*

*

Ads

Sabtu, 02 Juni 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 194

"Han Lojin, ada keperluan apakah engkau malam-malam begini datang berkunjung kepadaku?"

Diam-diam dia heran. Orang ini, bersama dia baru saja diterima disitu sebagai sekutu, dan malam pertama ini Han Lojin sudah berkeliaran di tempat orang!

"Ha-ha-ha, karena aku suka padamu, karena aku kagum padamu. Engkau masih begini muda, akan tetapi sudah amat lihai. Aku berkunjung untuk bicara dan untuk menyatakan rasa kagumku, mengajakmu minum-minum untuk mempererat perkenalan antara kita."

"Hemm, dalam lian-bu-thia tadi engkau sama sekali tidak menghargaiku, bahkan seenaknya saja menuduh aku Ang-hong-cu!" kata Hay Hay mendongkol.

"Heh-heh, karena memang engkau pantas menjadi Ang-hong-cu yang tersohor itu….”

"Tidak sudi! Tersohor jahat, apa gunanya?"

"Ha-ha-ha, Saudaraku yang baik. Bukankah disini berkumpul banyak orang yang bergelimang kejahatan? Ataukah engkau ini seorang yang menentang kejahatan, dan kalau benar demikian, kenapa berada disini?" Berkata demikian, Han Lojin melangkah masuk. "Bolehkah aku masuk? Aku hanya ingin menyuguhkan arak istimewa ini untuk memberi selamat dan menyatakan rasa kagumku."

Ucapan Han Lojin tadi mengejutkan hati Hay Hay. Orang ini sungguh berbahaya, agaknya menaruh curiga kepadaku dan menduga bahwa aku adalah seorang dari golongan lain yang menentang para tokoh sesat, pikir Hay Hay. Kalau benar demikian, celakalah, akan tetapi dia akan berpura-pura tidak mengerti dan ingin melihat perkembangannya.

"Masuk dan duduklah, Han Lojin," katanya mempersilakan.

Keduanya duduk dipisahkan meja kecil, di atas dua buah kursi yang berada di kamar itu.

"Nah, katakan, Han Lojin, apa keperluanmu?"

"Heh-heh, sudah kukatakan tadi. Ingin mempererat perkenalan dan ingin menyuguhkan arak ini. Ketahuilah, kawan. Arak ini adalah arak simpanan, sudah ratusan tahun umurnya, keras dan harum bukan main. Nah, aku ingin engkau menemaniku menghabiskan arak yang hanya tinggal beberapa cawan ini. Apakah disini ada cawan?"

Kebetulan di setiap kamar tamu memang disediakan poci teh dan beberapa buah cawan. Hay Hay mengambil dua buah cawan dan dia bersikap waspada. Akan tetapi, Han Lojin menuangkan arak dari dalam guci ke dalam dua buah cawan kecil itu. Arak itu berwarna kekuningan, seperti emas, dan mengeluarkan bau yang amat harum semerbak seperti bunga.

"Saudara Tang Hay, mari kita minum sebagai tanda kagumku kepadamu,” kata Han Lojin sambil mengangkat cawan araknya.

Hay Hay mengikutinya, dan melihat betapa Han Lojin minum araknya, diapun tidak curiga lagi dan diapun minum arak itu. Manis dan enak rasanya, tidak begitu keras, namun hangat memasuki perutnya.

Dua kali lagi mereka minum sampai guci itu menjadi kosong dan Han Lojin kelihatan gembira bukan main.

"Bagus, engkau memang seorang pemuda yang hebat, Hay Hay! Aku suka sekali padamu. Sekarang aku pamit, aku ingin tidur di kamarku "

Orang itu bangkit dan agak terhuyung. Hay Hay ingin mentertawakan karena baru minum tiga cawan saja sudah kelihatan mabuk. Akan tetapi ketika dia bangkit berdiri, diapun terkejut karena kepalanya terasa agak berat, akan tetapi begitu nyaman rasanya! Apakah diapun mabuk hanya karena minum tiga cawan saja? Kalau begitu, arak itu bekerja secara halus namun keras bukan main.

"Tapi, apakah sebetulnya yang hendak kau bicarakan, Han Lojin?"

“Aku? Heh-heh-heh, tidak apa.apa. Aku melihat Sim-kongcu di taman, heh-heh, dia sedang merayu Nona Pek Eng. Hampir saja Nona Pek Eng jatuh ke dalam rayuannya, akan tetapi... he-heh, aku muncul menggagalkannya. Orang muda, engkau kakak angkat Nona Pek Eng, bukan? Sebaiknya sekarang juga engkau memperingatkan ia sebelum terlambat..."

Setelah berkata demikian, Han Lojin meloncat keluar dan menghilang dalam kegelapan malam.

Hay Hay merasa terkejut sekali, juga marah. Keparat Ki Liong itu! Dia menduga keras bahwa Ki Liong adalah juga Ciang Ki Liong, murid Pulau Teratai Merah seperti yang diceritakan Kui Hong kepadanya itu. Dia harus memperingatkan Pek Eng, benar juga anjuran Han Lojin itu.






Hay Hay lalu keluar dari kamarnya, menutupkan daun pintu dan merasa betapa tubuhnya ringan dan perasaannya nyaman sekali. Arak itu sungguh ampuh, pikirnya kagum. Arak yang sudah tua sekali dan memang hebat! Dia tahu dimana kamar Pek Eng. Hal ini sudah diperhatikannya tadi karena memang dia ingin mempelajari semua letak kamar para penghuni sarang pemberontak itu. Dia harus memperingatkan Pek Eng, akan tetapi juga tidak boleh dilihat orang lain. Tidak baik kalau dia memasuki kamar seorang gadis, walaupun tidak ada maksud buruk. Sebaiknya Pek Eng dipanggilnya keluar.

"Eng-moi...!" Bisiknya dari luar jendela kamar gadis itu. Dilihatnya lampu masih bernyala dalam kamar itu, tanda bahwa Pek Eng belum tidur. "Ini aku, Hay Hay….!”

"Hay-ko...!" terdengar suara gadis itu.

"Ssstttt..., keluarlah, kutunggu di dalam taman, aku mau bicara penting," kata pula Hay Hay.

"Baik, Hay-ko…."

Mereka bertemu di dekat pondok, tempat yang cukup sunyi, juga gelap karena sinar lampu di depan pondok itu terhalang pohon.

"Ada apakah, Hay-ko?" tanya Pek Eng sambil menghampiri pemuda itu, berdiri dekat sekali dengan Hay Hay karena Pek Eng masih merasa ngeri teringat akan pengalamannya dengan Ki Liong tadi.

"Eng-moi..." Hay Hay tergagap dan pemuda ini memejamkan matanya sejenak, dia merasa aneh sekali, jantungnya berdebar kencang, hidungnya menangkap keharuman yang keluar dari rambut dan pakaian Pek Eng. "Kau... kau harus berhati-hati terhadap rayuan Ki Liong…"

"Hay-ko...! Kau... kau sudah tahu? Tidak, aku tidak akan jatuh oleh rayuannya, aku tidak cinta padanya, Hay-ko..."

Dan gadis itu makin mendekat karena heran melihat betapa tubuh Hay Hay agak gemetar seperti kedinginan.

"Hay-ko, engkau kenapakah …."

Tanya Pek Eng sambil memegang lengan Hay Hay. Akan tetapi, sentuhan ini membuat Hay Hay tiba-tiba seperti menjadi gila. Dan merangkul, mendekap dan menciumi pipi dan bibir Pek Eng! Tentu saja Pek Eng terkejut bukan main, sampai ia menjadi gelagapan.

"Hay-ko... Hay-ko... Hay…."

Gadis itu tidak dapat melanjutkan karena Hay Hay sudah memondong tubuhnya, terus menciuminya dan karena memang di sudut hati gadis ini sudah jatuh cinta kepada Hay Hay, sejak pertemuan pertama dahulu, maka akhirnya runtuhlah pertahanan batin Pek Eng dan iapun bukan hanya mandah saja bahkan balas merangkulkan lengannya pada leher Hay Hay.

"Hay-kooo…." keluhnya dan ia memejamkan mata ketika dipondong dan dibawa oleh Hay Hay memasuki pondok itu.

Dengan kakinya Hay Hay mendorong pintu pondok terbuka, masuk ke dalam pondok yang gelap karena memang lampunya tidak dinyalakan itu, dan menghampiri dipan kayu yang terdapat di dalam pondok.

“Eng-moi….”

"Hay-ko….. "

Akan tetapi, ketika mereka sudah rebah di atas dipan sambil berpelukan dan berciuman, ketika Pek Eng sudah terengah-engah dan pasrah bagaikan mabuk, tiba-tiba kesadaran Hay Hay menembus kabut yang tadi menyelimuti batinnya, kemabukan aneh yang mendatangkan rangsang berahi yang amat hebat itu dapat nampak oleh kesadarannya dan diapun mengeluh, tiba-tiba melepaskan rangkulannya dan meloncat turun dari pembaringan.

"Hay-ko….!"

"Eng-moi, apa yang kita lakukan ini? Ahh…."

Dan Hay Hay teringat semuanya, lalu dengan geram tertahan diapun meloncat keluar dari pondok itu. Pek Eng masih berada di atas dipan dan gadis ini terisak.

Baru saja bayangan Hay Hay berkelebat keluar dan lenyap dalam kegelapan, nampak pula bayangan sesosok tubuh manusia memasuki pintu pondok dan dia menutupkan pintu dari dalam.

"Hay-koooo….!"

Pek Eng mengeluh dan merintih panjang dan selanjutnya sunyi di pondok itu. Kesunyian yang menghanyutkan, kesunyian yang penuh dengan pengaruh setan dan iblis, yang membuat manusia lupa akan segalanya, lupa akan kesadarannya, dan lupa untuk membayangkan akibat-akibat dari perbuatannya di malam yang menghanyutkan itu.

Dalam kegelapan malam itu, sesosok bayangan keluar dari dalam pondok dan meloncat ke balik batang pohon, lenyap seperti setan. Tak berapa lama kemudian, nampak bayangan lain keluar dari dalam pondok, menahan isak dan bayangan kedua ini adalah Pek Eng yang terhuyung meninggalkan taman, kembali ke kamarnya sambil menangis lirih.

Semalam suntuk Pek Eng tak dapat tidur. Kadang-kadang ia terisak, akan tetapi kadang-kadang nampak ia tersenyum bahagia lalu termenung. Ia telah menyerahkan diri kepada Hay Hay, seperti orang yang mabuk keduanya telah mereguk anggur manis itu bersama, dengan suka rela, dengan sepenuh kasih sayang dan kemesraan.

Ketika Hay Hay meninggalkannya mendadak, ia bingung dan mennyesal, akan tetapi ketika pemuda itu masuk lagi ke kamarnya ia terkejut. Baru setelah Hay Hay kembali merangkul, mendekap dan menciuminya, ia pasrah sepenuh hatinya. Ia mencinta Hay Hay dan ia tidak merasa menyesal telah menyerahkan diri kepada pemuda itu, karena ia yakin bahwa Hay Hay akan bertanggung jawab, akan mengawininya! Dan ia merasa berbahagia kalau teringat akan hal ini, membayangkan menjadi isteri Hay Hay walaupun perasaan sesal karena ia telah menyerah begitu saja, dengan amat lemah, kadang mengganggu hatinya.

Akan tetapi, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ketika Pek Eng mencari Hay Hay, dengan menahan perasaan canggung dan malu, ia tidak dapat menemukan pemuda itu! Hay Hay telah pergi meninggalkan perkampungan itu tanpa pamit kepada siapapun, pada malam hari itu juga. Tentu saja Pek Eng menjadi terkejut dan khawatir, dan iapun segera pergi untuk mencari Hay Hay.

Bagi Ki Liong, yang menghilang bukan hanya Hay Hay, akan tetapi juga Han Lojin tidak berada di dalam kamarnya. Tak seorangpun diantara para penjaga melihat kedua orang itu meninggalkan perkampungan dan hal ini tidak mengherankan hati Ki Liong karena kedua orang itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Dia merasa menyesal sekali. Kalau tidak karena kegagalannya merayu Pek Eng, tentu dia akan lebih waspada mengamati dua orang itu.

Kini, mereka telah pergi, entah kemana dan entah apa yang akan mereka lakukan. Ketika dia melapor kepada Lam-hai Giam-lo, Bengcu ini tentu saja menjadi marah dan menegur para penjaga yang dimakinya kurang hati-hati.

"Sebar orang-orang dan cari mereka!" bentak Lam-hai Giam-lo. "Kalau sudah diketahui tempatnya, aku sendiri yang akan menghadapi mereka kalau mereka memang berkhianat!"

Ki Liong sendiri yang juga merasa penasaran, segera memimpin pasukali kecil untuk melakukan pencarian. Keadaan menjadi kacau, apalagi ketika Lam-hai Giam-lo mendengar dari para pelayan bahwa pagi sekali tadi Pek Eng juga meninggalkan tempat itu.

Para penjaga melihat Pek Eng keluar dari perkampungan dan karena semua penjaga mengenal bahwa Pek Eng adalah murid dan juga anak angkat bengcu, tak seorangpun diantara mereka berani bertanya apalagi menghalangi kepergiannya. Lam-hai Giam-lo merasa khawatir sekali dan dia menyuruh orang-orang untuk mencari pula muridnya itu.

**** 194 ****
Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar