maafkan kalau saya bersikap seperti ini, karena Ji-wi juga maklum bahwa untuk dapat membicarakan urusan penting, kita harus mencari tempat yang sunyi agar tidak terdengar orang lain."

"Saudara Sim, kami sudah datang memenuhi undanganmu. Nah, katakanlah apa yang ingin kau bicarakan dengan kami?" kata Hay Hay sambil memandang tajam penuh selidik ke arah wajah yang tampan dan penuh senyum manis dan kelembutan itu.

Sim Ki Liong memandang Hay Hay dan Ling Ling, dan nampak dia agak gelisah, nampaknya sukar baginya untuk menyatakan kehendak hatinya. Kemudian, diapun berkata dengan suara yang lembut,

"Begitu bertemu dengan Ji-wi, hati saya sudah amat tertarik. Apalagi setelah mendapat keyakinan bahwa Ji-wi memiliki ilmu kepandaian tinggi, saya merasa kagum bukan main. Maka timbullah rasa sayang dan alangkah penasaran rasa hati ini melihat Ji-wi tetap menjadi orang biasa saja, padahal, orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian seperti Ji-wi ini sepatutnya menduduki pangkat yang tinggi dan kemuliaan."

"Kami tidak mengerti apa maksudmu, Saudara Sim." kata Hay Hay, berpura-pura karena hatinya berdebar tegang melihat betapa tepatnya apa yang diduganya semula.

"Maksudku, Ji-wi pantas sekali untuk menjabat pangkat tinggi di kerajaan, sesuai dengan kepandaian Ji-wi."

Hay Hay dan Ling Ling saling pandang, kemudian Hay Hay tertawa.
"Ha-ha, harap engkau tidak main-main, Saudara Sim! Orang seperti kami ini, mana mungkin menjabat pangkat tinggi?"

"Kenapa tidak mungkin? Memang, pemerintah sekarang hanya memilih orang-orang yang menjadi antek mereka! Kedudukan tinggi diberikan kepada orang-orang yang tidak becus dan jahat! Karena itu, saya mengajak Ji-wi untuk bekerja sama dengan kami yang sedang mempersiapkan perjuangan "

Tiba-tiba Sim Ki Liong berhenti bicara dan menoleh ke kiri. Hay Hay dan Ling Ling juga sudah mendengar suara jejak kaki dari arah kiri. Dan tiba-tiba saja, dengan berloncatan, muncullah tujuh orang laki-laki setengah tua, dipimpin oleh seorang diantara mereka, yaitu seorang tosu yang berjubah kuning dan memegang sebatang tongkat setinggi tubuhnya.






Tosu ini berusia lima puluh tahun lebih, wajahnya angker dan berwibawa, sedangkan enam orang lainnya adalah orang-orang berusia antara empat puluh tahun dan di punggung mereka terdapat sebatang pedang bersarung. Sikap mereka juga keren dan berwibawa.

Tiba -tiba tosu itu menudingkan tongkat panjangnya ke arah Hay Hay sambil membentak.

"Ang-hong-cu! Menyerahlah engkau sebelum pinto terpaksa mempergunakan kekerasan!"

Hay Hay terkejut mendengar seruan itu. Juga Sim Ki Liong memandang dengan heran dan jelas nampak betapa dia terkejut dan kini memandang kepada Hay Hay dengan mata penuh selidik. Tak disangkanya bahwa pemuda lihai ini ternyata adalah Ang-hong-cu! Tentu saja dia sudah mendengar nama Ang-hong-cu ini, nama seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga, pemerkosa wanita) yang amat tersohor, akan tetapi yang belum pernah diketahui bagaimana wajahnya itu!

Gerak-gerik jai-hwa-cat itu penuh rahasia sehingga kabarnya banyak pendekar yang gagal ketika berusaha menangkapnya. Kabarnya lihai seperti setan dan kiranya pemuda ini orangnya!

Juga Ling Ling memandang kepada Hay Hay dengan alis berkerut. Susioknya ini Ang-hong-cu? Iapun sudah mendengar berita tentang penjahat pemerkosa wanita yang amat keji itu, akan tetapi sungguh sukar dapat dipercaya bahwa susioknya ini orangnya!

Hay Hay sendiri bersikap tenang.
"Totiang, harap totiang jangan sembarangan saja menuduh orang. Siapakah Totiang dan apa sebabnya Totiang begitu datang lalu menyebut aku Ang-hong-cu dan minta agar aku menyerah? Apa artinya semua ini?"

"Hemm, engkau masih mencoba untuk berpura-pura alim? Ang-hong-cu, ketahuilah bahwa pinto adalah Tiong Gi Cinjin, wakil Ketua Bu-tong-pai dan mereka adalah Bu-tong Liok-eng, murid-murid keponakan pinto. Nah, setelah kami memperkenalkan diri, tidaklah sepatutnya kalau engkau segera berlutut menyerahkan diri, Ang-hong-cu?" Tosu itu berkata lagi, agaknya ingin menyelesaikan urusan itu dengan jalan damai, "Kami akan menghadapkan engkau kepada ketua kami agar beliau dapat mengambil keputusan mengenai hukuman atas dosamu terhadap Bu-tong-pai.”

Hay Hay teringat akan pengalamannya kurang lebih setahun yang lalu. Pernah dia diserang oleh tiga orang pendekar Bu-tong-pai. Mereka menuduhnya sebagai Ang-hong-cu dan tanpa memberi kesempatan baginya untuk membantahnya, mereka telah menyerangnya kalang kabut sehingga terpaksa dia mempergunakan ilmu sihirnya untuk menghilangkan dari penglihatan mereka.

Kini tahulah dia bahwa wakil ketua Bu-tong-pai ini keluar sendiri untuk menangkapnya. Wah, gawatlah keadaannya kalau begitu. Akan tetapi karena dia masih tetap penasaran, diapun segera bertanya.

"Maaf, Totiang. Sesungguhnya, aku tidak pernah merasa melakukan kesalahan terhadap Bu-tong-pai. Kenapa sekarang Totiang, sebagai wakil ketua dan enam orang saudara ini ingin menangkapku? Jelaskan dulu apa kesalahanku!"

Sepasang mata pendeta itu mencorong penuh kemarahan. Sikap yang tidak bertanggung jawab dianggapnya sikap seorang pengecut yang membuat dia marah sekali.

"Ang-hong-cu, lupakah engkau akan peristiwa kurang lebih setahun yang lalu ketika engkau diserang oleh tiga orang murid pinto?"

Menjemukan, pikir Hay Hay. Dia bukan Ang-hong-cu (Si Tawon Merah), dan julukan Ang-hong.cu ini selalu membuat dadanya terasa panas dan kepalanya pening karena itu adalah julukan dari seorang jai-hwa-cat, seorang penjahat besar yang bukan lain adalah… ayah kandungnya! Dia sudah dapat menduga apa yang telan terjadi antara penjahat itu dengan Bu-tong-pai, akan tetapi dia ingin jelas dan yakin.

“Aku tidak lupa, Totiang, akan tetapi sampai sekarangpun aku masih bingung dan tidak mengerti mengapa tiga orang murid Bu-tong-pai itu menyerangku mati-matian."

Tiong Gi Cinjin menoleh kepada enam orang tokoh Bu-tong-pai yang sejak tadi memandang dan mendengarkan saja, dia lalu menyuruh seorang diantara mereka untuk memberi penjelasan. Seorang diantara mereka, yang bertubuh tinggi kurus dan berkumis tipis, melangkah maju menghadapi Hay Hay.

"Orang muda, kami bukanlah orang-orang yang suka menuduh membabi-buta saja tanpa bukti. Sepak terjang Ang-hong-cu sudah lama kami kenal, dan pada suatu hari, seorang Sumoi kami menjadi korban! Sebelum tewas, Sumoi telah mengaku bahwa ia menjadi korban Ang-hong-cu. Tentu saja hal ini merupakan penghinaan bagi kami dan kami menyebar murid-murid untuk mencari sampai dapat penjahat yang telah merusak nama dan kehormatan kami. Kurang lebih setahun yang lalu, tiga orang Sute kami telah berhasil menemukanmu dan menyerangmu. Engkaulah jai-hwa-cat Ang-hong-cu jahanam itu!"

"Hemm, apa buktinya?" Hay Hay membantah.

"Buktinya? Tiga orang Sute kami melihat betapa engkau memegang sebuah tanda perhiasan berbentuk tawon merah, persis seperti yang diterima oleh Sumoi kami! Engkaulah Ang-hong-cu, dan harap engkau cukup jantan untuk mempertanggung-jawabkan perbuatanmu!"

"Tapi... tapi... aku bukan Ang-hong-cu…" bantah Hay Hay.

"Dan perhiasan tawon merah yang ada padamu itu?" bentak Tiong Gi Cinjin penasaran.

"Aku... aku hanya kebetulan menemukan benda itu " kata Hay Hay agak gagap karena tentu saja dia tidak mau mengaku dari mana dia memperoleh perhiasan itu dan mengaku bahwa Ang-hong-cu adalah ayah kandungnya!

"Susiok, benarkah engkau bukan Ang-hong-cu?"

Tiba-tiba Ling Ling yang sejak tadi memandang dan mendengarkan dengan alis berkerut dan wajah agak pucat, kini tiba-tiba bertanya. Mendengar ini, Hay Hay memandang gadis itu dan menggelengkan kepalanya.

"Bukan, Ling Ling, percayalah!"

Kini Ling Ling menghadapi Tiong Gi Cinjin dan berkata.
"Totiang, rasanya ada kekeliruan dalam hal ini. Kalau tidak salah, nama Ang-hong-cu sudah tersohor sejak belasan tahun! Bagaimana mungkin Susiokku ini yang menjadi Ang-hong-cu, padahal usia Susiok ini baru dua puluh lebih?”

Tujuh orang Bu-tong-pai ini saling pandang, akan tetapi Tiong Gi Cinjin segera berkata,
"Kalau dia ini bukan Ang-hong-cu, tentulah keturunannya atau muridnya! Ang-hong-cu tidak pernah memperlihatkan mukanya, hanya meninggalkan perhiasan tawon merah. Dan pemuda ini memiliki perhiasan itu, dan sikapnya jelas menunjukkan bahwa dialah Ang-hong-cu. Gerak-geriknya sudah lama dibayangi oleh para murid Bu-tong-pai dan dia seorang pemuda mata keranjang yang suka menggoda wanita!"

"Ahh….!"

Ling Ling melangkah mundur dan memandang kepada Hay Hay dengan sinar mata penuh keraguan.

"Ling Ling! Engkau... tidak percaya padaku?"

"Aku.. aku tidak tahu…" gadis itu menjawab dan melangkah mundur lagi sampai lima langkah.

"Sudahlah, orang muda. Menyerahlah saja dan nanti di depan ketua kami, boleh engkau membela diri sesukamu!" kata Tiong Gi Cinjin sambil melangkah maju.

“Tidak, Totiang, aku tiak mau menyerah karena aku tidak merasa bersalah terhadap Bu-tong-pai!" kata Hay Hay yang menjadi tidak sabar lagi, terutama sekali melihat betapa Ling Ling agaknya juga mulai bercuriga kepadanya, mengira bahwa dia benar-benar Ang-hong-cu!

"Kalau begitu, terpaksa pinto menggunakan kekerasan!" kata tosu itu dan enam orang murid keponakannya juga sudah mencabut pedang dari punggung masing-masing.

Cara mereka mencabut pedang saja sudah menunjukkan bahwa mereka telah menguasai Ilmu Pedang Bu-tong-kiam-sut yang terkenal indah dan ampuh.

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar