*

*

Ads

Selasa, 05 Juni 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 198

Aneh rasanya melihat seorang laki-laki yang usianya sudah hampir separuh baya, lebih dari empat puluh tahun itu, menangis dengan air mata bercucuran sambil berlutut. Apalagi kalau orang mengenal siapa dia. Dia seorang laki-laki gagah perkasa, bukan saja seorang pendekar sakti yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan lebih dari itu, dia seorang ketua perkumpulan orang gagah yang sangat terkenal!

Dia adalah Cia Hui Song, ketua Cin-ling-pai, seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Namun pada saat itu dia seperti seorang anak kecil, menangis mengguguk bercucuran air mata di depan kakek dan nenek itu.

Manusia memang lemah, karena itu sikap orang gagah ini sama sekali tidaklah aneh. Ilmu kepandaian tinggi tidak akan membebaskan manusia dari kelemahannya itu, perasaan iba diri yang amat besar, keakuan yang menebal. Hanya kesadaran dan pengertian saja menjadi langkah pertama ke arah kebebasan.

Ada orang yang dapat menyembunyikan kelemahan ini melalui kekejaman, melalui kekerasan, namun tetap saja hal itu membuktikan akan kelemahannya. Duka menjadi makanan setiap orang, apabila dia belum mampu membebaskan diri dari belenggu keakuannya.

Kakek dan nenek itu menghela napas panjang melihat mantu mereka berlutut di depan mereka sambil menangis dan minta ampun itu. Mereka hanya mengamati dan mendengarkan dengan sikap tenang.

Kakek itu adalah Ceng Thian Sin, Si Pendekar Sadis, majikan Pulau Teratai Merah. Kakek yang berusia enam puluh lima tahun ini masih nampak gagah perkasa dan sikapnya tenang dan matang. Sedangkan nenek itu, yang usianya sama dengan suaminya, bernama Toan Kim Hong, dan pernah ketika masih gadis menjadi seorang datuk sesat yang berjuluk Lam Sin (Malaikat Selatan). Juga nenek ini masih nampak muda dan jelas masih kelihatan bekas kecantikannya, sikapnya tenang seperti suaminya.

“Harap Ayah dan Ibu mertua sudi memaafkan saya yang berani lancang datang menghadap. Sesungguhnya, sudah lama sekali saya menahan hati yang ingin sekali datang berkunjung, akan tetapi terus terang saja, saya tidak berani datang karena saya telah merasa bersalah terhadap puteri Ayah dan Ibu. Baru setelah anak Cia Kui Hong datang berkunjung ke Cin-ling-pai, saya memaksakan diri untuk menghadap dan mengakui semua kesalahan yang telah saya lakukan terhadap isteri saya, Ceng Sui Cin."

Suami isteri yang usianya sudah enam pulun tahun lebih itu tidak menjawab, melainkan saling pandang, lalu mereka menoleh kepada puteri mereka. Sui Cin, wanita yang kini berusia hampir empat puluh tahun itu duduk sambil menundukkan mukanya yang menjadi merah dan ketika ia mengangkat mukahya memandang ke arah suaminya yang berlutut, kedua matanya menjadi basah, akan tetapi ia diam saja dan masih nampak kemarahan membayang pada sinar matanya.

"Hui Song, kami orang tua tidak ingin mencampuri urusan kalian suami isteri, sungguhpun kami merasa ikut berduka dan prihatin sekali ketika anak kami pulang. Sekarang engkau telah datang setelah isterimu pulang selama tiga tahun lebih. Nah, sebaiknya kalau kalian berdua membicarakan sendiri urusan itu dan kami sebagai orang tua hanya ingin melihat kalian dapat akur kembali sebagai suami isteri. Sui Cin, ini suamimu datang, sudah sepatutnya kalau engkau menyambutnya dan segala urusan dapat kalian bicarakan dengan sebaiknya. Ajaklah suamimu masuk dan kalian bicaralah di dalam sana," kata Ceng Thian Sin dengan suara halus.

"Ayahmu benar, Sui Cin," kata Nenek itu."Tidak ada persoalan yang tidak dapat diatasi dengan musyawarah, dan tidak ada kesalahan yang tidak dapat dimaafkan. Ajaklah suamimu ini berunding dan atur sebaiknya bagaimana untuk menyelesaikan urusan diantara kalian itu."

"Ayah dan Ibu, aku ingin bicara dengan dia disini saja, agar dapat disaksikan oleh Ayah dan Ibu!" kata Sui Cin dan nada suaranya keras, membayangkan keadaan hati yang sakit.

Kemudian ia menghadapi Hui Song, memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik, dan terdengar ia berkata.

"Selama tiga tahun aku telah menjauhkan diri, sekarang tiba-tiba engkau datang menyusulku kesini dengan maksud apakah?"

Melihat dan mendengar sikap dan ucapan isterinya itu, perih rasa hati Hui Song. Namun, dia tidak menjadi marah. Tidak, dia tidak dapat marah kepada isterinya yang dicintanya itu, melainkan merasa kasihan. Dia merasa bahwa dia telah berdosa kepada isterinya, walaupun perbuatannya itu dilakukannya dengan terpaksa sekali. Dan kini, setelah dia melihat sendiri penyesalan ayahnya karena keputusan ayahnya yang mengakibatkan terpisahnya dia dan isterinya, semenjak datangnya Kui Hong ke Cin-ling-pai, dia sengaja datang untuk meminta maaf, untuk mengajak isterinya kembali.

Akan tetapi sikap isterinya itu membuat dia merasa gelisah dan ragu. Jangan-jangan isterinya tidak dapat memaafkannya, dan ajakannya untuk rujuk kembali bahkan akan membuat isterinya menjadi semakin marah. Betapapun juga, dia harus mencobanya!






Setelah menarik napas panjang seperti hendak mengumpulkan kekuatan, Hui Song berkata,

"Cin-moi, seperti telah kukatakan kepada Ayah dan. Ibu mertua tadi, aku merasa bersalah kepadamu, dan karena perasaan bersalah itulah maka selama ini aku tidak berani datang berkunjung kesini. Baru setelah anak kita datang ke Cin-ling-pai dan menegur aku dan Ayahku, aku memberanikan diri untuk datang kesini. Maksudku tiada lain hanya untuk minta maaf kepadamu, dan mohon kepadamu sukalah engkau kembali ke Cin-ling-san…"

"Dan hidup serumah dengan isterimu yang baru, yang jauh lebih muda dan cantik dariku, dan setiap hari makan hati melihat engkau bermesraan dengan isteri barumu? Tidak! Tidak sudi aku!"

"Cin-moi, tentu engkaupun dapat merasakan bahwa aku selamanya cinta kepadamu, dan kalau aku sampai menikah lagi, hal itu kulakukan karena terpaksa untuk berbakti kepada Ayahku yang menginginkan seorang cucu laki-laki penyambung keturunan keluarga Cia. Aku menikah lagi bukan untuk mengumbar nafsu, Cin-moi, engkau tentu tahu akan hal ini dan bagaimanapun juga, aku telah merasa bersalah kepadamu, telah menyakiti hatimu, harap engkau suka bersikap bijaksana dan suka memaafkan aku."

Kerut diantara sepasang alis Sui Cin tidak lenyap, bahkan kini pandang matanya kepada suaminya menjadi semakin tajam penuh selidik.

"Hemm, engkau mau enaknya saja. Apakah kalau sudah minta maaf begitu keadaannya lalu menjadi baik kembali? Sekarang, apa kehendakmu selanjutnya?"

Hui Song maklum akan kemarahan di hati isterinya dan dia tidak menyalahkan istermya. Tidak, isterinya sama sekali tidak bersalah. Sudah wajarlah kalau isterinya merasa panas hatinya dan marah, sakit hati karena dia menikah lagi, memperisteri seorang wanita muda sehingga tentu saja isterinya merasa dibanding-bandingkan, merasa diremehkan dan tidak dibutuhkan lagi! Betapa nyerinya perasaan ini bagi seorang wanita, dia dapat memakluminya. Maka, diapun tidak merasa tersinggung walaupun isterinya bersikap keras dan menggunakan kata-kata ketus.

“Selanjutnya, terserah kepadamu, Cin-moi. Sudah kukatakan bahwa aku telah bersalah kepadamu, bagaikan seorang pesakitan aku telah mengakui kesalahanku, dan aku siap menerima hukumannya. Aku hanya mohon agar engkau suka mengampuniku dan suka kembali ke rumah kita di Cin-ling-san.”

"Tidak sudi aku selama wanita itu masih berada disana! Dengarlah, aku mau kembali hidup di sampingmu, sebagai Ibu anak kita dan sebagai isterimu yang setia, hanya dengan satu syarat!"

"Apakah syarat itu, Cin-moi?"

"Syaratnya, wanita itu harus kau bunuh!"

Seketika wajan Hui Song menjadi pucat, matanya terbelalak dan melihat ini, hati Sui Cin menjadi semakin panas.

"Huh, engkau terlalu cinta kepadanya, tentu tidak akan mau kehilangan wanita itu! Kalau begitu, engkau lebih berat kepadanya, engkau lebih cinta kepadanya daripada kepadaku!"

Dan kini kedua mata Sui Cin menjadi basah, namun dengan sikap gagah ia menanan tangisnya.

"Bukan begitu, Cin-moi. Engkau tentu tahu bahwa engkaulah yang kucinta, sejak dahulu, sekarang sampai hayat meninggalkan badan. Akan tetapi... untuk membunuh Siok Bi Nio..., bagaimana hal itu mungkin? Bagaimanapun juga, ia adalah Ibu kandung puteraku, Cia Kui Bu"

"Terserah! Tinggal kau pilih saja." Kata Sui Cin, suaranya serak oleh tangis yang ditahan-tahannya, "Ia atau aku! Kalau engkau memilih ia, jangan engkau harap aku akan sudi hidup bersamamu sebagai isterimu dan jangan engkau berani mencariku lagi karena kalau hal itu kau lakukan, aku akan menganggap itu sebagai penghinaan! Sebaliknya, kalau engkau memilih aku, engkau harus membunuhnya, membunuh wanita pelacur itu!"

"Sui Cin, jangan engkau memaki orang tanpa alasan!"

Tiba-tiba Toan Kim Hong atau Nyonya Ceng Thian Sin menegur puterinya. Ia dan suaminya sejak tadi hanya mendengarkan saja, tidak mencampuri urusan puteri mereka, hanya menjadi saksi saja. Akan tetapi, mendengar puterinya memaki isteri muda Hui Song sebagai pelacur, ia merasa tidak setuju dan menegur puterinya.

"Tentu saja ada alasannya, Ibu!" bantah Sui Cin. "Semua wanita yang merebut suamiku adalah pelacur!" Lalu ia menoleh kepada suaminya lagi. "Nah, sekarang engkau boleh pilih dan mengambil keputusan sekarang juga!"

Diam-diam Pendekar Sadis Ceng Thian Sin juga menyesalkan sikap puterinya, yang dianggapnya terlalu keras itu, akan tetapi dia diam saja dan hanya memandang kepada Hui Song.

Ketua Cin-ling-pai ini merasa terpukul sekali. Tak disangkanya sama sekali bahwa isterinya akan bersikap sekaku dan sekeras itu. Dia menarik napas panjang. Bagaimanapun juga, dia sudah mengenal baik watak lsterinya ini. Memang sikap Sui Cin keras, sesuai dengan wataknya yang keras, akan tetapi di balik kekerasan itu, isterinya memillki hati yang amat baik dan bijaksana.

Kalau sekarang kelihatan kejam adalah karena hatinya sedang dikeruhkan oleh perasaan cemburu dan panas. Dia tidak percaya bahwa isterinya akan memaksanya membunuh Bi Nio, karena hal ini sungguh berlawanan denpn watak pendekar dari isterinya.

"Cin-moi, terus terang saja, aku tidak tega membunuh ibu dari puteraku sendiri. Kalau engkau yang akan melakukannya, terserah. Bagaimanapun juga, aku jelas lebih berat kepadamu karena engkau adalah isteri yang kupilih sendiri, sedangkan Bi Nio menjadi isteriku karena keadaan. Marilah ikut pulang bersamaku dan disana terserah kepadamu kalau engkau hendak menyingkirkan dan membunuh Siok Bi Nio."

Pendekar Sadis diam-diam memuji mantunya itu. Dia dapat mengerti akan sikap Hui song dan dia sendiripun tidak percaya kalau puterinya akan demikian kejamnya membunuh isteri muda Hui Song yang sama sekali tidak berdosa itu.

"Memang sebaiknya kalau engkau ikut pulang suamimu, Sui Cin dan urusan itu dapat kalian selesaikan di Cin-ling.san,” katanya.

Isteri pendekar sakti itupun mengangguk, karena iapun dapat mengerti apa yang dimaksudkan suaminya. Ia tahu bahwa puterinya mencinta Hui Song dan pada saat ini, puterinya sedang terbakar hatinya oleh cemburu dan ia merasa yakin bahwa kalau cemburu itu sudah hilang, maka puterinya tidak akan bersikap seperti itu.

"Ayahmu benar, Sui Cin. Memang sebaiknya kalau kalian pulang ke Cin-ling-san dan disana, urusan keluarga ini dapat dibicarakan dengan semua yang bersangkutan."

Tidak dapat disangkal oleh Sui Cin sendiri bahwa jauh di dasar hatinya, ia amat mencinta Hui Song. Hampir tidak kuat ia bertahan ketika ia harus berpisah dari orang yang dicintanya selama tiga tahun ini. Hanya keangkuhan dan kekerasan hatinya sajalah yang membuat ia mampu bertahan dan menekan rasa rindunya yang amat sangat.

Dan kekerasan hatinya juga yang membuat ia enggan mengalah, sehingga bersikap keras dan menuntut agar suaminya membunuh isteri mudanya itu yang dianggapnya sebagai saingannya, sebagai seorang yang menjadi sebab kehancuran kebahagiaannya. Ia tidak mau mempedulikan alasan lain. Dianggapnya bahwa isteri muda suaminya itulah yang bersalah!

"Baik," katanya setelah mendengar ucapan ayah ibunya. “Aku akan ikut bersamamu ke Cin-ling-pai, akan tetapi, kalau sampai disana engkau tidak mau membunuh perempuan pelacur itu, akulah yang akan turun tangan membunuhnya sendiri!"

Hui Song mengangguk.
"Baiklah, aku dapat menerima syaratmu itu, Cin-moi."

Ceng Thian Sin mengeluarkan suara ketawa.
"Aha, akhirnya dapat juga dicapai kata sepakat. Girang sekali hati kami suami isteri mendengar ini, Anakku dan kami sungguh mengharap agar kalian dapat menemukan jalan keluar dari persoalan keluarga ini. Akan tetapi cukuplah bicara bersitegang dan ajaklah suamimu untuk makan minum dulu, Sui Cin "

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar