*

*

Ads

Selasa, 05 Juni 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 197

Hati Hay Hay gelisah bukan main. Gelisah, bingung dan penasaran! Dia telah dituduh memperkosa Ling Ling! Tak mungkin gadis itu berbohong, dan bukankah dia telah melihat sendiri ketika datang di tepi telaga betapa Ling Ling berada dalam keadaan telanjang bulat dan tertotok?

Tak dapat disangsikan lagi kebenaran cerita gadis itu bahwa semalam ada seorang laki-laki datang, menotoknya dan memperkosanya. Akan tetapi jelas bukan dia! Lalu siapa? Potongan tubuhnya seperti dia, dan mukanya halus seperti dia pula! Tentu seorang pemuda lain yang mempergunakan kesempatan itu, Can Sun Hok? Pemuda itu baru muncul.Hemm, mungkinkah Can Sun Hok yang melakukan perbuatan keji itu? Mungkin saja!

Bentuk tubuh dan muka Can Sun Hok mirip dia, bentuknya sedang dan mukanya halus tanpa kumis dan jenggot.Hanya itu yang dikenal Ling Ling karena malam itu gelap.Tapi, kalau benar Can Sun Hok, kiranya tidak mungkin dia begitu tolol untuk muncul kembali. Seolah-olah seekor ular mencari penggebuk! Lalu siapa? Hay Hay berlari keluar masuk hutan dan pikirannya demikian ruwet sehingga dia yang biasanya waspada tidak melihat bahwa dari depan datang seorang gadis, yang juga berlarian sehingga hampir saja mereka bertabrakan.

"Hay-ko...! Ah, betapa aku mencari-carimu, Hay-ko….!"

Dan gadis itu langsung saja merangkul dan menangis di dadanya.Hay Hay terkejut dan merangkul gadis itu.

"Eng-moi, tenanglah, diamlah. Ada apakah, Eng-moi?" tanyanya, wajahnya berubah merah karena dia teringat akan peristiwa dua hari yang lalu, di waktu malam di dalam taman itu.

Hampir saja dia melakukan pelanggaran yang akan mendatangkan penyesalan hebat di kemudian hari ketika dia dan gadis ini seperti dimabok nafsu berahi.

Pek Eng menangis, menangis dengan hati lega karena ia telah dapat menemukan kekasihnya, dan melihat sikap Hay Hay, tentu pemuda ini mau bertanggung jawab. Sikapnya jelas menunjukkan bahwa Hay Hay mencintanya. Setelah keharuannya mereda, ia lalu mengusap air matanya dan berkata dengan lirih.

"Hay-ko, kenapa engkau begitu kejam? Engkau meninggalkan aku begitu saja setelah malam kemarin dulu itu. Keesokan harinya, pagi-pagi aku bangun dan mencarimu, akan tetapi hanya mendengar bahwa engkau telah pergi malam itu juga tanpa pamit! Hay-ko, kenapa engkau meninggalkan aku? Setengah mati aku mencarimu, keluar masuk hutan…" Gadis itu menangis lagi.

Hay Hay menarik napas panjang, teringat akan peristiwa malam itu dan dia merasa malu sekali. Dengan lembut dia melepaskan rangkulannya, melangkah mundur dua langkah dan memaksakan hatinya untuk menatap wajah Pek Eng dengan tajam.

"Maafkan aku, Eng-moi. Malam itu... ah, entah iblis apa yang telah menyusup ke dalam diriku. Aku seperti mabuk dan hampir saja..., ah, aku merasa begitu menyesal sehingga malam itu juga aku pergi meninggalkan perkampungan. Maafkan aku, Eng-moi."

Sungguh aneh! Gadis itu memandang kepadanya dengan sinar mata penuh kemesraan dan mulutnya tersenyum manis! Kemudian ucapannya membuat Hay Hay menjadi lebih heran lagi.

"Hay-ko, tidak ada yang perlu dimaafkan dan tidak ada yang perlu disesalkan! Kenapa minta maaf dan kenapa menyesal kalau memang hal itu sudah kita kehendaki bersama? Terus terang saja, aku... aku bahkan merasa berbahagia sekali, Hay-ko, dan terasa benar olehku betapa besar artinya engkau bagi kehidupanku. Marilah, Hay-ko, mari kita menghadap Bengcu untuk minta persetujuannya karena bagaimanapun juga dia adalah Guruku, kemudian kita pergi dari sini, pulang ke Kong-goan untuk memberitahu kepada Ayah Ibuku tentang perjodohan kita."

Hay Hay terbelalak memandang wajah gadis itu.
"Eng-moi, apa maksudmu sebenarnya ? Aku tidak mengerti! Aku... aku sama sekali belum mempunyai pikiran untuk mengikat perjodohan..., ah, jangan salah mengerti, Eng-moi. Peristiwa malam kemarin dulu itu... sungguh aku seperti mabuk dan kau maafkanlah aku. Bukan maksudku untuk... untuk mengikat perjodohan…."

Hay Hay menghentikan kata-katanya karena dia terkejut dan heran melihat betapa wajah gadis itu menjadi pucat sekali, matanya terbelalak dan bibirnya menggigil, pandang matanya seperti orang yang tidak percaya, atau seperti orang melihat setan di tengah hari. Suaranya lebih aneh lagi, menggigil seperti orang terserang demam.






"Hay-ko... apa... apa maksudmu? Maksudku sudah jelas... setelah apa yang kau... kita lakukan malam itu... tidakkah sewajarnya kalau... kalau kita... menikah?"

"Eng-moi! Sudah kuakui bahwa aku khilaf, aku seperti mabuk, dan aku menyesal sekali, aku sudah minta maaf. Akan tetapi tidak mungkin peristiwa itu harus dilanjutkan dengan pernikahan. Anggap saja kita berdua telah lupa diri, akan tetapi belum terlambat, Eng-moi. Untung bahwa aku berhasil sadar dan melarikan diri"

"Apa? Belum terlambat? Apakah urusan itu cukup untuk dimaafkan begitu saja kemudian dilupakan? Hay-ko, sungguh aku tidak mengerti akan sikapmu ini. Bukankah aku telah menjadi isterimu? Malam itu... bukankah engkau telah memiliki diriku dan aku telah menyerahkan badanku, kehormatanku, segalanya kepadamu? Dan engkau tidak ingin diresmikan dalam pernikahan? Aku tidak percaya bahwa engkau hanya main-main saja! Aku tidak percaya bahwa setelah aku menyerahkan jiwa ragaku kepadamu malam itu, engkau lalu tidak mau menikahiku…." Wajah itu semakin pucat.

Kini wajah Hay Hay yang berubah seperti orang melihat iblis.
"Eng-moi! Apa maksudmu? Memang kita seperti mabuk, kita saling peluk dan saling berciuman, masuk ke dalam pondok. Akan tetapi hanya sampai disitu, aku lalu sadar dan aku lari keluar pondok sebelum terjadi sesuatu antara kita…"

"Benar sekali! Dan tak lama kemudian engkau masuk lagi, dan engkau menuntut, dan aku menyerah, dan tubuhku, kehormatanku, menjadi milikmu…."

"Tidak! Aku tidak pernah kembali ke pondok!"

"Hay-ko...!"

Pek Eng menjerit, menutupi mulut dengan tangan kanan yang menggigil, mulutnya terbuka dan gemetar, akan tetapi sampai beberapa lamanya tidak mengeluarkan suara, matanya terbelalak dan mukanya pucat sekali. Sementara itu wajah Hay Hay juga pucat. Dia tidak ragu akan kebenaran pengakuan Pek Eng, dan sekilas teringatlah dia akan nasib Ling Ling.

"Eng-moi, katakanlah, siapa yang memasuki pondok itu. Yang pasti, aku tidak kembali dan….."

“Orang itu adalah engkau!" Pek Eng menjerit.

“Apa engkau tidak keliru? Engkau melihat benar bahwa orang itu adalah aku? Bukankah pondok itu gelap?"

"Aku tidak akan keliru, bentuk tubuhmu, mukanya... engkaulah orang itu!"

Tiba-tiba Hay Hay menjadi marah sekali. Sim Ki Liong! Siapa lagi yang akan mampu menaklukan gadis-gadis seperti Ling Ling dan Pek Eng kalau bukan Ki Liong? Orang itu sebaya dengannya, bentuk tubuh merekapun sama, dan wajah Ki Liong juga halus, tidak berkumis atau berjenggot. Tentu Ki Liong, si jahanam itu yang melakukan perkosaan atas diri Ling Ling dan Pek Eng. Mungkin karena memang pemuda itu jahat dan cabul, atau lebih masuk akal lagi kalau perbuatan itu dilakukan untuk menjatuhkan fitnah kepadanya, atau untuk menjadi akal mengikatnya dengan persekutuan itu.

"Ki Liong jahanam kau...!" Hay Hay berseru dan tubuhnya berkelebat lenyap dari situ.

"Hay-ko... ouhhh... Hay-ko…!"

Pek Eng mengeluh, tubuhnya menjadi lemas dan iapun terkulai pingsan di tengah hutan itu. Keraguan yang timbul di dalam hatinya, keraguan bahwa Hay Hay akan mengingkari atau benar-benar bukan pemuda itu yang telah merenggut kehormatannya, terasa amat menusuk perasaannya dan gadis inipun tidak kuat menahan kenyerian batinnya. Dua kemungkinan itu sama beratnya bagi Pek Eng, sama menyakitkan dan melenyapkan harapan bahwa ia akan hidup di samping pemuda yang dicintanya itu untuk selamanya, sebagai isterinya.

Nampaknya menjadi suatu kenyataan yang tak dapat disangkal pula bahwa kehidupan kita sebagai manusia ini penuh dengan duka! Kalau kita susun dalam ingatan dan melihat kenyataan, hidup ini hanya menjadi panggung sandiwara di atas mana kita masing-masing sebagai pemegang peran kadang-kadang tertawa dan kadang-kadang menangis, Namun, betapa sedikitnya tawa dan betapa banyaknya tangis!

Betapa hidup penuh dengan kecewa, kepusingan, kesusahan, ketakutan, konflik-konflik batin dan konflik lahir, dan hanya diseling sedikit saja kegembiraan seperti selingan kilat diantara awan gelap. Apakah ini menjadi kenyataan dari tanda yang dibawa seorang bayi yang sedang lahir? Bayi, calon manusia itu, terlahir dalam keadaan menangis, seolah-olah dia merasa menyesal karena dilahirkan, karena harus memasuki suatu alam yang penuh derita! Dan betapa tenang wajah seorang yang putus nyawanya! Bahkan kebanyakan si mati itu tersenyum dalam kematiannya, seolah-olah wajah itu membayangkan suatu kelegaan bahwa dia telah terbebas dari alam yang penuh derita itu!

Dari manakah timbulnya derita ini? Mengapa kita dihantui oleh rasa kecewa, sesal, khawatir, pusing dan susah? Kalau kita mau mengamati diri sendiri, akan nampaklah bahwa semua perasaan ini datang dari pikiran kita sendiri. Dari si aku yang bersemayam dalam pikiran, yang mempunyai seribu satu macam keinginan untuk mencapai kesenangan seperti yang diharapkan dan dikejar.

Kalau keinginan itu tidak terpenuhi, maka timbullah kecewa. Kalau kepentingan diri terancam, maka timbullah rasa takut dan khawatir. Kalau semua ini menumpuk, timbul iba diri yang membuat hati merasa merana, trenyuh, sakit dan duka.Lalu biasanya kita lari dari derita ini. Kita ingin pula menghindari derita kedukaan, lalu kita mengelak dan menjauhkan diri, kadang kita lari bersembunyi ke balik hiburan-hiburan yang menyenangkan untuk sekedar melupakan kesusahan.

Namun, pelarian dari kenyataan ini hanya membentuk suatu lingkaran setan. Mendapat hiburan, lupa sebentar akan kedukaan itu, namun setelah hiburan memudar, kedukaan itupun akan nampak kembali, menghantui perasaan. Tak mungkin kita lari dari duka karena duka itu adalah kita sendiri! Pikiran sendiri!

Yang tepat adalah menghadapi duka itu, menghadapi kenyataan. Mengamati, mempelajari, tanpa menentang atau lari, mengamati dengan pasrah dan tanpa berbuat apa pun, pasrah kepada Tuhan Yang Maha Kasih. Kita amati duka itu, bukan sebagai suatu keadaan yang terpisah dari diri sendiri, melainkan sebagai keadaan diri sendiri dengan segala lika-liku pikiran.

Dan landasan dari pengamatan ini adalah kepasrahan yang tulus ikhlas, mengembalikan kesemuanya itu kepada kekuasaan Tuhan karena hanya Tuhanlah yang kuasa membebaskan kita dari segala derita. Kekuasaan Tuhan adalah Sinar Illahi yang juga kita namakan Cinta kasih, keadaan batin dimana tidak ada lagi segala macam nafsu keinginan menyenangkan diri pribadi, tidak ada lagi ulah pikiran yang menimbulkan rasa kecewa, takut, benci dan sebagainya.

**** 197 ****
Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar