*

*

Ads

Minggu, 24 Juni 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 224 (TAMAT)

Hay Hay seperti menjadi gila. Dia meninggalkan bukit dimana Ang-hong-cu yang mengaku bernama Han Lojin itu ditahan kemudian melarikan diri, meninggalkan sajak yang membuat Hay Hay menderita pukulan batin yang paling hebat. Dia melarikan diri meninggalkan tempat itu sambil mengerahkan seluruh tenaganya berlari cepat.

Bagaikan terbang saja tubuhnya meluncur ke depan tanpa ada tujuan tertentu, lari dan lari terus, seolah-olah dia hendak lari dari kenyataan yang amat pahit getir dan merobek-robek perasaan batinnya itu. Sambil berteriak seperti kuda gila, pikirannya dipenuhi bayangan-bayangan yang makin menusuk hatinya. Bahwa ayahnya adalah seorang jai-hwa-cat kelas berat, hal itu merupakan luka yang sudah lama.

Akan tetapi kini luka itu ditambah lagi dengan kenyataan betapa ayahnya telah mencemarkan Pek Eng dan bahkan memperkosa Cia Ling secara keji. Lebih dari itu malah, ayah kandungnya itu agaknya memang sengaja melakukan hal itu untuk merusak namanya, agar semua orang menuduh dia sebagai pelakunya.

"Ang-hong-cu...! Keparat jahanam, dimana engkau….!!"

Akhirnya dia berteriak-teriak, mengerahkan khi-kang sehingga suaranya melengking dan bergema sampai jauh. Dia berlari terus, naik-turun gunung, meloncati jurang-jurang. Kadang-kadang dia berteriak-teriak menyebut nama Ang-hong-cu, kadang-kadang pula nampak air mata bercucuran disepanjang kedua pipinya. Dia berlari terus, tanpa pernah mengurangi tenaganya.

Betapapun terlatih dan kuatnya, tenaga manusia terbatas dan akhirnya, menjelang senja, Hay Hay roboh terpelanting di atas rumput, di lereng bukit yang sunyi. Dia roboh dan pingsan karena kelelahan dan kehabisan tenaga. Seperti telah mati tubuhnya rebah miring setengah menelungkup diantara rumput tebal hijau segar. Dan kini, setelah roboh pingsan, wajahnya yang tadinya penuh dengan linangan air mata dan nampak lesu, muram dan berkerut-kerut, kini berubah menjadi tenang bahkan ada setengah senyuman membayang pada mulutnya.

Segala macam duka, benci, takut dan sebagainya adalah perasaan yang muncul sebagai kembangnya pikiran. Pikiranlah yang menjadi biangkeladi segala macam emosi dan sentimen di dalam batin kita. Pikiran mengenang masa lalu, membayangkan masa depan, pikiran yang menimbang-nimbang dan menilai-nilai untung rugi terhadap diri kita, menciptakan segala macam perasaan itu. Bahkan, duka dan pikiran bukan dua hal yang berlainan!

Duka adalah pikiran itulah. Yang merasa punya diri, yang merasa ada aku, juga pikiran itu dan iba diri timbul pula dari permainan pikiran. Iblis tidak berada jauh dari diri kita, bersarang di dalam pikiran setiap saat membisikkan bermacam kata-kata berbisa, dari yang manis merayu, sampai yang mencaci maki dan menusuk perasaan. Betapa pun duka atau benci atau takutnya seseorang apabila pikirannya tidak bekerja lagi, dalam tidur, dalam pingsan seperti Hay Hay, maka semua bentuk perasaan duka, benci, takut dan sebagainya itu akan lenyap pula!

Oleh karena itu, tidak ada artinya untuk mengalahkan duka, benci atau takut, selama pikiran masih menjadi bisikan iblis. Kalau yang berusaha mengalahkan duka itu pikiran, maka yang muncul hanyalah pelarian, hiburan, dan semua ini kosong dan sia-sia belaka, karena duka ialah pikiran itu sendiri! Bagaimana mungkin pikiran melarikan diri dari dirinya sendiri?

Yang penting adalah melepaskan belenggu ikatan pikiran si aku, membebaskan diri dari semua permainan pikiran yang menyenangkan masa lalu dan membayangkan masa depan. Bukan aku yang membebaskan, karena yang mengaku sebagai "aku yang berusaha membebaskan" bukan lain adalah pikiran pula, dalam bentuk lain.

Pikiran memang lihai dan lincah, bagaikan Sun Go Kong (Si Raja Monyet} dalam dongeng See-yuki. Lalu tlmbul pertanyaan, yaitu bagaimana lalu caranya untuk membebaskan diri dari pikiran ini? Pertanyaan inipun masih sekali tiga uang, sama saja, karena yang bertanya itu juga si aku atau pikiran yang mempunyai pamrih untuk bebas dari pikiran agar tidak ada duka lagi! Setiap gerakan dari pikiran sudah pasti berpamrih, karena pusatnya adalah si aku yang ingin senang!

Jadi : Tidak ada pamrih membebaskan diri, namun sadar akan bekerjanya pikiran kita sendiri yang menjadi sumber dari segala perasaan. Dan tidak terdapat cara untuk membebaskan pikiran, karena pikiran adalah aku atau kita sendiri!

Akan tetapi, dengan sepenuh kewaspadaan mengamati diri, mengamati apa yang terjadi di dalam dan di luar diri, di dalam pikiran, mengamati diri ketika timbul duka, benci, takut. Pengamatan inilah yang amat penting. Pengamatan tanpa pamrih, pengamatan tanpa ada si aku yang mengamati karena kalau demikian, tentu si aku akan menilai dan mengubah, mencela dan memuji.

Yang ada hanya PENGAMATAN saja, dengan penuh kewaspadaan, dengan penuh perhatian, dengan menyeluruh, namun sedikit pun tidak ada pamrih mengubah atau boleh disebut secara pasip saja.

Angin semilir menggoyangkan rumput-rumput hijau, membuat rambut kepala Hay Hay berkibar pula.

Angin dingin meniupi kepalanya dan hawa dingin menyusup ke dalam kepala, menggugah Hay Hay yang pingsan seperti orang tertidur itu. Dia membuka mata, menggerakkan tubuhnya dan bangkit duduk. Teringat dia akan semua yang terjadi dan diapun menampar kepala sendiri, lirih, lalu tersenyum.

"Hay Hay, apakah engkau sudah gila? Membiarkan diri terseret oleh duka dan malu? Tenanglah, tidak ada suatu apapun tidak dapat diatasi di dunia ini."

Diapun bangkit berdiri, merentangkan kedua lengannya ke atas, menghirup udara segar sampai sepenuh paru-paru dan perutnya, menghembuskannya perlahan dan perasaan lega dan sejuk menyusup sampai ke dalam dirinya yang paling dalam. Diapun lalu tersenyum lagi dan kembalilah dia seperti keadaan Hay Hay semula, sebelum diracuni duka. Juga perasaan benci terhadap Ang-hong-cu tidak terasa lagi.






Dia mengangguk-angguk, merasa bersukur melihat keadaan batinnya. Kemudian, perlahan dia menghampiri sebuah batu besar di bawah pohon tak jauh dari situ, lalu dia duduk di atas pohon. Tempat itu sunyi dan sejuk sekali. Langit senja demikian indahnya, menciptakan awan beraneka warna dan di sudut barat langit terbakar warna merah muda.

Diantara kelompok awan yang bentuknya seperti biri-biri putih salju, nampak sinar biru dan ungu, juga ada awan besar yang menghitam yaitu awan mendung yang bagaikan raksasa malas, bergerak perlahan-lahan, tidak secepat awan-awan putih di sekitarnya. Langit bagaikan pemantulan lautan yang amat luas, dengan awan-awan itu mengambang di atasnya secara terbalik, hanyut bersama arus angin.

Di bawah tidak kalah indahnya. Rumput di padang itu hijau kekuningan, segar dan nampak hidup setelah sehari penuh dibakar matahari, kini agaknya dengan penuh harapan menyambut selimut malam yang hitam dan sejuk. Pohon-pohon besar bagaikan raksasa-raksasa berjajar, siap untuk memasuki alam gelap malam yang penuh rahasia. Burung-burung sudah sibuk memilih tempat tidur mereka diantara daun-daun dan ranting-ranting, suara mereka bagaikan celoteh yang cerewet menceritakan pengalaman masing-masing sehari yang lalu.

Hay Hay duduk bersila di atas batu. Sebelum membiarkan diri tenggelam ke dalam siu-lian (samadhi), dia lebih dahulu mengenangkan segala yang terjadi. Tentang Pek Eng, tentang Cia Ling, tentang Hul Lian, Kui Hong, dan mereka yang ditemuinya, tentang pertempuran hebat itu. Dan dia melihat betapa dia dituduh karena sikapnya yang manis terhadap setiap wanita yang dijumpainya. Dia dianggap mata keranjang!

Mata keranjang! Dia mencari arti dari kata-kata sebutan ini. Mata keranjang! Seorang pria yang suka sekali kepada wanita cantik? Seorang pria yang selalu tertarik kepada wanita cantik? Yang suka memuji-muji kecantikan wanita yang dijumpainya? Itukah yang dinamakan mata keranjang? Pasti bukan seperti Ang-hong--cu! Dia bukan mata keranjang saja, melainkan perusak, penjahat yang berhati kejam dan keji.

Tidak, dia tidak seperti Ang-hong-cu, walaupun harus diakuinya bahwa dia suka sekali melihat wanita cantik, tertarik akan kecantikan wanita dan suka memuji-muji kecantikan itu. Apa salahnya dengan ini? Apa salahnya kalau pria itu mata keranjang? Bukankah setiap orang pria, kalau dia itu normal, memang mata keranjang? Bukankah daya tarik atau kecantikan wanita terhadap pria itu sudah alami! Setiap orang pria normal sudah pasti suka melihat kecantikan wanita, sudah pasti tertarik hatinya, sudah pasti memujinya, walau dalam hati.

Hanya bedanya, dia tidak mau menyimpan perasaan suka ini menjadi rahasia, dia berterus terang, dia memuji kecantikan wanita seperti memuji keindahan akan kecantikan bunga dan dia mendapatkan kenikmatan batin kalau dia menyampaikan pujiannya itu kepada si empunya kecantikan. Apa salahnya dengan itu? Dia tidak suka untuk berpura-pura, menikmati kecantikan wanita sambil sembunyi, melirik dari sudut, memuji dalam hati, bahkan berpura-pura alim, berpura-pura tidak suka! Ini munafik namanya!

Dia teringat akan ayah kandungnya. Tidak, dia tidak membenci ayah kandungnya. Perasaan benci adalah racun, ini dia tahu benar. Akan tetapi diapun tahu betapa jahatnya Ang-hong-cu, dan betapa berbahayanya membiarkan orang seperti itu berkeliaran dengan bebas. Tentu akan berjatuhan lagi korban-korban baru. Gadis-gadis cantik yang tidak berdosa, seperti bunga-bunga indah yang dipetik secara kasar, dipermainkan lalu dicampakkan begitu saja, mati melayu di selokan, di tepi jalan, terinjak-injak kaki!

Bagaimanapun juga, dia harus mencari Ang-hong-cu sampai dapat, dia harus minta pertanggungan jawab laki-laki itu. Setidaknya, dia akan membuktikan bahwa dia memegang janji, kepada Bu-tong-pai, kepada Pek Han Siong dan Pek Eng, kepada Kui Hong dan Ling Ling.

Hatinya terasa tenteram dan Hay Hay lalu tenggelam ke dalam samadhi.

* * *

Selain Hay Hay, bagaimana dengan Pek Han Siong dan Cu Bi Lian atau Siangkoan Bi Lian yang melakukan perjalanan untuk berkunjung kepada suhu dan subonya, yaitu Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu yang bertapa di kuil Siauw-lim-si di luar kota Yu-shu itu?

Bagaimana pula dengan keluarga Cin-ling-pai yang baru saja mengalami drama rumah tangga yang mengenaskan dengan tewasnya Siok Bi Nio, isteri ke dua Cia Hui Song yang membunuh diri? Juga dengan Cia Kui Hong?

Bagaimana pula dengan keadaan Sim Ki Liong, murid Pendekar Sadis yang sesat itu setelah dia berhasil melarikan diri dari maut ketika terjadi pertempuran yang menghancurkan gerombolan pemberontak? Juga Ji Sun Bi, sudah matikah ia ketika terlempar ke bawah jurang?

Masih terlalu panjang kisah ini, dan karena sudah cukup panjang dengan hancurnya gerombolan pemberontak, maka kisah inipun selesai sampai disini untuk BAGIAN PERTAMA. Semua pertanyaan di atas akan terjawab dalam BAGIAN KE DUA, dimana kisah petualangan Hay Hay yang mata keranjang (?) akan diceritakan lengkapnya. Betapa dia mencari Ang-hong-cu sampai dapat berhadapan muka, betapa dia bertemu dengan musuh-musuh lama, musuh.musuh baru, dan terlibat dalam peristiwa-peristiwa yang lebih seru, seram dan jenaka.

Kemudian pengarang mengharap mudah-mudahan kisah Pendekar Mata Keranjang Bagian Pertama ini dapat menghibur hati para pembaca di samping menghidangkan secuil manfaat yang kiranya dapat dipetik. Sampai jumpa di dalam kisah Pendekar Mata Keranjang Baglan ke Dua.

TAMAT
Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar