*

*

Ads

Minggu, 29 April 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 088

Kini, baru pertama kali dalam hidupnya dia melakukan samadhi mengumpulkan kekuatan itu dengan satu pamrih. Dicurahkan seluruh perhatiannya pada keinginan hatinya, yaitu agar Kui Hong keluar dari dalam kamarnya dan memasuki taman bunga! Dia tahu bahwa kalau gadis itu melakukan hal ini, tidak ada lain jalan kecuali melalui depan kamarnya yang terletak di dekat taman bunga.

Sementara itu, Kui Hong yang berada di dalam kamarnya sendiri merasa gelisah dan tak dapat tidur. Ia mendapatkan sebuah kamar yang berdampingan dengan kamar ibunya, sedang kamar kakek dan neneknya, kamar besar, berada di seberang kamarnya. Ia tidak dapat tidur dan teringat kepada Ki Liong, pemuda yang menjadi susioknya itu! Seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa, juga memiliki ilmu silat tinggi.

Akan tetapi ada sesuatu yang aneh pada diri pemuda itu, entah apa ia tidak tahu. Ada sesuatu yang membuat ia mengerutkan alisnya dan semacam perasaan tidak enak menyelinap di dalam hatinya. Ia sendiri merasa heran mengapa timbul perasaan tidak enak dan tidak suka ini, padahal, susioknya itu selalu bersikap ramah, rendah hati, sopan dan menyenangkan. Apakah ia merasa iri karena pemuda itu dapat menandinginya dalam ilmu silat? Ah, mengapa harus iri? Bukankah bagaimanapun juga pemuda itu adalah paman gurunya? Seharusnya ia berbangga hati melihat paman gurunya demikian lihai!

Wajah pemuda itu terbayang dan Kui Hong menjadi semakin gelisah. Timbul keinginan hatinya untuk keluar dari dalam kamar yang dirasakannya pengap itu, untuk mencari hawa segar dan sejuk di taman bunga. Ya, taman bunga milik kakeknya itu amat indahnya, dan disitu terdapat segala macam bunga. Tadipun, ketika memasuki kamarnya, tercium keharuman bunya mawar yang datang dari taman.

Kui Hong membuka pintu kamarnya, perlahan-lahan agar tidak mengganggu ibunya dan kakek neneknya yang sudah masuk ke kamar masing-masing. Lalu ia melangkah menuju ke taman, melewati beberapa kamar. Tak nampak seorang pun pelayan berada di luar. Agaknya hawa malam yang dingin itu membuat semua orang lebih senang berada di dalam kamarnya yang hangat.

Memang sejuk dan segar sekali hawa di dalam taman. Bulan sepotong telah keluar dan biarpun sinarnya masih redup, namun cukup menerangi taman, mendatangkan cuaca yang remang-remang romantis, merah kehijauan menambah kesejukan taman itu.

Kui Hong lalu duduk diatas bangku setelah berjalan mengelilingi taman itu, diantara bunga-bunga mawar yang sedang mekar dan bunga-bunga lain. Musim semi baru saja mulai dan kembang-kembang itu sudah mekar sedemikian indahnya. Memang berbeda hawa di selatan ini dengan hawa di Cin-ling-san.

Disana, kembang-kembang mekar agak terlambat, menanti sampai musim semi benar-benar sudah masuk dan sisa musim salju sudah pergi jauh. Di selatan ini, matahari bersinar lebih cerah dan tumbuh-tumbuhan nampak lebih segar.

“Nona, engkau berada disini juga?” tiba-tiba terdengar suara orang.

Kui Hong yang sedang melamun itu terkejut dan menengok. Susioknya telah berada di situ. Ih, pemuda ini muncul seperti setan saja, tanpa mengeluarkan bunyi, tahu-tahu berada disitu.

“Susiok, mau apa engkau malam-malam begini meninggalkan kamarmu?” Kui Hong bertanya, memandang tajam melalui keremangan cuaca malam.

Pemuda itu tersenyum dan nampak sejenak gigi putih berkilat.
“Ah, kiranya tidak banyak bedanya dengan alasanmu meninggalkan kamarmu dan berada disini, Nona Hong. Aku merasa pengap dan panas di dalam kamar, dan ingin mencari udara segar disini. Biasa hal ini kulakukan di waktu malam sunyi. Tak kusangka malam ini aku akan berjumpa denganmu disini, hal yang amat menggembirakan.”

Kui Hong adalah seorang gadis yang biasa bergaul bebas, tanpa dilarang ibunya. Biasa baginya bercakap-cakap dengan siapa saja, baik dengan wanita maupun dengan pria ketika ia masih tinggal di Cin-ling-san. Maka, kini berduaan saja dengan seorang pemuda malam-malam di taman itu, tidak membuatnya merasa canggung.

“Duduklah, Susiok. Aku menikmati keindahan taman ini, demikian segar dan sejuk, dan demikian harum bunganya.”

Bukan main girang rasa hati Ki Liong. Ternyata usahanya “memanggil” Kui Hong melalui samadhinya tadi berhasil. Dia tadi mendengar langkah kaki halus dari gadis itu ketika menuju ke taman bunga dan diapun cepat turun dari pembaringan untuk mengintai melalui jendela. Jantungnya berdebar penuh rasa girang dan juga tegang ketika dia melihat Kui Hong melangkah menuju ke taman, tepat seperti yang diinginkannya!

Dan kini, setelah berhadapan dengan gadis itu, dia merasa lebih girang lagi karena gadis itu tidak pergi, bahkan mempersilakan dia duduk di atas bangku itu, duduk berdampingan! Hal ini hanya menunjukkan bahwa gadis itu agaknya juga suka kepadanya. Dia tahu, bahwa setiap orang gadis, dalam keadaan seperti itu, berdua saja malam-malam di dalam taman bersama seorang laki-laki, tentu akan cepat pergi karena merasa malu dan tidak patut. Akan tetapi gadis ini menyambutnya dengan baik dan mempersilakan dia duduk.






“Memang indah sekali taman ini, banyak bunga disini aku yang menanamnya, akan tetapi malam ini nampak jauh lebih indah daripada biasanya karena engkau berada disini, Nona Hong.”

Biarpun ucapan itu dilakukan dengan suara halus dan penuh kesopanan, namun isinya membuat Kui Hong mengangkat muka memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik.

“Susiok, mengapa sikap dan kata-katamu seperti itu? sungguh aneh kedengarannya. Tadi engkau mengatakan bahwa pertemuan yang tak kau sangka ini amat menggembirakan, dan kini kau katakan bahwa kehadiranku membuat taman ini nampak jauh lebih indah daripada biasanya!”

Ia memancing-mancing, bisik otak Ki Liong. Ia sudah tahu dan ia senang sekali dengan pujianku, tapi ia pura-pura tidak tahu dan memancing-mancing! Tidak perlu lagi kusembunyikan, ia pasti akan menerima kenyataan cintaku! Setelah berbincang-bincang sendiri dengan otaknya secara cepat, Ki Liong lalu berkata dengan suara halus.

“Aih, Hong-siocia, apakah engkau masih belum tahu betapa aku telah tergila-gila kepadamu, bahwa aku telah jatuh cinta mati-matian kepadamu? Sejak pertemuan kita tadi, aku telah jatuh cinta dan aku rindu sekali padamu. Engkau terlalu cantik dan menarik, engkau melebihi segala keindahan bunga di sini……” Tiba-tiba dia menggeser duduknya, mendekat sampai mepet dengan gadis itu.

“Susiok ….!”

Tiba-tiba Kui Hong bangkit berdiri, setengah meloncat seolah-olah dipatuk ular setelah tadi untuk beberapa detik lamanya ia seperti terpukau di tempat duduknya, terlalu heran mendengar ucapan susioknya itu. kini mukanya menjadi merah sekali, sepasang matanya bersinar penuh kemarahan. Hal ini oleh Ki Liong yang bekum berpengalaman itu diterima dengan keliru pula.

“Nona Hong, dewi pujaanku, tidak perlu engkau malu-malu lagi, tidak ada orang lain kecuali kita berdua di taman ini….”

Dan diapun mengulur tangan hendak menangkap lengan gadis itu, untuk ditariknya diatas pangkuannya dan didekapnya, diciuminya pipi yang kemerahan dan hangat itu, dikecupnya bibirnya yang demikian manis itu, seperti yang dibayangkannya di dalam kamarnya tadi.

“Plakk!”

Baru Ki Liong terkejut sekali ketika lengannya ditangkis dengan tamparan keras oleh Kui Hong. Wajah Ki Liong berubah pucat sekali dan diam-diam dia memaki dirinya sendiri. Bodoh, tolol, mudah ditipu oleh harapan dan khayalan sendiri. Kini baru dia tahu bahwa gadis itu sama sekali tidak menyambut uluran tangannya untuk bermain cinta!

“Susiok, apakah engkau sudah menjadi gila? Berani benar engkau kurang ajar kepadaku? Mentang-mentang engkau menjadi murid Kakek dan Nenekku, ya? Keparat!” Dan Kui Hong sudah menyerang pemuda itu dengan kemarahan meluap-luap.

Ki Liong cepat mengelak dengan loncatan kebelakang.
“Eh, ah, maaf, Nona… aku…. aku tidak bermaksud buruk ….”

Katanya dengan muka pucat. Akan tetapi Kui Hong tidak berkata apa-apa melainkan terus menyerang dengan dahsyat. Kini berbeda dengan ketika berlatih di lian-bu-thia tadi, ia menyerang dengan sungguh-sungguh, seperti menyerang seorang musuh yang harus ia robohkan, terdorong oleh perasaan marahnya.

Sebetulnya, Kui Hong sama sekali tidak mempunyai rasa benci terhadap Ki Liong tadinya. Bahkan ia harus mengakui bahwa ia tertarik dan kagum kepada susioknya yang masih muda, tampan gagah dan memiliki kepandaian tinggi itu. Pernyataan cinta dari seorang pemuda seperti Ki Liong bukan merupakan suatu hal yang dapat mendatangkan rasa marah atau terhina.

Akan tetapi, karena pernyataan pemuda itu tidak wajar dan demikian tiba-tiba maka Kui Hong merasa terhina dan menjadi marah sekali. Pertama, Ki Liong baru saja hari itu diperkenalkan sebagai paman gurunya. Kedua, baru beberapa jam mereka saling berkenalan. Ketiga, pernyataan Ki Liong demikian terus terang, dan tiba-tiba, tentu saja mengejutkan sekali dan menimbulkan rasa malu.

Memang harus di akui bahwa Ki Liong sama sekali buta tentang urusan cinta. Sama sekali belum berpengalam sehingga dia bertindak sesuai dengan dorongan nafsunya saja, nafsu yang bertahun-tahun ditekannya selama dia belajar di pulau itu.

Kini, nafsunya bergolak dan pertahanannya bobol begitu dia bertemu dengan Kui Hong, maka diapun bertindak tanpa pikir lagi, hanya menurutkan nafsu. Dan sekarang barulah dia sadar betapa gegabah dan ceroboh tindakannya itu, memancing keributan yang akan merugikan dirinya sendiri saja.

“Maaf, aku minta maaf. Aku telah menjadi gila karena cintaku….”

Demikian dia berkata sambil mengelak dan menangkis. Akan tetapi ucapannya ini bahkan membuat Kui Hong menjadi semakin marah. Serangan-serangannya menjadi semakin ganas saja sehingga ketika mengelak dengan tergesa-gesa, Ki Liong tersandung batu dan dia terhuyung lalu roboh terguling. Kui Hong mengejar dan mengirim tendangan.

“Plakk!”

Tendangannya itu ditangkis orang dan ternyata yang menangkisnya adalah ibunya sendiri. Dan selain ibunya, disitu hadir pula Pendekar Sadis dan isterinya! Ketika melihat betapa tendangannya ditangkis ibunya, Kui Hong menjadi penasaran. Akan tetapi Ki Liong yang melihat hadirnya suhu dan subonya, menjadi gelisah bukan main dan diapun sudah menjatuhkan diri berlutut di depan kaki suhunya.

“Suhu, teecu telah membuat dosa besar! Teecu siap menerima hukuman mati sekalipun dari Suhu dan Subo!”

Tentu saja Ceng Thian Sin dan Toan Kim Hong menjadi terkejut bukan main mendengar ucapan murid mereka itu tadi, seperti juga Sui Cin, mereka mendengar ribut-ribut dan angin pukulan yang datang dari taman, maka mereka cepat keluar dan bertemu dengan puteri mereka yang juga berlari keluar menuju taman. Ketika melihat Ki Liong terguling dan Kui Hong mengejar dan mengirim tendangan Sui Cin yang sudah tiba di dekat puterinya, cepat menangkis.

“Kui Hong, apalagi yang terjadi? Apakah kalian berlatih silat lagi?” tanya Sui Cin dengan suara penuh teguran karena dianggapnya bahwa puterinya itu keterlaluan terhadap susiok yang sepatutnya dihormati.

“Ibu, dia itu…. kurang ajar sekali! Aku harus memukulnya, dia kurang ajar dan menghina aku!” bentak Kui Hong marah.

Mendengar ucapan ini, Sui Cin dan ibunya menjadi kaget bukan main. Terutama sekali Ceng Thian Sin dan Toan Kim Hong. Mereka mengenal murid mereka itu sebagai seorang pemuda yang sopan dan tidak pernah kurang ajar, bahkan sopan dan ramah, juga rendah hati. Bagaimana kini secara tiba-tiba saja, belum juga satu malam setelah Kui Hong dan ibunya datang, Kui Hong menuduhnya kurang ajar dan menghinanya?

Sui Cin juga merasa heran. Puterinya itu tidak pernah berbohong dan kalau puterinya sudah marah seperti itu, sudah pasti ada sebabnya. Akan tetapi iapun meragukan kata-kata Kui Hong karena rasanya tidak mungkin sutenya yang demikian sopan itu tiba-tiba berani kurang ajar terhadap Kui Hong.

“Apa yang telah terjadi? Apa maksudmu dengan kurang ajar dan menghinamu itu Kui Hong?”

Wajah Kui Hong menjadi merah sekali dan iapun baru menyadari betapa memalukan keadaan itu. Kalau bukan kepada ibunya, kakek dan neneknya, tentu ia akan malu untuk menjawab. Akan tetapi keadaan sudah menjadi seperti itu, terpaksa ia harus mengaku apa yang sesungguhnya telah terjadi.

“Ibu, dia itu… dia berani memuji-muji kecantikanku, bahkan diapun berani merayuku!”

Sui Cin terbelalak, juga kakek dan nenek itu memandang kepada murid mereka dengan alis berkerut dan perasaan aneh.

“Ki Liong, apakah yang telah kau lakukan sehingga cucu kami marah kepadamu?” tanya Ceng Thian Sin suaranya tenang sekali.

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar