*

*

Ads

Minggu, 08 April 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 009

Matahari memandikan permukaan puncak bukit itu dengan cahaya yang keemasan. Masih nampak sisa-sisa embun pada ujung-ujung daun, pada kelopak-kelopak bunga, pada puncak-puncak rumput, dan masih terasa kesejukan pagi yang amat menyegarkan. Bau rumput bermandikan embun bercampur dengan bau daun-daun kering membusuk, mendatangkan bau khas. Suara desir angin pagi diantara daun-daun pohon, diseling kicau burung.

Matahari sudah naik agak tinggi, namun kesegaran pagi masih belum terbakar siang, sinar matahari masih lembut hangat dan ramah. Di bawah puncak, nampak segala pohon-pohon dan tumbuh-tumbuhan sudah bangun dari tidur semalam, bergoyang-goyang dan melambai-lambai tertiup angin pagi. Di angkasa hampak awan yang tenang dalam segala macam bentuk yang aneh-aneh, dilator belakangi langit biru yang makin lama semakin menjadi muda warnanya menuju keputihan.

Keindahan terdapat dimana-mana, akan tetapi hanya dapat dinikmati hanya dapat dilihat oleh batin yang tidak disibukkan dan dipenuhi kebisingan pikiran yang resah. Didalam batin yang bebas dari kesibukan pikiran, pintu-pintu hati terbuka sehingga dapat menampung sinar cinta kasih, seperti kamar yang dibuka daun pintu dan jendelanya, dapat menampung cahaya matahari sehingga menjadi terang.

Hanya batin yang bebas saja yang disinari cahaya cinta kasih dan dapat menikmati keindahan yang nampak di manapun juga! Keindahan nampak jelas, terdapat di setiap ujung daun dan bunga, keindahan terletak pada kewajaran, dimana hati tidak dicampuri dengan segala kecondongan dan seleranya, keindahan terdapat pada sehelai daun kering yang melayang turun dari pohonnya, yang menari-nari lepas dengan lenggang-lenggok bebas, terdapat dalam kicau burung yang mengeluarkan bunyi yang tak terikat oleh nada dan irama tertentu, bunyi yang bebas dan wajar, tidak dibuat-buat.

Sayang sekali bahwa keindahan jarang nampak oleh kita. Kepekaan batin kita sudah menjadi tumpul karena setiap saat dibebani masalah-masalah kehidupan yang diciptakan oleh pikiran kita sendiri.

Sumber keindahan terdapat pada keadaan batin kita. Batin yang bebas dan penuh cinta kasih, akan melihat keindahan-keindahan itu yang berada di manapun juga. Sebaliknya batin yang penuh ikatan, batin yang penuh dengan segala masalah, penuh dengan emosi, kebencian, kekecewaan, batin seperti itu membuat mata, telinga, hidung dan semua panca indra, buta dan tumpul akan segala keindahan, bahkan yang nampak hanyalah yang kita anggap tidak menyenangkan saja. Segala sesuatu akan nampak buruk dan tidak menyenangkan bagi batin seperti ini.

Tidak ada cara yang tertentu untuk membebaskan batin. Latihan-latihan hanya akan menciptakan ikatan-ikatan baru saja, dan menjadi beban baru bagi batin. Akan tetapi kita dapat mengurangi beban batin dengan menghabiskan segala sesuatu yang menimpa diri kita pada saat itu juga!

Menyelesaikan persoalan yang timbul pada saat itu juga, tanpa menampungnya ke dalam batin. Hal ini mengurangi beban batin, walaupun tak dapat dikata bahwa dengan demikian batin sudah menjadi bebas.

Menghadapi segala sesuatu yang terjadi pada kita sebagaimana adanya, sebagai sesuatu kewajaran, tanpa keluhan, dengan penuh perhatian dan penuh pengamatan, lalu menghabiskannya pada waktu itu juga, tanpa menyimpan. Mungkinkah kita melakukan ini setiap saat, selama hidup kita?

Orang yang berada diatas puncak bukit itu, andaikata dia sendirian dan tidak menghadapi persoalan, sedikit banyak tentu akan terbawa oleh suasana yang hening dan penuh damai. Akan tetapi sayang, mereka yang kini berada di puncak itu, tidak dapat menikmati segala keindahan itu karena mereka saling berhadapan, bahkan dengan sinar mata saling menentang.

"Heh-heh-heh, Tung-hek-kwi, apakah engkau yang mengundang jembel tua ini untuk datang kesini menjadi saksi, ataukah untuk membantumu?" terdengar Pak-kwi-ong berkata dengan nada suara mengejek kepada Si Raksasa Hitam ketika Siangkoan Leng dan isterinya, bersama Kwee Siong dan isterinya, sudah melarikan diri meninggalkan puncak bukit itu.

"Huh, siapa mengundang jembel tua yang usilan ini? Aku tidak butuh bantuannya untuk menandingimu, Pak-kwi-ong! Sebaliknya, engkau malah mengajak pendeta Lama gundul ini kesini untuk membantumu!" jawab Tung-hek-kwi.

"Siapa sudi mengekor kepada seorang pendeta palsu?" Pak-kwi-ong mengejek.

"Ha-ha-ha-ha, See-thian Lama, lihat dua orang ini. Kiranya mereka ini yang berjuluk Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi, dua orang diantara Setan Empat Penjuru Dunia! Dan memang mereka ini kurang ajar, berani mati, dan sombong seperti nama mereka. Kiranya masih ada sisa mereka, tadinya kukira bahwa Empat Setan itu sudah kembali ke neraka semua, ha-ha-ha!"

Pendeta Lama tinggi besar itu, lebih tinggi besar dibandingkan Tung-hek-kwi, menarik napas panjang dan jari-jari tangan kanannya memutar-mutar biji tasbeh, sedangkan tangan kiri mengelus kepala Hay Hay.






"Omitohud...! Tak pernah pinceng mengira bahwa masih ada mereka ini, seperti juga tidak pernah pinceng mimpi akan bertemu denganmu disini, Ciu-sian Sin-kai!"

Kini dua orang datuk sesat itulah yang terkejut bukan main. Namun mereka itu sama sekali tidak kelihatan kaget. walaupun jantung mereka mengalami guncangan. Pak-kwi-ong malah terkekeh gembira.

"Heh-heh-heh-heh! Mimpikah aku?" Dia mencubit lengannya sendiri. "Hayaa, bukan mimpi akan tetapi lebih aneh daripada mimpi! Tung-hek-kwi, kita berdua berjanji akan mengadakan pertemuan disini dan siapa tahu disini kita bertemu Sin-tong, dan juga bertemu dengan dua orang dari Delapan Dewa! Heh-heh-heh, tak tahu aku apakah ini merupakan suatu keberuntungan ataukah kesialan."

“Omitohud... semoga diberkahi seluruh umat di dunia!" See-thian Lama berkata dengan kaget dan gembira. "Ji-wi tadi bicara tentang Sin-tong? Siancai... apakah anak ini Sin-tong, putera pendekar Pek?"

"Wah? Sin-tong yang pernah diributkan dan pernah menggegerkan para Lama di Tibet itu? Pernah aku mendengar tentang itu beberapa tahun yang lalu!" kata pula Ciu-sian Sin-kai.

Pak-kwi-ong terkekeh.
“Menurut keterangan empat ekor tikus tadi begitulah. Akan tetapi benar tidaknya, mana aku tahu? Kalian adalah dua di antara Delapan Dewa, dan kabarnya menurut dongeng, para dewa itu tahu segala, kenapa tanya aku?"

Tentu saja maksud kakek gendut ini untuk berkelakar seperti memang telah menjadi wataknya yang suka berkelakar, akan tetapi juga untuk mengejek, memperlihatkan sikap tidak takut dan tidak tunduk walaupun dia pernah mendengar bahwa ilmu kepandaian Delapan Dewa amatlah hebatnya.

"Omitohud, tidak ada yang lebih tahu daripada anak ini sendiri. Anak baik." katanya sambil mengelus kepala Hay Hay, “benarkah engkau ini anak pendekar Pek yang pernah melarikan diri dari Tibet ketika engkau masih dalam kandungan ibumu?”

Hay Hay mengerutkan alisnya. Baru saja dia terlepas dari tangan empat orang jahat yang memperebutkannya, dan sekarang agaknya dia kembali terjatuh ke tangan orang-orang yang lebih sakti lagi, akan tetapi yang juga agaknya tertarik oleh keturunannya dan hendak menyelidiki asal-usulnya. Hal ini membuatnya merasa sebal.

"Tak tahulah, Lo-suhu. Aku ini entah anak pendekar Pek ataukah anak setan. Yang jelas, aku mengenal namaku sebagai Hay Hay dan sejak kecil aku ikut Siangkoan Leng, dan isterinya yang ternyata adalah Lam-hai Siang-mo. Menurut keterangan empat orang yang memperebutkan diriku tadi, memang katanya aku ini anak pendekar Pek, akan tetapi aku sendiri mana tahu?"

Kembali pendeta Lama itu mengelus-elus kepala Hay Hay dan sekarang Hay Hay tahu bahwa kakek itu bukan mengelus sembarangan saja, melainkan meraba-raba kepalanya seperti ingin mengukur atau melihat bentuk kepala itu.

"Pinceng dapat menentukan apakah engkau memang Sin-tong atau bukan."

Tiba-tiba saja Hay Hay merasa betapa seluruh pakaiannya terlepas dari tubuhnya. Dia tidak melihat bagaimana pendeta itu melakukannya, akan tetapi tiba-tiba saja, dengan cepat sekali sehingga tidak ada waktu baginya untuk menolak atau menegur, semua pakaiannya itu terlepas dari tubuhnya dan kini dia berdiri dengan tubuh telanjang bulat di tengah-tengah sedangkan empat orang kakek itu berdiri di sekelilingnya.

Mereka itu mengamati seluruh tubuhnya, menaksir-naksir seperti empat orang pedagang sapi sedang menaksir seekor sapi sebelum menentukan harganya.

"Omitohud, pinceng tidak melihat tanda merah di punggungnya yang telah ditentukan oleh ramalan di Tibet bahwa Sin-tong itu ada tanda merah di bagian punggungnya. Anak ini bukan Sin-tong!"

Akhirnya See-thian Lama berkata dan tiga orang sakti itu mengangguk-angguk percaya. Nama See-thian Lama sebagai seorang di antara Delapan Dewa tentu saja menjadi jaminan akan kebenaran keterangannya itu.

"Biarpun demikian, aku melihat bakat yang baik bersinar dari matanya! See-thian Lama, berikan saja dia kepadaku untuk menjadi muridku. Sudah lama aku mencari seorang anak yang cocok untuk kuberikan peninggalan semua ilmuku, heh-heh!" kata Ciu-sian Sin-kai dengan girang.

"Omitohud, penglihatanmu masih awas sekali, Sin-kai!" See-thian Lama memuji. "Akan tetapi sebelum engkau melihatnya, sejak tadi pinceng sudah mengetahui bakat terpendam anak ini dari bentuk kepalanya dan sejak tadi pinceng sudah mengambil keputusan bahwa kalau anak ini bukan Sin-tong yang harus diserahkan kepada para Dalai Lama, pinceng akan mengambilnya sebagai murid pinceng."'

"Wah-wah-wah, engkau sudah menjadi pendeta harus mau mengalah kepadaku, See-thian Lama. Apa engkau tidak merasa kasihan kepadaku kalau aku membawa mati ilmuku tanpa kusalurkan kepada murid yang berbakat?"

"Heii, nanti dulu!" Tiba-tiba Tunghek-kwi membentak marah. "Kalian ini enak saja bicara tentang anak itu seolah-olah kami tidak mempunyai hak. Sebelum kalian datang, kami yang berhak atas diri anak ini dan bicara tentang murid, kami juga belum punya murid dan merasa bahwa kami yang memiliki hak pertama untuk menjadi gurunya."

Sebetulnya Tung-hek-kwi ataupun Pak-kwi-ong tidak ingin mengambil murid Hay Hay, hanya karena merasa dikesampingkan, maka Tung-hek-kwi menegur dan merasa penasaran.

"Benar! Sejak dahulu kami sudah mendengar nama Delapan Dewa sebagai orang-orang yang tinggi hati dan tidak memandang sebelah mata kepada golongan lain." sambung Pak-kwi-ong. " Aku pun ingin mengambil anak ini sebagai murid!"

"Wah-wah-wah, berabe sekarang!" Ciu-sian Sin-kai berkata sambil tertawa gembira. Baginya keadaan yang berabe itu malah menggelikan dan menggembirakan. "See-thian Lama, bagaimana sekarang? Dua orang dari Empat Setan ini pun menghendaki anak itu. Bagaimana pikiranmu? Apakah engkau rela menyerahkan anak ini agar kelak menjadi calon datuk sesat yang hanya akan mengeruhkan dunia? Dosamu besar sekali kalau kau berikan dia kepada mereka, ha-ha-ha!"

"Omitohud, segala bentuk kekerasan tidak ada gunanya dan hanya merusak. Memaksa anak ini menjadi muridku pun akan merusaknya. Karena anak ini yang akan menjadi murid, dan begini banyaknya orang yang ingin mengambilnya sebagai murid, maka biarlah pinceng serahkan kepada anak itu sendiri, siapa yang akan diangkat menjadi gurunya. Anak baik, kau tentukanlah pilihanmu.”

Sejak tadi Hay Hay sudah mendengarkan semua ucapan mereka itu dan diam-diam dia pun merasa girang sekali. Agaknya empat orang ini, yang dia tahu merupakan orang-orang yang luar biasa, mempunyai niat yang berbeda dibandingkan dengan dua pasang suami isteri tadi. Mereka ini agaknya memperebutkan dia untuk diambil murid!

Ketika tadi melihat sepak terjang Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi, dia merasa kagum bukan main karena mendapat kenyataan bahwa mereka itu jauh lebih lihai dibandingkan dengan dua pasang suami isteri iblis itu. Akan tetapi kemudian muncul pengemis itu dan pendeta yang luar biasa ini, maka tentu saja hatinya menjadi bimbang.

"Biarkan aku mengenakan pakaianku dulu." katanya dan pendeta Lama itu tersenyum ramah, menyerahkan pakaiannya, bahkan membantunya memakai bajunya.

Setelah selesai berpakaian, Hay Hay lalu menuju ke tengah lapangan itu, memandang empat orang itu satu demi satu. Masih sukar dia menentukan dan memandang ragu-ragu. Dia suka menjadi murid seorang diantara mereka, mempelajari ilmu yang tinggi agar kelak dia dapat melakukan penyelidikan sendiri mengenai dirinya. Dia harus mencari ayah bundanya yang asli, dan dia yang akan memberi hajaran kepada orang-orang seperti dua pasang suami isteri tadi. Dia harus mendapatkan guru yang paling pandai. Paling pandai! Itulah ukurannya untuk memilih!

"Aku ingin berguru kepada orang yang paling pandai diantara Locianpwe berempat. Silakan para Locianpwe mengadu kepandaian dan siapa yang paling tinggi kepandaiannya dan menang dalam pertandingan ini, nah, dialah guruku."

"Anak setan...!!" Tung-hek-kwi menyumpah.

"Omitohud...!" Se-thian Lama berseru.

Dua orang kakek lain, yaitu Pak-kwi-ong dan Ciu-sian Sin-kai tertawa bergelak mendengar kata-kata Hay Hay itu.

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar