*

*

Ads

Senin, 11 Juni 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 212

Mendengar ucapan suaminya, Hui Lian teringat akan kehebatan Hay Hay, maka iapun diam saja, apalagi mengingat bahwa ia dan suaminya harus menjaga sumbu bahan peledak itu mati-matian sehingga ia tidak boleh meninggalkan tempat itu. Dengan jantung berdebar tegang ia memandang ke arah Hay Hay yang menghadapi gumpalan api berkobar. Juga Mulana memandang dengan mata terbelalak. Dia telah bangkit berdiri dan kini menjadi penonton pertandingan aneh ini, bersama suami isteri pendekar itu.

Menghadapi serangan api berkobar itu, Hay Hay bersikap tenang. Dia maklum bahwa lawannya lihai sekali, memiliki kekuatan sihir yang tak boleh dipandang ringan, apalagi disertai ilmu hitam yang menjadi ilmu setan. Namun, dia adalah murid Pek Mau San-jin yang merupakan ahli sihir yang jarang ditemui tandingnya, bahkan kemudian dia digembleng oleh Song Lojin sehingga ilmu silat dan ilmu sihirnya menjadi semakin kuat.

Dari Pek Mau San-jin, dia telah banyak mempelajari tentang ilmu hitam, bukan belajar cara penggunaannya, melainkan cara penanggulangannya, cara melumpuhkan dan mengatasinya. Kini, melihat datangnya api berkobar, bukan sekedar khayal seperti juga nampak oleh tiga orang berilmu tinggi yang menjadi saksi, dia segera mengacungkan sulingnya.

"Kulana, api akan kehilangan kekuatannya jika bertemu dengan air, bukan? Nah, mari kita lihat apimu padam oleh airku!"

Dan sungguh luar biasa, dari ujung suling itu kini memancur air seolah-olah suling itu menjadi pipa yang dialiri air. Pancaran air itu jatuh menimpa kobaran api dan terdengar suara "cesssss….." disusul padamnya api yang tersiram air. Begitu api padam, air yang memancar keluar dari sulingpun terhenti.

Wajah Kulana menjadi merah padam.
"Keparat, engkau suka air, ya? Nah, terimalah air ini secukupnya!"

Dan ketika dia mengacungkan pedangnya ke atas, dari atas kini turun air yang banyak sekali, seperti dituangkan dari atas, seolah-olah di atas terdapat sungai yang kini membanjir ke bawah!

Hay Hay kembali mengacungkan sulingnya ke atas, wajahnya agak pucat dan matanya mengeluarkan sinar mencorong.

"Betapapun banyaknya, air dapat dibendung dan diarahkan alirannya. Kulana!"

Terdengar suara Hay Hay tenang, dan tiba-tiba saja dari ujung sulingnya itu tercipta sebuah bendungan yang menerima air yang tumpah dari atas, dan karena bendungan itu miring ke depan, maka air yang ditampungnya mengalir turun dan menimpa ke arah Kulana sendiri!

Terpaksa Kulana menarik kembali ilmu sihirnya dan begitu air itu lenyap, bendungan itupun lenyap. Kini Kulana menjadi marah bukan main, sepasang matanya jalang dan merah, mulutnya mengeluarkan buih, cuping hidungnya kembang kempis dan lubang hidungnya mengeluarkan uap putih, Kegilaan nampak pada wajahnya yang tertarik-tarik aneh itu.

"Hay Hay, hari ini aku Kulana akan mengadu nyawa denganmu! Bersiaplah untuk mampus di ujung pedangku!"

Berkata demikian, Kulana melontarkan pedangnya ke atas dan... pedang itu, seperti bernyawa, tiba-tiba meluncur turun ke arah Hay Hay, mengeluarkan suara mencicit mengerikan, seolah-olah dibawa oleh tangan iblis yang tidak nampak untuk menyerang pemuda itu.

Hay Hay mengenal ilmu ini, ilmu sihir pula, akan tetapi dia tahu bahwa pedang itu bergerak menurut kehendak hati pemiliknya, seolah-olah Kulana sendiri yang memainkannya dengan ilmu pedangnya. Diapun segera mengerahkan tenaga batinnya dan melontarkan sulingnya ke atas.

"Sulingku akan menyambut pedangmu seperti aku akan menyambut semua ilmumu, Kulana!" katanya dengan tenang namun penuh wibawa.

Suling itu meluncur ke atas, lalu membalik, seperti seekor naga memandang ke arah lawan, kemudian meluncur ke depan menyambut pedang itu. Dan terjadilah "perkelahian" yang amat menarik, aneh, hebat dan seru antara pedang dan suling.

Pedang masih mengeluarkan suara mencicit, suling mengeluarkan suara mengaung-ngaung, dan setiap kali pedang dan suling bertemu, terdengar suara nyaring dibarengi muncratnya bunga api! Tentu saja Hui Lian dan Su Kiat yang menjadi penonton, memandang dengan takjub dan kagum, sedangkan Mulana juga memandang dengan kagum. Alisnya berkerut karena dia tahu bahwa kini saudara kembarnya bertemu dengan seorang lawan yang amat tangguh, baik dalam ilmu silat maupun ilmu sihir.

Hay Hay juga tidak berani main-main. Pemuda ini harus mengaku di dalam hatinya bahwa selama dia berkelana, belum pernah dia bertemu tanding yang begini tangguh, baik ilmu silat maupun ilmu sihirnya. Selama ini, baru dua kali dia bertemu tanding yang kiranya setingkat dengannya, yaitu Sim Ki Liong dan Han Lojin.






Biarpun dia sendiri belum pernah bentrok secara sungguh-sungguh dengan Ki Liong, namun dia pernah melihat Sim Ki Liong melawan jagoan-jagoan Bu-tong-pai itu dan dia tahu bahwa pemuda itu sungguh lihai dan merupakan lawan berat. Demikian pula dengan Han Lojin. Walaupun dia hanya baru melakukan pibu (adu ilmu silat) dengan Han Lojin dan bukan berkelahi sungguh-sungguh, namun dia tahu bahwa orang tua itupun merupakan lawan yang tangguh sekali. Kini, dia bertemu Kulana yang bukan hanya hebat ilmu silatnya, namun juga berbahaya sekali ilmu sihirnya.

Pertandingan antara pedang dan suling itu berlangsung semakin seru dan kini nampaklah betapa wajah Kulana penuh dengan keringat, juga dari kepalanya yang tak tertutup dan rambutnya terurai itu keluar uap putih yang tebal, dia berdiri dengan kedua tangan diangkat ke atas, kedua lengannya itu kini gemetar, kedua kakinya menggigil.

Sebaliknya, Hay Hay berdiri dengan tenang, kedua tangannya juga diangkat ke atas dan mulutnya tersenyum, namun sepasang matanya mencorong memandang ke arah pertempuran antara pedang dan sulingnya itu. Ternyata di dalam adu ilmu senjata ini, Hay Hay lebih unggul. Pemuda ini pernah digembleng dengan tekun oleh tiga orang sakti, tiga orang diantara Delapan Dewa, maka tentu saja dia telah memiliki ilmu kepandaian tinggi, yang telah dimatangkan pula oleh gemblengan Song Lojin.

Kulana yang keras kepala itu merasa penasaran, tidak mau percaya bahwa dia akan dikalahkan oleh seorang pemuda yang tidak ternama! Dia tidak menerima keadaan, tidak menyadari akan kelemahannya, dan dengan nekat dia melawan terus, bahkan mengerahkan seluruh tenaganya.

Akan tetapi, kini jelas nampak oleh tiga orang penonton itu betapa pedang makin lemah gerakannya, sedangkan suling itu makin mengganas. Suara suling makin nyaring mengaung-ngaung, sedangkan suara pedang yang mencicit garang tadi kini berubah mengecil, seperti bunyi cicit tikus yang ketakutan. Suling mendesak terus dan akhirnya, dengan hantaman yang amat kuat, pedang itu dibuat terpental oleh suling dan pedang itu meluncur turun ke arah Kulana!

"Kulana, awas….!"

Mulana memperingatkan dan meloncat ke depan. Namun terlambat. Kulana yang masih juga keras kepala itu masih berusaha untuk mengerahkan seluruh semangat dan tenaganya untuk mengirim kembali pedangnya yang seperti melarikan diri itu. Betapapun juga, dia tidak kuat dan pedangnya tetap meluncur turun dan tanpa dapat dielakkannya lagi, pedangnya itu menancap di dadanya sendiri!

Kulana terkejut, mengeluh seperti orang tidak percaya. Dengan kedua tangannya, dia mencabut pedang yang menancap lebih setengahnya ke dalam dadanya itu dan dia menunduk, terbelalak memandang darahnya yang mengucur dari dada, membasahi jubahnya yang putih, membuat jubah itu menjadi merah di bagian dada, kemudian diapun roboh terjengkang.

"Kulana….!"

Mulana menubruk saudara kembarnya, berlutut dan berusaha merangkulnya. Bagaimanapun juga, mereka adalah saudara kembar dan ada hubungan dan ikatan batin yang amat dekat antara mereka. Melihat kini Kulana terkapar dengan mandi darah, Mulana merasa seolah-olah dadanya sendiri yang terluka.

"Mulana... kau... kau... biang keladinya….!"

Tiba-tiba, dengan sisa tenaganya yang masih ada, Kulana menusukkan pedangnya itu ke dada saudara kembar yang merangkulnya. Pedang menancap di dada Mulana sampai setengahnya. Mulana terbelalak, namun dia tidak melepaskan rangkulannya, bahkan dia tersenyum, mengangguk-angguk.

"Baiklah, kutemani engkau... pulang... pulang..., Kulana…"

Dan diapun tergelimpang, jatuh di samping saudaranya, kedua lengannya masih merangkul Kulana yang juga menghembuskan napas disaat itu.

Hay Hay berdiri dengan muka pucat. Dia menghapus keringatnya dan memandang dengan mata sayu. Hatinya merasa sedih dan terharu. Mengapa manusia harus saling bunuh? Kalau di dunia ini ada kebaikan, mengapa manusia memilih kejahatan untuk mengisi hidupnya? Kalau ada kasih sayang, mengapa manusia saling membenci?

"Hay Hay…..!"

Panggilan Hui Lian ini menyadarkannya. Wanita yang pernah hampir menaklukkan hatinya itu telah berdiri di depannya dan memegang kedua pundaknya, mengguncangnya karena Hui Lian tadi melihat Hay Hay berdiri dengan muka pucat seperti patung.

“Enci… Enci Hui Lian….”

Dia berkata dan cepat melangkah mundur, melepaskan diri dengan lembut dari rangkulan Hui Lian ketika dia melihat pendekar lengan kiri buntung, suami wanita itu berdiri di situ.

"Lihat, di bawah masih terjadi pertempuran, sebaiknya kita membantu disana." kata Su Kiat yang dapat merasakan kecanggungan yang diperlihatkan Hay Hay.

Diam-diam Su Kiat merasa kagum sekali kepada Hay Hay. Pemuda itu memang hebat, dan memang patut seorang pemuda seperti itu mendapatkan kasih sayang Hui Lian. Seorang pemuda yang tampan, memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, sikapnya sederhana dan gembira, namun harus diakuinya bahwa Hay Hay memiliki watak yang agak mata keranjang terhadap wanita.

"Tapi, kita harus menjaga sumbu itu…" kata Hui Lian yang sudah dapat memulihkan ketenangannya setelah tadi diliputi keharuan dan kebanggaan terhadap Hay Hay.

"Kita dapat menarik sumbu ini sampai putus di bawah sana, sehingga tidak akan dapat disulut orang." kata Su Kiat dan dia lalu memegang ujung sumbu itu dan menariknya.

Sumbu itu panjang menuju ke bawah, ke tempat bahan peledak ditanam. Sekali tarik sambil mengerahkan tenaga, sumbu itupun putus di sekitar timbunan bahan peledak.

"Nah, sekarang kita boleh meninggalkan tempat ini dengan aman." kata Su Kiat dan diapun berlari menuruni bukit itu, diikuti oleh Hui Lian dan Hay Hay.

Pertempuran di bawah memang masih terjadi dengan serunya, dan Hay Hay ingin segera mencari Ki Liong untuk diminta pertanggungan-jawabnya tentang diri Pek Eng.

Sementara itu, di bagian lain, di bawah dekat jalan terusan dimana terjadi pula pertempuran, dan kita kembali melihat perkelahian yang amat seru antara Pek Han Siong dan Bi Lian yang menghadapi dua pasang suami isteri iblis yang lihai.

Han Siong dikeroyok oleh Lam-hai Siang-mo, yaitu suami isteri Siang-koan Leng dan Ma Kim Li yang keduanya merupakan tokoh sesat yang amat lihai dan kejam. Namun, sekali ini, mereka berhadapan dengan seorang pemuda yang amat lihai. Han Siong menghadapi dua orang lawan yang berpedang itu dengan tangan kosong saja karena dia tadi telah menyerahkan pedang Kwan-im-kiam kepada Bi Lian. Biarpun bertangan kosong, dia sama sekali tidak terdesak, bahkan tamparan-tamparannya yang mengandung tenaga sin-kang hebat sekali itu membuat Lam-hai Siang-mo kewalahan dan beberapa kali nampak mereka itu terhuyung seperti dilanda angin badai yang kuat.

Keadaan suami isteri dari Guha Iblis Pantai Selatan, yaitu Kwee Siong dan Tiong Ci Ki, juga sama saja. Mereka berdua menggunakan pedang menghadapi Bi Lian yang telah menerima pedang dari Han Siong. Ketika mereka terjun ke dalam pertempuran dan dihadapi dua pasang suami isteri. Han Siong merasa khawatir akan keselamatan Bi Lian, maka dia lalu mengambil pedang Kwan-im-kiam yang diterima dari kedua orang gurunya, melemparkannya kepada Bi Lian sambil berkata.

"Sumoi, kau pergunakan pedang ini!"

Bi Lian menyambut pedang itu dan ketika mencabutnya, ia merasa gembira sekali melihat bahwa senjata itu merupakan sebuah pedang pusaka yang amat indah, ringan dan juga ampuh, mengeluarkan sinar berkilauan. Dengan pedang Kwan-im-kiam di tangan, dengan tenang dan tanpa harus mengeluarkan terlalu banyak tenaga Bi Lian menghadapi pengeroyokan suami isteri itu.

Akan tetapi, gadis ini mengalami suatu keanehan ketika ia mainkan pedang itu. Pedang di tangannya itu merupakan senjata yang baik sekali untuk melindungi diri, bahkan setiap kali dipergunakan untuk mempertahankan diri pedang itu seperti mengeluarkan hawa yang amat kuat. Akan tetapi setiap kali dipakai untuk menyerang, pedang itu terasa berat dan lamban gerakannya, seolah-olah pedang itu tidak suka dipakai untuk menyerang manusia!

Bi Lian merupakan murid terkasih dari dua orang datuk sesat, maka tentu saja ia digembleng dengan ilmu yang jahat dan kejam oleh Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi. Hanya karena di dalam darahnya mengalir darah pendekar maka ia tidak suka, bahkan selalu menentang perbuatan jahat dan kejam.

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar