*

*

Ads

Minggu, 22 April 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 060

Sungai Yalong merupakan sebatang sungai yang amat panjang, mengalir dari utara jauh melampaui tapal batas Propinsi Secuan, merupakan satu di antara anak Sungai Yang-ce yang amat panjang. Sungai Yalong mengalir dari Cing-hai, masuk ke Propinsi Secuan sebelah utara, mengalir sepanjang Propinsi Secuan ke selatan, sampai dekat kota Takou di ujung selatan Propinsi Secuan, Sungai Yalong bertemu dengan Sungai Jin-sha, membelok ke timur dan menjadi Sungai Yang-ce yang amat terkenal itu.

Sungai Yalong mengalir melalui Pegunungan Jin-ping-san dan di pegunungan inilah, di sepanjang Sungai Yalong, terdapat sebuah perkampungan yang menjadi pusat dari perkumpulan Pek-sim-pang.

Keluarga Pek yang belasan tahun yang lalu meninggalkan Tibet karena dimusuhi para pendeta Lama yang menghendaki keturunan mereka yang dianggap Sin-tong, membawa anak buah Pek-sim-pang yang setia kepada keluarga itu, mengungsi masuk Propinsi Secuan yang menjadi tempat asal keluarga Pek. Akhirnya keluarga itu, bersama para anggauta Pek-sim-pang yang juga menjadi murid-murid mereka, rombongan itu menetap di tepi Sungai Yalong itu.

Tempat itu amat indahnya, merupakan daerah perbukitan yang menjadi lereng Pegunungan Jin-ping-san. Daerah itu memiliki tanah yang subur dan hutan-hutan lebat yang dihuni banyak binatang-binatang buruan. Karena air cukup, tanah subur dan hutan-hutan lebar, keluarga besar Pek-sim-pang tinggal di tempat itu dengan senang, bertani, berburu dan dari sungai itu sendiri mereka dapat memperoleh ikan. Juga dari dalam hutan rnereka bisa rnendapatkan kayu-kayu besar untuk membangun rumah-rumah mereka.

Kini, keluarga itu terkenal sebagai pedagang hasil bumi dan rempa-rempa, disamping terkenal pula sebagai perkumpulan orang-orang gagah yang disegani dan ditakuti oleh para penjahat. Semenjak Pek-sim-pang bermarkas di tempat itu, daerah itu sampai berpuluh li luasnya, menjadi aman. Para penjahat terpaksa pergi mengungsi, dan hanya berani melakukan kejahatan jauh di luar jangkauan kekuasaan dan pengaruh keluarga besar Pek-sim-pang.

Setelah tinggal di daerah itu selama belasan tahun, Pek-sim-pang menjadi semakin terkenal. Anggauta atau murid Pek-sim-pang yang jumlahnya kurang lebih seratus orang itu kini bertambah karena di antara mereka ada yang sudah berkeluarga dan tinggal di dalam perkampungan yang merupakan markas atau benteng perkumpulan Pek-sim-pang itu.

Perkampungan itu kini memiliki hampir dua ratus orang penghuni tetap. Setelah banyak di antara murid Pek-sim-pang bekerja menjadi pengawal-pengawal perjalanan, penjaga-penjaga keamanan dan sebagainya, maka pengaruh Pek-sim-pang menjadi semakin meluas, sampai meliputi banyak kota besar di Propinsi Secuan.

Perkampungan itu cukup luas, berada di lereng sebuah bukit. Dari jauh sudah nampak tembok putih tinggi yang menjadi pagar perkampungan itu. Dua pintu gerbang depan dan belakang dibuka lebar-lebar di waktu siang hari, dan untuk menjaga keamanan karena sebagai perkumpulan orang gagah tentu ada saja pihak penjahat yang menaruh dendam, setiap hari, siang malam, pintu-pintu gerbang itu dijaga secara bergilir.

Rumah keluarga Pek berada di tengah perkampungan, dikelilingi rumah-rumah para anggauta. Rumah keluarga Pek itu cukup besar, terbuat dari tembok dan kayu-kayu besar. Pekarangan depannya luas, ditanami pohon-pohon buah, dan di belakang rumah terdapat kebun sayur yang cukup luas, sebuah taman bunga mungil berada di sebelah timur rumah.

Pada waktu itu, yang menjadi ketua Pek-sim-pang adalah Pek Kong yang telah berusia empat puluh satu tahun. Para ketua Pek-sim-pang memang keturunan keluarga Pek, turun temurun. Pek Kong beristerikan Souw Bwee yang sudah berusia tiga puluh delapan tahun, seorang wanita yang juga memiliki ilmu silat bersumber kepada ilmu silat Siauw-lim-pai. Walaupun kepandaian silatnya tidak setinggi suaminya, namun wanita itu termasuk seorang wanita perkasa.

Ayah dari Pek Kong yang bernama Pek Ki Bu, bekas Ketua Pek-sim-pang pula, telah mengundurkan diri dan kini hanya menjadi penasehat saja dan puteranya yang menggantikannya menjadi ketua. Dalam usianya yang enam puluh tahun, Pek Ki Bu telah menjadi seorang duda karena isterinya telah meninggal dunia karena penyakit. Hidupnya terasa sunyi dan untung bahwa dia mempunyai seorang cucu perempuan yang menjadi penghibur hatinya.

Seperti diketahui, Pek Kong mempunyai seorang putera yang menjadi sebab keributan sehingga keluarga Pek terpaksa melarikan diri dari Tibet, dianggap sebagai Sin-tong (Anak Ajaib) calon Dalai Lama! Dan semenjak puteranya itu dibawa pergi oleh kakek buyutnya, yaitu Pek Khun, pendiri dari Pek-sim-pang, untuk diselamatkan dan disembunyikan dari pengejaran para pendeta Lama dan para tokoh sesat di dunia hitam yang memperebutkannya, kehidupan keluarga Pek menjadi muram dan sunyi.

Akan tetapi empat tahun kemudian sejak anak yang menghebohkan itu terlahir, Souw Bwee atau Nyonya Pek Kong telah melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Pek Eng. Anak inilah yang kemudian menjadi hiburan bagi Kakek Pek Ki Bu yang ditinggal mati isterinya. Dia mendidik cucunya itu penuh kasih sayang.






Kini Pek Eng telah menjadi seorang gadis berusia enam belas tahun yang berwajah manis sekali. Ia lincah gembira, jenaka dan nakal suka menggoda orang, juga galak dan manja karena sejak kecil dimanjakan oleh kakeknya. Tentu saja ia mewarisi ilmu silat yang diajarkan sendiri oleh kakeknya dan karena ia seorang anak yang cerdas dan berbakat maka dalam usia enam ibelas tahun, ia telah menjadi seorang gadis yang gagah perkasa dan kiranya tidak ada di antara murid Pek-sim-pang yang dapat menandinginya.

Pek Eng seorang gadis remaja yang bertubuh tinggi ramping, dengan sepasang kaki yang panjang, pinggang yang kecil, namun dalam usia enam belas tahun, bagaikan setangkai bunga yang mulai mekar semerbak harum, tubuhnya sudah nampak padat berisi dengan lekuk-lekung yang sempurna.

Kecepatan dewasanya ini adalah karena ia hidup di alam bebas, suka berburu binatang dan sudah biasa terpanggang terik matahari, tertiup angin badai, tertimpa hujan lebat, pendeknya ia sudah biasa menghadapi keadaan yang keras dan sulit. Karena di daerah Secuan bagian selatan banyak terdapat orang-orang dari suku bangsa Yi, maka sedikit banyak kehidupan Pek Eng terpengaruh pula oleh kebiasaan suku bangsa Yi. Apalagi karena kakeknya, setelah kini mengundurkan diri, tertarik oleh kehidupan rohani yang menjadi tradisi suku bangsa Yi, yaitu mendasarkan kehidupan agama mereka dari kitab-kitab suci, kitab-kitab kuno yang bersumber kepada Agama Hindu kuno.

Kakek Pek Ki Bu kini tekun membaca kitab-kitab kuno itu dan membiarkan cucunya banyak bergaul dengan suku bangsa Yi. Pakaian dari suku bangsa ini amat indah, juga gagah, sesuai dengan watak suku bangsa Yi yang terkenal sejak jaman dahulu sebagai peraiurit-perajurit yang gagah perkasa. Selain terkenal sebagai perajurit-perajurit yang gagah perkasa, juga suku bangsa Yi terkenal sebagai orang-orang yang mempertahankan kebudayaan dan tradisi mereka, hidup sebagai keluarga dan masyarakat golongan tinggi dan menganggap kelompok mereka lebih tinggi derajatnya dengan suku-suku lain.

Tidaklah mengherankan kalau hampir setiap keluarga Yi, walaupun yang tergolong kurang mampu, memiliki budak belian atau hamba sahaya yang terdiri dari orang-orang yang pernah mereka taklukkan, dari suku-suku lain yang dianggap lebih rendah martabat dan derajat mereka.

Suku bangsa Yi suka mengenakan pakaian yang berwarna hitam sebagai dasar, dengan beraneka ragam dan warna hiasan. Juga mereka biasa menghias dan menutupi kepala mereka dengan kain sorban yang dihias dengan bulu burung, atau yang bagian ujung sorbannya dibentuk mencuat ke atas sebagai pengganti bulu burung.

Pek Eng juga sering kali mengenakan pakaian suku bangsa Yi, walaupun adakalanya dia mengenakan pakaian biasa sebagai seorang gadis bersuku bangsa Han, yaitu suku bangsa terbesar di seluruh Tiongkok. Dan tentu saja Pek Eng pandai berbahasa Yi. Pandai pula ia menunggang kuda, mempergunakan anak panah dan suling, di samping tentu saja pandai bermain silat tangan kosong dan pedang dari ilmu silat keluarganya.

Keluarga Ketua Pek-sim-pang itu sudah lama prihatin kalau mereka memikirkan tentang keturunan mereka, yaitu Pek Han Siong. Ketika Kakek Pek Khun yang sudah tua sekali itu meninggal dunia, dia tidak meninggalkan pesan apa pun mengenai putera Pek Kong itu, yang memang dirahasiakan oleh kakek tua itu sejak dahulu.

Sebelum kakek itu mati, kalau ada keluarga Pek yang bertanya tentang Pek Han Siong, selalu dijawab bahwa anak yang diperebutkan itu berada dalam tangan yang dapat dipercaya, keadaannya selamat, sehat dan aman. Dan selalu mengatakan bahwa kalau anak itu sudah dewasa kelak, tentu akan datang sendiri mencari keluarganya di Secuan!

Pada suatu sore, ketika Pek Ki Bu datang ke ruangan menengok keluarga puteranya, kakek ini sekarang berdiam di sebuah rumah kecil yang menyendiri di sudut perkampungan agar dapat bersamadhi dan mempelajari kitab dengan tenteram, Souw Bwee isteri Pek Kong kembali teringat akan puteranya dan nyonya ini pun menangis dengan sedihnya. Suaminya, juga puterinya, berada disitu menghiburnya.

"Sudahlah, disusahkan dan ditangisi apa gunanya?" demikian Kakek Pek Ki Bu berkata untuk menghibur mantunya. "Persoalan apapun yang timbul dalam kehidupan merupakan tantangan hidup yang harus dihadapi dan diatasi dengan usaha yang didasari akal budi kita. Dan tangis tidak ada gunanya sama sekali untuk dijadikan dasar usaha mengatasi persoalan itu karena tangis bahkan akan menumpulkan akal budi."

Mendengar ucapan ayah mertuanya, Souw Bwee menghapus air matanya dan setelah tangisnya terhenti ia pun berkata,

"Harap Ayah memaafkan saya. Akan tetapi saya merasa heran sekali, mengapa mendiang Kakek menyembunyikan keadaan Han Siong dari kita?"

“Tentu mendiang Ayah mempunyai alasan yang kuat untuk itu. Mungkin saja dia melihat bahwa rahasia tentang keadaan Han Siong perlu dipegang kuat-kuat karena masih terdapat banyak ancaman. Pula, bukankah mendiang Kakek kalian itu sudah berpesan bahwa kelak, kalau sudah dewasa, Han Siong tentu akan mencari sendiri keluarganya disini?"

Pek Kong mengerutkan alisnya. Dia merasa kasihan kepada isterinya yang sudah menderita bertahun-tahun, selalu berduka kalau teringat akan putera mereka.

"Ayah, memang tidak seharusnya membenamkan diri dalam duka dan tangis. Akan tetapi, menurut perhitungan saya, kini Han Siong sudah berusia dua puluh tahun lebih, sudah cukup dewasa. Kenapa belum juga dia pulang? Tentu kami merasa khawatir sekali, Ayah, karena bagaimanapun juga, dia adalah putera kami satu-satunya, dialah penyambung satu-satunya keturunan keluarga Pek!"

Mendengar puteranya menyinggung tentang keturunan keluarga Pek, Kakek Pek Ki Bu terdiam dan diapun mengerutkan alisnya dengan khawatir. Kekhawatiran timbul karena andai kata cucunya itu benar-benar telah tidak ada, bukankah hal itu berarti bahwa keluarga Pek akan terputus keturunannya? Dan hal ini tentu saja akan merupakan hal yang amat menyedihkan.

Sejak tadi Pek Eng mendengarkan dengan alis berkerut. Ia duduk bersimpuh merangkul ibunya untuk menghiburnya ketika ibunya menangis, sementara ia mendengarkan percakapan mereka. Ketika ayahnya menyinggung soal keturunan keluarga Pek, kerut alisnya makin mendalam dan sepasang matanya yang agak sipit itu mengeluarkan sinar penasaran, mukanya yang manis itu menjadi merah gelap. Hatinya tak pernah mau menerima sikap orang-orang tua bangsanya yang selalu mementingkan anak laki-laki daripada anak perempuan.

Keturunan! Hanya nama keturunan, hanya she. Ia tahu bahwa ia tidak akan melahirkan keturunan Pek, melainkan keturunan marga orang yang akan menjadi suaminya. Dan hal ini menyakitkan hatinya sekali! Ia merasa seolah-olah didorong ke samping sehingga berdiri di luar kalangan atau lingkaran keluarga Pek!

Tiba-tiba ia melepaskan rangkulan dari pundak ibunya dan bangkit berdiri. Sikapnya gagah ketika ia berkata.

"Kakek, Ayah dan Ibu, biarkan aku berangkat pergi mencari Koko Pek Han Siong yang menimbulkan kedukaan dalam keluarga Pek!"

Tiga orang tua itu terkejut, seolah-olah baru ingat akan adanya Pek Eng di situ.
"Eng-ji (Anak Eng), engkau seorang anak perempuan ……!" Seru ibunya.

Seruan ibunya membuat rasa penasaran dan marah di hati Pek Eng semakin bergelora.
"Apa salahnya seorang anak perempuan, Ibu? Aku tidak kalah oleh seorang anak laki-laki. Aku tidak pernah menyusahkan hati Ibu, tidak seperti Koko! Daripada Ibu susah-susah selalu, biarlah aku akan pergi mencari Koko sampai dapat!"

"Eng-ji, jangan bicara tidak karuan!" bentak ayahnya. "Kami saja tidak tahu dimana Han Siong berada, apalagi engkau. Kemana engkau hendak mencarinya?"

"Kemana saja, Ayah. Kalau memang Koko masih hidup, pasti akan dapat kucari dan kutemukan. Aku akan mulai dengan daerah Kun-lun-san dimana kakek buyut bertapa dan mencari keterangan disana."

“Jangan, Eng-ji, engkau jangan pergi!" Ibunya berseru penuh kekhawatiran.

"Pek Eng, apakah engkau akan menjadi seorang anak yang durhaka? Ibumu sedang berduka memikirkan kakakmu yang belum juga pulang dan sekarang engkau malah hendak, pergi meninggalkannya?" Terdengar Pek Ki Bu berkata halus menegur cucunya yang amat disayangnya.

Pek Eng cemberut memandang kakeknya. Anak ini paling manja terhadap kakeknya, dan setiap kali ditegur, ia merasa kecewa dan marah.

"Kong-kong, aku hendak mencari Koko justeru agar Ibu tidak selalu berduka. Hemmm, mentang-mentang aku ini anak perempuan, apa pun yang kulakukan serba tidak kebetulan saja. Huh!" Gadis itu membanting kakinya lalu meninggalkan ruangan itu.

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar